Pov Romi[Alhamdulillah, Nadia sudah ketemu Rom.]Aku baca pesan Yusuf semalam, Alhamdulilah ucapku bersyukur. Setelah pakaian rapi segera aku turun ke bawah. Mau sarapan rasanya malas, pasti akan berdebat dengan mama hanya karena Anita. Sebenarnya apa kurangnya Anita di mata mama. Dia sholehah, pintar, penyayang. Bukankah wanita seperti itu cocok untuk menjadi ibu dari anak-anakku. "Rom, ayo sarapan dulu," ucap papa. "Romi gak lapar pa, nanti sarapan di kantor saja." "Papa dan mama ingin bicara serius,Nak."Dengan berat hati ku langkahkan kaki ke meja makan. Kalau papa yang meminta rasanya sungkan untuk menolak. Sepotong roti masuk ke dalam perut. "Kapan kamu mau menikah Rom?"Uhuuk... Uhuuk... Ucapan papa mengagetkan diriku, Tak ada angin tak ada hujan, kenapa papa tiba-tiba menanyakan itu? "Mama mau secepatnya kamu menikah dengan Febi!""Romi gak cinta sama Febi,Ma.""Pokoknya mama gak mau tau, kamu harus menikah dengan Febi!""Stop, jangan memaksakan kehendak Mama padaku!
Pov Tante Lisa"Dia hamil Rom," lirih aku bersuara.Seketika Romi menghentikan mobilnya, membuat jantung ini berdebar tak menentu. Sudah tau penumpangnya tak lagi muda, main ngerem mendadak. Untung tidak jantungan."Febi hamil ma? Mama gak salah ngomong,kan?" tanya Romi memastikan."Dokter yang bilang kalau Febi hamil Rom, ternyata mama salah menilai dia" lirih aku berkata. Rasanya malu mengakui kesalahan, tapi kenyataannya aku memang yang salah. Dan untung Tuhan membuka aib Febi sebelum mereka terlanjur menikah."Ya sudahlah ma, nasi sudah menjadi bubur dan untunglah Allah menyelamatkanku dari Febi. Walau pada akhirnya aku tak bisa memiliki Anita."Anita?Apa begitu besar rasa cintanya pada janda itu?Apakah tak ada gadis yang bisa merebut hati Romi?"Apa kamu sangat mencintai Anita, Rom?""Aku sangat mencintainya, dia wanita yang baik penuh dengan kasih sayang. Wanita yang bisa menjaga harga dirinya. Wanita mandiri yang membangun bisnis dari nol hingga bisa berkembang seperti sekara
Aku duduk di depan cermin, melihat diri di dalam cermin. Sambil sesekali perias menambah polesan di wajah. Terasa berat wajahku, mungkin karena berbagai kosmetik menempel. Maklumlah aku jarang berias,paling hanya memoles bedak dan lipstik."MasyaAllah cantiknya," ucap Intan dan Indah serempak."Kamu cocok pakai gaun warna putih tulang, terlihat anggun. Cantik paripurna," ucap Indah lagi.Pipi ini mendadak memerah mendengar ucapan mereka.Indah menggenggam tanganku. "Tangan kamu kok dingin banget Nit?" Netranya terus memindaiku."Aku deg-degan,Ndah. Mas Yusuf lancar gak ya mengucapkannya?""Hahaha ...." Indah dan Intan tertawa serempak.Ya Allah, bukannya menenangkan tapi justru mereka berdua terpingkal-pingkal mentertawakaku.Dasar pada gak ada akhlak!"Ini sudah yang kedua lho mbak, masak iya masih deg-degan ...he he he," ledek Intan.Aku manyunkan bibir ini lima sentimeter, merajuk. Keduanya malah tertawa terbahak-bahak melihat tingkah polahku.Memang benar ini yang kedua untukku d
