Allahu Akbar...
Allahu Akbar...Aku terbangun, tidak terasa hampir dua jam aku tertidur. Sekarang badan dan pikiran menjadi lebih fresh. Aku buka pintu kamar, sepi, tak ada tanda-tanda orang di rumah. Kulihat ke teras, masih tak ada orang. Bahkan mobil Mas Deni pun tak ada, mungkin mereka pergi. Ah... Bodo amatlah.Rumah menjadi damai tanpa mereka semua. Kulangkahkan kaki menuju kamar mandi, sekalian wudhu dan menunaikan ibadah shalat ashar. "Ya Allah, yang Maha Penyayang berikan hambamu ini kesabaran dalam menghadapi ujian rumah tangga. Ya Robb... Engkau yang mampu membolak balikan isi hati, tunjukanlah pada suami hamba kebenaran yang sebenarnya. Hamba lelah Ya Allah, beri hamba petunjuk untuk menjalani semua ini. Aamiin Ya Robbal Alamin." Lega rasanya mencurahkan segala keluh kesah pada Sang Pencipta.Setelah mencurahkan isi hati kepada Sang pemilik hati, kulanjutan aktifitas sore,mulai dari menyapu rumah dan halaman. Gerah dan bau asem, kulangkahkan kaki menuju kamar,kututup pintu. Aku masuk kamar mandi dan menguncinya. Di dalam kamar memang ada kamar mandi, tidak terlalu besar tapi cukuplah untuk mandi dua orang. Air dingin menyegarkan tubuhkan ini.Acara mandi selesai, tinggal ganti baju. Ups...! Aku lupa tak membawa baju ganti. Untung masih di dalam kamar. Kalau tidak, tak terbayang malunya diri ini. Segera kulilitan handuk di badan. Kubuka pintu lemari memilih baju apa yang akan ku pakai. DEGBelum sempat kuambil baju,sepasang tangan melingkar di pinggang,memelukku dari belakang. Astaghfirullah, siapa ini...? Jantung berdetak tak karuan, napas semakin cepat. Ya Allah tolong hamba.Aku berusaha melepas pelukannya, tapi semakin kucoba,semakin kuat pula tangannya melingkar di tubuhku."Maafkan mas ya,Dek.Mas tau adek marah. Mas tidak bermaksud kasar sama kamu." Kepala Mas Deni disandarkan dipundakku. Ada desiran aneh, bukan karena takut. Entahlah apa itu namanya. Yang pasti rasa kesal dan marah hilang seketika, digantikan debaran tak menentu. Aku anggukan kepala. Namun Mas Deni tak kunjung melepaskan pelukannya, justru ciuman bertubi-bertubi didaratkan di tubuhku.Pasrah, kunikmati suguhan yang diberikannya padaku. Memadu kasih, sungguh manisnya syurga dunia. Lelah dalam pergulatan, dipeluknya tubuh ini lalu dikecup keningku. Kini tinggal peluh menghiasi tubuh."Mas, sudah jam lima lebih nih. Aku mandi dulu ya.Mas sih udah mandi dibikin mandi lagi," ucapku manja. "Mandi bareng yuk!" ajaknya disertai kerlingan nakal dari matanya. Ah... Kami pun mandi berdua, tak bisa kuceritakan nikmatnya pacaran setelah halal.****Hari ini ibu menginap di rumah Rani, tempat ini menjadi sepi, damai dan tenang. Itu gambaran rumah bila tak ada ibu. Seperti inilah seharusnya berumah tangga. Tanpa adanya cacian, dan makian setiap hari. Aku tak ada kegiatan setelah Mas Deni berangkat kerja. Tak ada rencana memasak, rasanya malas sekali hari ini. Dari kemarin perut tidak bersahabat, makan tak berselera. Setiap makan rasanya mual dan muntah. Mungkin efek aku kelelahan dan makan tak teratur jadi asam lambung naik. Kukunyah sepotong brownies, mungkin saja perutku enakan setelah terisi. Tapi kenapa jadi mual