"Ih, Mas. Berhenti panggil aku kayak gitu. Malu, Mas," ucapku merajuk, tapi Mas Fiqri malah mengacak kepalaku yang tertutup jilbab. "Cepatan bersih-bersih. Dasar pemalas. Ini sudah sore," ucap pria itu. Tangannya masih saja di atas kepalaku. "Emang jam berapa, Mas?" tanyaku. Masih dengan nada jutek. "Sudah jam 5, Dewi Afifah." "Apa!" pekik ku, spontan menutup kembali pintu dan berlari ke kamar mandi. Menyambar handuk yang tadi siang kuletakkan di sandaran kursi meja rias. "Astaghfirullah. Aku belum sholat ashar," bisik hati kecilku mengiringi langkah kaki. 'Hanya dengan mengingat Allah, hati akan merasa tenang.' Kalimat ini memang benar adanya. Setelah semua kejadian yang beruntun menimpaku, apakah aku masih bisa setegar ini jika tidak ada campur tangan Tuhan dalamnya. Setelah menyelesaikan rakaat terakhir, kulipat sejadah meletakkannya ditempat semula. Gagas aku mengambil jilbab instan mengenakannya. Meskipun Mas Fiqri sudah seperti kakak bagiku, tapi tetap saja lelaki itu b
Bunyi alarm menjerit ke seluruh penjuru kamar. Teriakkan benda pipihku itu mengejutkan dari indahnya mimpi dalam tidur. Sengaja kupasang alarm setiap menjelang waktu sholat, agar bisa mempersiapkan diri sebelum menghadap sang pencipta. Perlahan kaki ini menuruni ranjang. Bergegas ke kamar mandi. Rutinitas pertama yang selalu mengawali hariku, adalah mandi sebelum subuh. Selain menyehatkan, mandi sebelum subuh juga di contohkan Rasullullah dan sangat di cintai Allah. Meski aku bukanlah seorang yang alim, tapi sebisa mungkin aku mengamalkan apa yang di contohkan Nabi yang aku tau. Menjalankan fardhu dua rakaat dengan segenap rasa. Kulangit kan doa kepada sang penulis takdir. Jika memang Mas Bagas hanyalah takdir sementara untukku. Maka mudahkanlah jalanku untuk mengakhiri takdir ini, dan mendapatkan takdir sesungguhnya. Sayup-sayup kudengan lantunan ayat suci Al Qur'an dari arah luar . Aku tahu itu adalah Mbak Nabila. Kakak iparku itu ternyata bukan hanya cantik bak bidadari, tapi ju
"Loh, Mbak Dewi. Kok sendiri, Pak Bagas mana?" tanya Riko, teman kerja Mas Bagas. Begitulah semua teman kantor Mas Bagas, mereka memanggilku Mbak sementara dengan Mas Bagas mereka memanggil Bapak. Disampingnya berdiri seorang wanita dengan gamis merah muda, dipadankan dengan jilbab segi empat warna senada. Wanita itu istri Riko, kami pernah beberapa kali bertemu. Ia tersenyum padaku dan Sandra. Sejenak aku terdiam, bingung mau menjawab apa. Masalah rumah tanggaku dan Mas Bagas belum ada yang tau. "Oh, ada kok." Bukan aku yang menjawab tapi Sandra. Sahabatku itu memberikan senyum palsunya. Riko memandangku dan Sandra bergantian. Laki-laki berkaca mata putih itu memperlihatkan ekspresi bingung. Namun mungkin tak mau memperpanjang. Jadi ia hanya membulatkan mulutnya membentuk huruf O. "Ya, udah, duluan ya," ucapnya kemudian. Serempak aku dan Sandra mengangguk. Riko berjalan menggandeng tangan istrinya. Meski sudah lama menikah tapi belum juga di beri momongan. Namun, tak lantas
