Pov AnitaMentari telah bangun dari singgasananya. Memberi kehangatan bagi makhluk hidup di muka buka. Membuka jendela kamar, agar udara segar dapat masuk ke dalam. Kuhirup dalam-dalam pemberian Sang Pencipta. Alhamdulillah... Allah masih memberiku kehidupan sampai saat ini.Kulangkahkan kaki ke kamar mandi, menguyur seluruh tubuh dengar air dingin. Membuat diri ini lebih fresh. Setelah mandi ku poles sedikit bedak dan lipstik di bibir. Sempurna"Bu Inem saya berangkat dulu ya, Assalamu'alaikum ...." Aku berjalan cepat meninggalkan rumah."Waalaikumsalam,Mbak Anita hati-hati di jalan,ya." ucapnya sambil menutup pintu depan. Bu Inem memang selalu menutup pintu saat hanya sendiri di rumah. Maklumlah sekarang banyak orang jahat dimana-mana. Seperti pesan dalam sebuah acara kriminal di salah satu stasiun televisi.Kejahatan bukan hanya karena ada niat tapi juga karena ada kesempatan. Waspadalah...waspadalah...! Begitulah kira-kira pesannya. Kulajukan mobil perlahan membelah padatnya j
Pov RaniHari ini aku akan ke rumah Nita,akan kuminta apa yang menjadi milik Mas Deni. Enak saja dia menikmati sendiri. Mobil itu harus menjadi milikku, bagaimanapun caranya.Kupesan ojek online, lima menit lagi pasti sudah sampai rumah. Sengaja aku tak membawa motor supaya mudah membawa mobil.Aku senyum-senyum sendiri membayangkan pulang membawa sebuah mobil. Pasti ibu sangat senang. Sengaja tak kuberi tahu agar menjadi kejutan untuknya.[Sesuai aplikasi ya,mbak.]Satu pesan dari driver ojol.[Iya Pak.]SendTak berapa lama seorang ojek online berhenti tepat di depan gerbang rumah. Segera aku duduk di jok belakang, motor pun melaju dengan kecepatan sedang membelah padatnya jalan raya.Sepanjang perjalanan tukang ojek selalu mencuri pandang padaku, sering menanyakan hal-hal tak penting. Membuatku ilfeel saja. Ingin rasanya kuhajar dari belakang. Tapi takut urusannya jadi panjang.Dasar tukang ojek genit, tidak bisa melihat wanita cantik!Akhirnya sampai juga di rumah Nita. Segera aku
Aku mendengus kesal, pasalnya apa yang aku rencanakan gatot alias gagal total. Entah Nita sudah menjelaskan atau memang ibunya Yusuf tak percaya padaku. Hari pernikahan mereka sudah dekat tak sampai satu minggu mereka akan sah menjadi suami istri. Aku gak mau ini terjadi. Berfikir, berfikir Rani...! Kuacak rambut yang tak gatal, secepatnya aku harus bisa membatalkan pernikahan mereka. Mas Deni pasti senang kalau Nita menjanda seumur hidupnya. Satu ide gila muncul begitu saja, tapi resiko ini terlalu besar. Kalau sampai aku gagal bagaimana? Tapi ini ide terakhirku, hanya ini satu-satunya cara membatalkan pernikahan mereka. Dua pendapat berlawanan saling beradu di pikiranku. Membuatku harus berfikir matang-matang untuk melakukannya. Tekatku sudah bulat, akan kulakukan apapun untuk membalas iri dan dendamku pada Nita. Bukan Rani namanya jika segitu saja menyerah. Ku ambil ponsel, kucari kontak bernama Roy. Dialah teman semasa sekolah dulu. Yang aku tau sekarang dia menjadi salah
