“Kamu yakin mau melakukannya?” tanya Robby.
Fakhri terdiam sesaat kemudian tampak sedang berpikir. Robby tersenyum sambil menepuk bahu Fakhri dengan lembut.
“Lebih baik kamu bicarakan dengan Aina dulu. Takutnya dia tidak berkenan dan marah. Lalu hubungan kalian yang sudah membaik akan memburuk lagi.”
Helaan napas panjang keluar dari bibir Fakhri. Dia menganggukkan kepala mengakui ucapan Robby memang benar. Bagaimanapun yang berhak pada Zafran adalah Aina. Kalaupun Fakhri ingin melakukan tes DNA, dia harus izin ke Aina dulu.
“Ya udah kalau gitu. Aku balik kantor dulu ya, Rob. Jangan lupa kabari kalau urusannya udah kelar.”
Fakhri bangkit siap berpamitan. Robby ikut mengantarnya sampai pintu. Baru saja Fakhri keluar ruangan, tiba-tiba ia melihat Rini. Tentu saja Rini langsung menyapanya.
“Mas Fakhri!!” sapa Rini.
Fakhri tersenyum. “Hai, Rin. Kamu kerja di sini sekarang?”
“Rin, kamu jangan menuduh tanpa bukti. Nanti jatuhnya pencemaran nama baik,” ingat Robby.Rini hanya diam, matanya tampak menatap Robby dan entah mengapa seakan sedang menyimpan kesedihan.“Aku tahu … apa yang sedang kamu rasakan. Kamu pasti juga ingin melihat kakakmu bahagia, tapi kamu juga harus ingat kalau yang menjalani semua ini Aina. Apapun yang sudah menjadi keputusannya, harus kamu hargai.”Rini masih terdiam dan menundukkan kepala.“Iya, saya tahu kok, Pak. Maaf, saya jadi melenceng dari pekerjaan.”Robby hanya tersenyum sambil menganggukkan kepala. Kemudian Rini sudah bangkit dan berpamitan kembali ke ruangannya. Seperginya Rini, Robby jadi teringat dengan cerita Fakhri tentang Damar dan Wulan. Damar pernah mengantar Wulan pulang dalam kondisi mabuk. Apa saat itu mereka tidak sengaja bertemu di pub yang sama atau mereka memang sudah lama berteman dan janjian untuk hang out bersama malam itu?
“HEH!!!” seru Aina.Ia sangat terkejut saat Fakhri tiba-tiba berkata seperti itu. Aina tahu jika pria di depannya ini masih menyimpan rasa padanya. Beberapa kali sikapnya yang menunjukkan hal seperti itu. Bahkan dulu, Fakhri mati-matian tidak mau melepaskan Aina. Namun, rasanya tidak mungkin jika Aina memenuhi keinginannya.Fakhri seakan tahu dengan kebingungan Aina. Ia tersenyum menatap Aina dengan sendu.“Aku tahu kamu pasti terkejut mendengarnya. Namun, aku rasa kamu juga tahu kalau aku masih mencintaimu. Aku ingin rujuk, Aina.”Belum ada jawaban dari bibir wanita cantik itu. Malah kini kepalanya menunduk menghindar dari tatapan Fakhri.“Aku yakin … kamu pasti masih meragukan aku. Asal kamu tahu, Aina. Aku sudah jauh berubah. Aku bukan Fakhri yang dulu. Fakhri yang emosional, yang tidak bisa mengatur amarahnya, yang tidak mau mendengar. Aku sudah berubah, Aina. Dan itu semua karena kamu.”Aina ma
“Damar, Mama gak mau tahu. Pokoknya besok kamu harus pulang,” ujar Bu Tika.Damar yang mendengar suara Bu Tika dari ponsel hanya terdiam. Dia bingung, tiba-tiba malam ini Bu Tika menghubungi dan memintanya pulang. Damar masih berada di rumah sakit dan dalam proses pemulihan. Ia ingin benar-benar pulih setelah itu baru kembali ke rumah. Ia tidak mau keluarganya dan juga Aina curiga dengan keadaannya.“Memangnya ada apa, Ma? Urusanku di sini belum selesai.” Akhirnya setelah terdiam beberapa saat Damar bersuara.Terdengar helaan napas panjang Bu Tika di telepon, terlihat sekali jika wanita paruh baya itu kesal.“Kalau kamu tidak pulang besok, kamu akan menyesal.”Alih-alih menjawab pertanyaan Damar, Bu Tika malah mengancamnya. Alis Damar mengernyit dengan mata yang sedang berpikir. Pria manis itu tampak turun dari brankar dan berjalan-jalan sambil memijat keningnya.“Ini berhubungan dengan Aina.”
