"Nit ... Nita." Indah menepuk pelan pundakku, menyadarkan dari lamunan tentang Mas Deni. "Iya," jawabku dengan air mata yang belum mengering. "Sabar, ini sudah kehendak Illahi. Mau melayat hari ini atau besok. Mungkin satu jam lagi jenazah sudah berada di kediaman Mas Deni.""Besok saja,ini sudah terlalu malam." Kulihat jarum jam sudah menunjukkan angka sebelas. "Besok biar ditemani Intan,ya." Kuanggukan kepala saat mulut ini terasa kelu hanya untuk sekedar menjawab. Merebahkan badan di atas kasur, mencoba memejamkan mata, tapi bayang Mas Deni menari-nari di benakku. Tiga tahun bukan waktu yang sebentar untuk mengenal Mas Deni, walaupun akhirnya dia tega menancapkan belati di hati.Masih terngiang-ngiang di telingaku, Mas Deni meminta rujuk padaku. Maaf,Mas aku tega padamu, tapi semua karena ulahmu. Kamu menuai apa yang kamu tanam,Mas. ***Intan melajukan mobil dengan kecepatan rata-rata membelah keramaian ibu kota. Kulihat jam tangan, baru menunjukan pukul delapan pagi. Pemakam
"Mas Yusuf," ucapku kaget. "Mbak Nita apa kabar?" Senyum manis terlukis dari bibir indahnya. "Alhamdulillah baik, seperti yang mas lihat.""Mas Yusuf gak tanya aku gitu? Aduh beneran jadi obat nyamuk nih," ucap Intan kesal. "Ha ha ha...." Aku dan Mas Yusuf tertawa serempak. Sesaat mata kita saling bertemu, Mas Yusuf seperti salah tingkah saat kulihat, rona merah terlihat di pipinya. "Nadia tidak ikut,Mas?" "Nadia sama Omanya,Mbak.""Mbak Nita sama Mas Yusuf cocok lho,buruan Mas Yusuf halalin Mbak Nitanya sebentar lagi masa iddahnya selesai lho."Uhuk... Uhuk.... Ucapan Intan berhasil membuatku tersedak. Intan ada-ada saja dia. Hening, suasana canggung menyelimuti makan kali ini. Gara-gara Intan jadi serba kaku begini. Si Intan justru tidak merasa bersalah sama sekali. "Hari minggu besok ada acara tidak,Mbak Nita?" tanya Mas Yusuf, bukan mencairkan suasana tapi menambah tegang saja. "Paling ke toko Mas, memangnya ada apa,ya?""Pasti mau ngajak jalan, atau gak mau ke rumah sa
Pov YusufAku mengenalnya secara tak sengaja. Pertama melihatnya tak ada rasa. Bagiku dia wanita pada umumnya. Hingga pertemuan kedua kali, entah mengapa Nadia begitu menyukainya.Bahkan memanggilnya mama, padahal sudah kujelaskan bahwa mamanya sudah tenang di surga. Tapi dia tetap kekeh memanggilnya mama. Kulihat wanita itu, ternyata dia begitu lembut dan penyayang, sorot matanya teduh,begitu keibuan, pantas saja Nadia jatuh hati padanya. Bahkan aku jadi mendoakan yang buruk untuknya. Tapi sungguh wanita itu telah mencuri hatiku, padahal namanya saja aku tak tahu. "Bapak...!" teriakan Bik Surti mengagetkanku. "Ada apa,Bik?" tanyaku sambil melangkahkan kaki menuju tempat Bi Surti berada. "Non Nadia panas,Pak," ucapnya sambil berjalan ke kamar putri kecilku. Dengan cepat kuikuti Bu Surti. Telapak tangan kutempelkan di dahi Nadia, benar-benar panas. "Kita bawa Nadia ke rumah sakit,Bik," ucapku sambil membopong Nadia menuju mobil. Bik Surti mengikutiku dari belakang. Sepanjang perj