"Ups, maaf! Nggak sengaja!" ucap Sandra mengejek. Ingin tertawa jingkrak melihat wajah Alika. Puas sekali rasanya. Itulah, ingin berbuat jahat malah berbalik padanya. Aku ketawa senang dalam hati. "Apa sih masalahku dengan kamu? Kenapa kamu selalu saja ikut campur, hah!" bentak Lika seraya mendorong bahu Sandra. "Loh, aku kan sudah bilang gak sengaja. Gitu aja lebay. Yuk, Wi, kita cari Mas Diki. Lama-lama di sini bisa ..." ucap Sandra tergantung, tangannya dimiringkan di jidatnya. "Yang, tunggu!" Mas Bagas melangkah lebar mengejarku dan Sandra. Pria itu meninggalkan istri sirinya yang sedang mengumpat sendiri. Bodo amat! Aku tak peduli. Tanpa berpaling aku terus saja mengikuti Sandra yang sedang menyeretku. Mas Bagas bisa menggapai tangan dan menghentikan langkahku. "Apa sih, Gas," ucap Sandra jengkel, karena Mas Bagas menghalangi jalan kami. "Sandra, aku mau ngomong sama Dewi sebentar," pintanya pada Sandra. Sandra hendak protes menolak permintaan Mas Bagas, tapi segera ku c
POV Alika"Perempuan sialan! Sinting!" Mulutku terus saja memaki, mengeluarkan semua umpat kotor. Sudah seperti orang tidak waras. Mengomel sendiri, jadi pusat perhatian semua tamu. Malu rasanya sampai ke tulang sum-sum. Ingin pulang, meninggalkan acara, tapi takut nanti kecolongan. Jadilah aku terpaksa tetap bertahan walau baju basah bagian depan. Mana belang lagi, karena yang ditumpain sirup bukan air putih. Melangkahkan kaki dengan tergesa-gesa. Mata ini liar mencari di mana Mas Bagas dan Dewi. Aku harus selalu berada dekat Mas Bagas. Jangan samapi Mas Bagas berduan dengan Dewi. Bisa-bisa ia mempengaruhi Mas Bagas agar akulah yang dicerai. Bisa saja 'kan? Di depanku, Dewi pura-pura nggak mau, tapi di belakang mana ada yang tau. "Aku memaafkan mu, bukan berarti kembali dan menerima Alika, iya kan, mas!" Masih sempat aku dengar omongan Dewi. Gawat! Kenapa aku merasa ucapan Dewi seolah ancaman untukku. Wanita itu sudah memaafkan Mas Bagas. Bisa aja ia juga membatalkan gugatannya.
Setelah sampai, lekas aku turun membuka pagar dan langsung berjalan menuju pintu utama. Tanpa menutup kembali pagarnya. Biar saja Mas Bagas tutup sendiri, ini adalah bentuk protesku pada pria menyebalkan itu. Mengeluarkan kunci dari dalam tas lalu membuka pintu, lagi-lagi tanpa menunggu Mas Bagas, aku menerobos masuk. Siapa suruh tadi di acara belain Dewi. Seharusnya 'kan dia belain aku, Dewi loh sudah ninggalin dia, sebentar lagi akan digugat cerai. Apalagi mau diharapkan! Lebih baik menghargai orang yang sekarang mau bertahan, iaitu aku. "Dek, bikinin kopi ya. Mas lagi suntuk ini, pengen ngopi," suruhnya. Ku hela nafas panjang lalu menyentaknya kasar. Sabar Lika ... sabar. Tahan, kamu masih perlu bersabar sedikit lagi. Kalau brankas sudah terbuka dan menguasai isinya, baru tunjukkan taringmu. Pasti Bagas tak akan bisa berkutik lagi. Aku mensugesti diri sendiri. Kuletakkan tas jinjing di sofa dan melangkah menuju dapur. Membuatkan pesanan Mas Bagas. Sebenarnya masih kesal pada
Aku mendengus kesal. "Liat aja Mas, aku nggak akan membiarkan Dewi kembali masuk ke hatimu. Akan kuusir perempuan itu pergi jauh." Ku kepalkan tangan mengurangi amarah. Gagas kulangkahkan kaki ke luar kamar. Aku akan membersihkan diri di kamar mandi luar. Karena jika Mas Bagas yang dikamar mandi pasti lama sekali. Menunggunya hanya akan membuang waktu saja. Hari ini aku memanjakan Mas Bagas. Mulai dari memanjakan perutnya dan juga birahinya. Karena hari ini Mas Bagas tak ke kantor, akan kubuat hari ini, hari kami berdua, yang lain nyewa. Apalagi Dewi! Wanita itu mah lewat! Hari ini, akan kubuat Mas Bagas sedikitpun tidak mengingatnya. Akan kuusir cantik wanita itu untuk selamanya. Setelah selesai menggosok gigi dan mencuci muka. Kuikat asal rambutku ke atas kepala, hingga membentuk seperti punuk unta. Gagas kakiku melangkah ke luar dari kamar mandi lalu menuju dapur. Ingin membuat sarapan nikmat buat suamiku. Langkah awal dari mencuri perhatian Mas Bagas. Meski sebenarnya masih ke