Tiga bulan usia pernikahan kami. Rasanya baru kemarin Mas Yusuf mengucap janji suci di depan penghulu. Waktu begitu cepat berlalu.Menjalani mahligai rumah tangga dengan Mas Yusuf rasanya bahagia tiada tara. Dia lelaki yang sangat romantis jika bersamaku. Selalu memanjakan diriku. Mungkin benar kata orang, jika seorang wanita menikah dengan lelaki yang tepat. Dia akan diperlakukan seperti ratu. Dan itu yang terjadi padaku."Sayang, tolong ambilkan handuk Mas dong." ucapnya dari dalam kamar mandi.Kebiasaan Mas Yusuf memang seperti itu, lupa membawa handuk saat mandi. Untung kamar mandi terletak di kamar. Coba kalau tidak, pasti repot."Ini Mas." Aku sodorkan handuk saat pintu kamar mandi sedikit dibuka.Tak berapa lama,Mas Yusuf keluar dengan rambut basah. Handuk yang ku berikan melingkar di pinggangnya."Lain kali kalau mandi bawa handuk dong Mas. Untung aku masih di kamar kalau tidak ...." Tak ku lanjutkan kata-kataku."Kalau tidak apa?" Mas Yusuf mendekatkan tubuhnya ke arahku. Tan
Pov RomiMalam yang sunyi, tak ada bintang dan bulan yang mewarnai langit malam ini. Seperti hatiku yang sepi. Kehilangan Anita membuat hidupku sunyi, tak ada arah dan harapan. Kalau boleh jujur, aku masih memendam rasa padanya. Meski ini salah karena masih mencintai istri dari sepupuku sendiri.Tapi apalah daya, memang itu kenyataannya.Jarum jam sudah menunjukkan angka satu dini hari. Namun rasa kantuk seperti tak menghampiri diri ini.Membuka pintu dan duduk di balkon sambil menatap langit malam ini. Membuka ponsel, mencari kesibukan agar hati tak selalu terpaku dan memikirkan Anita. Aku tahu ini dosa.Membuka status teman di aplikasi berwarna hijau. Dada terasa sesak membaca status dari Yusuf. Sepupu sekaligus suami dari pujaan hatiku.[Terima kasih sayang, ini hadiah terindah. Semoga kamu dan calon buah hati kita selalu dalam keadaan sehat.]Ingin membalas dengan ucapan selamat tetapi hati kecilku berkata tidak. Sakit, rasanya seperti di tusuk sembilu. Bukankah harusnya aku bahagi
Langit malam ini begitu indah namun tak seperti hatiku yang gelap.Malam ini Allah menegurku lagi, harusnya aku sadar diri, Anita tak mungkin kumiliki. Mengacak rambut, frustasi. Aku duduk di tepi jalan sambil melihat kendaraan berlalu lalang. Tak jarang kulihat sepasang kekasih berboncengan begitu mesra.Membuat diri ini merasakan iri. Ya Allah, begitu berat kehilangan cinta dan kekasih hati. Andai saja sejak awal mama mengizinkanku dengan Anita,mungkin saat ini aku tengah hidup bahagia bersamanya. Astagfirullah...Maafkan hambamu ini yang telah berburuk sangka pada-Mu. Mungkin memang Engkau tidak menjodohkan aku dengan Anita. Satu pintaku Ya Allah, hapus dan buang rasa ini untuknya. Sungguh aku tak sanggup dengan perasaan seperti ini. Aku tersiksa. Aku melajukan kembali mobil dengan kecepatan sedang. Pikiran masih saja tertuju kepada Anita, hingga aku tidak bisa fokus mengemudi. Bayang-bayang kemesraan Yusuf dan Anita tergambar jelas di pelupuk mata. "Sayang, kalau makan pelan-p
Uhuukk... Uhuukk... Aku terbatuk, tersedak air liurku sendiri. Ya Allah, bagaimana bisa Intan tahu betul perasaanku saat ini, padahal kami hanya saling bertemu saja. Atau jangan-jangan Anita yang menceritakan semuanya pada Intan?Ah, rasanya tak mungkin Anita seperti itu. Aku tahu betul dia seperti apa."Maksud kamu apa, Tan?" kilahku. "Tak usah bertanya Mas, saya tahu anda mengerti dengan yang saya ucapkan," jawabnya tanpa menoleh sedikitpun padaku. Sungguh menyebalkan! Kalau saja aku tidak merasa bersalah, sudah kuturunkan saat ini juga. Aku memilih diam hingga suasana menjadi canggung. Dasar rese si Intan. "Belok kiri Mas, rumah saya depan pos ronda."Tanpa menjawab kuhentikan mobil tepat di rumah sederhana dengan bunga-bunga mewarnai halaman rumahnya yang kecil. "Terima kasih,Mas," ucapnya lalu turun dari mobilku. Melangkah memasuki halaman.Hingga dia hilang dari balik pintu. Segera kulakukan mobil menuju rumahku. Perkataan Intan masih saja terngiang-ngiang di telingaku.Mema