Ibu ini kalau bicara langsung kepokoknya, tanpa basa-basi. Bagaimana kalau Anita tersinggung. "Saya memang sangat menyayangi Nadia Bu,bahkan sudah saya anggap seperti anak saya sendiri. Nadia sangat mengemaskan ...." Anita menjeda ucapannya. "Tapi untuk menikah dalam jangka waktu dekat, saya belum kepikiran Bu, saya masih ingin sendiri. Masa iddah saya juga belum selesai."Tak bisa kututupi rasa kecewaku dengan jawaban Anita. Tapi mau apa, toh ini keputusannya. Mungkin aku saja yang terlalu berharap padanya. Atau mungkin aku terlalu cepat mengungkapkannya. "Aku akan menunggumu sampai kamu benar-benar siap," ucapku mantap. Anita menganggukkan kepala,sepertinya dia memberi lampu hijau padaku. Alhamdulillah... Aku akan berusaha meluluhkan hatimu.Hari ini akan kunyatakan lagi perasaan ini pada Nita. Semoga saja kali ini dia menerimaku dan segera akan ku halalkan dia.Pukul sepuluh kulajukan mobil perlahan, menyusuri padatnya jalanan ibu kota. Hari ini tak ada jadwal ke pengadilan ma
Pov RomiAku duduk terpaku menatap kepergian Anita, wanita yang benar-benar aku cintai.Tadinya aku sangat berharap dia akan menerima cintaku. Tapi ternyata aku salah. Anita menolakku,dan aku tau alasannya. Karena mama tak merestui hubungan kami, mama pikir janda itu murahan. Sehingga beliau sangat menentang hubungan kami. Bagi Anita sendiri, restu adalah hal utama. Tapi bukankah kita bisa berjuang untuk mendapatkan restu. Aku sangat yakin dengan kelembutan Anita, pasti mama akan luluh juga.Apa kamu tak mencintaiku, Nit? Apa ada orang lain di hati kamu? Kenapa kita tak mencoba dulu? Aku tahu perkataan mama menyakitkan, ingin rasanya aku membelamu kala itu. Tapi aku takut akan menjadi anak durhaka. Bukankah kamu tahu, surgaku ada ditelapak kaki ibuku? Tidakkah kamu mengerti itu? Anita...Nita...! Aku berjalan sambil melamun, beberapa kali hampir terjatuh karena tersandung kursi atau menabrak meja. Ah, aku tak perduli. Sekarang yang ada dipikiranku hanya Anita dan Anita. BRUUUGG... "
Pov AnitaMentari telah bangun dari singgasananya. Memberi kehangatan bagi makhluk hidup di muka buka. Membuka jendela kamar, agar udara segar dapat masuk ke dalam. Kuhirup dalam-dalam pemberian Sang Pencipta. Alhamdulillah... Allah masih memberiku kehidupan sampai saat ini.Kulangkahkan kaki ke kamar mandi, menguyur seluruh tubuh dengar air dingin. Membuat diri ini lebih fresh. Setelah mandi ku poles sedikit bedak dan lipstik di bibir. Sempurna"Bu Inem saya berangkat dulu ya, Assalamu'alaikum ...." Aku berjalan cepat meninggalkan rumah."Waalaikumsalam,Mbak Anita hati-hati di jalan,ya." ucapnya sambil menutup pintu depan. Bu Inem memang selalu menutup pintu saat hanya sendiri di rumah. Maklumlah sekarang banyak orang jahat dimana-mana. Seperti pesan dalam sebuah acara kriminal di salah satu stasiun televisi.Kejahatan bukan hanya karena ada niat tapi juga karena ada kesempatan. Waspadalah...waspadalah...! Begitulah kira-kira pesannya. Kulajukan mobil perlahan membelah padatnya j
Pov RaniHari ini aku akan ke rumah Nita,akan kuminta apa yang menjadi milik Mas Deni. Enak saja dia menikmati sendiri. Mobil itu harus menjadi milikku, bagaimanapun caranya.Kupesan ojek online, lima menit lagi pasti sudah sampai rumah. Sengaja aku tak membawa motor supaya mudah membawa mobil.Aku senyum-senyum sendiri membayangkan pulang membawa sebuah mobil. Pasti ibu sangat senang. Sengaja tak kuberi tahu agar menjadi kejutan untuknya.[Sesuai aplikasi ya,mbak.]Satu pesan dari driver ojol.[Iya Pak.]SendTak berapa lama seorang ojek online berhenti tepat di depan gerbang rumah. Segera aku duduk di jok belakang, motor pun melaju dengan kecepatan sedang membelah padatnya jalan raya.Sepanjang perjalanan tukang ojek selalu mencuri pandang padaku, sering menanyakan hal-hal tak penting. Membuatku ilfeel saja. Ingin rasanya kuhajar dari belakang. Tapi takut urusannya jadi panjang.Dasar tukang ojek genit, tidak bisa melihat wanita cantik!Akhirnya sampai juga di rumah Nita. Segera aku
