POV SAFIA"Sayang, setelah Mas tiada, menikahlah dengan Agam. Dia pria yang baik. Mas yakin kamu akan hidup bahagia bersama dia."Ucapan Mas Ridwan sebelum ia meninggal terus saja terngiang dalam ingatan. Ia memintaku untuk menikah dengan sahabat sekaligus atasannya yang bernama Agam. Aku pernah melihat pria itu beberapa kali saat ia mengunjungi Mas Ridwan. Aku dengar, ia seorang duda karena istrinya meninggal akibat kecelakaan.Kesan pertama saat melihat Mas Agam, ia pria yang sangat tampan. Pembawaannya yang santun dan ramah, membuat kharisma dalam dirinya semakin terpancar. Bermimpi saja aku tidak berani untuk bersanding dengan dia. Akan tetapi, ternyata takdir membawaku untuk menjadi pendampingnya. Setelah masa iddahku selesai, Mas Agam langsung menjadikanku istrinya. Awalnya aku menolak karena ini terlalu cepat, tetapi atas desakkan dari Mama, akhirnya aku menerimanya. Akan tetapi, ada sesuatu yang menggangguku selama proses akad berlangsung. Mas Agam sampai dua kali salah meny
POV AgamPeganganku pada tangan Hilya semakin erat. Saat ini kami sedang duduk berdampingan, menunggu Safia yang masih menjalani pemeriksaan. Ia tidak sadarkan diri setelah aku menjatuhkan talak untuknya.Keadaan yang terus menekan, membuatku harus mengambil jalan ini. Aku sudah tidak sanggup menjalani pernikahan poligami ini. Daripada terus-terusan mendzolimi salah satu istri, lebih baik melepas agar dia bisa mencari pria yang lebih baik nantinya.Kulirik Hilya yang wajahnya terlihat sangat cemas. Kuusap pipinya, kemudian ia menoleh padaku."Kenapa?""Aku takut terjadi sesuatu yang buruk pada Safia," jawabnya lirih."Insyaa Allah dia akan baik-baik saja." Kucoba menenangkan, padahal aku pun khawatir hal buruk akan terjadi pada Safia."Kenapa Mas malah memberinya talak? Kenapa tidak aku saja yang dilepaskan?"Pertanyaan Hilya membuatku sedikit tersinggung. Kenapa dia tidak mengerti juga? Aku melakukan ini sebagai bukti bahwa aku tidak ingin lagi kehilangannya."Mas sudah mengambil kep
"Den Guntur?"Hilya reflek berdiri dari duduknya. Wajahnya terlihat semringah sekaligus salah tingkah. Sedangkan pria itu memperhatikan penampilan istriku, mungkin terpukau dengan perubahan Hilya yang tampilannya menjadi berkelas, jika dibandingkan ketika menjadi Melati."Den Guntur kok bisa ada di sini?" istriku memecah keheningan di antara kami. Guntur melirikku sekilas, lalu kembali menatap Hilya. "Restoran ini milik saya," jawabnya yang membuat mata istriku semakin berbinar."Bagaimana kabar kamu? Sudah lebih baik?" Guntur balik bertanya."Alhamdullillah saya baik, Den. Bagaimana kabar Den Fhatur dan teman-teman di sana, mereka sehat?""Alhamdulillah, mereka merindukan kamu."Kulihat wajah istriku berubah sendu. Ini tidak bisa dibiarkan. Aku harus turut campur agar pembicaraan mereka tidak melebar ke mana-mana."Sayang, ajak Mas Guntur ini duduk, dong. Ngobrolnya sambil lanjutin makan," ujarku."Tidak usah, terima kasih. Silakan kalian lanjutkan saja acara makannya," tolak Guntur
"A-apa?!""Kenapa? Jangan pura-pura tidak paham, Agam. Memang begitu, 'kan seharusnya? Wanita yang masih dalam masa iddah, tidak boleh keluar dulu dari rumah mantan suaminya," tutur Mama seraya memperhatikan kami yang sudah berpakaian rapi."Kalian mau ke mana?" tanyanya menyelidik."Kami mau ke Bandung.""Bandung lagi? Ngapain?""Menengok orang yang dulu menolong istriku. Dia sedang sakit keras," terangku."Terus saja manjain istri kamu itu! Kenapa tidak dibiarkan pergi sendiri saja? Kamu, kan harus kerja!" ujar Mama tak suka."Karena di istri Agam." Sengaja kutekankan kata istri agar Mama mengerti. "Lagi pula, pekerjaan bisa dihandle sama Nindi," imbuhku."Lalu bagaimana dengan Safia? Dia di sini sendirian?"Kulirik Safia yang sedari tadi menundukkan kepala, tidak berani menatap ke arahku maupun Hilya."Ada Mbok Parmi sama pekerja yang lain, kok. Dia tidak sendirian," jawabku santai."Ya sudah, Agam harus cepat berangkat, takut terjebak macet. Mama bawa Safia masuk saja, nanti sepul
