Share

Bab 33

Penulis: Dyah Ayu Prabandari
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

Kepergian Febi diiringi tatapan sinis dari orang-orang padaku.Samar-samar terdengar mereka menjelek-jelekan diriku.

"Janda ternyata, pantas merebut tunangan orang."

"Penampilannya sih alim, tapi kelakuannya busuk."

"Dasar pelakor."

Ucapan itu sulih berganti memenuhi telingaku. Mendengar hujatan orang yang tak tahu siapa diri ini, Bahkan mereka sama sekali belum mengenalku. Tapi mengapa mereka tega mengeluarkan kata-kata itu padaku. Sungguh kejam!

Tiba-tiba kakiku lemas, seperti tak ada tenaga. Akhirnya aku luruh di lantai. Beristighfar berkali-kali, menahan amarah yang ada di dada. Bulir bening berlomba-lomba turun, menetes membasahi pipi. Merasakan nyeri di ulu hati.

Sebenarnya apa salahku?

Bahkan aku dan Maaf Romi hanya berteman.

Tapi kenapa Febi tega mempermalukanku begini?

Mengobrak-abrik tokoku. Apakah begitu hina seorang janda? Hingga stigama buruk melekat padaku. Ya Robb... Kuatkan aku.

Aku masih terdiam di tempat. Merenungi nasib yang selalu tak berpihak padaku. Apa dosa
Bab Terkunci
Membaca bab selanjutnya di APP

Bab terkait

  • Maaf Mas, Aku Tega!    Bab 34

    "Selamat pagi...," sapaku pada Maya."Pagi,Mbak Nita, nampaknya lagi berbunga-bunga nih. Ada apa gerangan?""Bukan apa-apa,masuk dulu ya." Kulangkahkan kaki menuju ruangan. "Anita...," ucap Mas Romi saat berpapasan denganku. Ya Allah...Baru ingin menghindar tapi kenapa justru bertemu pagi-pagi begini. Suratan Illahi sepertinya tak berpihak padaku."Iya Pak, ada yang bisa saya bantu?" Kuberikan senyum kaku, ya senyum yang kupaksakan."Tidak ada Nit, bagaimana pembukaan toko pakaian kamu?" tanyanya penasaran.Diam, bingung harus menjawab apa. Mau jujur kalau toko hancur karena Febi tapi takut dikira mengadu domba. Apalagi kalau benar mereka masih bertunangan. Dikiranya aku pelakor lagi. Apa mungkin Mas Romi percaya padaku? Lebih baik jika Mas Romi tau dari orang lain, bukan dari mulutku sendiri."Baik kok Pak,saya permisi ke ruangan saya." Kutinggalkan Mas Romi yang masih diam terpaku menatapku.****Pukul sebelas lebih, tapi berkas laporan masih banyak di meja kerjaku. Rasanya kepal

  • Maaf Mas, Aku Tega!    Bab 35

    Kuatur nafas, mengatur irama detak jantung yang tak menentu. Ada rasa bahagia saat mendengar Mas Romi mengungkapkan rasa cinta padaku. Tapi entah kenapa, rasa itu tak lagi sama. Teringat dulu saat dia mengajakku pergi membeli buku hanya berdua. Betapa berbunga-bunga hatiku kalau itu,sampai tak sanggup aku ungkapkan dengan kata. Tapi kali ini rasa itu tak kembali muncul. Hanya rasa bahagia, debarnya pun tak lagi sama. Apa mungkin rasa itu telah berkurang? Atau saat ini aku hanya terobsesi dengan cinta pertamaku. Ah, entahlah ... Hanya Tuhan yang tau. Takku hiraukan ucapan Mas Romi,kulangkahkan kaki menuju pintu. Ku pegang knop pintu, kuputar. Belum sempat pintu itu terbuka, Mas Romi sudah mencengkeram tanganku. "Aw...sakit Mas." Segera Mas Romi melepas cengkramannya. "Tolong jangan pergi menghindariku,Nit. Aku sangat mencintaimu." Matanya sudah berkaca-kaca. "Maaf Mas, orang tuamu tak menyukaiku.Tolong jangan hubungi aku lagi, aku lelah Mas, selalu dibilang menggoda kamu. Aku m