Aku mendengus kesal, pasalnya apa yang aku rencanakan gatot alias gagal total. Entah Nita sudah menjelaskan atau memang ibunya Yusuf tak percaya padaku. Hari pernikahan mereka sudah dekat tak sampai satu minggu mereka akan sah menjadi suami istri. Aku gak mau ini terjadi. Berfikir, berfikir Rani...! Kuacak rambut yang tak gatal, secepatnya aku harus bisa membatalkan pernikahan mereka. Mas Deni pasti senang kalau Nita menjanda seumur hidupnya. Satu ide gila muncul begitu saja, tapi resiko ini terlalu besar. Kalau sampai aku gagal bagaimana? Tapi ini ide terakhirku, hanya ini satu-satunya cara membatalkan pernikahan mereka. Dua pendapat berlawanan saling beradu di pikiranku. Membuatku harus berfikir matang-matang untuk melakukannya. Tekatku sudah bulat, akan kulakukan apapun untuk membalas iri dan dendamku pada Nita. Bukan Rani namanya jika segitu saja menyerah. Ku ambil ponsel, kucari kontak bernama Roy. Dialah teman semasa sekolah dulu. Yang aku tau sekarang dia menjadi salah
"Ayo naik, ada yang ingin saya bicarakan." Aldi segera masuk ke mobil. Dengan berat hati Indah pun masuk ke mobil Aldi. "Dasar manusia kutub egois!" umpat Indah dalam hati. Kendaraan roda empat milik Aldi berjalan meninggalkan kantor. Hening, tak ada sepatah kata pun yang keluar dari mulut kedua orang itu. "Kamu sudah sholat?" tanya Aldi memecah keheningan. "Baru tanggal merah, Pak." Aldi tersenyum mendengar jawaban Indah. Bukan, bukan karena tanggal merah. Namun rencananya akan berjalan lancar tanpa kendala. Mobil melaju dengan kecepatan tinggi. Aldi ingin segera sampai tempat tujuan. Karena jarak kantor dan pantai yang ia tujuh hampir dua jam. "Pak, ini bukan jalan menuju rumah saya!" protes Indah karena arah jalan menuju pinggiran kota. Bukan menuju tempat tinggal gadis berambut panjang itu. "Jangan protes!" jawab Aldi dengan mata fokus melihat depat. Tak ia hiraukan wajah Indah yang menjadi masam. "Nanti orang tua saya khawatir, Pak. Putar balik, Pak. Saya ingin pulang!""
Kini usia kandungan Intan sudah memasuki lima bulan. Selama itu pula Romi dan Intan tidur terpisah. Intan tidur di kamar tamu sedang Romi berada di lantai atas. Mereka berdua hanya bertegur sapa menggunakan ponsel. Pernah suatu ketika Romi sangat merindukan Intan. Ingin mencium istri dan bayi kembar yang ada di dalam kandungan. Namun saat bertemu Intan bukan kemesraan ya ia terima. Melainkan istrinya yang lemas karena muntah. Hampir lima bulan Intan dan Romi bagai orang asing. Romi selalu menyingkir saat bertemu Intan, begitu pula sebaliknya. [Sayang, Mas kangen. Pengen peluk.]Satu pesan masuk dari Romi, Intan tersenyum kala membaca pesan sang suami. Namun kemudian ia meneteskan air mata. Intan merasa belum bisa menjadi istri yang baik. Belum bisa melayani suami. Dalam hati wanita berhijab menjuntai itu sangat merindukan pelukan Romi. Namun lagi-lagi terhalang dengan rasa mual yang mendera. Hingga sebuah ide muncul dalam kepala Intan. Ia berharap ide ini berhasil. Dan menepis jar