Dari pagi aku sibuk membantu di toko. Merasa tak enak dengan Intan dan yang lain. Karena beberapa hari ini sibuk dan tak sempat ke sini. Laporan keuangan baru sempat kuperiksa tadi pagi. Menjelang hari bahagia, banyak sekali yang harus aku siapkan. Walau badan terasa lelah, tak mengurangi semangat untuk mengurus ini itu. "Tan, ada hijab yang seperti ini warna hitam gak?" tanyaku sambil menyerahkan hijab instan dari tangan kanan. "Saya cari dulu,Mbak." Dia berjalan ke tempat stok hijab berada."Tunggu sebentar ya,Mbak," ucapku pada pembeli yang berdiri di hadapanku. "Iya,Mbak."Kriingg... Kriingg.... Ponsel menyanyi, meminta perhatian dari pemiliknya. "Permisi,Mbak, nanti sama Mbak Intan,ya." Dia mengangguk tanda mengerti maksudku. Segera aku ambil benda pipih yang sedari tadi menjerit-jerit di loker meja kasir. Belum sempat ku angkat ponsel itu diam seketika. Panggilan tak terjawab dari tambatan hati ini. [Sayang, tolong jemput Nadia,ya. Mas mau sidang.]Pesan dari Mas Yusuf, k
"Ran... Rani...!""Sepertinya kosong,Dek.""Mbak Nita,kan?" tanya tetangga Rani. "Iya Bu Tutik, Raninya tidak ada di rumah ya,Bu?""Mbak Nita belum tau ya, setelah Deni meninggal Rani sering tinggal di sana. Anton juga belum pulang lagi setelah meninggalnya Deni." Bu Tutik seperti diam sejenak. "Itu siapa,Mbak? ganteng banget. Pantes saja Mbak Nita minta cerai ya. Kasian ya Deni sampai meninggal gara-gara mikirin,Mbak." sindirnya padaku. Allahu Akbar...Kuelus dada yang terasa sesak. Ada ya orang macam begitu. Belum tahu masalahnya seperti apa sudah menghakim orang saja. "Sudah Sayang, ayo kita pulang." Mas Yusuf menggandeng tanganku. "Permisi,Bu," ucapku sambil berjalan ke arah mobil. Sempat kulirik Bu Tutik, dia masih saja menatapku penuh rasa tak suka. ****"Assalamu'alaikum," salamku saat berada di rumah Alm. Mas Deni. "Waalaikumsalam." Derap langkah sesorang mendekat ke pintu depan. "Anita." Ibu memelukku erat. Tak terasa punggung ini menjadi basah karena air bah mengalir
Pov RaniNetra ini menatap atas, pandangan pertama hanyalah sarang laba-laba menempel di kayu-kayu penyangga genting yang sudah bocor dimana-mana. Di sudut-sudut rumah, binatang berkaki delapan membuat sarangnya. Lantaipun seperti berhari-hari tak disapu.Ini sih namanya bukan rumah, melainkan kandang.Roy bisa-bisanya tinggal di tempat seperti ini!Jarum jam sudah menunjukkan pukul sembilan malam, Roy belum juga pulang. Entah kemana dia sekarang. Itu orang selalu hilang tanpa kabar.Kucoba memejamkan mata, guling sana guling sini. Aku tidak bisa tidur dengan kasur keras seperti ini. Ya Tuhan, mana tak ada kipas angin apalagi AC. Kalau bukan karena ingin balas dendam sama Nita mana sudi aku tidur di kandang sapi punya Roy.Nasib-nasib! Terdengar suara mobil memasuki halaman rumah Roy yang sempit. Suaranya terdengar sampai di tempatku membaringkan tubuh.Ah, mungkin itu Roy. Tapi kok suara mobilnya beda ya? Apa jangan-jangan dia ganti mobil kali ya, biar polisi tak bisa melacak kebera
Pov AnitaAlhamdulillahTak henti-hentinya aku bersyukur karena Allah telah mengembalikan Nadia dalam pelukan kami tanpa kurang suatu apapun.Kutidurkan putri kecilku di kasur empuknya. Mengelus rambutnya yang hitam, menghujani pipinya dengan ciuman."Mama, pulang dulu ya sayang." Kuelus pucuk kepalanya."Mama bobog cini,Nadia takut."Netra ini saling beradu dengan netra milik Mas Yusuf. Dia mengangguk, sepertinya tau apa yang hendak ku katakan. Padahal mulut ini belum mengucapkan sepatah katapun.Apa mungkin Mas Yusuf dapat membaca pikiranku?AstaghfirullahAneh-aneh saja diriku ini."Mama cini." Nadia menepuk-nepuk kasur yang ada di sampingnya.Aku tau Nadia pasti trauma dengan kejadian hari ini. Semoga saja dengan aku tidur di sampingnya dapat menenangkan hatinya. Walaupun sejujurnya aku ragu, takut menimbulkan fitnah. Karena aku belum resmi menjadi istri Mas Yusuf.Ku rebahkan badan di samping putri kecilku."Baca doa dulu ya sayang.""Bismillahirrahmanirrahim.Bismika Allahumma a
