Pov RomiMalam yang sunyi, tak ada bintang dan bulan yang mewarnai langit malam ini. Seperti hatiku yang sepi. Kehilangan Anita membuat hidupku sunyi, tak ada arah dan harapan. Kalau boleh jujur, aku masih memendam rasa padanya. Meski ini salah karena masih mencintai istri dari sepupuku sendiri.Tapi apalah daya, memang itu kenyataannya.Jarum jam sudah menunjukkan angka satu dini hari. Namun rasa kantuk seperti tak menghampiri diri ini.Membuka pintu dan duduk di balkon sambil menatap langit malam ini. Membuka ponsel, mencari kesibukan agar hati tak selalu terpaku dan memikirkan Anita. Aku tahu ini dosa.Membuka status teman di aplikasi berwarna hijau. Dada terasa sesak membaca status dari Yusuf. Sepupu sekaligus suami dari pujaan hatiku.[Terima kasih sayang, ini hadiah terindah. Semoga kamu dan calon buah hati kita selalu dalam keadaan sehat.]Ingin membalas dengan ucapan selamat tetapi hati kecilku berkata tidak. Sakit, rasanya seperti di tusuk sembilu. Bukankah harusnya aku bahagi
Langit malam ini begitu indah namun tak seperti hatiku yang gelap.Malam ini Allah menegurku lagi, harusnya aku sadar diri, Anita tak mungkin kumiliki. Mengacak rambut, frustasi. Aku duduk di tepi jalan sambil melihat kendaraan berlalu lalang. Tak jarang kulihat sepasang kekasih berboncengan begitu mesra.Membuat diri ini merasakan iri. Ya Allah, begitu berat kehilangan cinta dan kekasih hati. Andai saja sejak awal mama mengizinkanku dengan Anita,mungkin saat ini aku tengah hidup bahagia bersamanya. Astagfirullah...Maafkan hambamu ini yang telah berburuk sangka pada-Mu. Mungkin memang Engkau tidak menjodohkan aku dengan Anita. Satu pintaku Ya Allah, hapus dan buang rasa ini untuknya. Sungguh aku tak sanggup dengan perasaan seperti ini. Aku tersiksa. Aku melajukan kembali mobil dengan kecepatan sedang. Pikiran masih saja tertuju kepada Anita, hingga aku tidak bisa fokus mengemudi. Bayang-bayang kemesraan Yusuf dan Anita tergambar jelas di pelupuk mata. "Sayang, kalau makan pelan-p
Uhuukk... Uhuukk... Aku terbatuk, tersedak air liurku sendiri. Ya Allah, bagaimana bisa Intan tahu betul perasaanku saat ini, padahal kami hanya saling bertemu saja. Atau jangan-jangan Anita yang menceritakan semuanya pada Intan?Ah, rasanya tak mungkin Anita seperti itu. Aku tahu betul dia seperti apa."Maksud kamu apa, Tan?" kilahku. "Tak usah bertanya Mas, saya tahu anda mengerti dengan yang saya ucapkan," jawabnya tanpa menoleh sedikitpun padaku. Sungguh menyebalkan! Kalau saja aku tidak merasa bersalah, sudah kuturunkan saat ini juga. Aku memilih diam hingga suasana menjadi canggung. Dasar rese si Intan. "Belok kiri Mas, rumah saya depan pos ronda."Tanpa menjawab kuhentikan mobil tepat di rumah sederhana dengan bunga-bunga mewarnai halaman rumahnya yang kecil. "Terima kasih,Mas," ucapnya lalu turun dari mobilku. Melangkah memasuki halaman.Hingga dia hilang dari balik pintu. Segera kulakukan mobil menuju rumahku. Perkataan Intan masih saja terngiang-ngiang di telingaku.Mema
