"Kita tidak butuh persetujuannya, Mas. Kita nikah siri aja. Saat dia tau nanti, mau tidak mau dia harus siap di madu, jika tidak ... hush." Kutatap Alika tajam yang sedang mengerak-gerakkan tangannya seakan sedang mengusir."Tidak, Alika! Aku tidak akan menceraikan Dewi! Faham kamu!""Ok, Mas! Kalau kamu nggak mau tanggungjawab. Aku akan membunuh anak ini, dan kamu yang harus bertanggungjawab. Kamu telah membunuh darah dagingmu sendiri!" ucap Alika terlihat kesal. Tuhan ... apa yang harus aku lakukan? "Dan ingat, Mas! Bisa saja kamu selamanya tidak akan pernah punya anak! Ingat karma, Mas, jika kamu tega membunuh anakmu," sambungnya lagi di tengah kegundahanku. "Baiklah. Ok, kita menikah siri." Akhirnya aku kalah. Aku harus menikahi Alika demi anak di perutnya. Bayi itu tidak bersalah, kamilah yang bersalah.Alika tersenyum bahagia. "Nah, gitu dong, Mas. Yang namanya darah itu lebih kental daripada air. Apalagi ini darah dagingmu, siapa tau laki-laki, 'kan penerusmu kelak." Tak kuta
"Nggak sabaran amat sih," ucap Sandra menatapku nakal. Dasar!"Apaan sih, Ra. Ayo ... cepetan ngomongnya." Aku mencabik mulut merajuk. Lama-lama bisa mati penasaran."Nggak penting-penting amat sih, Wi. Soal cuti akhir tahun. Mas Diki, ke Singapura kerja, Wi," ucap Sandra seraya melipat tangannya di atas meja."Bagus dong. Sekalian liburan akhir tahun di sana," balasku menatap Sandra. Heran, mau ke luar kota kok nggak semangat. Harusnya kan senang bisa liburan bersama suami."Apanya yang bagus, Wi. Mas Diki tuh di sana kerja, bukan liburan. Malas aku ikut. Yang ada nanti aku bosan, hanya menunggu di hotel. Malas ah.""Kan bisa pas Mas Diki nggak ada kerjaan, sambil jalan-jalan sama kamu.""Mas Diki tuh full di sana, Wi, selama seminggu. Selesai langsung balik Jakarta.""Lah terus." Aku menautkan kedua alis, masih belum bisa mencerna maksud ucapan Sandra. "Gini, Wi. Aku tuh rencana mau ke Bali liburan akhir tahun nanti.""Ya ... pergilah, Ra. Kok ribet amat sih. Lagian masih lama j
Sandra mengangguk seraya menggapai tasnya di atas meja. "Ayo, Wi." Aku dan Sandra melangkah meninggalkan Alika dan Mas Bagas yang masih berdebat. Sehingga satu ucapan menghentikan langkahku dan Sandra."Dewi kembalilah!" Kubalikkan badan menghadap pasangan yang masih berdiri di belakangku, begitupun dengan Sandra."Semua yang terjadi diantara kita, akibat ulah Alika. Dia telah menipuku demi menghancurkan rumah tangga kita. Dia pura-pura hamil," ucap Mas Bagas menatapku lembut. Tatapan yang dulu membuat aku jatuh cinta. Namun tidak sekarang. Tatapan itu hanya butiran debu bagiku. Tak ada artinya lagi."Maaf, Mas! Aku tidak ingin kembali bersamamu. Aku tak pernah menyesal, pernah menikah denganmu, tapi berpisah darimu adalah sesuatu yang amat kusyukuri." Ucapanku membuat laki-laki itu menggeleng, tapi tidak dengan istrinya. Alika menatapku bak singa lapar."Ayo, Ra." Kugandeng tangan Sandra membawanya keluar dari kafe."Dewi ...." Masih bisa kudengar suara Mas Bagas memanggil namaku, t