Bijaklah dalam membaca, yang dibawah umur di skip saja. Pov RomiAku berjalan menuju kamar. Jantung rasanya ingin lepas dari sarangnya, dag ... dig... dug,berdetak lebih kencang. Seperti inikah malam pertama dengan wanita yang ku cinta? Rumah sudah sepi. Mama dan papa sudah tidur di kamar. Ibu Halimah sendiri memilih pulang diantar Pak Yadi. Dan Nadia merengek minta diantar ke rumah sakit. Ku buka pintu perlahan. Intan tak ada di ranjang, pasti sedang di kamar mandi. Ku jatuhkan bobot di atas kasur. Mencoba menetralisir degup jantung ini yang tak menentu. Kreeek... Pintu kamar mandi di buka dari dalam. Mataku melotot melihat seorang wanita yang keluar. Intan memakai setelan celana dan baju lengan panjang. Rambut hitam panjangnya dibiarkan terurai begitu saja. Ia berjalan ke arahku sambil menundukkan kepala. Membuatku semakin gemas melihatnya. Perlahan Intan menjatuhkan bobot di kasur sebelahku. Wajahnya masih menunduk. Apakah ia malu dan deg-degan, seperti yang ku rasakan saat i
Pov Romi"Ngelamun saja Rom!" Satu tepukan dipundak meyentakku dari lamunan. "Gangguin orang sedang berkhayal saja bro!" Yusuf hanya tersenyum melihat ekspresi kesal yang nampak di wajahku. "Sabar, besok juga sudah halal. Aku salut dengan kejujuranmu." Ku naikkan ujung alis ke atas. Tak mengerti dengan ucapan Yusuf barusan. Kejujuran, kejujuran apa maksudnnya?"Maksudnya apaan?""Ya, kejujuran tentang perasaan kamu sama bini aku tempo hari. Gak nyangka ternyata selama ini kamu memendam rasa pada Anita. Tunggu, apa jangan-jangan bunga waktu itu bukan untuk hadiah kehamilan melainkan untuk istriku." Kutelan saliva dengan susah payah. Ya Tuhan, kenapa Romi bisa tahu. Padahal waktu itu dia tak ada di rumah. Apa jangan-jangan Anita cerita pada Yusuf. Tapi kok rasanya tak mungkin. Anita bukan wanita yang suka mengadu atau membuka aib orang lain. "Bingung kan kenapa aku tahu semuanya padahal aku tak di rumah?" Yusuf seperti bisa membaca isi pikiranku. Apa yang harus ku jawab. Hanya satu
Pov Intan"Intan, disaksikan kedua sahabatmu." Mas Romi menghembuskan nafas perlahan "maukah kamu menjadi ibu dari anak-anakku?"Mataku melotot mendengar perkataan Mas Romi. Mas Romi sadar kan? Dia sedang tidak membayangkan Mbak Anita kan?Aku masih diam, mulutku enggan menjawab perkataan Mas Romi. Entah mengapa aku belum percaya yang ia ucapkan. Semudah itukah dia melupakan pesona Mbak Anita? Walau tak bisa ku pungkiri, ada rasa bahagia mendengar setiap kata yang keluar dari mulutnya. "Bagaimana Intan? Maukah kamu menjadi istriku?"Jantungku dipacu lebih cepat. Dag dig dug. Jawaban apa yang harus ku katakan? "Bilang iya, Tan! Tak usah kamu merasa tak enak padaku. Aku sadar perkara hati tak bisa dipaksakan. Aku ikhlas jika kamu bersama Romi. Aku yakin suatu saat Allah akan mengirimkan seorang imam padaku." Senyum tergambar di wajah Mbak Indah. Bulir bening nan hangat mengalir tanpa dikomando. Mendengar ucapan Mbak Indah membuat suasana terasa semakin haru. Bukan hanya aku saja yang
Aku melangkah ke rumah Yusuf dengan perasaan tak menentu. Mobil Indah dan sepeda Intan sudah terparkir rapi di carport. Apakah aku bisa menyelesaikan masalah ini dengan baik? Setelah semua jelas, akankah Intan mau menerima perjodohan kami? Bagaimana jika akhirnya kedua wanita itu justru membenciku? Berbagai prasangaka memenuhi pikiranku. Ya Allah bantu aku. Ting ... Tong .... Suara bel setelah ku tekan. Aku berdiri di depan pintu sambil meremas kedua tangan. Rasa gugup dan takut bercampur menjadi satu. Pintu di buka dari dalam. Jantung di pacu lebih cepat saat menanti siapakah orang yang membuka pintu. Semoga saja bukan Intan atau Indah. Seorang wanita paruh baya tersenyum kala menyambutku. Berjalan berjajar lalu masuk ke rumah bernuansa modern ini. "Apakah ada masalah, Rom?" tanya tante Ningrum. "Sedikit tan, hanya kesalahan pahaman saja. Ini mau diselesaikan."Ternyata masalah ini sudah sampai ke telinga tante Ningrum. Aku menjadi tak enak hati karena ketidak tegasanku yan