"Siapa yang bertamu,Bu?" tanya Intan memotong ucapanku. Membuatku bernapas lega. Setidaknya ada Intan yang bisa menjelaskan semuanya. Seraut wajah nanti cantik keluar dari belakang. Mungkin dari dapur. Sementara ada dua kamar terletak di sebelah ruang tamu. Lumayan luas untuk ukuran rumah kecil seperti ini. Mataku tak berkedip menyaksikan indahnya ciptaan Allah. Bulu mata lentik dengan hidung mancung terukir jelas di wajahnya. Baru kali ini aku melihat wajah Intan. Ya, karena selama ini dia selalu menutup wajahnya dengan cadar. "Astagfirullah ...,"ucapnya lalu masuk ke dalam kamar. Langkahnya sedikit tertatih. Ini pasti karena kejadian semalam. Aduh, aku menjadi merasa bersalah. Akibat ketidakhati-hatianku membuat orang lain merasakan sakit. Tak berapa lama Intan keluar dari kamar, tapi kini wajah cantiknya tak lagi terlihat. Ada kain penghalang yang menutupi wajah cantiknya. Dan kini hanya terlihat sepasang mata yang menatapku tajam. Ya Allah, salah apa diriku ini? Dipertemuka
Menyalakan mesin mobil sportku,tak lama kendaraan roda empat ku berjalan meninggalkan perkampungan Intan. Sengaja berjalan dengan perlahan karena area perkampungan yang ditinggali banyak penduduk. Dan banyak anak kecil, aku tak ingin kejadian semalam terulang kembali. Beberapa kali melihat benda yang melingkar di tangan. Ternyata jarum jam sudah menunjukkan pukul sembilan lebih sepuluh menit. Aku sudah terlambat sepuluh menit. Bisa gawat kalau Om Damar menungguku terlalu lama. Ku lajukan mobil dengan kecepatan tinggi saat berada di jalan raya. Aku tak ingin Om Damar marah karena aku terlambat terlalu lama. Melihat jam tangan yang melingkar di pergelangan. Ya Allah sudah setengah sepuluh rupanya. Mati aku!Ku tepikan mobil sembarangan, bergegas menuju lantai lima. Tak lupa kunci mobil ku serahkan pada Edo, satpam muda yang usianya dibawah dua tahun dariku. Aku memang sering seperti ini saat terlambat masuk kantor.Dan Edo yang akan memarkirkan mobilku. Karena hanya dia satpam yang b
Romi duduk di sofa, sesekali memijit kepala yang berdenyut nyeri. Mungkin saat ini rasanya mau pecah. Kembali ucapan Om Damar terngiang di telinganya. PYAARGelas si atas meja menjadi sasaran kemarahan Romi. Hancur menjadi kepingan kecil. Lelaki yang biasanya penuh dengan kesabaran. Kini mulai susah mengatur emosi. "Aku gak mau menikah dengan Febi ...!" Gumam Romi kesal. Ting... Satu pesan masuk di aplikasi berwarna hijau itu. Romi merogoh ponsel yang ada dalam saku celananya. Satu pesan dari Om Damar. Dengan rasa malas ia membuka pesan itu. [ingat Rom, hanya satu minggu. ]"Dasar lelaki edan. Kalau saja dia bukan orang tua, sudah pasti habis di tanganku," batin Romi geram. Romi mengacak rambut, frustasi. Pikirannya pusing tak karuan. Lelaki dengan tubuh atletis itu bingung bagaimana cara menyampaikan kabar buruk ini kepada kedua orang tuanya. Romi begitu kesal setelah membaca pesan Damar. Dengan kasar ponsel di tangan kanannya di banting begitu saja. Untung saja ponsel itu jat
Aku menyadarkan tubuh di teras masjid agung. Rasanya tubuh ini enggan melangkah pergi. Begitu damai rumah Allah ini. Beban yang aku tanggung seakan hilang dalam sekejap. Krucuukk... Suara perut terdengar jelas. Ya, pasti cacing di dalamnya sudah protes meminta haknya. Aku baru ingat,siang tadi tak ada seciul makanan yang masuk. Akibat ancaman Om Damar yang masih mendominasi pikiran hingga membuatku tak nafsu makan. Ah, betapa bodohnya diriku ini! Kalau sakit aku juga yang rasain. Kenapa mesti memikirkan orang lain? Bukakah orang lain bahkan tak perduli dengan perasaanku. Febi dan Om Damar tak ada yang mengerti perasaanku. Mereka hanya mementingkan perasaan mereka sendiri. Sudah, saatnya aku berpikir jalan yang harus ku ambil untuk menyelamatkan perusahaan saat Om Damar menghentikan kucuran dananya. Menghirup oksigen agar masuk ke paru-paru, aku menetralisir amarah yang ada di dada. Melajukan kendaraan roda empat, aku mencari rumah makan padang. Entah kenapa aku menginginkan maka