"Dewi, berhenti!" ucapnya yang membuat aku spontan menolehkan kepala. Pria itu menelan air liur, terlihat sekali gugup di wajahnya. "Apa?" tanyaku memicingkan mata."Apa." Laki-laki itu balik bertanya. Pura-pura bodoh."Barusan kamu manggil apa?" Pria itu menggaruk leher, kikuk."Nggak ... a–ku nggak manggil apa-apa," ucapnya tergagap, khas orang lagi berbohong."Aku dengar, kamu manggil namaku. Tau dari mana namaku?" Kutatap lekat kedua netranya. "Nggak ada, Mbak. Mbak salah dengar. Aku hanya bilang, sebaiknya jangan masuk kantor. Izin aja," ucapnya mengelak, tapi aku yakin tadi tidak salah dengar. Kubalikkan badan, dan berlalu dari hadapan pria itu masuk ke parkiran kantor. Seiring kaki melangkah, otakku terus berputar. Siapa laki-laki itu sebenarnya. Kenapa dia selalu muncul secara tiba-tiba. Ini bukanlah satu kebetulan.Hurf! Kuhela nafas kasar. Meski pikiranku berusaha mengingat, apakah pernah mengenal pria aneh itu di masa lalu, tapi tetap tidak ada dalam memori. Aku yakin t
"Mbak Dewi." Aku menoleh ke asal suara. Ternyata Ibu Irma tetangga sebelah yang memanggil. Wanita berusia empat puluh tahunan itu, menyembulkan kepalanya di tembok pembatas antara rumahnya dengan rumahku."Eh, Bu Irma. Ada apa Bu," tanyaku basa–basi."Tumben jam segini sudah pulang, Mbak. Biasanya sore baru sampai rumah." Kubalas pertanyaannya hanya dengan senyum kecil. "Kenapa tuh jidatnya?" tanyanya lagi tanpa menunggu jawaban pertanyaan sebelumnya."Ini ... tadi jatuh Bu di kantor. Makanya saya pulang awal," bohongku padanya. Iya kali aku bilang ingin di tabrak orang. Belum tentu juga kejadiannya seperti itu. "Ya Allah Mbak Dewi. Hati-hati toh, Mbak." Lagi-lagi aku hanya membalas dengan senyuman. "Eh, iya, Mbak. Tadi ada orang datang ke rumah Mbak." Kali ini aku mengernyitkan dahi mendengar ucapan Bu Irma."Orang? Siapa, Bu? Sandra?" tanyaku merasa heran. Pasalnya hanya Sandra yang selalu datang ke rumah ini."Bukan, Mbak. Bukan Mbak Sandra. Saya juga nggak tau siapa. Orangnya me
"Nggak kok, Mbak. Ini 'kan tempat umum saya nggak ngikutin kamu kok," jawabnya pelan. Akhirnya setelah pertanyaan beruntun dariku, pria ini mau bicara juga."Setiap kali saya ada di mana, pasti kamu juga ada. Apa itu nggak ngikutin!" ucapku sinis."Kamunya aja yang ge-eran," balasnya yang mampu membuat mataku serasa ingin meloncat ke luar. Tak ada lagi kata 'Mbak' di depan namaku. Benar-benar orang yang aneh. Dasar nyebelin."Apa? kege-eran? Halo Bambang, ngapain ge-er sama kamu. Nggak ada untungnya. Ge-er itu, sama Nicolas Saputra, Shah Rukh Khan, lah ini .... sama kamu, yang mukanya pas-pasan di bawah rata-rata," sewotku. Enak aja, bilang aku ge-er sama dia. Padahal memang benar dia yang selalu ada di mana aku ada. Apa itu namanya kalau tidak ngikutin. Dasar siluman!"Sadis amat sih ngomongnya. Jangan galak-galak lho." Kuputar bola mata jengah. Aku serius malah di bawa bercanda."Kamu tuh ya. Jangan ikuti saya la–""Loh ... Pak Rayhan? Kok ada di sini? Mau kemana, Pak?" tanya Sandra
"Wi, lihat deh." Sandra mengulurkan ponselnya padaku. Saat ini kami sedang berada di kamar hotel. Aku dan Sandra hanya memesan satu kamar untuk kami berdua. Setelah menempuh hampir dua jam perjalan, akhirnya kami sampai juga di pulau impian. "Apaan," tanyaku menyambut HP di tangan Sandra. "Pameran," ucapku lirih. Kutautkan kedua alis bingung."Iya ... kesana, yuk!" ajak Sandra. "Di sana itu banyak lukisan antik," sambungnya lagi. Aku menarik kedua sudut bibir, seraya menggelengkan kepala.Sandra memang pecinta barang-barang antik. Entah itu lukisan, koin, bahkan sahabatku itu memilik sepeda ontel yang di belinya dengan harga yang lumayan mahal. Begitulah, jika hobi."Kesana ya," ajaknya lagi setelah tak mendapat jawaban dariku. Aku hanya berdeham menanggapi."Tapi, apa kamu nggak capek, Ra. ini juga sudah hampir sore lho. Apa besok aja," usulku karena melihat hari menjelang sore. Sandra menggelengkan kepalanya cepat. Itulah Sandra, kalau ada maunya, tidak bisa sabar. "Dasar keras