“Apa maksudmu, Rin?” tanya Aina.Aina sangat terkejut mendengar penuturan Rini. Dia tidak menduga adiknya akan berkata seperti itu. Selama ini, Aina memang tidak mau mencari tahu siapa yang mengerjainya di malam itu. Baginya malam itu adalah aib, dia ingin menutup serta melupakannya. Tak disangka kejadian malam itu malah dibahas Rini.“Apa Mbak gak curiga sama sekali? Aku saja yang mendengar cerita Mbak curiga. Kejadian itu seakan sudah direncanakan sebelumnya. Coba Mbak pikir siapa yang mendapat keuntungan dengan kegagalan Mbak dalam berumah tangga?”Aina terdiam, ia menunduk dan tampak merenung. Setelah terdiam beberapa saat, Rini kembali membuka suara.“Mas Damar, kan?” tebak Rini.Aina tidak menjawab hanya termenung dan entah mengapa kini pikirannya terbuka. Damar bilang kalau sudah lama menyukainya. Bahkan ia memendam rasa itu sejak masih kuliah. Damar memang kakak tingkat Aina, hanya beda jurusan saja.
“Asyik!! Akhirnya aku gak telat, kan?” seru Zafran kegirangan.Fakhri hanya mengulum senyum mendengar celoteh Zafran. Sesekali ia melirik Zafran melalui kaca spion di depannya. Bocah laki-laki itu terus mengulas senyuman sepanjang perjalanan ini. Berbanding terbalik dengan wanita cantik yang duduk di sebelah Fakhri.Aina hanya diam, duduk bersandar sambil melipat tangan di depan dada. Sementara matanya sibuk menatap kesibukan di luar sana. Fakhri melihat Aina dari sudut matanya. Meski Aina terlihat jutek hari ini, tapi ia masih tampak cantik di mata Fakhri.“Kamu ada urusan apa ke sekolah Zafran?” Tiba-tiba Fakhri bertanya memecah keheningan mereka.Aina menoleh sekilas dan berkata tanpa melihat Fakhri.“Biasa, Mas. Mau konsultasi dikit.”Fakhri tidak berkomentar, tapi kepalanya sudah mengangguk.“Nanti kamu langsung pulang saja, aku bisa naik taxi online.”“Eng … jan
“Iya, Tante. Aina memang mantan istri saya,” sahut Fakhri.Aina sangat terkejut mendengar jawaban Fakhri. Ia membalikkan badan dan menatap Fakhri dengan mata membola. Fakhri hanya diam dan tak melepas pandangannya dari Aina. Sementara Bu Tika tampak tercengang, bahkan Damar yang berdiri di sebelahnya diam tak bersuara.“Bukannya istrimu Wulan, Fakhri. Kenapa ---”“Saya rasa Tante bisa tanya ke Damar. Dia tahu apa yang terjadi di antara saya dan Aina,” potong Fakhri dengan cepat.Bu Tika seketika melihat Damar. Wajah wanita paruh baya itu tampak tegang. Matanya menyalang tajam ke Damar. Damar hanya diam menundukkan kepala tak berani membalas tatapan ibunya.“Mama tunggu penjelasanmu di rumah, Damar!!”Tiba-tiba Bu Tika berkata seperti itu sambil berlalu lebih dulu. Tidak ada sepatah kata keluar dari bibir Damar, tapi kepalanya sudah mengangguk. Baru beberapa langkah, Bu Tika menghentikan kakinya