Satu minggu begitu cepat. Ini adalah waktunya aku memberikan jawaban. Apakah aku siap? Ya Robb, beri aku kekuatan. Semoga jawabanku tak menyakiti hati orang lain. Ting... Satu notifikasi pesan masuk. Ya, siapa lagi kalau bukan Om Damar. Pasti beliau akan mengancamku lagi. [Om tunggu di rumah Febi. Ingat Rom, perusahaan kamu menjadi taruhannya. ]Aku menghembuskan nafas kasar. Lagi dan lagi beliau menggunakan kekuasaan untuk mengancamku. Perusahaan menjadi alasan kuat beliau yakin aku akan menyetujui permintaan gilanya. Mobil melesat membelah keramaian jalanan ibu kota. Ini adalah jam istirahat, banyak karyawan pergi untuk membeli makan. Meski tak semacet pagi atau sore. Namun tetap saja banyak kendaraan berlalu lalang. Kriingg... Ponsel di dalam saku jas menjerit-jarit. Segera aku ambil benda pipih berwarna hitam itu. Ah, panggilan dari Om Damar. Malas, ku diamkan saja hingga benda pipih itu membisu dengan sendirinya. Lagi ponsel itu bernyanyi kembali. Kutepikan kendaraan roda
"Ayo naik, ada yang ingin saya bicarakan." Aldi segera masuk ke mobil. Dengan berat hati Indah pun masuk ke mobil Aldi. "Dasar manusia kutub egois!" umpat Indah dalam hati. Kendaraan roda empat milik Aldi berjalan meninggalkan kantor. Hening, tak ada sepatah kata pun yang keluar dari mulut kedua orang itu. "Kamu sudah sholat?" tanya Aldi memecah keheningan. "Baru tanggal merah, Pak." Aldi tersenyum mendengar jawaban Indah. Bukan, bukan karena tanggal merah. Namun rencananya akan berjalan lancar tanpa kendala. Mobil melaju dengan kecepatan tinggi. Aldi ingin segera sampai tempat tujuan. Karena jarak kantor dan pantai yang ia tujuh hampir dua jam. "Pak, ini bukan jalan menuju rumah saya!" protes Indah karena arah jalan menuju pinggiran kota. Bukan menuju tempat tinggal gadis berambut panjang itu. "Jangan protes!" jawab Aldi dengan mata fokus melihat depat. Tak ia hiraukan wajah Indah yang menjadi masam. "Nanti orang tua saya khawatir, Pak. Putar balik, Pak. Saya ingin pulang!""
Kini usia kandungan Intan sudah memasuki lima bulan. Selama itu pula Romi dan Intan tidur terpisah. Intan tidur di kamar tamu sedang Romi berada di lantai atas. Mereka berdua hanya bertegur sapa menggunakan ponsel. Pernah suatu ketika Romi sangat merindukan Intan. Ingin mencium istri dan bayi kembar yang ada di dalam kandungan. Namun saat bertemu Intan bukan kemesraan ya ia terima. Melainkan istrinya yang lemas karena muntah. Hampir lima bulan Intan dan Romi bagai orang asing. Romi selalu menyingkir saat bertemu Intan, begitu pula sebaliknya. [Sayang, Mas kangen. Pengen peluk.]Satu pesan masuk dari Romi, Intan tersenyum kala membaca pesan sang suami. Namun kemudian ia meneteskan air mata. Intan merasa belum bisa menjadi istri yang baik. Belum bisa melayani suami. Dalam hati wanita berhijab menjuntai itu sangat merindukan pelukan Romi. Namun lagi-lagi terhalang dengan rasa mual yang mendera. Hingga sebuah ide muncul dalam kepala Intan. Ia berharap ide ini berhasil. Dan menepis jar