begini. Segera kulari ke wastafel. Huweek ... Huweek... HuweekKukeluarkan lagi isi perutku, lemas rasanya. Perut rasanya semakin tidak karuan. Kurebahkan tubuh ini di kasur, semoga segera sembuh. Untung saja ibu tidak di rumah, jadi aku bisa istirahat tanpa sindiran dan ocehan darinya. Mana peduli ibu kalau aku sakit, yang ada semakin di omelin diriku ini. Ku ambil ponselku, tertera tanggal empat belas maret.Ku ingat-ingat bulan kemarin sepertiny tamuku datang awal bulan tapi ini sudah pertengahan bulan. Apa jangan- jangan aku hamil? Dari kemarin juga mual-mual. Aku senyam senyum sendiri. Kukirim pesan pada mas Deni. [Mas, kalau pulang tolong mampir ke apotek ya. Beliin testpek ya.]Send. Tak perlu menunggu lama, pesanku sudah dibaca oleh Mas Deni. [Kamu telat ya dek? Mudah-mudahan kamu hamil ya dek] Ku baca pesan dari Mas Deni, tanpa disadari mata ini mulai berkaca-kaca. Ya Allah semoga Kau janin di dalam rahimku. [aamiin] Kubalas melalui aplikasi berwarna hijau itu. Jam sudah menunjukkan pukul 16.30,berarti Mas Deni sebentar lagi pulang. Ku bergegas ke kamar mandi, mandi agar terlihat frash kalau suami pulang.Ah...Hiks... Hiks... Hiks...Aku menangis tersedu-sedu di kamar mandi.Ternyata tamu bulananku baru saja datang. Ya Allah... Tak terasa badan lunglai dan duduk tergeletak di lantai kamar mandi. Tak bisa ku jelaskan betapa kecewa dan sedihnya diriku. Yang aku harapkan belum juga dapat tercapai. Beri kesabaran Ya Allah. "Assalamualaikum,Dek," ucap Mas Deni yang sudah berada di teras. "Wa'alaikumsalam,Mas." Kuambil tas kerja mas Deni dan ku cium tangannya dengan takzim. "Kok murung gitu dek, kenapa? O ya ini pesanan kamu." Memberikan testpek kepadaku dari sorot matanya terlihat kebahagiaan. Ya Allah aku tak tega memberi tahu Mas Deni. Betapa hancurnya hati mas Deni, kalau tau aku tak hamilBagaimana ini? "Hiks... Hiks... Hiks...""Lho dek, kok malah nangis? Mas salah ngomong ya?" Mas Deni membelai kepalaku dengan lembut. Tangisku semakin kencang, ku peluk erat suamiku. "Tamu bulanannya datang 15menit yang lalu mas. Hiks... Hiks... Hiks..."Mas Deni hanya diam, tapi dari sorot matanya menggambarkan rasa kecewa yang besar dan dalam. "Tidak apa-apa,Dek, belum rejeki berarti.Mas mandi dulu ya."Mas Deni beranjak meninggalkanku, kulihat sekilas dari netranya ada air bening yang mengalir. Ya Mas Deni menangis karena kecewa. ***Azan subuh berkumandang,aku menuju kamar untuk membangunkan Mas Deni agar kita dapat melaksankan shalat berjamaah. Aku memang sudah terbiasa bangun sebelum azan subuh berkumandang, agar pekerjaan rumah segera selesai. "Mas, bangun, shalat subuh dulu!" Kugoncangkan pelan tubuhnya. "Hmm... duluan saja,Dek. Mas shalat sendiri saja."Huft, selalu ada aja alasannya setiap kali kubangunkan untuk shalat subuh. Padahal dulunya mas Deni selalu on time masalah ibadah. Tapi entah kenapa sebulan ini susah sekali dibangunkan. Apa yang terjadi sama kamu,Mas? Kutinggalkan Mas Deni di kamar. Bodo amatlah, yang penting aku sudah mengingatkan. Kulanjutan rutinitas pagi, membuat sarapan untuk mas Deni dan ibu. Alhamdulillah, sedikit demi sedikit masakanku sudah ada peningkatan. Entah dari bentuk