"Wih ... punya pengagum rahasia kamu. Keren," ucap Sandra mengacungkan jempolnya. Apanya yang keren, bikin resah iya."Keren apanya, Ra. Aku malah takut, kok bisa dia melukisku sedetil ini. Aku yakin, pasti orang itu memperhatikanku selama ini.""Bagus dong, Wi, jika ada yang merhatiin kamu," ucap Sandra menaik–turunkan alisnya. "Apanya yang bagus? Aku takut ini. Siapa tau orang jahat ... bisa jadi 'kan.""Penjahat cinta," ucap Sandra cepat. Aku melotot mendengar perkataannya barusan. Hedeh! Kugelengkan kepala mengusir pikiran buruk. Kata orang, terkadang apa yang kita pikirkan bisa saja terjadi di kehidupan nyata. Aku tidak mau prasangka burukku terjadi. Cukup sudah rasa sakit yang selama ini kurasakan, jangan ada lagi.Setelah menutup telponnya, wanita berambut sebahu itu berjalan menghampiri kami. "Maaf, Mbak. Saat ini Pak RA sedang sibuk, tapi beliau minta nomer telpon yang bisa di hubungi. Dia akan menelpon Mbaknya jika nanti sudah tidak sibuk." Aku tersenyum kecil menanggapi u
"Saat aku dan Mas Diki tau, kalau itu kamu. Kami berencana akan mendekatkan kalian. Kayak Mak comblang gitu," ucap Sandra dengan kekehan diakhir kalimat. Aku menyimak semua kalimat dari Sandra tanpa protes. Aku ingin mendengar kenyataan tentang Pak Rayhan. Entah kenapa, hatiku begitu antusias ingin mengetahui semuanya.Sandra menggerakkan kembali badannya ke posisi awal, sahabatku itu menatap langit-langit sejenak sebelum melanjutkan kata. "Wi ... Pak Rayhan itu sangat mencintai kamu. Dalam banget, aku dan Mas Diki saksinya. Dia mengorbankan semuanya untukmu. Bahkan saat dia tau kalau Bagas itu dalang dari putusnya kamu sama Andi, Pak Rayhan marah banget, tapi saat dia kembali, untuk mengungkap segalanya, kamu sama Bagas sudah menikah dan melihatmu bahagia, lagi-lagi dia mengorbankan perasaannya hanya untuk kamu, Wi. Kasian tau!" Dalam hati bersorak riang. Entah kenapa, ada rasa bahagia yang mengalir ikut serta dalam setiap aliran darah, memompa jantung berdebar kencang. Namun seka
Pak Rayhan mengantarku ke hotel tempat aku dan Sandra menginap. Alunan lagu menunggu kamu yang di bawakan oleh Anji, membuat aku semakin terbawa suasana sepanjang perjalanan. "Lagu ini untukmu." Suara Pak Rayhan memecah keheningan malam. Aku menautkan alis mengingat sesuatu. Ku miringkan badan menghadap Pak Rayhan yang sedang menyetir."Jadi ... lagu ini sengaja Bapak nyanyikan saat di pantai waktu itu?" Laki-laki beralis tebal itu melirik sebentar, dan mengukir senyum lalu melihat lagi lurus ke depan. Pembawaannya yang bersahaja, semakin menambah ketampanannya yang seakan tak hilang meski di telan gelap malam. Membuat hatiku berdecak kagum.Pak Rayhan mengangguk pelan. "Iya," jawabnya singkat, tapi memanah tepat di jantung hatiku. "Lirik lagunya, pas denganku yang sedang berjuang menunggumu, pemegang hati." Sumpah! Kata-katanya membuat aku meleleh. Aku yakin, wanita manapun akan mencair, dengan kata-kata Pak Rayhan barusan. So sweet sekali."Gombal." Astaga! Rasanya ingin ku cabe