Bijaklah dalam membaca, yang dibawah umur di skip saja. Pov RomiAku berjalan menuju kamar. Jantung rasanya ingin lepas dari sarangnya, dag ... dig... dug,berdetak lebih kencang. Seperti inikah malam pertama dengan wanita yang ku cinta? Rumah sudah sepi. Mama dan papa sudah tidur di kamar. Ibu Halimah sendiri memilih pulang diantar Pak Yadi. Dan Nadia merengek minta diantar ke rumah sakit. Ku buka pintu perlahan. Intan tak ada di ranjang, pasti sedang di kamar mandi. Ku jatuhkan bobot di atas kasur. Mencoba menetralisir degup jantung ini yang tak menentu. Kreeek... Pintu kamar mandi di buka dari dalam. Mataku melotot melihat seorang wanita yang keluar. Intan memakai setelan celana dan baju lengan panjang. Rambut hitam panjangnya dibiarkan terurai begitu saja. Ia berjalan ke arahku sambil menundukkan kepala. Membuatku semakin gemas melihatnya. Perlahan Intan menjatuhkan bobot di kasur sebelahku. Wajahnya masih menunduk. Apakah ia malu dan deg-degan, seperti yang ku rasakan saat i
Pov Romi"Ngelamun saja Rom!" Satu tepukan dipundak meyentakku dari lamunan. "Gangguin orang sedang berkhayal saja bro!" Yusuf hanya tersenyum melihat ekspresi kesal yang nampak di wajahku. "Sabar, besok juga sudah halal. Aku salut dengan kejujuranmu." Ku naikkan ujung alis ke atas. Tak mengerti dengan ucapan Yusuf barusan. Kejujuran, kejujuran apa maksudnnya?"Maksudnya apaan?""Ya, kejujuran tentang perasaan kamu sama bini aku tempo hari. Gak nyangka ternyata selama ini kamu memendam rasa pada Anita. Tunggu, apa jangan-jangan bunga waktu itu bukan untuk hadiah kehamilan melainkan untuk istriku." Kutelan saliva dengan susah payah. Ya Tuhan, kenapa Romi bisa tahu. Padahal waktu itu dia tak ada di rumah. Apa jangan-jangan Anita cerita pada Yusuf. Tapi kok rasanya tak mungkin. Anita bukan wanita yang suka mengadu atau membuka aib orang lain. "Bingung kan kenapa aku tahu semuanya padahal aku tak di rumah?" Yusuf seperti bisa membaca isi pikiranku. Apa yang harus ku jawab. Hanya satu
Pov Intan"Intan, disaksikan kedua sahabatmu." Mas Romi menghembuskan nafas perlahan "maukah kamu menjadi ibu dari anak-anakku?"Mataku melotot mendengar perkataan Mas Romi. Mas Romi sadar kan? Dia sedang tidak membayangkan Mbak Anita kan?Aku masih diam, mulutku enggan menjawab perkataan Mas Romi. Entah mengapa aku belum percaya yang ia ucapkan. Semudah itukah dia melupakan pesona Mbak Anita? Walau tak bisa ku pungkiri, ada rasa bahagia mendengar setiap kata yang keluar dari mulutnya. "Bagaimana Intan? Maukah kamu menjadi istriku?"Jantungku dipacu lebih cepat. Dag dig dug. Jawaban apa yang harus ku katakan? "Bilang iya, Tan! Tak usah kamu merasa tak enak padaku. Aku sadar perkara hati tak bisa dipaksakan. Aku ikhlas jika kamu bersama Romi. Aku yakin suatu saat Allah akan mengirimkan seorang imam padaku." Senyum tergambar di wajah Mbak Indah. Bulir bening nan hangat mengalir tanpa dikomando. Mendengar ucapan Mbak Indah membuat suasana terasa semakin haru. Bukan hanya aku saja yang
Aku melangkah ke rumah Yusuf dengan perasaan tak menentu. Mobil Indah dan sepeda Intan sudah terparkir rapi di carport. Apakah aku bisa menyelesaikan masalah ini dengan baik? Setelah semua jelas, akankah Intan mau menerima perjodohan kami? Bagaimana jika akhirnya kedua wanita itu justru membenciku? Berbagai prasangaka memenuhi pikiranku. Ya Allah bantu aku. Ting ... Tong .... Suara bel setelah ku tekan. Aku berdiri di depan pintu sambil meremas kedua tangan. Rasa gugup dan takut bercampur menjadi satu. Pintu di buka dari dalam. Jantung di pacu lebih cepat saat menanti siapakah orang yang membuka pintu. Semoga saja bukan Intan atau Indah. Seorang wanita paruh baya tersenyum kala menyambutku. Berjalan berjajar lalu masuk ke rumah bernuansa modern ini. "Apakah ada masalah, Rom?" tanya tante Ningrum. "Sedikit tan, hanya kesalahan pahaman saja. Ini mau diselesaikan."Ternyata masalah ini sudah sampai ke telinga tante Ningrum. Aku menjadi tak enak hati karena ketidak tegasanku yan