  • Maaf Mas, Aku Tega!    Bab 36

    "Nit ... Nita." Indah menepuk pelan pundakku, menyadarkan dari lamunan tentang Mas Deni. "Iya," jawabku dengan air mata yang belum mengering. "Sabar, ini sudah kehendak Illahi. Mau melayat hari ini atau besok. Mungkin satu jam lagi jenazah sudah berada di kediaman Mas Deni.""Besok saja,ini sudah terlalu malam." Kulihat jarum jam sudah menunjukkan angka sebelas. "Besok biar ditemani Intan,ya." Kuanggukan kepala saat mulut ini terasa kelu hanya untuk sekedar menjawab. Merebahkan badan di atas kasur, mencoba memejamkan mata, tapi bayang Mas Deni menari-nari di benakku. Tiga tahun bukan waktu yang sebentar untuk mengenal Mas Deni, walaupun akhirnya dia tega menancapkan belati di hati.Masih terngiang-ngiang di telingaku, Mas Deni meminta rujuk padaku. Maaf,Mas aku tega padamu, tapi semua karena ulahmu. Kamu menuai apa yang kamu tanam,Mas. ***Intan melajukan mobil dengan kecepatan rata-rata membelah keramaian ibu kota. Kulihat jam tangan, baru menunjukan pukul delapan pagi. Pemakam

  • Maaf Mas, Aku Tega!    Bab 37

    "Mas Yusuf," ucapku kaget. "Mbak Nita apa kabar?" Senyum manis terlukis dari bibir indahnya. "Alhamdulillah baik, seperti yang mas lihat.""Mas Yusuf gak tanya aku gitu? Aduh beneran jadi obat nyamuk nih," ucap Intan kesal. "Ha ha ha...." Aku dan Mas Yusuf tertawa serempak. Sesaat mata kita saling bertemu, Mas Yusuf seperti salah tingkah saat kulihat, rona merah terlihat di pipinya. "Nadia tidak ikut,Mas?" "Nadia sama Omanya,Mbak.""Mbak Nita sama Mas Yusuf cocok lho,buruan Mas Yusuf halalin Mbak Nitanya sebentar lagi masa iddahnya selesai lho."Uhuk... Uhuk.... Ucapan Intan berhasil membuatku tersedak. Intan ada-ada saja dia. Hening, suasana canggung menyelimuti makan kali ini. Gara-gara Intan jadi serba kaku begini. Si Intan justru tidak merasa bersalah sama sekali. "Hari minggu besok ada acara tidak,Mbak Nita?" tanya Mas Yusuf, bukan mencairkan suasana tapi menambah tegang saja. "Paling ke toko Mas, memangnya ada apa,ya?""Pasti mau ngajak jalan, atau gak mau ke rumah sa

  • Maaf Mas, Aku Tega!    Bab 38

    Pov YusufAku mengenalnya secara tak sengaja. Pertama melihatnya tak ada rasa. Bagiku dia wanita pada umumnya. Hingga pertemuan kedua kali, entah mengapa Nadia begitu menyukainya.Bahkan memanggilnya mama, padahal sudah kujelaskan bahwa mamanya sudah tenang di surga. Tapi dia tetap kekeh memanggilnya mama. Kulihat wanita itu, ternyata dia begitu lembut dan penyayang, sorot matanya teduh,begitu keibuan, pantas saja Nadia jatuh hati padanya. Bahkan aku jadi mendoakan yang buruk untuknya. Tapi sungguh wanita itu telah mencuri hatiku, padahal namanya saja aku tak tahu. "Bapak...!" teriakan Bik Surti mengagetkanku. "Ada apa,Bik?" tanyaku sambil melangkahkan kaki menuju tempat Bi Surti berada. "Non Nadia panas,Pak," ucapnya sambil berjalan ke kamar putri kecilku. Dengan cepat kuikuti Bu Surti. Telapak tangan kutempelkan di dahi Nadia, benar-benar panas. "Kita bawa Nadia ke rumah sakit,Bik," ucapku sambil membopong Nadia menuju mobil. Bik Surti mengikutiku dari belakang. Sepanjang perj