Pov Romi[Alhamdulillah, Nadia sudah ketemu Rom.]Aku baca pesan Yusuf semalam, Alhamdulilah ucapku bersyukur. Setelah pakaian rapi segera aku turun ke bawah. Mau sarapan rasanya malas, pasti akan berdebat dengan mama hanya karena Anita. Sebenarnya apa kurangnya Anita di mata mama. Dia sholehah, pintar, penyayang. Bukankah wanita seperti itu cocok untuk menjadi ibu dari anak-anakku. "Rom, ayo sarapan dulu," ucap papa. "Romi gak lapar pa, nanti sarapan di kantor saja." "Papa dan mama ingin bicara serius,Nak."Dengan berat hati ku langkahkan kaki ke meja makan. Kalau papa yang meminta rasanya sungkan untuk menolak. Sepotong roti masuk ke dalam perut. "Kapan kamu mau menikah Rom?"Uhuuk... Uhuuk... Ucapan papa mengagetkan diriku, Tak ada angin tak ada hujan, kenapa papa tiba-tiba menanyakan itu? "Mama mau secepatnya kamu menikah dengan Febi!""Romi gak cinta sama Febi,Ma.""Pokoknya mama gak mau tau, kamu harus menikah dengan Febi!""Stop, jangan memaksakan kehendak Mama padaku!
"Ayo naik, ada yang ingin saya bicarakan." Aldi segera masuk ke mobil. Dengan berat hati Indah pun masuk ke mobil Aldi. "Dasar manusia kutub egois!" umpat Indah dalam hati. Kendaraan roda empat milik Aldi berjalan meninggalkan kantor. Hening, tak ada sepatah kata pun yang keluar dari mulut kedua orang itu. "Kamu sudah sholat?" tanya Aldi memecah keheningan. "Baru tanggal merah, Pak." Aldi tersenyum mendengar jawaban Indah. Bukan, bukan karena tanggal merah. Namun rencananya akan berjalan lancar tanpa kendala. Mobil melaju dengan kecepatan tinggi. Aldi ingin segera sampai tempat tujuan. Karena jarak kantor dan pantai yang ia tujuh hampir dua jam. "Pak, ini bukan jalan menuju rumah saya!" protes Indah karena arah jalan menuju pinggiran kota. Bukan menuju tempat tinggal gadis berambut panjang itu. "Jangan protes!" jawab Aldi dengan mata fokus melihat depat. Tak ia hiraukan wajah Indah yang menjadi masam. "Nanti orang tua saya khawatir, Pak. Putar balik, Pak. Saya ingin pulang!""
Kini usia kandungan Intan sudah memasuki lima bulan. Selama itu pula Romi dan Intan tidur terpisah. Intan tidur di kamar tamu sedang Romi berada di lantai atas. Mereka berdua hanya bertegur sapa menggunakan ponsel. Pernah suatu ketika Romi sangat merindukan Intan. Ingin mencium istri dan bayi kembar yang ada di dalam kandungan. Namun saat bertemu Intan bukan kemesraan ya ia terima. Melainkan istrinya yang lemas karena muntah. Hampir lima bulan Intan dan Romi bagai orang asing. Romi selalu menyingkir saat bertemu Intan, begitu pula sebaliknya. [Sayang, Mas kangen. Pengen peluk.]Satu pesan masuk dari Romi, Intan tersenyum kala membaca pesan sang suami. Namun kemudian ia meneteskan air mata. Intan merasa belum bisa menjadi istri yang baik. Belum bisa melayani suami. Dalam hati wanita berhijab menjuntai itu sangat merindukan pelukan Romi. Namun lagi-lagi terhalang dengan rasa mual yang mendera. Hingga sebuah ide muncul dalam kepala Intan. Ia berharap ide ini berhasil. Dan menepis jar