"Mari, Bu ... silakan ikut kami," ucap Bapak polisi lagi. Karena aku menolak maka terpaksa keduanya menarik tanganku paksa. "Mas, tolongin Mas. Aku nggak mau masuk penjara," ucapku panik. "Pak, saya nggak bersalah. Lepasin, pak!" bentakku mulai memberontak. Tapi kedua polisi itu tidak memperdulikan pemberontakanku. Keduanya terus menyeret masuk ke dalam mobil polisi. "Mas ...." teriakku sebelum betul-betul masuk ke dalam mobil, dan pintu ditutup dengan kencang oleh pak polisi. Sepanjang jalan, aku terus saja memaki Dewi dalam hati. Meski semua perkataan kotor kuucapkan, tak seimbang dengan apa yang telah perempuan sialan itu lakukan padaku. Air mata akhirnya keluar, meski sedari tadi kutahan untuk tidak jatuh. Hatiku sakit atas semua ini. Dewi benar-benar telah menguras kesabaranku. Wanita itu datang merampas kebahagianku, lalu menjadikanku pembantu di rumah suamiku sendiri. Masih tidak puas, sekarang ia melaporkanku karena telah meracuninya. Padahal itu adalah bentuk perlawana
"Saat aku dan Mas Diki tau, kalau itu kamu. Kami berencana akan mendekatkan kalian. Kayak Mak comblang gitu," ucap Sandra dengan kekehan diakhir kalimat. Aku menyimak semua kalimat dari Sandra tanpa protes. Aku ingin mendengar kenyataan tentang Pak Rayhan. Entah kenapa, hatiku begitu antusias ingin mengetahui semuanya.Sandra menggerakkan kembali badannya ke posisi awal, sahabatku itu menatap langit-langit sejenak sebelum melanjutkan kata. "Wi ... Pak Rayhan itu sangat mencintai kamu. Dalam banget, aku dan Mas Diki saksinya. Dia mengorbankan semuanya untukmu. Bahkan saat dia tau kalau Bagas itu dalang dari putusnya kamu sama Andi, Pak Rayhan marah banget, tapi saat dia kembali, untuk mengungkap segalanya, kamu sama Bagas sudah menikah dan melihatmu bahagia, lagi-lagi dia mengorbankan perasaannya hanya untuk kamu, Wi. Kasian tau!" Dalam hati bersorak riang. Entah kenapa, ada rasa bahagia yang mengalir ikut serta dalam setiap aliran darah, memompa jantung berdebar kencang. Namun seka
Pak Rayhan mengantarku ke hotel tempat aku dan Sandra menginap. Alunan lagu menunggu kamu yang di bawakan oleh Anji, membuat aku semakin terbawa suasana sepanjang perjalanan. "Lagu ini untukmu." Suara Pak Rayhan memecah keheningan malam. Aku menautkan alis mengingat sesuatu. Ku miringkan badan menghadap Pak Rayhan yang sedang menyetir."Jadi ... lagu ini sengaja Bapak nyanyikan saat di pantai waktu itu?" Laki-laki beralis tebal itu melirik sebentar, dan mengukir senyum lalu melihat lagi lurus ke depan. Pembawaannya yang bersahaja, semakin menambah ketampanannya yang seakan tak hilang meski di telan gelap malam. Membuat hatiku berdecak kagum.Pak Rayhan mengangguk pelan. "Iya," jawabnya singkat, tapi memanah tepat di jantung hatiku. "Lirik lagunya, pas denganku yang sedang berjuang menunggumu, pemegang hati." Sumpah! Kata-katanya membuat aku meleleh. Aku yakin, wanita manapun akan mencair, dengan kata-kata Pak Rayhan barusan. So sweet sekali."Gombal." Astaga! Rasanya ingin ku cabe