  • Maaf Mas, Aku Tega!    Bab 39

    Ibu ini kalau bicara langsung kepokoknya, tanpa basa-basi. Bagaimana kalau Anita tersinggung. "Saya memang sangat menyayangi Nadia Bu,bahkan sudah saya anggap seperti anak saya sendiri. Nadia sangat mengemaskan ...." Anita menjeda ucapannya. "Tapi untuk menikah dalam jangka waktu dekat, saya belum kepikiran Bu, saya masih ingin sendiri. Masa iddah saya juga belum selesai."Tak bisa kututupi rasa kecewaku dengan jawaban Anita. Tapi mau apa, toh ini keputusannya. Mungkin aku saja yang terlalu berharap padanya. Atau mungkin aku terlalu cepat mengungkapkannya. "Aku akan menunggumu sampai kamu benar-benar siap," ucapku mantap. Anita menganggukkan kepala,sepertinya dia memberi lampu hijau padaku. Alhamdulillah... Aku akan berusaha meluluhkan hatimu.Hari ini akan kunyatakan lagi perasaan ini pada Nita. Semoga saja kali ini dia menerimaku dan segera akan ku halalkan dia.Pukul sepuluh kulajukan mobil perlahan, menyusuri padatnya jalanan ibu kota. Hari ini tak ada jadwal ke pengadilan ma

  • Maaf Mas, Aku Tega!    Bab 40

    Pov RomiAku duduk terpaku menatap kepergian Anita, wanita yang benar-benar aku cintai.Tadinya aku sangat berharap dia akan menerima cintaku. Tapi ternyata aku salah. Anita menolakku,dan aku tau alasannya. Karena mama tak merestui hubungan kami, mama pikir janda itu murahan. Sehingga beliau sangat menentang hubungan kami. Bagi Anita sendiri, restu adalah hal utama. Tapi bukankah kita bisa berjuang untuk mendapatkan restu. Aku sangat yakin dengan kelembutan Anita, pasti mama akan luluh juga.Apa kamu tak mencintaiku, Nit? Apa ada orang lain di hati kamu? Kenapa kita tak mencoba dulu? Aku tahu perkataan mama menyakitkan, ingin rasanya aku membelamu kala itu. Tapi aku takut akan menjadi anak durhaka. Bukankah kamu tahu, surgaku ada ditelapak kaki ibuku? Tidakkah kamu mengerti itu? Anita...Nita...! Aku berjalan sambil melamun, beberapa kali hampir terjatuh karena tersandung kursi atau menabrak meja. Ah, aku tak perduli. Sekarang yang ada dipikiranku hanya Anita dan Anita. BRUUUGG... "

  • Maaf Mas, Aku Tega!    Bab 41

    Pov AnitaMentari telah bangun dari singgasananya. Memberi kehangatan bagi makhluk hidup di muka buka. Membuka jendela kamar, agar udara segar dapat masuk ke dalam. Kuhirup dalam-dalam pemberian Sang Pencipta. Alhamdulillah... Allah masih memberiku kehidupan sampai saat ini.Kulangkahkan kaki ke kamar mandi, menguyur seluruh tubuh dengar air dingin. Membuat diri ini lebih fresh. Setelah mandi ku poles sedikit bedak dan lipstik di bibir. Sempurna"Bu Inem saya berangkat dulu ya, Assalamu'alaikum ...." Aku berjalan cepat meninggalkan rumah."Waalaikumsalam,Mbak Anita hati-hati di jalan,ya." ucapnya sambil menutup pintu depan. Bu Inem memang selalu menutup pintu saat hanya sendiri di rumah. Maklumlah sekarang banyak orang jahat dimana-mana. Seperti pesan dalam sebuah acara kriminal di salah satu stasiun televisi.Kejahatan bukan hanya karena ada niat tapi juga karena ada kesempatan. Waspadalah...waspadalah...! Begitulah kira-kira pesannya. Kulajukan mobil perlahan membelah padatnya j