maupun rasa. Walau tetap saja selalu ada saja yang ibu komplainYang keasinanlah, kepedasanlah. Hampir setiap masakan ku selalu kurang dimata ibu. Padahal aku sudah berusaha semaksimal mungkin. Pukul 06.15 makanan sudah siap di meja makan. Tinggal kubuatkan teh hangat untuk kami bertiga. Mas Deni memang tak boleh minum kopi terlalu banyak, bukan tanpa alasan. Suamiku itu mempunyai riwayat magh akut. Jadi selalu kularang setiap mau minum kopi. Suasana hening saat kami sarapan bersama. Hanya dentingan sendok dan piring yang saling beradu. "Lain kali undangnya digoreng pakai tepung saja. Ibu gak suka sambal dan undangnya dicampur kaya begini. Bikin pengen muntah!" celanya."Iya,Bu." jawabku datar. Kalau tau begini, lebih baik tak usah masak sekalian. Biar pada tau rasa. Sudah capek capek, tak dihargai pula. Ini lagi Mas Deni, diem saja kaya patung, pasti mendukung omongan ibunya. Dongkol... Dongkol nih hati. ***Bosan melandaku saat tak tau lagi apa yang harus kukerjakan. Iseng kucari lagu pop, akhirnya menemukan yang bagus.Jikalau kau cinta Benar benar cinta Jangan katakan Kamu tidak cinta Jikalau kau sayangBenar benar sayang Tak hanya kata atau rasaKau harus Tunjukan.. Tok ... Tok ... Tok.... "Assalamualaikum. ""Wa'alaikumsalam." Kumatikan ponsel, bergegas kubuka pintu depan. Ow, tukang pos ternyata. "Ini mbak ada kiriman," ucap pak pos sambil menyerahkan undangan pernikahan. "Terima kasih,Pak." Kuambil undangan itu dari tangan pak pos. "Permisi mbak."Pak pos akhirnya meninggalkan rumahku. Kubuka undangan itu, kubaca perlahan. Ternyata undangan dari saudara ibu. "Bu ... ibu...!" Kupanggil ibu yang sedang asyik menonton televisi di ruang keluarga. "Hem, ada apa? ""Ibu dan Mass Deni mendapat undangan dari Om Mahmud, saudara ibu yang di kampung sebelah itu." Kuserahkan undangan itu pada Ibu. "Ow,ya sudah biar besok Ibu dan Deni yang datang. Kamu dirumah saja. Gak usah ikut! " perintah ibu"Lho,lho Bu, ya gak bisa gitu dong. Aku kan istrinya Mas Deni. Masak tidak boleh pergi ke kondangan,"jawabku."Pokoknya kamu gak usah ikut, ya gak usah! Gak usah ngeyel! "Kulihat mata ibu, dari gelagatnya ibu seperti merahasikan sesuatu. Mencurigakan!***Sarapan sudah siap diatas meja, roti dan susu.Sengaja tidak masak,toh nanti kami mau ke kondangan. Mubazir. Mas Deni baru saja masuk ke kamar mandi. Kuganti baju rumahku dengan baju pesta. Gamis warna soft pink yang kupilih. Kupoles wajah dengan make up tipis, biar terkesan natural."Cantik," kupuji diriku sendiri. Sengaja tak kuberitahu Mas Deni kalau aku akan ikut ke kondangan. Akan kulihat bagaimana reaksi Mas Deni kalau tau aku akan ikut. Pasti terkejut, saat Mas Deni keluar dari kamar mandi aku sudah siap. Ceklek... Kreekk... Pintu kamar mandi dibuka, kulihat wajah Mas Deni menjadi tegang. Seperti lihat setan saja,Mas. Ini bidadari lho bukan setan. "Lho dek, kamu ikut ke kondangan?" tanyanya sedikit ragu. "Iya dong Mas,kan aku istri kamu. Masak gak diajak, sih." Aku pura-pura merajuk. "Emm ...." Mas Deni bingung mau ngomong apa,"kamu dirumah aja dek, nanti kecapekan kalau ikut. Lagian Mas gak mau, nanti di sana kamu malah dibully gara-gara belum hamil