"Siapa yang bertamu,Bu?" tanya Intan memotong ucapanku. Membuatku bernapas lega. Setidaknya ada Intan yang bisa menjelaskan semuanya. Seraut wajah nanti cantik keluar dari belakang. Mungkin dari dapur. Sementara ada dua kamar terletak di sebelah ruang tamu. Lumayan luas untuk ukuran rumah kecil seperti ini. Mataku tak berkedip menyaksikan indahnya ciptaan Allah. Bulu mata lentik dengan hidung mancung terukir jelas di wajahnya. Baru kali ini aku melihat wajah Intan. Ya, karena selama ini dia selalu menutup wajahnya dengan cadar. "Astagfirullah ...,"ucapnya lalu masuk ke dalam kamar. Langkahnya sedikit tertatih. Ini pasti karena kejadian semalam. Aduh, aku menjadi merasa bersalah. Akibat ketidakhati-hatianku membuat orang lain merasakan sakit. Tak berapa lama Intan keluar dari kamar, tapi kini wajah cantiknya tak lagi terlihat. Ada kain penghalang yang menutupi wajah cantiknya. Dan kini hanya terlihat sepasang mata yang menatapku tajam. Ya Allah, salah apa diriku ini? Dipertemuka
"Ayo naik, ada yang ingin saya bicarakan." Aldi segera masuk ke mobil. Dengan berat hati Indah pun masuk ke mobil Aldi. "Dasar manusia kutub egois!" umpat Indah dalam hati. Kendaraan roda empat milik Aldi berjalan meninggalkan kantor. Hening, tak ada sepatah kata pun yang keluar dari mulut kedua orang itu. "Kamu sudah sholat?" tanya Aldi memecah keheningan. "Baru tanggal merah, Pak." Aldi tersenyum mendengar jawaban Indah. Bukan, bukan karena tanggal merah. Namun rencananya akan berjalan lancar tanpa kendala. Mobil melaju dengan kecepatan tinggi. Aldi ingin segera sampai tempat tujuan. Karena jarak kantor dan pantai yang ia tujuh hampir dua jam. "Pak, ini bukan jalan menuju rumah saya!" protes Indah karena arah jalan menuju pinggiran kota. Bukan menuju tempat tinggal gadis berambut panjang itu. "Jangan protes!" jawab Aldi dengan mata fokus melihat depat. Tak ia hiraukan wajah Indah yang menjadi masam. "Nanti orang tua saya khawatir, Pak. Putar balik, Pak. Saya ingin pulang!""
Kini usia kandungan Intan sudah memasuki lima bulan. Selama itu pula Romi dan Intan tidur terpisah. Intan tidur di kamar tamu sedang Romi berada di lantai atas. Mereka berdua hanya bertegur sapa menggunakan ponsel. Pernah suatu ketika Romi sangat merindukan Intan. Ingin mencium istri dan bayi kembar yang ada di dalam kandungan. Namun saat bertemu Intan bukan kemesraan ya ia terima. Melainkan istrinya yang lemas karena muntah. Hampir lima bulan Intan dan Romi bagai orang asing. Romi selalu menyingkir saat bertemu Intan, begitu pula sebaliknya. [Sayang, Mas kangen. Pengen peluk.]Satu pesan masuk dari Romi, Intan tersenyum kala membaca pesan sang suami. Namun kemudian ia meneteskan air mata. Intan merasa belum bisa menjadi istri yang baik. Belum bisa melayani suami. Dalam hati wanita berhijab menjuntai itu sangat merindukan pelukan Romi. Namun lagi-lagi terhalang dengan rasa mual yang mendera. Hingga sebuah ide muncul dalam kepala Intan. Ia berharap ide ini berhasil. Dan menepis jar
