Aku senatiasa berada di sisi Emak sejak fajar menyapa Bumi, menunaikan segala hajatnya, dan mengusap kegelisahan yang tergambar di wajah lelahnya. Lelah menahan sakit dan menahan beratnya suratan takdir yang telah tertulis di Lauhul Mahfudz.
Rasa sakit di perutmu tergambar jelas pada tatapan mata sayu yang tak lagi bercahaya, tanpa perlu bibirmu berkata. Semakin terbukti saat Kau memintaku menjerang air panas lalu memasukkannya ke botol berkali-kali sejak mentari menyapa Jagat.
Kutatap nanar setiap inci wajahmu yang sedang terbaring diatas peraduan. Netra yang selalu memancarkan keteduhan dan kasih sayang itu kini terlihat menghitam, lalu nampak pula cekungan pada setiap kelopaknya, dengan dua bola mata indah yang kini seakan-akan menyembul keluar.
Belum lagi cekungan di bagian pipi, juga bibir yang dulu senantiasa memberikan petuah hidup, kini hanya terkunci rapat dan terlihat pucat pasi tiada berdarah lagi. Sehingga tidaklah mungkin bagiku meninggalkanmu dan membiarkanmu dalam kesunyian diatas peraduan walau hanya sedetik waktu berlalu.
"Aku lapar Mak, Apa tidak ada singkong atau beras yang bisa dimasak, Mak?" tanyaku, sembari menahan genangan air yang siap tumpah di sudut netraku.
"Sini nduk, peluk Emak untuk terakhir kalinya," ucapmu Emak.
Aku memeluk tubuhmu erat, hingga tiada lagi tersisa jarak diantara kita. Kurasakan pula semakin hari ragamu terasa semakin menyusut hingga hanya kulit berbalut tulang. Tubuh ringkihmu selama ini selalu menjadi selimut malamku, tapi entah mengapa malam ini perasaanku berkata lain.
"Cari Bapakmu Nduk, biar Kamu ada yang ngurus kalo Emak meninggal."
"Aku ngga mau kehilangan Emak, cuma Emak yang Lastri punya." Tumpah sudah genangan air yang sedari tadi kutahan di sudut netraku. Aku peluk tubuh malaikatku dengan lebih erat walau tak ada balasan yang berarti karena raganya kini kian melemah.
"Emak mau nyusulin adekmu, nduk."
"Lastri ikut Mak, Pokoknya Lastri Ikut kemanapun Emak pergi." Air mata semakin membanjiri wajahku, Aku meraung-raung sambil memeluk dan menggoyang-goyangkan tubuh Emak.
Tangan Emak bergerak kemudian berusaha mengambil sesuatu di bawah bantalnya lalu menyerahkan nya kepadaku.
Aku menerimanya, dan melihat sebuah foto yang di belakangnya terdapat alamat tempat Abah bekerja.
"Disitu tertulis nama dan Alamat tempat Abahmu bekerja di Jakarta, Kamu ikut Abah ya Nduk, dan kirimin salam dari Emak." Emak kemudian mengusap kepalaku pelan, sementara Aku menangis dan semakin mengeratkan pelukanku.
Lambat laun kurasakan tangan Emak semakin melemah dan dingin, hingga tak ada lagi kurasakan belaian tangannya melainkan hanya tangan dinginnya yang menempel di pundakku.Aku gemetar, kakiku lemas tiada bertulang dan netraku takut menyaksikan jika apa yang terlintas dalam pikiranku adalah benar terjadi.
Aku paksakan netraku melihat wajah Emak, matanya terpejam erat. Lidahku kelu dan bibirku tak dapat lagi berkata-kata untuk beberapa saat, sampai akhirnya aku berteriak histeris memanggil Emak.
"Emaaak ...! Emaaak ...!" Aku berteriak dan meraung sejadi-jadi nya, memukul dan menggoyang-goyangkan raga yang kini hanya bisa diam tak bergerak. Aku berharap ini hanyalah mimpi atau Emak hanya tertidur sebentar, dan tangan hangatnya akan kembali menghapus air mataku seperti biasanya.
Aku lelah menangis dan akhirnya terduduk lemas di lantai beralas tanah, di dalam gubuk bambu peninggalan nenek, setelah kusadari Emak tak kunjung bangun lagi.
"Assalamualaikum Lastri, kenapa kamu nangis nduk?" tanya Bik Sum, salah seorang tetanggaku yang masuk kedalam rumah.