Bab terbaru

  • Maaf Mas, Aku Tega!    Bab 100

    "Ayo naik, ada yang ingin saya bicarakan." Aldi segera masuk ke mobil. Dengan berat hati Indah pun masuk ke mobil Aldi. "Dasar manusia kutub egois!" umpat Indah dalam hati. Kendaraan roda empat milik Aldi berjalan meninggalkan kantor. Hening, tak ada sepatah kata pun yang keluar dari mulut kedua orang itu. "Kamu sudah sholat?" tanya Aldi memecah keheningan. "Baru tanggal merah, Pak." Aldi tersenyum mendengar jawaban Indah. Bukan, bukan karena tanggal merah. Namun rencananya akan berjalan lancar tanpa kendala. Mobil melaju dengan kecepatan tinggi. Aldi ingin segera sampai tempat tujuan. Karena jarak kantor dan pantai yang ia tujuh hampir dua jam. "Pak, ini bukan jalan menuju rumah saya!" protes Indah karena arah jalan menuju pinggiran kota. Bukan menuju tempat tinggal gadis berambut panjang itu. "Jangan protes!" jawab Aldi dengan mata fokus melihat depat. Tak ia hiraukan wajah Indah yang menjadi masam. "Nanti orang tua saya khawatir, Pak. Putar balik, Pak. Saya ingin pulang!""

  • Maaf Mas, Aku Tega!    Bab 99

    Kini usia kandungan Intan sudah memasuki lima bulan. Selama itu pula Romi dan Intan tidur terpisah. Intan tidur di kamar tamu sedang Romi berada di lantai atas. Mereka berdua hanya bertegur sapa menggunakan ponsel. Pernah suatu ketika Romi sangat merindukan Intan. Ingin mencium istri dan bayi kembar yang ada di dalam kandungan. Namun saat bertemu Intan bukan kemesraan ya ia terima. Melainkan istrinya yang lemas karena muntah. Hampir lima bulan Intan dan Romi bagai orang asing. Romi selalu menyingkir saat bertemu Intan, begitu pula sebaliknya. [Sayang, Mas kangen. Pengen peluk.]Satu pesan masuk dari Romi, Intan tersenyum kala membaca pesan sang suami. Namun kemudian ia meneteskan air mata. Intan merasa belum bisa menjadi istri yang baik. Belum bisa melayani suami. Dalam hati wanita berhijab menjuntai itu sangat merindukan pelukan Romi. Namun lagi-lagi terhalang dengan rasa mual yang mendera. Hingga sebuah ide muncul dalam kepala Intan. Ia berharap ide ini berhasil. Dan menepis jar

  • Maaf Mas, Aku Tega!    Bab 98

    Bijaklah dalam membaca, yang dibawah umur di skip saja. Pov RomiAku berjalan menuju kamar. Jantung rasanya ingin lepas dari sarangnya, dag ... dig... dug,berdetak lebih kencang. Seperti inikah malam pertama dengan wanita yang ku cinta? Rumah sudah sepi. Mama dan papa sudah tidur di kamar. Ibu Halimah sendiri memilih pulang diantar Pak Yadi. Dan Nadia merengek minta diantar ke rumah sakit. Ku buka pintu perlahan. Intan tak ada di ranjang, pasti sedang di kamar mandi. Ku jatuhkan bobot di atas kasur. Mencoba menetralisir degup jantung ini yang tak menentu. Kreeek... Pintu kamar mandi di buka dari dalam. Mataku melotot melihat seorang wanita yang keluar. Intan memakai setelan celana dan baju lengan panjang. Rambut hitam panjangnya dibiarkan terurai begitu saja. Ia berjalan ke arahku sambil menundukkan kepala. Membuatku semakin gemas melihatnya. Perlahan Intan menjatuhkan bobot di kasur sebelahku. Wajahnya masih menunduk. Apakah ia malu dan deg-degan, seperti yang ku rasakan saat i