Bijaklah dalam membaca, yang dibawah umur di skip saja. Pov RomiAku berjalan menuju kamar. Jantung rasanya ingin lepas dari sarangnya, dag ... dig... dug,berdetak lebih kencang. Seperti inikah malam pertama dengan wanita yang ku cinta? Rumah sudah sepi. Mama dan papa sudah tidur di kamar. Ibu Halimah sendiri memilih pulang diantar Pak Yadi. Dan Nadia merengek minta diantar ke rumah sakit. Ku buka pintu perlahan. Intan tak ada di ranjang, pasti sedang di kamar mandi. Ku jatuhkan bobot di atas kasur. Mencoba menetralisir degup jantung ini yang tak menentu. Kreeek... Pintu kamar mandi di buka dari dalam. Mataku melotot melihat seorang wanita yang keluar. Intan memakai setelan celana dan baju lengan panjang. Rambut hitam panjangnya dibiarkan terurai begitu saja. Ia berjalan ke arahku sambil menundukkan kepala. Membuatku semakin gemas melihatnya. Perlahan Intan menjatuhkan bobot di kasur sebelahku. Wajahnya masih menunduk. Apakah ia malu dan deg-degan, seperti yang ku rasakan saat i
Pov Romi"Ngelamun saja Rom!" Satu tepukan dipundak meyentakku dari lamunan. "Gangguin orang sedang berkhayal saja bro!" Yusuf hanya tersenyum melihat ekspresi kesal yang nampak di wajahku. "Sabar, besok juga sudah halal. Aku salut dengan kejujuranmu." Ku naikkan ujung alis ke atas. Tak mengerti dengan ucapan Yusuf barusan. Kejujuran, kejujuran apa maksudnnya?"Maksudnya apaan?""Ya, kejujuran tentang perasaan kamu sama bini aku tempo hari. Gak nyangka ternyata selama ini kamu memendam rasa pada Anita. Tunggu, apa jangan-jangan bunga waktu itu bukan untuk hadiah kehamilan melainkan untuk istriku." Kutelan saliva dengan susah payah. Ya Tuhan, kenapa Romi bisa tahu. Padahal waktu itu dia tak ada di rumah. Apa jangan-jangan Anita cerita pada Yusuf. Tapi kok rasanya tak mungkin. Anita bukan wanita yang suka mengadu atau membuka aib orang lain. "Bingung kan kenapa aku tahu semuanya padahal aku tak di rumah?" Yusuf seperti bisa membaca isi pikiranku. Apa yang harus ku jawab. Hanya satu
Pov Intan"Intan, disaksikan kedua sahabatmu." Mas Romi menghembuskan nafas perlahan "maukah kamu menjadi ibu dari anak-anakku?"Mataku melotot mendengar perkataan Mas Romi. Mas Romi sadar kan? Dia sedang tidak membayangkan Mbak Anita kan?Aku masih diam, mulutku enggan menjawab perkataan Mas Romi. Entah mengapa aku belum percaya yang ia ucapkan. Semudah itukah dia melupakan pesona Mbak Anita? Walau tak bisa ku pungkiri, ada rasa bahagia mendengar setiap kata yang keluar dari mulutnya. "Bagaimana Intan? Maukah kamu menjadi istriku?"Jantungku dipacu lebih cepat. Dag dig dug. Jawaban apa yang harus ku katakan? "Bilang iya, Tan! Tak usah kamu merasa tak enak padaku. Aku sadar perkara hati tak bisa dipaksakan. Aku ikhlas jika kamu bersama Romi. Aku yakin suatu saat Allah akan mengirimkan seorang imam padaku." Senyum tergambar di wajah Mbak Indah. Bulir bening nan hangat mengalir tanpa dikomando. Mendengar ucapan Mbak Indah membuat suasana terasa semakin haru. Bukan hanya aku saja yang
Aku melangkah ke rumah Yusuf dengan perasaan tak menentu. Mobil Indah dan sepeda Intan sudah terparkir rapi di carport. Apakah aku bisa menyelesaikan masalah ini dengan baik? Setelah semua jelas, akankah Intan mau menerima perjodohan kami? Bagaimana jika akhirnya kedua wanita itu justru membenciku? Berbagai prasangaka memenuhi pikiranku. Ya Allah bantu aku. Ting ... Tong .... Suara bel setelah ku tekan. Aku berdiri di depan pintu sambil meremas kedua tangan. Rasa gugup dan takut bercampur menjadi satu. Pintu di buka dari dalam. Jantung di pacu lebih cepat saat menanti siapakah orang yang membuka pintu. Semoga saja bukan Intan atau Indah. Seorang wanita paruh baya tersenyum kala menyambutku. Berjalan berjajar lalu masuk ke rumah bernuansa modern ini. "Apakah ada masalah, Rom?" tanya tante Ningrum. "Sedikit tan, hanya kesalahan pahaman saja. Ini mau diselesaikan."Ternyata masalah ini sudah sampai ke telinga tante Ningrum. Aku menjadi tak enak hati karena ketidak tegasanku yan