Pov Romi"Jangan asal bicara, nanti akan menimbulkan fitnah," ucap papa. "Itu kenyataan, dan Romilah penyebab kematian Febi!"Ya Tuhan, ada apa lagi ini? Bisa-bisanya Om Damar memutar balikkan fakta. Orang tak tahu pasti akan percaya. Terlebih dia memiliki kekuasaan. "Ayo, Rom, ma, kita pulang saja," ucap papa melanjutkan langkah. Tak ia perdulikan tatapan penuh kemenangan di wajah Om Damar. "Dasar pengecut!"Kami tak membalas ucapan lelaki tua itu. Percuma meladeni orang seperti itu. Hanya akan menimbulkan rasa lelah saja. Biarpun kami tak bisa membalas cukup adukan pada Sang Pencipta. Aku yakin Allah akan menegurnya dengan cara-Nya sendiri. Kami melangkah meninggalkan kerumunan para pelayat.Tatapan sinis tergambar dari raut mereka. Sesuatu yang viral tempo hati seakan hilang dalam sekajap. Uang dan kuasa mampu membungkam hal seperti itu. "Mama sudah bilang, papa sih tidak percaya!" omel mama setelah kami masuk ke mobil. "Tidak apa-apa ma, yang penting kita sudah berusaha untuk
Duduk termenung di balkon. Menatap langit yang masih tertutup mendung meski air tak lagi berjatuhan. Namun bintang dan bulan masih enggan nampak.Semilir dinginnya angin malam tak mampu mengusik diriku dari sini. "Intan atau Indah yang kamu cintai?" Perkataan Anita tadi kembali mengusik pikiranku. Benarkah kedua wanita itu menyukaiku? Apakah Indah adalah alasan Intan menolak perjodohan kami? Cinta itu sebuah perjuangan. Tapi kenapa Intan memilih mengalah dibandingkan berjuang. Apa karena aku terlalu dingin dan terkesan mengabaikannya? Entahlah, aku sendiri bingung memikirkan itu. Intan dan Indah adalah dua pribadi yang berbeda. Intan dengan penampilan tertutupnya dan Indah wanita fashionable. Keduanya memang memiliki pribadi yang baik. Namun jika aku harus memilih, tentu Intan lah yang ingin ku jadikan pendamping hidup. Bukan, bukan hanya karena Intan sholehah tapi juga karena mama sudah cocok dengan wanita berhijab menjuntai itu. Bukankah hubungan menantu dan mertua sangat berpen
"Tan," panggilku sedikit keras. "I-iya Mas," jawabnya gugup. Aku yakin dia gugup mau menjawab apa. "Bagaimana jawaban kamu?" Intan menyatukan dua alis. Pandangan tajam ke arahku. Apa aku salah bicara? "Maaf Mas, Intan belum bisa."Hancur sudah harapanku. Harusnya aku tidak bilang saja. Sekarang hanya malu yang ku rasa. "Maaf ya Mas, Intan belum bisa mencicil biaya rumah sakit ibu. Intan belum punya uang." Aku bengong mendengar jawabannya. "Bukan yang itu, Tan. Yang tadi," ucapku berusaha mengingatkan Intan. "Dari tadi Mas Romi bilang tentang uang berobat kan?"Ya Allah, Ya Robb... Susah payah menenangkan hati agar bisa bicara pada Intan. Namun dia justru tak mendengar. Percuma menahan detak jantung. Anak ini memang keterlaluan. Harusnya aku diam saja tadi. "Lupakan saja, Tan. Untuk uang pengobatan tak usah dikembalikan. Aku ikhlas kok.""Tapi, Mas!""Kamu kan sudah jagain mama aku selama tiga hari. Anggap saja kita impas""Tidak bisa gitu dong, Mas. Saya ikhlas kok.""Sudah ah