“Mama mohon jangan kamu tunda lagi!!” tandas Bu Tika.Seketika senyum terkembang di raut manis Damar. Damar langsung berhambur memeluk ibunya. Bu Tika membalas pelukannya sambil sesekali mengecup wajah Damar.“Mama suka Aina. Mama juga suka Zafran. Apapun statusnya dulu, Mama tak peduli. Toh, pada akhirnya dia memilih kamu.”Damar kembali tersenyum menganggukkan kepala sambil menatap Bu Tika penuh kasih.“Biar Mama yang bicara dengan Tante Rahma agar Fakhri mengikhlaskan Aina. Mama yakin Fakhri akan menuruti apa kata ibunya.”Lagi-lagi senyum kemenangan terlihat di raut manis Damar. Ia senang pada akhirnya Bu Tika mau menerima Aina sepenuhnya. Kini tinggal Damar kembali menyakinkan Aina. Dia tidak mau Aina berpaling darinya.Baru satu bulan lebih ia tinggal, Fakhri sudah beraksi dengan cepat. Rasanya dia memang harus membicarakan hal ini dengan Fakhri. Bukankah pria itu sudah berjanji akan mundur teratur s
“Yups, benar sekali. Kenapa juga kamu tampak kaget begitu? Apa Wulan tidak memberitahumu?” tanya Fakhri.Damar semakin terkejut mendengar pertanyaan Fakhri. Sementara Fakhri tersenyum masam sambil menggoyangkan kakinya. Mata pria tampan itu tak sedikit pun lepas dari Damar.“Aku tahu kamu mengenalnya dengan baik. Bukankah kamu juga pernah mengantarnya pulang saat Wulan mabuk.”Lagi-lagi ekspresi panik terlihat di wajah Damar. Ia terlihat gugup dan buru-buru menghindar dari tatapan Fakhri. Tentu saja reaksi Damar membuat Fakhri curiga. Namun, kali ini bukan hubungan Damar dengan Wulan yang ingin dia bicarakan.Fakhri berdecak, kemudian tiba-tiba bangkit dari duduknya. Ia menepuk tangannya berulang sambil tersenyum menatap Damar.“Aku rasa sudah cukup pembicaraan kita hari ini. Jadi, asal kamu tahu. Mulai hari ini kita bersaing mendapatkan Aina.”Damar mendongak, membuat mata mereka beradu. Fakhri membalas t
“Saudari Wulan Ariani terbukti bersalah telah melakukan penggelapan uang perusahaan … .” Hari ini adalah hari pembacaan keputusan sidang untuk Wulan. Semua bukti yang terkumpul untuk kejahatan yang dilakukan Wulan sama sekali tidak disangkal dan Wulan mengakuinya. Bahkan dia juga mengaku telah menukar bayi Fakhri dan Aina serta menjebak Aina dengan memberi minuman obat perangsang. Fakhri yang ikut hadir di sana hanya diam mendengarkan. Sesekali ia melirik Wulan yang duduk di kursi pesakitan. Wulan sudah jauh berbeda. Wajahnya tidak secantik dulu, rambut indahnya juga tampak ditata dengan asal apalagi kini tubuhnya semakin kurus tidak seksi seperti dulu. Kalau boleh jujur, Fakhri kasihan melihatnya. Aina yang duduk di samping Fakhri hanya diam. Ia sadar siapa yang sedang diperhatikan suaminya saat ini. Aina tidak berkomentar dan terus memperhatikan Fakhri. “Kamu mau menemuinya?” Tiba-tiba Aina bertanya usai pembacaan keputusan berakhir. Fakhri menghela napas dan melihat Aina.