"Maksudnya?" Ku tautkan kedua alis. "Ya ... anda 'kan Pak Rayhan. Pria aneh yang selalu muncul dimana saja. Di pantai! Di rumah makan Padang! Di trotoar depan kantorku! Di bandara! Sudah kayak siluman," ucapku kesal. Sudah di depan mata saja, masih mau main teka-teki. Bertele-tele.Pak Rayhan menatapku dengan tatapan sayu, lalu menarik kedua sudut bibir. Mengukir senyum yang sangat terpaksa. Pria itu merogoh saku celana mengeluarkan remote, lalu balik badan menghadap layar. Ku perhatikan setiap gerakannya dengan melipat dahi. Heran dan penuh tanya.Aku menatap layar yang sudah berganti poto. Di depan sana, terpampang sebuah poto yang di dalamnya tercetak sosok dua pria. "Mas Andi," gumamku. Aku mengenali sosok yang sedang tersenyum menghadap kamera dengan merangkul pundak teman di sebelahnya. Namun tidak dengan pria berkacamata dengan rambut yang sedikit griting. Sekilas, seperti pernah melihatnya, tapi tidak mengenal."Iya ... dia Andi. Dulu kami adalah teman, dan sampai sekarang
Ting!Lagi-lagi bunyi pesan masuk dari ponsel dalam genggaman. Sangat mengganggu, untuk sesaat aku merasa benci pada benda pipih yang sedanng ku genggam. Dengan ogah-ogahan jari bergerak membuka pesan. Sudah tau siapa pengirimnya, makanya membuka pun dengan setengah hati.[Kenapa belum bersiap, dan turun ke bawah. Katanya ingin tau siapa aku?] Segara kugerakan jempol membalas pesan misterius yang barusan masuk ke HPku.[Mau sholat isya' dulu! Emang kamu nggak sholat?] balasku dengan di iringi emoticon tersenyum miring.[BTW ... kamu cantik di bawah sinar bulan] Spontan kuangkat tangan ke atas hendak melempar ponsel yang ku pegang . Untung saja otakku berfungsi dengan cepat. Ku edarkan pandangan mengelilingi sekitar. Dari atas ke bawah dari samping ke sisi yang lain, tapi tak juga mendapati wujud pria yang menerorku. Balik badan, segera kuseret kaki masuk ke dalam kamar dengan perasaan frustasi. Kepala seraya mau pecah, memikirkan siapa dia. Jiwa penasaran meronta sampai ke ubun-ubu
Ting! HP di tangan bergetar seiring bunyi 'ting' yang melengking. Gagas ku alihkan pandangan pada benda pipih yang sedang menyala di tanganku. Dengan lincah jari-jari menari di atas layar.[Jangan bergidik. Aku bukan hantu, aku manusia.] Spontan leherku kembali bergerak memutar melihat sekitar. Hati mulai kesal, mengikuti teka-teki yang di ciptakan orang misterius yang hanya kukenal nomer telponnya saja. "Kenapa sih?" ucap Sandra penasaran. Wanita berparas ayu menundukkan kepalanya mendekat pada ponselku."Nah, baca sendiri! Kayaknya ada hantu yang mengikutiku," cetusku kesal. Sandra memandangku sesaat penuh tanya, sebelum membaca pesan yang ada di HPku."Penggemar rahasia ternyata," ucapnya tersenyum mengejek. Kucubit lengannya meluapkan rasa kesal. Bisa-bisanya dia masih bercanda sementara hatiku resah gelisah. "Aw ... sakit, Dewi," pekiknya seraya mengelus lengan yang barusan kucubit. Sahabatku itu meringis akibat rasa perih yang di ciptakan oleh cubitanku. "Rasain," dengusku
"Ayo, silahkan dimakan, Wi. Enak lho ini," ucap Rangga. Ku tanggapi dengan anggukan pelan.Rangga menikmati makanannya dengan lahap, namun tidak denganku. Baru dua suapan yang masuk ke dalam mulut, tapi mulutku menolak suapan yang ketiga. Alhasil, aku hanya mengaduk- ngaduk. Entah kenapa, pikiranku tertuju pada sosok Pak Rayhan. Meski sudah berusaha ku cegah, tapi entah kenapa sosok laki-laki aneh itu menerobos masuk ke dalam pikiran tanpa permisi."Kayaknya ... aku harus membenturkan kepalaku, agar kewarasan kembali," rutuk hati kecilku."Kenap nggak di makan? Nggak enak makanannya? Aku tukar ya." "Hah ... e–enak kok." Ku paksakan tersenyum lalu menyuap makanan ke dalam mulut, meski mulut menolak tapi tetap memaksa mengunyah.Rangga menatapku sejenak lalu melanjutkan kembali makannya. Pria bertopi di depanku ini, juga mungkin merasakan hal yang sama denganku, setelah ungkapan cintanya tadi. Sama-sama merasa canggung.Sebenarnya, dari dulu aku ingin sekali bisa dekat dengan Rangga