Pov Romi"Jangan asal bicara, nanti akan menimbulkan fitnah," ucap papa. "Itu kenyataan, dan Romilah penyebab kematian Febi!"Ya Tuhan, ada apa lagi ini? Bisa-bisanya Om Damar memutar balikkan fakta. Orang tak tahu pasti akan percaya. Terlebih dia memiliki kekuasaan. "Ayo, Rom, ma, kita pulang saja," ucap papa melanjutkan langkah. Tak ia perdulikan tatapan penuh kemenangan di wajah Om Damar. "Dasar pengecut!"Kami tak membalas ucapan lelaki tua itu. Percuma meladeni orang seperti itu. Hanya akan menimbulkan rasa lelah saja. Biarpun kami tak bisa membalas cukup adukan pada Sang Pencipta. Aku yakin Allah akan menegurnya dengan cara-Nya sendiri. Kami melangkah meninggalkan kerumunan para pelayat.Tatapan sinis tergambar dari raut mereka. Sesuatu yang viral tempo hati seakan hilang dalam sekajap. Uang dan kuasa mampu membungkam hal seperti itu. "Mama sudah bilang, papa sih tidak percaya!" omel mama setelah kami masuk ke mobil. "Tidak apa-apa ma, yang penting kita sudah berusaha untuk
Duduk termenung di balkon. Menatap langit yang masih tertutup mendung meski air tak lagi berjatuhan. Namun bintang dan bulan masih enggan nampak.Semilir dinginnya angin malam tak mampu mengusik diriku dari sini. "Intan atau Indah yang kamu cintai?" Perkataan Anita tadi kembali mengusik pikiranku. Benarkah kedua wanita itu menyukaiku? Apakah Indah adalah alasan Intan menolak perjodohan kami? Cinta itu sebuah perjuangan. Tapi kenapa Intan memilih mengalah dibandingkan berjuang. Apa karena aku terlalu dingin dan terkesan mengabaikannya? Entahlah, aku sendiri bingung memikirkan itu. Intan dan Indah adalah dua pribadi yang berbeda. Intan dengan penampilan tertutupnya dan Indah wanita fashionable. Keduanya memang memiliki pribadi yang baik. Namun jika aku harus memilih, tentu Intan lah yang ingin ku jadikan pendamping hidup. Bukan, bukan hanya karena Intan sholehah tapi juga karena mama sudah cocok dengan wanita berhijab menjuntai itu. Bukankah hubungan menantu dan mertua sangat berpen
"Tan," panggilku sedikit keras. "I-iya Mas," jawabnya gugup. Aku yakin dia gugup mau menjawab apa. "Bagaimana jawaban kamu?" Intan menyatukan dua alis. Pandangan tajam ke arahku. Apa aku salah bicara? "Maaf Mas, Intan belum bisa."Hancur sudah harapanku. Harusnya aku tidak bilang saja. Sekarang hanya malu yang ku rasa. "Maaf ya Mas, Intan belum bisa mencicil biaya rumah sakit ibu. Intan belum punya uang." Aku bengong mendengar jawabannya. "Bukan yang itu, Tan. Yang tadi," ucapku berusaha mengingatkan Intan. "Dari tadi Mas Romi bilang tentang uang berobat kan?"Ya Allah, Ya Robb... Susah payah menenangkan hati agar bisa bicara pada Intan. Namun dia justru tak mendengar. Percuma menahan detak jantung. Anak ini memang keterlaluan. Harusnya aku diam saja tadi. "Lupakan saja, Tan. Untuk uang pengobatan tak usah dikembalikan. Aku ikhlas kok.""Tapi, Mas!""Kamu kan sudah jagain mama aku selama tiga hari. Anggap saja kita impas""Tidak bisa gitu dong, Mas. Saya ikhlas kok.""Sudah ah