juga. Dan ibu juga ngelarang kamu,kan. Nanti ibu marah sama kamu lagi,"rayunya."Hiks... Hiks... Kamu malu,ya Mas bawa aku ke pesta?" Kuteteskan air mata buaya. "Enggak gitu,Dek. Em... Emm ya udah tanya ibu aja deh." Bener-bener dah suamiku ini, jadi orang tidak ada tegas-tegasnya. Huftt. Mas Deni sudah siap,lalu keluar kamar terlebih dahulu. Kubuntuti dia dari belakang. Ibu sudah menunggu di ruang tamu. "Ayo Den, nanti jemput Rani sekalian ya!" perintah ibu, sepertinya ibu belum melihatku."I-iya bu,em anu, itu...," ucapnya tergagap. "Kenapa lagi?" Seperti ibu sudah tahu keberadaanku, dilihatnya dari ujung kepala sampai kaki."Kamu ngapain dandan kayak gitu?udah ibu bilang kamu di rumah saja. Dibilangin orang tua bukannya nurut,malah belaga mau ikut segala. Kamu tu malu-maluin ibu dan suamimu. Wanita mandul diajak ke pesta segala," ucap ibu tanpa tedeng aling-aling. JlepRasa nyeri merasuk di hati. Kulihat Mas Deni diam saja, tak ada niat untuk melindungiku. Apa memang pikirannya sama seperti ibu. Tak kujawab omongan ibu. Aku putar badan, dan lari menuju kamar. Aku duduk lemas di pinggir ranjang. Air bah turun begitu saja tanpa kuminta. Harusnya aku sadar diri. Padahal dari awal aku tau ibu pasti akan menghinaku. Kukira aku kuat, tapi nyatanya aku lemah. Sakit rasanya mendengar kata mandul terucap dari mulut ibu tapi tetap lebih sakit dengan kelakuan suamiku sendiri yang tak menganggap aku ada. Bahkan tak mengharapkan aku, istrinya. Apa aku sebegitu jelek nya? Tak berselang lama kudengar suara mobil meninggalkan halaman rumah.Yah, aku benar - benar tak dianggap.Drrrttt... Drrrttt... Ponselku bergetar, kuambil benda pipih yang ada di atas ranjang. Kubuka ternyata pesan dari Indah, sahabat terbaikku semasa kuliah dulu. Kita sudah seperti saudara kandung. Segera kubuka pesan yang Indah kirimkan. DEG!Foto Mas Deni dan seorang wanita duduk dengan tangan mas Deni merangkul pundak wanita itu,terlihat Mas Deni tersenyum bahagia. Wanita itu cantik dan seksi. Pantas saja Mas Deni kecantol. Bagai di tusuk seribu belati, rasanya sakit sekali. Ya Allah... Inikah alasan mereka tak mengizinkanku ikut ke pesta? Siapa sebenarnya wanita itu?Kenapa dia tega merebut Mas Deni? [Nit, tadi kulihat suamimu pergi ke pesta bersama mertuamu, Rani dan seorang wanita. Deni sangat mesra bersama wanita di foto itu. Maaf ya Nit, bukan maksudku memanas-manasi kamu. Aku hanya tak ingin kamu disakiti Deni. Sabar ya sayang, kamu pasti kuat] Kubaca pesan dari Indah. Air mata masih terus menetes, napasku terasa sesak. Rasa marah, kecewa dan benci jadi satu. Aku harus ba
Rumah tangga itu ibarat sebuah rumah,Nit. Dalam sebuah rumah harus ada tiang untuk menopang agar rumah itu tetap kuat dan kokoh. Kalau tiangnya saja keropos, mana mungkin rumah itu akan berdiri kokoh. Begitu pula dalam sebuah rumah tangga.Kejujuran,kepercayaan dan kesetiaan adalah tiang penyangga dalam sebuah rumah tangga. Kalau tiangnya saja rapuh atau tidak ada. Hanya menunggu waktu saja, rumah tangga itu akan hancur dengan sendirinya. Pesan ibu masih terngiang- ngiang jelas di telingaku. Ya, ini menggambarkan keadaan rumah tanggaku saat ini. Bukan hanya tiangnya saja yang rapuh. Tapi... Keluarga Mas Deni pun sudah tak menghargai dan mengganggapku sebagai menantu. Terbukti ibu dan Rani mengizinkan dan mendukung Mas Deni untuk menikah lagi. Sama seperti ibuku dulu, hanya bedanya ibu bertahan karena ada aku di dalam hidupnya. Beliau tak ingin aku terpuruk akibat menjadi anak broken home. Lha aku, anak saja belum punya, jadi tak ada alasan untukku bertahan dipernikahan yang menyiks