"Pokoknya Mama tidak setuju kalau Safia tinggal di paviliun. Memangnya kenapa kalau Safia juga tinggal di sini? Jangan bilang kalau kamu takut tergoda sama dia? Iya, kan?"Mama menyeringai jahil, membuatku langsung mendengus tak suka. Sedangkan Hilya langsung menatapku dengan tajam."Mama ngomong apa, sih? Jangan ngaco!" ketusku."Pokoknya keputusan Agam sudah bulat. Selama masa iddah, Safia akan tinggal di paviliun. Kalau dia tidak berani tinggal sendiri, nanti Agam suruh Mbok Parmi untuk menemani dia," putusku final.Kuraih tangan Hilya agar mengikutiku ke kamar kami. Aku biarkan saja Mama dan Safia yang masih duduk di ruang tamu.Sebenarnya hati ini tidak tega memperlakukan Safia seperti ini. Tapi mau bagaimana lagi? Aku pun tidak ingin Hilya merasa tidak nyaman karena kehadiran mantan madunya."Mas.""Hmm.""Kok aku kasihan, ya sama Safia. Apa kita gak terlalu jahat?" Hilya bersandar pada dadaku saat kami tengah berbaring di tempat tidur."Kalau harus jujur, Mas juga merasa sama d
Ego dan cemburu bercampur menjadi satu. Tanpa peduli dengan keadaan diri yang masih sangat lelah, gegas aku berganti pakaian dan menyuruh sopir kantor untuk datang ke rumah. Malam ini juga, aku akan ke Bandung demi menemani istriku yang tengah berduka. Seharusnya aku yang berada di sampingnya, menenangkannya, bahkan memberinya pelukan, bukan pria lain seperti Guntur.Ah, s*al!Di perjalanan, aku duduk dengan gelisah. Sesekali kusuruh sopir untuk mempercepat laju mobil karena sudah tidak sabar ingin secepatnya sampai di sana. Bayangan wajah Hilya yang tengah menangis dan wajah Guntur yang pasti tengah memanfaatkan keadaan, menari dalam pelupuk mata sampai rasa panas kembali menjalar di dalam dada.Dua jam perjalanan dirasa sangat lama. Begitu sampai di pekarangan rumah Pak Hilman yang sudah dipenuhi orang, aku langsung turun dan meminta izin untuk masuk. Tak kutemukan Sandi di sekitar sini. Mungkin anak buahku itu bergabung dengan Bapak-bapak pelayat yang lain.Untuk menghargai keluarg
"Apa benar apa yang Mama katakan, Mas? Kamu hampir saja meniduri Safia?"Kulirik Mama yang tengah tersenyum penuh arti. Aku mendengus kasar menyadari kalau semua ini pasti ulah Mama."Nanti Mas jelaskan. Sekarang, ayok kita ke kamar.""Tidak! Mas harus jelaskan di sini, sekarang juga!"Hilya menolak ketika tangan ini akan menyentuh lengannya. Pandangannya padaku begitu tajam, tidak ada lagi tatapan lembut dan manja."Di kamar saja, ayok!""Aku bilang tidak!""Oke!" teriakku akhirnya. "Waktu Mas sedang tidur. Entah karena masih jetlag atau terlalu merindukan kamu, yang ada di penglihatan Mas itu kamu, bukan Safia. Memang, Mas hampir saja melakukannya, tapi beruntung ada Mbok Parmi yang memergoki dan masuk ke kamar kita. Di saat itulah, Mas baru sadar bahwa itu Safia, bukan kamu," terangku. "Lalu untuk apa Safia berada di kamar kita?""Katanya mau memberitahu kalau makan malam sudah siap."Hilya mendengus seraya tersenyum miring. "Modus banget."Aku beralih menatap Mama yang sejak tad
Sudah satu jam aku berada di sini, duduk di samping Mama yang belum juga sadarkan diri. Keadaannya cukup kritis karena serangan jantung yang dialami beliau, sehingga harus dimasukkan ke ruang ICU. Sampai saat ini, Hilya masih belum aku kabari, sedangkan Safia, sepertinya dia berada di luar karena tadi ia pun ikut mengantar Mama ke rumah sakit.Meskipun rasa kecewa masih menyelimuti hati, tetapi tidak dapat melunturkan rasa sayang dan khawatir yang aku rasakan untuk Mama. Andai saja beliau mau bertobat dan menyadari kesalahannya selama ini, akan kubiarkan dia hidup tenang tanpa harus mempertanggung jawabkan perbuatannya hingga harus mendekam di penjara seperti Mama Mirna."G-gam."Diri ini terperanjat saat mendengar suara Mama. Jemarinya bergerak, menandakan dia telah benar-benar siuman. "Gam.""Iya, Ma. Agam di sini." Kuraih tangan Mama dan menggenggamnya."Ma-mafkan, Mama." ucapnya dengan napas yang tersengal. "Mama jangan banyak bicara dulu, istirahat saja. Agam panggilkan Dokt