"Astaghfirullah, Emakmu kenapa nduk?" tanya-nya pula, lantas menghampiri dan memeriksa Emak.
"Emak tidur Bik, bangunin Bik, Bangunin Emak!" teriakku histeris dan kembali menangis, berusaha melawan kenyataan.
Bik Sum kemudian memelukku "Sabar ya nduk, Ibumu sudah tiada." Ucap Bik Sum pelan, namun terasa bagai suara petir yang menggelegar hingga memekakkan telingaku dan meluruhkan setiap sendiku.
Raga Emak masih di hadapanku namun kini kami terpisah ruang dan waktu, hanya kenangan yang akan membuat Aku merasa tetap berada di sisinya.
Bik Sum kemudian menyuruh suaminya untuk memberitahukan tetangga mengenai Emak yang sudah berpulang ke pangkuan Ilahi.
Tetangga sekitar akhirnya mulai berdatangan, ada yang mengurus Emak yang sudah meninggal, ada pula yang berusaha menghiburku dan menyuapiku makan.
Melihat mayat Emak terbujur kaku di depanku membuatku menjadi tak ingin makan, padahal dari pagi kutahan perihnya perutku karena tak ada sebutir pun nasi yang nasi yang masuk untuk mengganjalnya.
Andai mereka tahu, saat ini ragaku tidak lagi membutuhkan makanan, karena seluruh jiwaku kini telah terbang, hingga ragaku kosong dan menyisakan luka yang terus menganga tanpa dapat terobati.
Bagaimana Aku hendak melanjutkan hidup jika Tuhan telah mengambil pelitaku, rasanya ingin terbang ke dimensi lain dimana terdapat ibu dan adikku disana. Dunia ini terlalu kejam untuk makhkuk kecil sepertiku.
Saat ini usiaku baru enam tahun, Adikku meninggal satu tahun yang lalu akibat gizi buruk.
Makanan yang jarang tersedia di rumah membuat Asi Emak kering, dan mengharuskan Heru adikku makan bubur nasi tanpa lauk sejak berumur tiga bulan.
Emak adalah pendatang, sehingga tidak mempunyai keluarga di kampung ini. Nenek dan Kakek dari Abahku juga sudah lama meninggal, bahkan sebelum Aku lahir. Sungguh malang nasib kami, karena keluarga yang lain janganlah lagi hendak bertanya, bahkan melihat kami pun mereka seperti jijik.
Abah pergi ke Jakarta karena dibujuk oleh Pakde. Pakde mengatakan ada lowongan untuk menjadi pekerja bangunan di Jakarta, dan Abah akan tinggal di mess bersama teman Pakde. Dengan dalih ingin memperbaiki ekonomi dan janji akan menjemput kami setelah sukses, akhirnya Emak mengizinkan Abah berangkat sebulan setelah Heru lahir.
Emak yang ditinggalkan Abah tanpa kabar, tidaklah mempunyai keterampilan. Akhirnya Beliau menjadi buruh cuci jika ada tetangga yang membutuhkan.
Jarang sekali Emak dapat membelikan susu untuk Heru, hingga tak jarang Adikku minum air tajin, air teh atau pun kadang air yang dicampur dengan sedikit gula.Lama-Kelamaan badan Heru semakin kurus dan perutnya semakin membuncit. Saat usianya lima bulan, Heru seperti kesulitaan saat hendak buang air besar dan Ia selalu rewel.
Emak kesana-kemari mendatangi keluarga Abah untuk mencari pinjaman agar dapat membawa Heru ke Rumah Sakit, sedangkan Aku dirumah menjaga adikku yang masih terbaring dan terus menangis.Terdengar suara seseorang membuka pintu, Aku bahagia menyambut Emak pulang ke rumah. Tapi yang kulihat Emak sangat menyedihkan, matanya sembab dan wajahnya kacau. Tak lama datanglah Paklekku, Adik dari Abahku masuk kerumah.
"Jangan berani-berani lagi Kamu diam-diam datang menemui Istriku untuk meminjam uang, untuk makan saja susah apalagi mau bayar hutang kalo jika dipinjamkan uang." Paklek kemudian pergi, setelah melemparkan uang sepuluh ribu ke wajah Emak.Emak masih terus terduduk sambil menagis, sementara tangisan Heru semakin melemah. Aku yang belum mengerti keadaan pun ikut menangis sambil memeluk Emak.