Pov DeniAda meeting di kantor, tapi aku belum juga sampai. Jalan ibu kota hari senin begini, MasyaAllah macetnya. Sampai di kantor, aku bergegas berlari ke ruangan meeting. BRUUGG"Aw ...," teriak seorang wanita kesakitan saat tak sengaja aku menabraknya."Maaf mbak...." Kubereskan berkas-berkasnya yang berantakan. Ku berikan berkas itu. "Deni ya? Deni Permana," ucap wanita itu,kuinggat-inggat siapa gerangan wanita cantik nan seksi ini?Mataku sampai tak berkedip melihat body nya yang, aduhai. Bikin hasratku naik saja. Hahahahaa... "Iya siapa ya?" Mataku tak bisa lepas darinya. Dag dig dug, jantungku malah semakin berdetak. "Lupa ya? aku Kamila, teman sekelas kamu waktu SMA dulu," Jelasnya.Ku ingat-ingat, bukannya Kamila dulu yang suka mengejarku, si gendut tapi sekarang duh bodynya...Hemmm. Aku sampai menahan air liur menatapnya. "O,ya aku ingat," ku berikan kartu namaku,"aku buru-buru, lain waktu kita ngobrol lagi." Kutinggalkan dia, bergegas melangkah ke ruang meeting. ***
Tok... Tok... "Nita buka pintunya!"Kudengar suara orang memanggil, seperti ibu. Kulihat dari balik jendela.Ow,ternyata ibu tapi dengan seorang wanita. Siapa gerangan?Kubuka pintu, lalu meberikan seulas senyum.Senyum palsu tepatnya. Namun tak dihiraukan ibu, wanita itu masuk begitu saja."Nita, itu tas Mila bawakan masuk!" ucapnya seraya menunjuk dua tas besar di teras. "Mila ayo masuk!"DEG! Tunggu, Mila? Bukannya itu nama maduku? Kutoleh wanita itu, benar saja itu Mila, sama persis di foto yang Indah kirim padaku tempo hari. Astaghfirullahalazim... Kuelus dada, mencoba menahan emosi yang semakin memuncak. Bisa-bisanya Mas Deni mengizinkan pelakor itu tinggal di rumah ini. Memang benar ini rumah orang tua Mas Deni, tapi setidaknya hargai aku sebagai istrinya.Ya Allah, kuatkan Aku! Kubawa masuk tas-tas itu ke dalam kamar tamu.Ah, malang benar nasibku, seperti jadi babu simpanan suamiku.Sabar-sabar Nita, demi mobil kembali ke tangan.Kusugesti diriku sendiri.Aku tak boleh men
Aku siapkan sarapan pagi di meja, teh hangat pun sudah tersedia. Mas Deni sudah duduk di kursi biasanya. Mila keluar dari kamarnya, ditariknya kursi di dekat Mas Deni.Tunggu dulu, tak akan ku lbiarkan itu terjadi. Dengan cepat kilat kududuki kursi itu. "Lho mbak, aku kan mau duduk di sini!" protesnya sambil menyilangkan kedua tangan di dada."Oh, kukira kamu mempersilahkan aku duduk. Inikan tempat biasanya aku duduk," jawabku santai. "Hemm, istri kamu tu mas nyebelin!" adunya."Udah, kamu duduk dekat ibu saja sana,lagian ini juga tempat duduk Nita." Mas Deni membelaku.Semakin di tekuk muka Mila, tambah sinis dia melihatku.Kupindahkan nasi dan ayam goreng ke piring Mas Deni, tak lupa sambal pete dan lalapan. Mas Deni paling suka ayam goreng dengan sambel pete.Sarapan kali ini, dengan suasana hening tanpa suara.Seperti biasa, selesai makan kuantar Mas Deni ke depan. Lho, lho, kok Mila ikut-ikutan ke depan sih?"Mas berangkat dulu ya,Dek, Mila ayo!" hendak ku cium tangan Mas Deni,