Bijaklah dalam membaca, yang dibawah umur di skip saja. Pov RomiAku berjalan menuju kamar. Jantung rasanya ingin lepas dari sarangnya, dag ... dig... dug,berdetak lebih kencang. Seperti inikah malam pertama dengan wanita yang ku cinta? Rumah sudah sepi. Mama dan papa sudah tidur di kamar. Ibu Halimah sendiri memilih pulang diantar Pak Yadi. Dan Nadia merengek minta diantar ke rumah sakit. Ku buka pintu perlahan. Intan tak ada di ranjang, pasti sedang di kamar mandi. Ku jatuhkan bobot di atas kasur. Mencoba menetralisir degup jantung ini yang tak menentu. Kreeek... Pintu kamar mandi di buka dari dalam. Mataku melotot melihat seorang wanita yang keluar. Intan memakai setelan celana dan baju lengan panjang. Rambut hitam panjangnya dibiarkan terurai begitu saja. Ia berjalan ke arahku sambil menundukkan kepala. Membuatku semakin gemas melihatnya. Perlahan Intan menjatuhkan bobot di kasur sebelahku. Wajahnya masih menunduk. Apakah ia malu dan deg-degan, seperti yang ku rasakan saat i
Pov Romi"Ngelamun saja Rom!" Satu tepukan dipundak meyentakku dari lamunan. "Gangguin orang sedang berkhayal saja bro!" Yusuf hanya tersenyum melihat ekspresi kesal yang nampak di wajahku. "Sabar, besok juga sudah halal. Aku salut dengan kejujuranmu." Ku naikkan ujung alis ke atas. Tak mengerti dengan ucapan Yusuf barusan. Kejujuran, kejujuran apa maksudnnya?"Maksudnya apaan?""Ya, kejujuran tentang perasaan kamu sama bini aku tempo hari. Gak nyangka ternyata selama ini kamu memendam rasa pada Anita. Tunggu, apa jangan-jangan bunga waktu itu bukan untuk hadiah kehamilan melainkan untuk istriku." Kutelan saliva dengan susah payah. Ya Tuhan, kenapa Romi bisa tahu. Padahal waktu itu dia tak ada di rumah. Apa jangan-jangan Anita cerita pada Yusuf. Tapi kok rasanya tak mungkin. Anita bukan wanita yang suka mengadu atau membuka aib orang lain. "Bingung kan kenapa aku tahu semuanya padahal aku tak di rumah?" Yusuf seperti bisa membaca isi pikiranku. Apa yang harus ku jawab. Hanya satu
Pov Intan"Intan, disaksikan kedua sahabatmu." Mas Romi menghembuskan nafas perlahan "maukah kamu menjadi ibu dari anak-anakku?"Mataku melotot mendengar perkataan Mas Romi. Mas Romi sadar kan? Dia sedang tidak membayangkan Mbak Anita kan?Aku masih diam, mulutku enggan menjawab perkataan Mas Romi. Entah mengapa aku belum percaya yang ia ucapkan. Semudah itukah dia melupakan pesona Mbak Anita? Walau tak bisa ku pungkiri, ada rasa bahagia mendengar setiap kata yang keluar dari mulutnya. "Bagaimana Intan? Maukah kamu menjadi istriku?"Jantungku dipacu lebih cepat. Dag dig dug. Jawaban apa yang harus ku katakan? "Bilang iya, Tan! Tak usah kamu merasa tak enak padaku. Aku sadar perkara hati tak bisa dipaksakan. Aku ikhlas jika kamu bersama Romi. Aku yakin suatu saat Allah akan mengirimkan seorang imam padaku." Senyum tergambar di wajah Mbak Indah. Bulir bening nan hangat mengalir tanpa dikomando. Mendengar ucapan Mbak Indah membuat suasana terasa semakin haru. Bukan hanya aku saja yang
Aku melangkah ke rumah Yusuf dengan perasaan tak menentu. Mobil Indah dan sepeda Intan sudah terparkir rapi di carport. Apakah aku bisa menyelesaikan masalah ini dengan baik? Setelah semua jelas, akankah Intan mau menerima perjodohan kami? Bagaimana jika akhirnya kedua wanita itu justru membenciku? Berbagai prasangaka memenuhi pikiranku. Ya Allah bantu aku. Ting ... Tong .... Suara bel setelah ku tekan. Aku berdiri di depan pintu sambil meremas kedua tangan. Rasa gugup dan takut bercampur menjadi satu. Pintu di buka dari dalam. Jantung di pacu lebih cepat saat menanti siapakah orang yang membuka pintu. Semoga saja bukan Intan atau Indah. Seorang wanita paruh baya tersenyum kala menyambutku. Berjalan berjajar lalu masuk ke rumah bernuansa modern ini. "Apakah ada masalah, Rom?" tanya tante Ningrum. "Sedikit tan, hanya kesalahan pahaman saja. Ini mau diselesaikan."Ternyata masalah ini sudah sampai ke telinga tante Ningrum. Aku menjadi tak enak hati karena ketidak tegasanku yan