Dengan langkah tertatih Emak pergi ke dapur mengambil minyak kelapa untuk diolesi ke daun jarak, kemudian memanggangnya di atas bara Api sisa merebus Air tadi pagi. Emak menggendong Heru, menciuminya dan membalurkan minyak kelapa keseluruh tubuh Heru lalu meletakan daun jarak diatas perutnya.
Heru tak lagi menangis, hanya suara sesenggukan yang masih terdengar olehku. kemudian Emak memberikan lagi Air teh hangat untuk mengganjal rasa lapar dari perut Adikku.Tiba-tiba ada suara ketukan pintu terdengar. Aku langsung berlari dan menghambur ke ruang tamu, berharap itu Abah yang datang untuk menjemput dan membawa kami ke Jakarta.
Tapi ternyata ketika Aku membuka sedikit pintu dan mengintip dari dalam, terlihat wajah Paklek dari balik pintu. Segera aku berusaha menutup pintu kembali, akan tetapi Paklek dengan sigap mendorong pintu dengan kuat sehingga aku terpelanting dan jatuh ke belakang.Aku menangis menahan sakit dan takut. Emak yang sedang duduk di atas dipan sambil memangku Heru, segera meletakan Heru di atas dipan dan memelukku."Mau apa lagi Kamu kemari?" Wajah Emak nampak memerah menahan emosi."Sombong sekali Kau, bukankah tadi pagi Kau yang datang ke rumahku agar dipinjamkan uang?" kata Paklek sambil bertolak pinggang."Aku kesini berniat baik meminjamkanmu uang, tapi dengan jaminan serifikat tanah ini, bagaimana?" Paklek bertanya sambil tersenyum penuh kelicikan."Dasar licik! tanah Warisan ini adalah jatah Kang Mas-mu sendiri, dan ingin Kau kuasai juga?" tanya Emak dengan nada tinggi."Terserah! tapi apa Kau tega melihat Heru seperti itu?Emak terl
Setelah acara pemakaman Emak usai, Paklek tiba-tiba datang ke rumah dan mengambil semua pakaianku, Beliau mengajakku tinggal bersamanya. Karena tak tahu harus bagaimana hidup tanpa Emak dan Abah, akhirnya Aku menuruti perintah Paklek.Selama di rumah Paklek, Aku jadi pendiam dan lebih banyak menggabiskan waktu di kamar, sesekali Aku keluar jika akan ke kamar mandi ataupun makan. Paklek, Buklek dan anak-anaknya selalu terlihat sinis ketika tak sengaja menatapku.Setelah seminggu Aku tinggal di rumah Paklek. Tiba-tiba malam itu Pakde datang bertandang kesini, Aku tidak tahu pasti apa yang mereka bicarakan, akan tetapi Aku dapat memastikan Pakde dan Paklek sepertinya membicarakan sesuatu yang penting, karena hingga larut malam Pakde belum juga beranjak pulang.Pagi-pagi sekali Buklek membangunkanku, lalu menyuruhku mandi dan sarapan. Ada banyak sekali makanan yang enak-enak di meja, bahkan Buklek mengambilkan nasi dan sepotong ayam goreng yang lezat untukku.
Tiba-tiba perutku terasa sakit dan keram, isi perutku seperti di aduk-aduk, kerigat dingin pun mulai menyembul membasahi bajuku.Terasa seperti ada yg mengganjal dilambungku dan hendak keluar. Segera Aku duduk dan menutup mulut, berusaha agar tidak muntah di dalam mobil."Kamu mau muntah ya Lastri?" tanya Pakde sambil meihatku dari kaca depan mobil.Aku yang sudah sangat mual sekali, tak dapat lagi berbicara, sehingga hanya anggukan lemah yang aku berikan sebagai jawaban.Pakde segera menghentikan mobil di pinggir jalan, lalu Paklek turun membukakan pintu belakang dan membopongku turun dari mobil."Hoek ... Hoek ..." Aku memuntahkan seluruh isi perutku, hingga tiada lagi yang tersisa. Kepalaku pusing dan badanku terasa lemas, Paklek menyuruhku duduk di bawah pohon karet.Sembari duduk bersandar di bawah pohon, Aku memperhatikan sekelilingku banyak sekali pohon karet di sisi kiri dan kanan jalan, akan tetapi tidak ada satu pun rumah warga yan
Satu suara tembakan terdengar jelas di telingaku, Aku terus merintih merasakan sakit bagian kaki dan punggungku."Siapa disana?" Terdengar suara seseorang diatas sana."Tolooong ...!" Hanya kata itu yang mampu keluar dari mulutku."Astaghfirullah, suara anak kecil.""Kamu harus bertahan ya nak, saya akan memanggil bantuan untuk menolong kamu!" teriak seseorang tadi dari atas jurang."Emak, Aku ingin ikut Emak dan Heru saja," rintihku pelan sambil memegang kakiku yang kini tak dapat lagi digerakkan.Samar-samar kulihat cahaya senter yang dibawa orang itu, menyoroti wajah dan tubuhku yang terkulai tak berdaya di dasar jurang. Sayup-sayup pula Aku mendengar Ia menghubungi seseorang, agar datang kesini.Entah berapa lama aku tergolek di sini, sampai kemudian Aku mendengar suara deru mobil datang dan terdengar suara beberapa orang lagi sedang sedang berbicara, tapi entah apa yang mereka bicarakan. Cahaya senter kembali mengenai tubuhku yan