"Aku akan selalu ada di mana kamu. Aku akan selalu menjagamu." Bukannya menjawab, namun pria ini melantur kemana-mana."Pacarmu tadi mana? Seharusnya, dia tidak membiarkanmu sendirian." Dadaku naik turun mendengar ucapan yang keluar dari bibir laki-laki ini. Benar-benar tidak di saring, seenak jidatnya saja. "Dia bukan pacarku," ucapku ketus seraya membuang pandangan."Oh, kirain pacarmu. Soalnya romantisan di tengah danau." Ku alihkan kembali pandanganku padanya. Mataku semakin tajam menyorot dengan sorotan seakan ingin menelannya hidup-hidup. "Kamu mengikutiku?" tanyaku dengan nada mulai naik satu oktaf."Aku sudah bilang, aku tidak mengikutimu. Aku hanya menjagamu." Ku alihkan kedua netra melihat ke tengah danau. Rasanya, kewarasanku akan segera, habis jika terus bersamanya di sini. "Kemana sih, Sandra ini," rutukku dalam hati. Di saat seperti ini, aku butuh Sandra untuk menyelamatkanku dari laki-laki kurang se-ons ini."Maaf, jika sudah membuatmu tidak nyaman, tapi percayalah,
Aku tersenyum melihatnya. "Jangan di monyong-monyongin itu bibir. Ntar cantiknya hilang lho," ucapku mencandai Sandra."Apaan sih," ucapnya pura-pura merajuk. "Ke kintamani aja yuk!" ajaknya kemudian. Sejenak kupandangi wajah cantik sahabatku itu. "Kenapa ke kintamani? Kenapa nggak ke pantai, Ra." "Ke pantai besok aja. Hari ini aku ingin yang sedikit menantang," ucap Sandra sambil melipat tangannya di atas meja.Sebenarnya, aku lebih suka ke pantai. Entah kenapa berada di tempat itu aku merasa tenang. Meskipun di pantai juga suasananya ramai, apalagi musim liburan seperti ini, tapi berada di pantai ada kepuasan yang kurasakan. "Malah bengong." Sandra menjentikkan jarinya di depan wajahku. "Mikirin apa sih?" tanyanya. Kugelengkan kepala pelan. "Mikirin si pengantar sarapan tadi?" Aku melotot mendengar ucapannya."Sembarangan. Orang aku lagi mikirin pantai," ucapku sewot. Sandra menarik kedua ujung bibirnya seraya mengangkat bahu."Kirain mikirin penggemar rahasia," ucapnya santai.
Duduk di bibir ranjang, aku menggapai ponsel di atas meja kecil. Ingin melanjutkan bacaan cerbungku sembari menunggu Sandra. Ponsel di atas meja samping tempat tidur menjerit nyaring. Alarm menandakan sholat subuh sebentar lagi tiba. kuangkat tubuh, duduk di atas kasur dengan mata masih terpejam. Tangan terulur menggapai benda pipih yang masih menjerit, dengan nyawa masih belum genap sempurna.menurunkan kaki dari atas tempat tidur, kuseret langkah menapaki setiap lantai keramik putih menuju kamar mandi. Di bawah shower nyawa yang tadi masih tertinggal di alam tidur kembali genap. Segar! Aku sudah terbiasa mandi sebelum sholat. Selain di sukai Allah, mandi sebelum subuh juga mempunyai banyak manfaat, salah satunya membuat tubuh segar, juga bisa membuat kulit sehat segar, dan lebih cerah."Ra, bangun sudah subuh," ucapku membangunkan Sandra. Sahabatku itu menggeliat seraya mengangkat tubuhnya duduk."Sudah subuh, Wi," tanyanya, dengan mata terbuka separuh.Aku tersenyum kecil. "Sud