Pov Romi"Jangan asal bicara, nanti akan menimbulkan fitnah," ucap papa. "Itu kenyataan, dan Romilah penyebab kematian Febi!"Ya Tuhan, ada apa lagi ini? Bisa-bisanya Om Damar memutar balikkan fakta. Orang tak tahu pasti akan percaya. Terlebih dia memiliki kekuasaan. "Ayo, Rom, ma, kita pulang saja," ucap papa melanjutkan langkah. Tak ia perdulikan tatapan penuh kemenangan di wajah Om Damar. "Dasar pengecut!"Kami tak membalas ucapan lelaki tua itu. Percuma meladeni orang seperti itu. Hanya akan menimbulkan rasa lelah saja. Biarpun kami tak bisa membalas cukup adukan pada Sang Pencipta. Aku yakin Allah akan menegurnya dengan cara-Nya sendiri. Kami melangkah meninggalkan kerumunan para pelayat.Tatapan sinis tergambar dari raut mereka. Sesuatu yang viral tempo hati seakan hilang dalam sekajap. Uang dan kuasa mampu membungkam hal seperti itu. "Mama sudah bilang, papa sih tidak percaya!" omel mama setelah kami masuk ke mobil. "Tidak apa-apa ma, yang penting kita sudah berusaha untuk
Duduk termenung di balkon. Menatap langit yang masih tertutup mendung meski air tak lagi berjatuhan. Namun bintang dan bulan masih enggan nampak.Semilir dinginnya angin malam tak mampu mengusik diriku dari sini. "Intan atau Indah yang kamu cintai?" Perkataan Anita tadi kembali mengusik pikiranku. Benarkah kedua wanita itu menyukaiku? Apakah Indah adalah alasan Intan menolak perjodohan kami? Cinta itu sebuah perjuangan. Tapi kenapa Intan memilih mengalah dibandingkan berjuang. Apa karena aku terlalu dingin dan terkesan mengabaikannya? Entahlah, aku sendiri bingung memikirkan itu. Intan dan Indah adalah dua pribadi yang berbeda. Intan dengan penampilan tertutupnya dan Indah wanita fashionable. Keduanya memang memiliki pribadi yang baik. Namun jika aku harus memilih, tentu Intan lah yang ingin ku jadikan pendamping hidup. Bukan, bukan hanya karena Intan sholehah tapi juga karena mama sudah cocok dengan wanita berhijab menjuntai itu. Bukankah hubungan menantu dan mertua sangat berpen
"Tan," panggilku sedikit keras. "I-iya Mas," jawabnya gugup. Aku yakin dia gugup mau menjawab apa. "Bagaimana jawaban kamu?" Intan menyatukan dua alis. Pandangan tajam ke arahku. Apa aku salah bicara? "Maaf Mas, Intan belum bisa."Hancur sudah harapanku. Harusnya aku tidak bilang saja. Sekarang hanya malu yang ku rasa. "Maaf ya Mas, Intan belum bisa mencicil biaya rumah sakit ibu. Intan belum punya uang." Aku bengong mendengar jawabannya. "Bukan yang itu, Tan. Yang tadi," ucapku berusaha mengingatkan Intan. "Dari tadi Mas Romi bilang tentang uang berobat kan?"Ya Allah, Ya Robb... Susah payah menenangkan hati agar bisa bicara pada Intan. Namun dia justru tak mendengar. Percuma menahan detak jantung. Anak ini memang keterlaluan. Harusnya aku diam saja tadi. "Lupakan saja, Tan. Untuk uang pengobatan tak usah dikembalikan. Aku ikhlas kok.""Tapi, Mas!""Kamu kan sudah jagain mama aku selama tiga hari. Anggap saja kita impas""Tidak bisa gitu dong, Mas. Saya ikhlas kok.""Sudah ah