  • Maaf Mas, Aku Tega!    Bab 97

    Pov Romi"Ngelamun saja Rom!" Satu tepukan dipundak meyentakku dari lamunan. "Gangguin orang sedang berkhayal saja bro!" Yusuf hanya tersenyum melihat ekspresi kesal yang nampak di wajahku. "Sabar, besok juga sudah halal. Aku salut dengan kejujuranmu." Ku naikkan ujung alis ke atas. Tak mengerti dengan ucapan Yusuf barusan. Kejujuran, kejujuran apa maksudnnya?"Maksudnya apaan?""Ya, kejujuran tentang perasaan kamu sama bini aku tempo hari. Gak nyangka ternyata selama ini kamu memendam rasa pada Anita. Tunggu, apa jangan-jangan bunga waktu itu bukan untuk hadiah kehamilan melainkan untuk istriku." Kutelan saliva dengan susah payah. Ya Tuhan, kenapa Romi bisa tahu. Padahal waktu itu dia tak ada di rumah. Apa jangan-jangan Anita cerita pada Yusuf. Tapi kok rasanya tak mungkin. Anita bukan wanita yang suka mengadu atau membuka aib orang lain. "Bingung kan kenapa aku tahu semuanya padahal aku tak di rumah?" Yusuf seperti bisa membaca isi pikiranku. Apa yang harus ku jawab. Hanya satu

  • Maaf Mas, Aku Tega!    Bab 96

    Pov Intan"Intan, disaksikan kedua sahabatmu." Mas Romi menghembuskan nafas perlahan "maukah kamu menjadi ibu dari anak-anakku?"Mataku melotot mendengar perkataan Mas Romi. Mas Romi sadar kan? Dia sedang tidak membayangkan Mbak Anita kan?Aku masih diam, mulutku enggan menjawab perkataan Mas Romi. Entah mengapa aku belum percaya yang ia ucapkan. Semudah itukah dia melupakan pesona Mbak Anita? Walau tak bisa ku pungkiri, ada rasa bahagia mendengar setiap kata yang keluar dari mulutnya. "Bagaimana Intan? Maukah kamu menjadi istriku?"Jantungku dipacu lebih cepat. Dag dig dug. Jawaban apa yang harus ku katakan? "Bilang iya, Tan! Tak usah kamu merasa tak enak padaku. Aku sadar perkara hati tak bisa dipaksakan. Aku ikhlas jika kamu bersama Romi. Aku yakin suatu saat Allah akan mengirimkan seorang imam padaku." Senyum tergambar di wajah Mbak Indah. Bulir bening nan hangat mengalir tanpa dikomando. Mendengar ucapan Mbak Indah membuat suasana terasa semakin haru. Bukan hanya aku saja yang

  • Maaf Mas, Aku Tega!    Bab 95

    Aku melangkah ke rumah Yusuf dengan perasaan tak menentu. Mobil Indah dan sepeda Intan sudah terparkir rapi di carport. Apakah aku bisa menyelesaikan masalah ini dengan baik? Setelah semua jelas, akankah Intan mau menerima perjodohan kami? Bagaimana jika akhirnya kedua wanita itu justru membenciku? Berbagai prasangaka memenuhi pikiranku. Ya Allah bantu aku. Ting ... Tong .... Suara bel setelah ku tekan. Aku berdiri di depan pintu sambil meremas kedua tangan. Rasa gugup dan takut bercampur menjadi satu. Pintu di buka dari dalam. Jantung di pacu lebih cepat saat menanti siapakah orang yang membuka pintu. Semoga saja bukan Intan atau Indah. Seorang wanita paruh baya tersenyum kala menyambutku. Berjalan berjajar lalu masuk ke rumah bernuansa modern ini. "Apakah ada masalah, Rom?" tanya tante Ningrum. "Sedikit tan, hanya kesalahan pahaman saja. Ini mau diselesaikan."Ternyata masalah ini sudah sampai ke telinga tante Ningrum. Aku menjadi tak enak hati karena ketidak tegasanku yan