Suara mobil memasuki halaman rumah, Mas Bayu baru saja pulang dari kantor. Kuintip dia dari balik jendela.Ih ... menjijikkan! Mas Deni dan Mila saling berhadapan,tangan Mila melingkar di leher Mas Deni. Aku tahu apa yang mereka lakukan di dalam mobil. Walau tak begitu jelas,aku yakin mereka melakukan hal terlarang. Setelah mereka cukup puas, keluarlah dua insan tak memiliki urat malu dari mobil. Tangan Mila bergelayut manja di tangan Mas Deni. "Assalamuallaikum,Dek.""Wa'alaikumsalam," jawabku jutek,tak kucium tangan mas Deni. Kutinggalkan lelaki itu begitu saja mereka."Mbak, buatin minum dong! Haus nih!" perintah Mila."Kamu punya kaki dan tangan kan? Sana buat sendiri! Aku bukan babumu!" jawabku ketus, kutinggalkan mereka berdua."Tu mas, istri kamu gak tau apa, aku lagi hamil.""Huss, jangan keras-keras, nanti Nita dengar."Walau sudah di dalam kamar, aku masih bisa mendengar percakapan mereka. Mila hamil? Ya Allah Ya Robb. Drama macam apa ini?Bulir bening jatuh membasahi pipi
"It--itu mobil mobil Nita,Buk," jawabnya tergagap. "Tetap mobil itu tak akan kuberikan padamu, anggap saja itu bayaran kami tinggal di sini." Ibu tak mau kalah. "Sekarang kamu tinggalkan rumah ini, aku tak sudi punya mantu macam kamu...!""Jangan usir Nita Bu, Deni mohon.""Buat apa sih mas kamu pertahanin wanita mandul kayak Nita. Lagian sudah ada aku yang jelas-jelas sedang hamil anak kamu!" Mila tersenyum mengejak ke arah ku. Ku seka air mata yang jatuh, berlari ke kamar. Akan ku beresi barang-barangku dan pergi dari sini.DEERKubanting pintu kamar, kubuka koper, kutata baju-baju agar muat di dalam koper besar. Ternyata satu koper besar tak muat menampung pakaianku. Belum lagi hijab dan yang lain. Kumasukkan lagi baju-baju dan beragam hijab ke dalam ransel besar. Tinggal sepatu, tas, alat kosmetik. Tapi bagaimana aku membawa semua ini?Aku ingat masih punya tiga tas karung yang biasanya untuk laundry. Kucari di dalam almari.Alhamdulillah ketemu, kumasukan bermacam model tas, d
Pov AnitaAku bangun saat azan subuh berkumandang, mandi pagi dan kulanjutkan aktivitas pagi dengan beres-beres rumah. Barang bawaan, kubiarkan begitu saja, tak kusentuh. Biar nanti saja kutatasetelah sarapan pagi. Kubuka kulkas,zonk. Tak ada apapun, hanya ada air putih saja. Ya Allah... Kok aku bisa sampai lupa, kalau di rumah tak ada bahan makanan. Beras apalagi. Kuambil hijab di dalam almari, tak lupa kaos kaki. Kusambar tas dan ponsel yang ada di atas ranjang. Kemudian aku keluarkan motor. Tak lupa kukunci rumah terlebih dahulu. Aku nyalakan motor, lalu melajukan perlahan menuju pasar tradisional. Sengaja aku memilih berbelanja di pasar tradisional, bukan tanpa alasan selain harga yang lebih miring, sayur dan buah pun lebih segar.Dua puluh menit, akhirnya aku pun sampai di pasar tradisional. Aku mulai membeli beras 10 kg, telur 1kg, ayam 1 kg,dan bumbu dapur dari kecap, garam, gula merica dan lain sebagainya. Kini tinggal membeli sayur dan buah,kuputar arah,kembali ke parki