"Maksudnya?" Ku tautkan kedua alis. "Ya ... anda 'kan Pak Rayhan. Pria aneh yang selalu muncul dimana saja. Di pantai! Di rumah makan Padang! Di trotoar depan kantorku! Di bandara! Sudah kayak siluman," ucapku kesal. Sudah di depan mata saja, masih mau main teka-teki. Bertele-tele.Pak Rayhan menatapku dengan tatapan sayu, lalu menarik kedua sudut bibir. Mengukir senyum yang sangat terpaksa. Pria itu merogoh saku celana mengeluarkan remote, lalu balik badan menghadap layar. Ku perhatikan setiap gerakannya dengan melipat dahi. Heran dan penuh tanya.Aku menatap layar yang sudah berganti poto. Di depan sana, terpampang sebuah poto yang di dalamnya tercetak sosok dua pria. "Mas Andi," gumamku. Aku mengenali sosok yang sedang tersenyum menghadap kamera dengan merangkul pundak teman di sebelahnya. Namun tidak dengan pria berkacamata dengan rambut yang sedikit griting. Sekilas, seperti pernah melihatnya, tapi tidak mengenal."Iya ... dia Andi. Dulu kami adalah teman, dan sampai sekarang
Ting!Lagi-lagi bunyi pesan masuk dari ponsel dalam genggaman. Sangat mengganggu, untuk sesaat aku merasa benci pada benda pipih yang sedanng ku genggam. Dengan ogah-ogahan jari bergerak membuka pesan. Sudah tau siapa pengirimnya, makanya membuka pun dengan setengah hati.[Kenapa belum bersiap, dan turun ke bawah. Katanya ingin tau siapa aku?] Segara kugerakan jempol membalas pesan misterius yang barusan masuk ke HPku.[Mau sholat isya' dulu! Emang kamu nggak sholat?] balasku dengan di iringi emoticon tersenyum miring.[BTW ... kamu cantik di bawah sinar bulan] Spontan kuangkat tangan ke atas hendak melempar ponsel yang ku pegang . Untung saja otakku berfungsi dengan cepat. Ku edarkan pandangan mengelilingi sekitar. Dari atas ke bawah dari samping ke sisi yang lain, tapi tak juga mendapati wujud pria yang menerorku. Balik badan, segera kuseret kaki masuk ke dalam kamar dengan perasaan frustasi. Kepala seraya mau pecah, memikirkan siapa dia. Jiwa penasaran meronta sampai ke ubun-ubu
Ting! HP di tangan bergetar seiring bunyi 'ting' yang melengking. Gagas ku alihkan pandangan pada benda pipih yang sedang menyala di tanganku. Dengan lincah jari-jari menari di atas layar.[Jangan bergidik. Aku bukan hantu, aku manusia.] Spontan leherku kembali bergerak memutar melihat sekitar. Hati mulai kesal, mengikuti teka-teki yang di ciptakan orang misterius yang hanya kukenal nomer telponnya saja. "Kenapa sih?" ucap Sandra penasaran. Wanita berparas ayu menundukkan kepalanya mendekat pada ponselku."Nah, baca sendiri! Kayaknya ada hantu yang mengikutiku," cetusku kesal. Sandra memandangku sesaat penuh tanya, sebelum membaca pesan yang ada di HPku."Penggemar rahasia ternyata," ucapnya tersenyum mengejek. Kucubit lengannya meluapkan rasa kesal. Bisa-bisanya dia masih bercanda sementara hatiku resah gelisah. "Aw ... sakit, Dewi," pekiknya seraya mengelus lengan yang barusan kucubit. Sahabatku itu meringis akibat rasa perih yang di ciptakan oleh cubitanku. "Rasain," dengusku
"Ayo, silahkan dimakan, Wi. Enak lho ini," ucap Rangga. Ku tanggapi dengan anggukan pelan.Rangga menikmati makanannya dengan lahap, namun tidak denganku. Baru dua suapan yang masuk ke dalam mulut, tapi mulutku menolak suapan yang ketiga. Alhasil, aku hanya mengaduk- ngaduk. Entah kenapa, pikiranku tertuju pada sosok Pak Rayhan. Meski sudah berusaha ku cegah, tapi entah kenapa sosok laki-laki aneh itu menerobos masuk ke dalam pikiran tanpa permisi."Kayaknya ... aku harus membenturkan kepalaku, agar kewarasan kembali," rutuk hati kecilku."Kenap nggak di makan? Nggak enak makanannya? Aku tukar ya." "Hah ... e–enak kok." Ku paksakan tersenyum lalu menyuap makanan ke dalam mulut, meski mulut menolak tapi tetap memaksa mengunyah.Rangga menatapku sejenak lalu melanjutkan kembali makannya. Pria bertopi di depanku ini, juga mungkin merasakan hal yang sama denganku, setelah ungkapan cintanya tadi. Sama-sama merasa canggung.Sebenarnya, dari dulu aku ingin sekali bisa dekat dengan Rangga