"Apa syaratnya Om?"Pak Danu mendekat ke telingaku dan berbisik. "Syaratnya Kamu harus cepat sembuh, janji ya!" bisik Pak Danu, lalu menautkan kelingkingnya pada kelingkingku."Kalo lama gimana Om?""Ya ... terpaksa Om tinggalin Kamu di Hutan lagi, mau?""Ga mau Om.""Makanya cepet sembuh," ujarnya sambil mengelitik perutku, Aku pun tertawa geli."Udah Pak entar keselek, orang lagi minum susu kok di bikin ketawa." ujar Buk Yati protes.___________Setelah satu minggu dirawat di Puskesmas, akhirnya kondisiku mulai membaik, hanya tinggal pemulihan di bagian kaki yang patah. Pak Danu dan Bu Yati kemudian membawaku ke Jakarta.Perlakuan mereka sangat baik terhadapku sejak di Puskesmas, Bu Yati sangat perhatian dan Pak Danu selalu berusaha menghiburku.Setelah perjalanan yang cukup jauh, akhirnya kami tiba di Jakarta. Mobil Pak Danu memasuki sebuah lorong, di sebelah kiri dan kanan jalan terlihat banyak sekali ruma
Sudah satu bulan lebih Aku berada di Jakarta, kakiku pun sudah dapat berjalan seperti biasa tanpa bantuan kursi roda lagi. Bu Yati dan Pak Danu selalu memperlakukanku dengan sagat baik, bahkan tak segan-segan memarahi temanku, apabila mereka menggangguku.Kulitku kini tak sehitam dulu lagi, sudah mulai sedikit kuning langsat. Rambutku yang hitam dan panjang setiap hari selalu di sisir dan diikat dua oleh Bu Yati. Bu Yati pun membelikakanku banyak baju dan gaun yang bagus, kini penampilanku sangat berbeda dengan Lastri yang dulu. Tubuhku juga sudah mulai sedikit berisi, karena setiap hari Bu Yati selalu membuatkan susu dan memasakan makanan kesukaanku. Tak lupa Pak Danu membelikanku kue untukku setiap pulang Dinas.Namun walaūupun Aku hidup bahagia dengan Pak Danu dan Ibu Yati, akan tetapi ada satu hal yang selalu mengganjal pikiranku, yaitu mengenai keberadaan Abah.Hingga suatu hari Bu Yati menanyakan kepadaku mengenai alamat Abah di Jakarta."Alhamdulilah
"Loh kok malah pada bingung? itu alamatnya di sebrang jalan ini." Ibu penjual gorengan itu kemudian tertawa melihat kami kebigungan."Tapi itu kan tanah kosong Buk," Pak Danu terlihat semakin bingung."Memangnya Kalian kesini mau cari siapa?""Mau cari alamat yang ada di foto ini Buk." jawab Pak Danu sambil menggaruk kepala."Iya alamatnya di depan itu, yang punya namanya Pak Abdul orang Cileunyi," Jawab Ibu penjual gorengan tersebut, lalu mempersilahkan kami duduk di warungnnya.Mendengar nama Pak Abdul, membuat Aku merasa ketakutan dan segera memeluk Bu Yati. Bu Yati sepertinya menyadari bahwa Aku sedang ketakutan, Beliau lalu membawaku duduk di dalam warung dan membalas pelukanku."Lastri kenapa?" Tanya Bu Yati heran."Abdul itu nama Pakdeku Bu, yang ninggalin Aku di hutan dulu." Aku semakin mengeratkan pelukanku."Astaghfirullah Pak!" Bu Yati berteriak tertahan."Kayaknya ada sesuatu yang tidak beres ini Buk, atau mu
"Kamu jangan sedih ya sayang, Kami akan menggantikan kedua orang tuamu yang telah tiada, kami sayang sama Kamu," bisik Bu Yati tepat di telingaku, disela isak tangisnya yang masih terdengar. Aku menatap wajahnya, mencoba menangkap kesungguhan dari setiap ucapannya, melalui kedua netra-nya yang kini terlihat sembab. Mata itu terlihat membalas tatapanku, seakan menunggu jawaban. "Lastri juga sayang Ibu dan Pak Danu," lirihku, sembari kedua tanganku memeluk Beliau. "Lastri panggilnya sekarang Mama aja ya, dan Pak Danu Lastri panggil Papa," Sebuah senyum terlihat mengembang dari wajah perempuan yang kini menjadi Ibu angkatku. Aku hanya diam tak menjawab, menikmati pelukan seorang Ibu yang sudah lama tak kurasakan. Sejak saat itu Aku memanggil Pak Danu dengan sebutan Papa, Dan panggilan Mama untuk Bu Yati.