  • Maaf Mas, Aku Tega!    Bab 94

    Pov Romi"Jangan asal bicara, nanti akan menimbulkan fitnah," ucap papa. "Itu kenyataan, dan Romilah penyebab kematian Febi!"Ya Tuhan, ada apa lagi ini? Bisa-bisanya Om Damar memutar balikkan fakta. Orang tak tahu pasti akan percaya. Terlebih dia memiliki kekuasaan. "Ayo, Rom, ma, kita pulang saja," ucap papa melanjutkan langkah. Tak ia perdulikan tatapan penuh kemenangan di wajah Om Damar. "Dasar pengecut!"Kami tak membalas ucapan lelaki tua itu. Percuma meladeni orang seperti itu. Hanya akan menimbulkan rasa lelah saja. Biarpun kami tak bisa membalas cukup adukan pada Sang Pencipta. Aku yakin Allah akan menegurnya dengan cara-Nya sendiri. Kami melangkah meninggalkan kerumunan para pelayat.Tatapan sinis tergambar dari raut mereka. Sesuatu yang viral tempo hati seakan hilang dalam sekajap. Uang dan kuasa mampu membungkam hal seperti itu. "Mama sudah bilang, papa sih tidak percaya!" omel mama setelah kami masuk ke mobil. "Tidak apa-apa ma, yang penting kita sudah berusaha untuk

  • Maaf Mas, Aku Tega!    Bab 93

    Duduk termenung di balkon. Menatap langit yang masih tertutup mendung meski air tak lagi berjatuhan. Namun bintang dan bulan masih enggan nampak.Semilir dinginnya angin malam tak mampu mengusik diriku dari sini. "Intan atau Indah yang kamu cintai?" Perkataan Anita tadi kembali mengusik pikiranku. Benarkah kedua wanita itu menyukaiku? Apakah Indah adalah alasan Intan menolak perjodohan kami? Cinta itu sebuah perjuangan. Tapi kenapa Intan memilih mengalah dibandingkan berjuang. Apa karena aku terlalu dingin dan terkesan mengabaikannya? Entahlah, aku sendiri bingung memikirkan itu. Intan dan Indah adalah dua pribadi yang berbeda. Intan dengan penampilan tertutupnya dan Indah wanita fashionable. Keduanya memang memiliki pribadi yang baik. Namun jika aku harus memilih, tentu Intan lah yang ingin ku jadikan pendamping hidup. Bukan, bukan hanya karena Intan sholehah tapi juga karena mama sudah cocok dengan wanita berhijab menjuntai itu. Bukankah hubungan menantu dan mertua sangat berpen

  • Maaf Mas, Aku Tega!    Bab 92

    "Tan," panggilku sedikit keras. "I-iya Mas," jawabnya gugup. Aku yakin dia gugup mau menjawab apa. "Bagaimana jawaban kamu?" Intan menyatukan dua alis. Pandangan tajam ke arahku. Apa aku salah bicara? "Maaf Mas, Intan belum bisa."Hancur sudah harapanku. Harusnya aku tidak bilang saja. Sekarang hanya malu yang ku rasa. "Maaf ya Mas, Intan belum bisa mencicil biaya rumah sakit ibu. Intan belum punya uang." Aku bengong mendengar jawabannya. "Bukan yang itu, Tan. Yang tadi," ucapku berusaha mengingatkan Intan. "Dari tadi Mas Romi bilang tentang uang berobat kan?"Ya Allah, Ya Robb... Susah payah menenangkan hati agar bisa bicara pada Intan. Namun dia justru tak mendengar. Percuma menahan detak jantung. Anak ini memang keterlaluan. Harusnya aku diam saja tadi. "Lupakan saja, Tan. Untuk uang pengobatan tak usah dikembalikan. Aku ikhlas kok.""Tapi, Mas!""Kamu kan sudah jagain mama aku selama tiga hari. Anggap saja kita impas""Tidak bisa gitu dong, Mas. Saya ikhlas kok.""Sudah ah

DMCA.com Protection Status