Pov Romi"Jangan asal bicara, nanti akan menimbulkan fitnah," ucap papa. "Itu kenyataan, dan Romilah penyebab kematian Febi!"Ya Tuhan, ada apa lagi ini? Bisa-bisanya Om Damar memutar balikkan fakta. Orang tak tahu pasti akan percaya. Terlebih dia memiliki kekuasaan. "Ayo, Rom, ma, kita pulang saja," ucap papa melanjutkan langkah. Tak ia perdulikan tatapan penuh kemenangan di wajah Om Damar. "Dasar pengecut!"Kami tak membalas ucapan lelaki tua itu. Percuma meladeni orang seperti itu. Hanya akan menimbulkan rasa lelah saja. Biarpun kami tak bisa membalas cukup adukan pada Sang Pencipta. Aku yakin Allah akan menegurnya dengan cara-Nya sendiri. Kami melangkah meninggalkan kerumunan para pelayat.Tatapan sinis tergambar dari raut mereka. Sesuatu yang viral tempo hati seakan hilang dalam sekajap. Uang dan kuasa mampu membungkam hal seperti itu. "Mama sudah bilang, papa sih tidak percaya!" omel mama setelah kami masuk ke mobil. "Tidak apa-apa ma, yang penting kita sudah berusaha untuk
Duduk termenung di balkon. Menatap langit yang masih tertutup mendung meski air tak lagi berjatuhan. Namun bintang dan bulan masih enggan nampak.Semilir dinginnya angin malam tak mampu mengusik diriku dari sini. "Intan atau Indah yang kamu cintai?" Perkataan Anita tadi kembali mengusik pikiranku. Benarkah kedua wanita itu menyukaiku? Apakah Indah adalah alasan Intan menolak perjodohan kami? Cinta itu sebuah perjuangan. Tapi kenapa Intan memilih mengalah dibandingkan berjuang. Apa karena aku terlalu dingin dan terkesan mengabaikannya? Entahlah, aku sendiri bingung memikirkan itu. Intan dan Indah adalah dua pribadi yang berbeda. Intan dengan penampilan tertutupnya dan Indah wanita fashionable. Keduanya memang memiliki pribadi yang baik. Namun jika aku harus memilih, tentu Intan lah yang ingin ku jadikan pendamping hidup. Bukan, bukan hanya karena Intan sholehah tapi juga karena mama sudah cocok dengan wanita berhijab menjuntai itu. Bukankah hubungan menantu dan mertua sangat berpen
"Tan," panggilku sedikit keras. "I-iya Mas," jawabnya gugup. Aku yakin dia gugup mau menjawab apa. "Bagaimana jawaban kamu?" Intan menyatukan dua alis. Pandangan tajam ke arahku. Apa aku salah bicara? "Maaf Mas, Intan belum bisa."Hancur sudah harapanku. Harusnya aku tidak bilang saja. Sekarang hanya malu yang ku rasa. "Maaf ya Mas, Intan belum bisa mencicil biaya rumah sakit ibu. Intan belum punya uang." Aku bengong mendengar jawabannya. "Bukan yang itu, Tan. Yang tadi," ucapku berusaha mengingatkan Intan. "Dari tadi Mas Romi bilang tentang uang berobat kan?"Ya Allah, Ya Robb... Susah payah menenangkan hati agar bisa bicara pada Intan. Namun dia justru tak mendengar. Percuma menahan detak jantung. Anak ini memang keterlaluan. Harusnya aku diam saja tadi. "Lupakan saja, Tan. Untuk uang pengobatan tak usah dikembalikan. Aku ikhlas kok.""Tapi, Mas!""Kamu kan sudah jagain mama aku selama tiga hari. Anggap saja kita impas""Tidak bisa gitu dong, Mas. Saya ikhlas kok.""Sudah ah