Bab 8

Vioni tetap duduk di kursi depan.

Dia awalnya mengira dirinya sudah cukup kebal, tetapi saat ini, dia masih merasakan sakit yang menusuk di hatinya.

Rasanya seperti ada sesuatu yang sedang menggigit di dalam sana.

Vioni tiba-tiba teringat pada sebuah kejadian lama.

Itu terjadi tidak lama setelah dia kembali ke keluarga Tiura.

Vioni mengingatnya dengan sangat jelas, hari itu bahkan turun hujan.

Ibunya secara pribadi menjemput dia dan Sally dari sekolah untuk pulang ke rumah.

Namun, di perjalanan, mereka mengalami kecelakaan mobil.

Meskipun kecelakaan itu tidak terlalu serius, pengemudi, demi menghindari kendaraan di belakang, menabrak pembatas jalan yang dipenuhi tanaman hijau.

Saat itu, kepala Vioni terbentur kaca, dan dia langsung jatuh pingsan.

Meskipun dalam keadaan pingsan, dia masih dapat dengan jelas melihat, ibunya melewatinya dan menangis sambil memeluk Sally yang ada di sebelahnya.

Pada saat itu juga, Vioni baru menyadari bahwa mereka mencarinya kembali hanya karena darah mereka mengalir dalam tubuhnya.

Namun, bagi mereka, Sally adalah putri yang sungguh mereka sayangi.

Setelah memahami hal ini, Vioni memaksa dirinya untuk melupakan kejadian tersebut.

Karena setiap kali mengingatnya, dia hanya akan merasa makin sedih.

Namun, sekarang dia mengingatnya lagi.

Hanya saja, orang yang memeluk Sally kini bukan lagi ibunya, melainkan suaminya.

Tidak tahu sudah berapa lama, Vioni akhirnya turun dari mobil.

Saat itu juga, suara guntur terdengar menggelegar di langit.

Hujan deras turun dengan lebat.

Vioni sudah mempercepat langkahnya, tetapi jarak antara tempat Felix memarkir mobil dan pintu rumah cukup jauh, sehingga pada akhirnya dia tetap basah kuyup.

Lampu di lantai atas menyala.

Satu lampu dari kamar Sally, satu lagi dari ruang kerja Felix.

Jelas, Felix bahkan tidak menyadari bahwa Vioni belum masuk rumah.

Vioni berdiri di tempat selama beberapa saat sebelum memastikan hal ini, lalu mengangkat kakinya yang sedikit kaku dan perlahan naik ke lantai atas.

Layar ponselnya tiba-tiba menyala.

Itu adalah panggilan dari nomor yang tidak dikenal.

Vioni melihat nomor itu, dan tiba-tiba teringat sesuatu, langkahnya pun terhenti di tempat.

Saat dia menatap nomor yang berkedip di layar, ragu apakah harus menjawab atau tidak, orang di ujung sana malah memutuskan panggilan tersebut.

Entah mengapa, pada saat layar ponselnya kembali gelap, Vioni justru merasa lega.

Namun, tak lama, orang tersebut menelepon lagi untuk kedua kalinya.

Vioni sangat mengenalnya, jadi kali ini dia tidak lagi ragu dan langsung mengangkat panggilan tersebut.

"Vivi."

Sudah sangat lama sejak terakhir kali dia mendengar panggilan ini.

Sehingga saat dua kata itu terdengar, dia bahkan merasa sedikit bingung.

"Itu aku," katanya, "Aku Andreas."

"Hmm," jawab Vioni dengan suara pelan, "Kamu ... sudah pulang dari luar negeri?"

"Belum," dia tertawa pelan di seberang sana, "Tapi sebentar lagi. Aku sudah pesan tiket untuk lusa. Kamu ada waktu? Bisakah kamu jemput aku?"

Vioni tidak menjawab.

"Nggak leluasa, ya?" Andreas segera menangkap perubahan suasana hatinya, "Nggak apa-apa, aku bisa pulang sendiri. Cuma ... setelah sekian lama nggak bertemu, akhirnya ambil keputusan pulang, aku harap orang pertama yang kulihat adalah kamu."

"Aku sudah menikah."

Vioni tiba-tiba berkata.

"Aku tahu." Jawaban Andreas sama sekali tidak terkejut. "Dengan putra dari Keluarga Soris, ya? Lagi pula, Grup Harmonis adalah perusahaan besar yang terkenal. Pernikahan sang direktur utama ... bahkan aku yang di luar negeri pun tahu."

Vioni tidak menjawab.

Setelah diam beberapa saat, Andreas bertanya padanya, "Vivi, apa kamu bahagia sekarang?"