"Aku akan selalu ada di mana kamu. Aku akan selalu menjagamu." Bukannya menjawab, namun pria ini melantur kemana-mana."Pacarmu tadi mana? Seharusnya, dia tidak membiarkanmu sendirian." Dadaku naik turun mendengar ucapan yang keluar dari bibir laki-laki ini. Benar-benar tidak di saring, seenak jidatnya saja. "Dia bukan pacarku," ucapku ketus seraya membuang pandangan."Oh, kirain pacarmu. Soalnya romantisan di tengah danau." Ku alihkan kembali pandanganku padanya. Mataku semakin tajam menyorot dengan sorotan seakan ingin menelannya hidup-hidup. "Kamu mengikutiku?" tanyaku dengan nada mulai naik satu oktaf."Aku sudah bilang, aku tidak mengikutimu. Aku hanya menjagamu." Ku alihkan kedua netra melihat ke tengah danau. Rasanya, kewarasanku akan segera, habis jika terus bersamanya di sini. "Kemana sih, Sandra ini," rutukku dalam hati. Di saat seperti ini, aku butuh Sandra untuk menyelamatkanku dari laki-laki kurang se-ons ini."Maaf, jika sudah membuatmu tidak nyaman, tapi percayalah,
Aku tersenyum melihatnya. "Jangan di monyong-monyongin itu bibir. Ntar cantiknya hilang lho," ucapku mencandai Sandra."Apaan sih," ucapnya pura-pura merajuk. "Ke kintamani aja yuk!" ajaknya kemudian. Sejenak kupandangi wajah cantik sahabatku itu. "Kenapa ke kintamani? Kenapa nggak ke pantai, Ra." "Ke pantai besok aja. Hari ini aku ingin yang sedikit menantang," ucap Sandra sambil melipat tangannya di atas meja.Sebenarnya, aku lebih suka ke pantai. Entah kenapa berada di tempat itu aku merasa tenang. Meskipun di pantai juga suasananya ramai, apalagi musim liburan seperti ini, tapi berada di pantai ada kepuasan yang kurasakan. "Malah bengong." Sandra menjentikkan jarinya di depan wajahku. "Mikirin apa sih?" tanyanya. Kugelengkan kepala pelan. "Mikirin si pengantar sarapan tadi?" Aku melotot mendengar ucapannya."Sembarangan. Orang aku lagi mikirin pantai," ucapku sewot. Sandra menarik kedua ujung bibirnya seraya mengangkat bahu."Kirain mikirin penggemar rahasia," ucapnya santai.
Duduk di bibir ranjang, aku menggapai ponsel di atas meja kecil. Ingin melanjutkan bacaan cerbungku sembari menunggu Sandra. Ponsel di atas meja samping tempat tidur menjerit nyaring. Alarm menandakan sholat subuh sebentar lagi tiba. kuangkat tubuh, duduk di atas kasur dengan mata masih terpejam. Tangan terulur menggapai benda pipih yang masih menjerit, dengan nyawa masih belum genap sempurna.menurunkan kaki dari atas tempat tidur, kuseret langkah menapaki setiap lantai keramik putih menuju kamar mandi. Di bawah shower nyawa yang tadi masih tertinggal di alam tidur kembali genap. Segar! Aku sudah terbiasa mandi sebelum sholat. Selain di sukai Allah, mandi sebelum subuh juga mempunyai banyak manfaat, salah satunya membuat tubuh segar, juga bisa membuat kulit sehat segar, dan lebih cerah."Ra, bangun sudah subuh," ucapku membangunkan Sandra. Sahabatku itu menggeliat seraya mengangkat tubuhnya duduk."Sudah subuh, Wi," tanyanya, dengan mata terbuka separuh.Aku tersenyum kecil. "Sud