"Ayo naik, ada yang ingin saya bicarakan." Aldi segera masuk ke mobil. Dengan berat hati Indah pun masuk ke mobil Aldi. "Dasar manusia kutub egois!" umpat Indah dalam hati. Kendaraan roda empat milik Aldi berjalan meninggalkan kantor. Hening, tak ada sepatah kata pun yang keluar dari mulut kedua orang itu. "Kamu sudah sholat?" tanya Aldi memecah keheningan. "Baru tanggal merah, Pak." Aldi tersenyum mendengar jawaban Indah. Bukan, bukan karena tanggal merah. Namun rencananya akan berjalan lancar tanpa kendala. Mobil melaju dengan kecepatan tinggi. Aldi ingin segera sampai tempat tujuan. Karena jarak kantor dan pantai yang ia tujuh hampir dua jam. "Pak, ini bukan jalan menuju rumah saya!" protes Indah karena arah jalan menuju pinggiran kota. Bukan menuju tempat tinggal gadis berambut panjang itu. "Jangan protes!" jawab Aldi dengan mata fokus melihat depat. Tak ia hiraukan wajah Indah yang menjadi masam. "Nanti orang tua saya khawatir, Pak. Putar balik, Pak. Saya ingin pulang!""
Kini usia kandungan Intan sudah memasuki lima bulan. Selama itu pula Romi dan Intan tidur terpisah. Intan tidur di kamar tamu sedang Romi berada di lantai atas. Mereka berdua hanya bertegur sapa menggunakan ponsel. Pernah suatu ketika Romi sangat merindukan Intan. Ingin mencium istri dan bayi kembar yang ada di dalam kandungan. Namun saat bertemu Intan bukan kemesraan ya ia terima. Melainkan istrinya yang lemas karena muntah. Hampir lima bulan Intan dan Romi bagai orang asing. Romi selalu menyingkir saat bertemu Intan, begitu pula sebaliknya. [Sayang, Mas kangen. Pengen peluk.]Satu pesan masuk dari Romi, Intan tersenyum kala membaca pesan sang suami. Namun kemudian ia meneteskan air mata. Intan merasa belum bisa menjadi istri yang baik. Belum bisa melayani suami. Dalam hati wanita berhijab menjuntai itu sangat merindukan pelukan Romi. Namun lagi-lagi terhalang dengan rasa mual yang mendera. Hingga sebuah ide muncul dalam kepala Intan. Ia berharap ide ini berhasil. Dan menepis jar
Bijaklah dalam membaca, yang dibawah umur di skip saja. Pov RomiAku berjalan menuju kamar. Jantung rasanya ingin lepas dari sarangnya, dag ... dig... dug,berdetak lebih kencang. Seperti inikah malam pertama dengan wanita yang ku cinta? Rumah sudah sepi. Mama dan papa sudah tidur di kamar. Ibu Halimah sendiri memilih pulang diantar Pak Yadi. Dan Nadia merengek minta diantar ke rumah sakit. Ku buka pintu perlahan. Intan tak ada di ranjang, pasti sedang di kamar mandi. Ku jatuhkan bobot di atas kasur. Mencoba menetralisir degup jantung ini yang tak menentu. Kreeek... Pintu kamar mandi di buka dari dalam. Mataku melotot melihat seorang wanita yang keluar. Intan memakai setelan celana dan baju lengan panjang. Rambut hitam panjangnya dibiarkan terurai begitu saja. Ia berjalan ke arahku sambil menundukkan kepala. Membuatku semakin gemas melihatnya. Perlahan Intan menjatuhkan bobot di kasur sebelahku. Wajahnya masih menunduk. Apakah ia malu dan deg-degan, seperti yang ku rasakan saat i