“Udah, Mas. Mau sampai berapa kali kamu melakukannya?” dumel Aina.Ia berkata sambil menyingkirkan wajah Fakhri yang menempel di dadanya. Fakhri terkekeh sambil terus mendaratkan beberapa kecupan di sana. Ia sama sekali tidak mau melepas pelukannya ke Aina.“Memangnya kamu lupa, kalau Ibu bersama Zafran dan Ryan minta oleh-oleh adik. Makanya aku berusaha mewujudkannya.”Aina berdecak, sambil menyelipkan rambut ke belakang telinga. Fakhri sudah mengangkat kepalanya dan kini duduk bersandar di samping Aina.“Iya, aku tahu. Namun, ini sudah sore, Mas. Kita bahkan melewatkan makan pagi dan makan siang. Aku laper.”Fakhri mengulum senyum saat melihat ekspresi Aina. Kalau mau jujur dia juga sudah merasa lapar. Namun, rasanya Fakhri tidak mau kehilangan satu momen pun dengan Aina.“Ya sudah, aku pesan makanan dulu.”Fakhri membalikkan tubuhnya dan bersiap meraih telepon yang ada di nakas. Namun
BRAK!!!Pintu kamar tertutup dan Fakhri hanya diam melongo berdiri di depannya. Matanya mengerjap berulang saat menyadari jika dirinya sudah berada di luar kamar.“Fakhri!! Kamu ngapain di sini?” seru Bu Rahma.Wanita paruh baya itu terkejut saat melihat putranya berdiri di depan pintu kamar dengan ekspresi wajah bingung. Fakhri menoleh sambil menghela napas panjang.“Istriku baru saja disabotase Zafran dan Ryan, Bu.”Sontak Bu Rahma terkekeh mendengar aduannya.“Sudah, biarin saja. Toh, kamu tadi siang sudah melakukannya. Lagian besok kalian sudah berangkat untuk honeymoon. Jadi biarkan anak-anak bersama bundanya malam ini.”Fakhri menghela napas panjang sambil menganggukkan kepala. Untung saja, tadi siang dia sudah melakukan pemanasan tiga ronde dengan Aina, kalau tidak pasti sangat kesal malam ini.“Apa mau ditemani Ibu tidur, Fakhri?” Tiba-tiba Bu Rahma bersuara dengan menggod
“Fakhri!! Kamu ke mana aja? Dari tadi Ibu telepon gak diangkat!” Suara Bu Rahma langsung terdengar di telinga Fakhri.Fakhri menguap lebar sambil mengucek matanya. Usai ijab kabul di KUA, harusnya Fakhri bersama Aina merayakan resepsi dan tasyakuran di rumah Bu Rahma. Namun, Fakhri malah sengaja mengajak Aina pulang ke rumah baru mereka dan menikmati malam pernikahan lebih awal.“Aku ngantuk, Bu,” jawab Fakhri sambil menguap.“Ngantuk? Memangnya kamu di mana? Kenapa juga Pak Udin gak balik ke rumah?”Pak Udin adalah sopir Fakhri yang baru dan kebetulan tadi Fakhri menyuruhnya untuk istirahat. Sepertinya Pak Udin menurut perintahnya.“Banyak tamu mencari kamu dan Aina. Mereka pengen ketemu, Fakhri.”Fakhri menghela napas panjang. Dari awal, Fakhri dan Aina memang tidak mau melakukan perayaan. Toh, ini bukan pernikahan pertama mereka. Hanya Bu Rahma saja yang telah mengundang para tamu hingga mer
Rabu pagi, satu minggu kemudian tampak kesibukan di rumah Bu Rahma. Wanita paruh baya itu tampak berjalan mondar mandir dari ruang tamu ke kamar Fakhri. Wajahnya terlihat gelisah saat melihat pintu kamar Fakhri masih tertutup rapat.“Ryan, Zafran, coba periksa ayahmu!! Kenapa dari tadi belum keluar? Nenek takut kita datang terlambat ke KUA,” ujar Bu Rahma.Hari ini memang hari pernikahan Fakhri. Sesuai permintaan Aina, mereka akan melakukan jiab kabul di kantor KUA. Setelahnya akan mengadakan tasyakuran dan resepsi sederhana di rumah Bu Rahma.Sebenarnya Bu Rahma ingin merayakan pernikahan kedua putranya ini dengan meriah, tapi Aina dan Fakhri menolaknya. Mereka tidak mau lelah, bahkan sehari setelahnya akan melakukan perjalanan keluar negeri untuk honeymoon.“Iya, Nek!!” Ryan dan Zafran menjawab berbarengan.Mereka berjalan beriringan menuju kamar Fakhri. Baru saja Ryan hendak mengentuk pintu kamar Fakhri, tiba-tiba handel