Aku bahagia melihat Anak Pakde ku itu hancur, suara tangisan nya ibarat nyanyian yang sangat merdu di telingaku. Aku akan terus mencari tahu tentang Pakde melalui Mas Ilham dan Sri, dan Aku tidak akan membiarkannya tidur tenang setiap malam."Kamu ga salah Sri, hanya saja Aku mencintai kalian berdua""Maafkan aku Sri, aku mohon terimalah Widya sebagai madumu." Mas Ilham berjongkok, mengusap air mata Istrinya sambil menggendong Arya."Jadi Kamu berharap Aku akan merestui kalian berdua?" tanya Mbak Sri nyalang, kedua matanya menatapku dan Mas Ilham bergantian."Iya Mbak, Aku & Mas Ilham saling mencintai, bahkan Mas Ilham & Aku sudah saling mencintai, sebelum Mas Ilham mengenal Mbak." Sengaja Aku jelaskan, agar Mbak Sri tau
Semakin lama suara ketukan itu semakin kuat sehingga terdengar seperti seseorang tersebut sedang berusaha merobohkan pintu. Perlahan Aku berjalan ke arah jendela, dan mengintip dari dalam.Ternyata Mbak Sri alias sepupuku tercinta, yang datang dan melabrakku di kossan. Dia datang sambil menggendong anaknya yg berumur sepuluh bulan, kemudian dengan kurang ajar nya dia menggedor-gedor pintu kosanku.Kukira Dia mau marah-marah atau nyakar-nyakar gitu kayak yang di sinetron ikan terbang.Eeehhhh ternyata pas Aku bukain pintu dia malah pingsan."Baru segini aja udah pingsan," gumamku di dalam hati.Demi melanjutkan rencana balas dendam, dengan sangat terpaksa Aku
Aku berjalan menyusuri ruang, menatap hampa pada kehidupan. Untuk apa Aku berada disini, jika kehadiranku tak dianggap ada. Jika takdir telah memilih jalannya, maka izinkan Aku untuk menikmati setiap langkah yang tertulis.Pagi ini sengaja Aku bangun lebih pagi, untuk sarapan di warung yang berada tepat di depan rumah Mbak Sri. Hanya untuk menikmati pemandangan yang luar biasa, yaaaa di depan sana terlihat Mbak Sri yang sedang terlihat terburu-buru masuk ke mobil sambil menggendong bayinya, sementara Mas Ilham nampak mengejarnya dari belakang.Aku tak mendengar jelas apa yang mereka katakan, hanya saja dari bahasa tubuh mereka Aku bisa menyimpulkan, bahwa mereka sedang ada masalah. Huhhhhh baru segini aja udah seru! Kalo gitu besok Aku bikin masalah yang lebih seru lagi, biar tambah wow.
"Jika malam yang menjadi penghalang, maka izinkan Aku menjadi bintang, agar selalu mampu memeluk bulan di tengah gelapnya malam," jawabnya sambil menatap mataku dalam.Kunikmati suasana malam ini, kuikuti alurnya hingga menghasilkan sedikit kebahagian semu bersamanya. Detik demi detik berlalu, Ia masih memelukku, sedangkan Aku kini telah jauh kembali pada kenangan masa lalu.'Jika Pakde telah membuatku kehilangan orang tua dan Adikku, maka saat ini Aku akan membuat Anaknya kehilangan Suami …!' gumamku di dalam hati."Besok akan ada reuni SMA kita, Mas datang kan?" tanyaku."Mas akan datang, bersama kamu," ujarnya, sambil melepaskan pelukannya dan memandang senja yang kini telah berubah menjadi gelap.
