"Kamu tidak boleh masuk!" seru Alika. Selain semua barang Dewi sudah tak ada yang tersisa karena sudah di keluarkan, termasuk poto pernikahannya. Keadaan kamar yang berantakan membuat Alika ketakutan. Dewi pasti tau jika dia mencari sesuatu di kamar itu, sehingga mengobrak-abrik isi kamarnya. Maka sebelum itu Alika harus mencegah agar Dewi tidak bisa masuk ke dalam kamar. Dewi melepas paksa cekalan Alika. Lalu meneruskan langkahnya masuk ke kamar, tanpa peduli jeritan Alika menyuruhnya berhenti. Dewi membulatkan matanya, kaget saat sudah masuk sempurna ke dalam kamar. Bagaimana tidak, baru saja semalam ia meninggalkan rumahnya, Lika sudah semena-mena. Seenak jidatnya mengobrak-abrik isi kamar sampai jadi seperti tempat pembuangan sampah, dan, astaga ... poto pernikahan juga sudah tak ada di tempatnya. Dewi membalikkan badan dan menatap Lika penuh amarah. Tatapan membunuh yang bisa membuat nyali lawannya menciut. Benar saja, melihat wajah Dewi yang telah berubah sangar, membuat Ali
"Tidak boleh! Bibik tidak boleh kemana-mana! Apalagi ikut perempuan itu," ucap Alika lalu mengarahkan telunjuknya ke arah ruang tamu. "Aku yang bawa Bibik ke sini! Maka Bibik tetap di sini, melayaniku!" ucapnya lagi. Bibik menatapku dengan wajah memelas. "Nyonya, saya ikut Bu Dewi aja, Nyah," ucap bibik lagi, mengulang kata. "Tidak! Saya bilang tidak, ya, tidak!" bentak Lika. Matanya mendelik. Madu busuk itu bahkan lupa kalau Bibik adalah orang tua. Dasar tidak berakhlak. "Kau tidak bisa melarang Bibik! Emang kamu siapa, hah. Ayo, Bik," bentakku lalu melangkah mendekati Bibik. Melepas paksa cengkraman tangan wanita yang telah mengambil suamiku itu, pada tangan bibik. "Perempuan sialan! Kenapa kau selalu merampas milikku?" Lika histeris. Wanita itu hampir saja menjambak rambutku jika Sandra gak cepat menghalangi. Huhh! Ku sentak nafas dengan kasar. Apa yang ada di pikiran perempuan ini. Bukankah dia yang telah mengambil suamiku? Kenapa pula aku yang dia bilang merampas milikny
"Ih, Mas. Berhenti panggil aku kayak gitu. Malu, Mas," ucapku merajuk, tapi Mas Fiqri malah mengacak kepalaku yang tertutup jilbab. "Cepatan bersih-bersih. Dasar pemalas. Ini sudah sore," ucap pria itu. Tangannya masih saja di atas kepalaku. "Emang jam berapa, Mas?" tanyaku. Masih dengan nada jutek. "Sudah jam 5, Dewi Afifah." "Apa!" pekik ku, spontan menutup kembali pintu dan berlari ke kamar mandi. Menyambar handuk yang tadi siang kuletakkan di sandaran kursi meja rias. "Astaghfirullah. Aku belum sholat ashar," bisik hati kecilku mengiringi langkah kaki. 'Hanya dengan mengingat Allah, hati akan merasa tenang.' Kalimat ini memang benar adanya. Setelah semua kejadian yang beruntun menimpaku, apakah aku masih bisa setegar ini jika tidak ada campur tangan Tuhan dalamnya. Setelah menyelesaikan rakaat terakhir, kulipat sejadah meletakkannya ditempat semula. Gagas aku mengambil jilbab instan mengenakannya. Meskipun Mas Fiqri sudah seperti kakak bagiku, tapi tetap saja lelaki itu b
Bunyi alarm menjerit ke seluruh penjuru kamar. Teriakkan benda pipihku itu mengejutkan dari indahnya mimpi dalam tidur. Sengaja kupasang alarm setiap menjelang waktu sholat, agar bisa mempersiapkan diri sebelum menghadap sang pencipta. Perlahan kaki ini menuruni ranjang. Bergegas ke kamar mandi. Rutinitas pertama yang selalu mengawali hariku, adalah mandi sebelum subuh. Selain menyehatkan, mandi sebelum subuh juga di contohkan Rasullullah dan sangat di cintai Allah. Meski aku bukanlah seorang yang alim, tapi sebisa mungkin aku mengamalkan apa yang di contohkan Nabi yang aku tau. Menjalankan fardhu dua rakaat dengan segenap rasa. Kulangit kan doa kepada sang penulis takdir. Jika memang Mas Bagas hanyalah takdir sementara untukku. Maka mudahkanlah jalanku untuk mengakhiri takdir ini, dan mendapatkan takdir sesungguhnya. Sayup-sayup kudengan lantunan ayat suci Al Qur'an dari arah luar . Aku tahu itu adalah Mbak Nabila. Kakak iparku itu ternyata bukan hanya cantik bak bidadari, tapi ju