“TUNGGU!!! STOP!!! Jangan bilang kamu mau mencabut gugatanmu ke Wulan!!” sahut Robby.Rini yang mendengar ucapan Robby tampak terkejut. Hal yang sama juga ditunjukkan Fakhri, sayangnya Robby tidak bisa melihat reaksinya kali ini.“HEH??? Mencabut gugatan ke Wulan? Siapa juga yang mau mencabut gugatan?” ucap Fakhri.Sontak helaan napas panjang keluar dengan kasar dari bibir Robby, bahkan pria bermata sipit itu sudah mengurut dadanya.“Lalu kamu mau minta tolong apa tadi?”Fakhri mendengkus sambil melirik interaksi Aina bersama Zafran dan Ryan di ruangannya.“Aku mau minta tolong kamu percepat pernikahanku.”Kini berganti Robby yang terkejut, mata sipitnya melebar usai mendengar permintaan Fakhri.“Bukannya tinggal dua minggu lagi. Kenapa mau dipercepat lagi?”Fakhri tersenyum sambil menyembunyikan wajahnya. Ia berdiri dan menjauh dari Aina serta kedua putranya. F
“Sayang … kok kamu ngomong gitu?” tanya Fakhri.Aina tidak menjawab, malah kini yang berganti menundukkan kepala. Dia paham hanya wanita kedua yang datang ke hati Fakhri. Meski pada akhirnya Fakhri lebih memilihnya, tapi setidaknya ada kenangan indah antara Fakhri dan Wulan.“Aku sama sekali gak bermaksud akan membahas ke arah sana. Aku sudah tidak mencintainya. Aku hanya sekedar memberitahumu mengenai keadaan Wulan.” Fakhri menambahkan kalimatnya dan terkesan sedang membuat pembelaan.Aina menghela napas panjang sambil mengangkat kepalanya. Matanya bertemu dengan netra coklat Fakhri dan terdiam untuk beberapa saat.“Aku juga sama sekali gak masalah jika kamu mengenang momen dengannya. Dia cinta pertamamu, bagaimanapun ada kenangan indah antara kamu dan dia. Bisa jadi itu yang membuatmu melankolis seperti ini.”Suara Aina terdengar datar, tidak tertangkap dia sedang sedih apalagi cemburu. Hanya saja Fakhri
“Sialan!! Bangsat!! Jadi kamu yang menyebabkan kecelakaanku?” sergah Wulan.Damar tersenyum sambil berdiri menjauh dari sisi brankar. Wajah Wulan sudah merah padam dengan bunyi gigi yang saling beradu belum lagi tangannya yang sudah mengepal seakan hendak melayangkan sebuah pukulan ke Damar.“Kalau iya, kenapa? Kamu ingin membalasku, Wulan?”Tidak ada jawaban dari Wulan. Ia duduk bersandar ke bantal dengan dada kembang kempis mengolah amarah dan wajah yang semakin merah.“Bukankah kamu juga yang telah menabrakku tempo hari hingga membuatku tak berdaya.”Wulan membisu dan buru-buru memalingkan wajah.“Aku rasa kita sudah impas, Wulan. Aku akan mencabut gugatanku dan melupakan semua. Sayangnya, kamu tidak bisa melakukan hal yang sama seperti aku.”Wulan belum menjawab, tapi wajahnya sudah meredup bahkan tatapan matanya tampak sayu. Dengan sendu Wulan menatap kaki kanannya yang kini dibabat
“APA!!! Mama mau bunuh diri?” seru Devi.Amar yang duduk di sebelah Devi tampak terkejut. Tanpa banyak bertanya, ia langsung menjalankan mobilnya meninggalkan rumah Fakhri lebih dulu. Fakhri yang berada di dalam mobil mengabaikannya. Bisa jadi Amar dan Devi punya kepentingan lain yang harus dilakukan.Selang beberapa saat Devi dan Amar sudah tiba di rumah sakit tempat Bu Vita dirawat. Wanita paruh baya itu tampak tergolek lemah di atas brankar dengan kedua pergelangan tangannya di babat perban.Devi baru saja dijelaskan oleh perawat yang bertugas jika Bu Vita berusaha mengakhiri hidupnya dengan menyayat pergelangan tangan menggunakan pecahan cermin di kamarnya. Bu Vita shock saat tahu kenyataan tentang Wulan.“Memangnya siapa yang memberitahu keadaan Kak Wulan ke Mama? Bukannya hanya kita yang diberitahu dokter,” gumam Devi.Ia seolah sedang berbicara pada dirinya sendiri. Amar yang berdiri di sebelahnya hanya diam sambil menatap Bu Vita dengan iba.“Sebenarnya beberapa saat yang lalu,