Keesokan harinya Aku pergi ke Butik yang telah diserahkan Mas Randi kepadaku. Mas Randi sebelumnya pernah beberapa kali membawaku kemari, dan memperenalkan Aku kepada semua karyawannya. Sementara di sebelah Butik, Berdiri sebuah Restoran Jepang, yang juga telah diserahkan Mas Randi padaku. Beruntung letak Butik dan Restoran tidak jauh dari kosanku, sehingga hanya dengan memesan Taksi online, Aku bisa langsung sampai ke sana. Ada rasa perih ketika Aku melihat Butik, Biasanya ada Mas Randi yang selalu menemani, namun saat ini Ia telah bahagia menyambut kehidupan baru dengan perempuan lain, sehingga melupakanku. "Selamat Pagi Bu," Sapa salah seorang satpam padaku, ketika Aku sampai. "Pagi juga, ini kunci Butik dan ini kunci Restoran, silahkan dibuka pintunya!" ujarku, sam
"Widya," serunya tertahan.Ternyata dunia ini sempit, Dia yang begitu lama menghilang bak ditelan Bumi tiba-tiba muncul di hadapanku, lebih tepatnya di rumah Pakdeku sendiri. Apakah Mbak Sri adalah istrinya?.Lidahku kelu dan leherku tercekat, sulit sekali mengeluarkan kata-kata, padahal sangat ingin Aku membucahkan segala isi hatiku saat ini, dan melontarkan berbagai pertanyan tentang keberadaannya di rumah ini."Kamu ada disini Widya?" ucapnya sambil menjatuhkan bobot tubuhnya pada sofa di depanku, tatapan matanya menatapku lekat."Aku hanya mencari Kosan, sejak kapan Kamu kembali ke Indonesia Mas?" tanyaku, sembari menunduk berusaha menyembunyikan wajahku, agar Ia tak dapat melihat mendung yang hampir menjatuhkan
"Kamu kenapa Sayang?" teriak Mas Randi sambil berusaha membuka pintu kamar mandi. "Perutku sakit banget Mas," lirihku sambil menangis di dalam toilet. "Kamu jaga jarak dari pintu, biar Mas dobrak pintunya," Bugh, Bugh, Bugh... Pintu toilet terbuka. "Ya Allah Widya, Kamu kenapa Nak?" teriak Mama Mas Randi histeris. Aku yang sudah sangat lemas menahan sakit di bagian perut, dan ditambah darah yang keluar begitu banyak, membuatku tak dapat menjawab. Mas Randi segera membopongku dan membawaku ke dalam mobil. Perlahan semuanya terlihat gelap, dan aku tidak sadarkan diri.
"Ayo duduk disini, kita makan bareng," sapa Ibu-ibu yang duduk di meja makan. Mas Randi lantas membukakan satu kursi untukku, aku pun tersenyum manis kepada mereka."Mah, Pah, perkenalkan ini Widya calon Istri Randi," ujar Mas Randi.Tunggu dulu, Whaat? Calon Istri???Bukannya Mas Randi akan mengajakku dinner? Tapi kenapa malah memperkenalkan aku sebagai calon Istrinya? Kata-kata Mas Randi barusan, sungguh membuat keningku berkerut. Mau tak mau aku memaksakan senyum, walaupun sebenarnya bingung."Waahhh, memang pintar kamu memilih calon istri, cantik banget!" ujar Mamanya Mas Randi."Iya dong Ma, selain cantik, Widya ini juga pintar dan banyak membantu perusahaan," tambah Mas Randi sambil menggenggam tanganku
"Tapi Saya kan Mahasiswi teladan Pak, Kalau saya gagal di hari pertama magang nanti Saya malu dong Pak!""Saya suruh Anda keluar dari ruangan Saya!""Saya janji nggak akan terlambat lagi Pak, jangan pecat Saya magang ya Pak,""Siapa bilang Kamu dipecat?""Kan barusan Bapak yang nyuruh Saya keluar ruangan,""Keluar ruangan Saya, dan pergi ke bagian Informasi, nanti disana ada daftar tugas yang harus Kamu kerjakan selama magang disini,""Terima kasih Pak,""Tapi jangan terlambat lagi, ingat itu!"