"Loh, Mbak Dewi. Kok sendiri, Pak Bagas mana?" tanya Riko, teman kerja Mas Bagas. Begitulah semua teman kantor Mas Bagas, mereka memanggilku Mbak sementara dengan Mas Bagas mereka memanggil Bapak. Disampingnya berdiri seorang wanita dengan gamis merah muda, dipadankan dengan jilbab segi empat warna senada. Wanita itu istri Riko, kami pernah beberapa kali bertemu. Ia tersenyum padaku dan Sandra. Sejenak aku terdiam, bingung mau menjawab apa. Masalah rumah tanggaku dan Mas Bagas belum ada yang tau. "Oh, ada kok." Bukan aku yang menjawab tapi Sandra. Sahabatku itu memberikan senyum palsunya. Riko memandangku dan Sandra bergantian. Laki-laki berkaca mata putih itu memperlihatkan ekspresi bingung. Namun mungkin tak mau memperpanjang. Jadi ia hanya membulatkan mulutnya membentuk huruf O. "Ya, udah, duluan ya," ucapnya kemudian. Serempak aku dan Sandra mengangguk. Riko berjalan menggandeng tangan istrinya. Meski sudah lama menikah tapi belum juga di beri momongan. Namun, tak lantas
"Ups, maaf! Nggak sengaja!" ucap Sandra mengejek. Ingin tertawa jingkrak melihat wajah Alika. Puas sekali rasanya. Itulah, ingin berbuat jahat malah berbalik padanya. Aku ketawa senang dalam hati. "Apa sih masalahku dengan kamu? Kenapa kamu selalu saja ikut campur, hah!" bentak Lika seraya mendorong bahu Sandra. "Loh, aku kan sudah bilang gak sengaja. Gitu aja lebay. Yuk, Wi, kita cari Mas Diki. Lama-lama di sini bisa ..." ucap Sandra tergantung, tangannya dimiringkan di jidatnya. "Yang, tunggu!" Mas Bagas melangkah lebar mengejarku dan Sandra. Pria itu meninggalkan istri sirinya yang sedang mengumpat sendiri. Bodo amat! Aku tak peduli. Tanpa berpaling aku terus saja mengikuti Sandra yang sedang menyeretku. Mas Bagas bisa menggapai tangan dan menghentikan langkahku. "Apa sih, Gas," ucap Sandra jengkel, karena Mas Bagas menghalangi jalan kami. "Sandra, aku mau ngomong sama Dewi sebentar," pintanya pada Sandra. Sandra hendak protes menolak permintaan Mas Bagas, tapi segera ku c
POV Alika"Perempuan sialan! Sinting!" Mulutku terus saja memaki, mengeluarkan semua umpat kotor. Sudah seperti orang tidak waras. Mengomel sendiri, jadi pusat perhatian semua tamu. Malu rasanya sampai ke tulang sum-sum. Ingin pulang, meninggalkan acara, tapi takut nanti kecolongan. Jadilah aku terpaksa tetap bertahan walau baju basah bagian depan. Mana belang lagi, karena yang ditumpain sirup bukan air putih. Melangkahkan kaki dengan tergesa-gesa. Mata ini liar mencari di mana Mas Bagas dan Dewi. Aku harus selalu berada dekat Mas Bagas. Jangan samapi Mas Bagas berduan dengan Dewi. Bisa-bisa ia mempengaruhi Mas Bagas agar akulah yang dicerai. Bisa saja 'kan? Di depanku, Dewi pura-pura nggak mau, tapi di belakang mana ada yang tau. "Aku memaafkan mu, bukan berarti kembali dan menerima Alika, iya kan, mas!" Masih sempat aku dengar omongan Dewi. Gawat! Kenapa aku merasa ucapan Dewi seolah ancaman untukku. Wanita itu sudah memaafkan Mas Bagas. Bisa aja ia juga membatalkan gugatannya.
Setelah sampai, lekas aku turun membuka pagar dan langsung berjalan menuju pintu utama. Tanpa menutup kembali pagarnya. Biar saja Mas Bagas tutup sendiri, ini adalah bentuk protesku pada pria menyebalkan itu. Mengeluarkan kunci dari dalam tas lalu membuka pintu, lagi-lagi tanpa menunggu Mas Bagas, aku menerobos masuk. Siapa suruh tadi di acara belain Dewi. Seharusnya 'kan dia belain aku, Dewi loh sudah ninggalin dia, sebentar lagi akan digugat cerai. Apalagi mau diharapkan! Lebih baik menghargai orang yang sekarang mau bertahan, iaitu aku. "Dek, bikinin kopi ya. Mas lagi suntuk ini, pengen ngopi," suruhnya. Ku hela nafas panjang lalu menyentaknya kasar. Sabar Lika ... sabar. Tahan, kamu masih perlu bersabar sedikit lagi. Kalau brankas sudah terbuka dan menguasai isinya, baru tunjukkan taringmu. Pasti Bagas tak akan bisa berkutik lagi. Aku mensugesti diri sendiri. Kuletakkan tas jinjing di sofa dan melangkah menuju dapur. Membuatkan pesanan Mas Bagas. Sebenarnya masih kesal pada