Pov Romi"Ngelamun saja Rom!" Satu tepukan dipundak meyentakku dari lamunan. "Gangguin orang sedang berkhayal saja bro!" Yusuf hanya tersenyum melihat ekspresi kesal yang nampak di wajahku. "Sabar, besok juga sudah halal. Aku salut dengan kejujuranmu." Ku naikkan ujung alis ke atas. Tak mengerti dengan ucapan Yusuf barusan. Kejujuran, kejujuran apa maksudnnya?"Maksudnya apaan?""Ya, kejujuran tentang perasaan kamu sama bini aku tempo hari. Gak nyangka ternyata selama ini kamu memendam rasa pada Anita. Tunggu, apa jangan-jangan bunga waktu itu bukan untuk hadiah kehamilan melainkan untuk istriku." Kutelan saliva dengan susah payah. Ya Tuhan, kenapa Romi bisa tahu. Padahal waktu itu dia tak ada di rumah. Apa jangan-jangan Anita cerita pada Yusuf. Tapi kok rasanya tak mungkin. Anita bukan wanita yang suka mengadu atau membuka aib orang lain. "Bingung kan kenapa aku tahu semuanya padahal aku tak di rumah?" Yusuf seperti bisa membaca isi pikiranku. Apa yang harus ku jawab. Hanya satu
Pov Intan"Intan, disaksikan kedua sahabatmu." Mas Romi menghembuskan nafas perlahan "maukah kamu menjadi ibu dari anak-anakku?"Mataku melotot mendengar perkataan Mas Romi. Mas Romi sadar kan? Dia sedang tidak membayangkan Mbak Anita kan?Aku masih diam, mulutku enggan menjawab perkataan Mas Romi. Entah mengapa aku belum percaya yang ia ucapkan. Semudah itukah dia melupakan pesona Mbak Anita? Walau tak bisa ku pungkiri, ada rasa bahagia mendengar setiap kata yang keluar dari mulutnya. "Bagaimana Intan? Maukah kamu menjadi istriku?"Jantungku dipacu lebih cepat. Dag dig dug. Jawaban apa yang harus ku katakan? "Bilang iya, Tan! Tak usah kamu merasa tak enak padaku. Aku sadar perkara hati tak bisa dipaksakan. Aku ikhlas jika kamu bersama Romi. Aku yakin suatu saat Allah akan mengirimkan seorang imam padaku." Senyum tergambar di wajah Mbak Indah. Bulir bening nan hangat mengalir tanpa dikomando. Mendengar ucapan Mbak Indah membuat suasana terasa semakin haru. Bukan hanya aku saja yang
Aku melangkah ke rumah Yusuf dengan perasaan tak menentu. Mobil Indah dan sepeda Intan sudah terparkir rapi di carport. Apakah aku bisa menyelesaikan masalah ini dengan baik? Setelah semua jelas, akankah Intan mau menerima perjodohan kami? Bagaimana jika akhirnya kedua wanita itu justru membenciku? Berbagai prasangaka memenuhi pikiranku. Ya Allah bantu aku. Ting ... Tong .... Suara bel setelah ku tekan. Aku berdiri di depan pintu sambil meremas kedua tangan. Rasa gugup dan takut bercampur menjadi satu. Pintu di buka dari dalam. Jantung di pacu lebih cepat saat menanti siapakah orang yang membuka pintu. Semoga saja bukan Intan atau Indah. Seorang wanita paruh baya tersenyum kala menyambutku. Berjalan berjajar lalu masuk ke rumah bernuansa modern ini. "Apakah ada masalah, Rom?" tanya tante Ningrum. "Sedikit tan, hanya kesalahan pahaman saja. Ini mau diselesaikan."Ternyata masalah ini sudah sampai ke telinga tante Ningrum. Aku menjadi tak enak hati karena ketidak tegasanku yan
Pov Romi"Jangan asal bicara, nanti akan menimbulkan fitnah," ucap papa. "Itu kenyataan, dan Romilah penyebab kematian Febi!"Ya Tuhan, ada apa lagi ini? Bisa-bisanya Om Damar memutar balikkan fakta. Orang tak tahu pasti akan percaya. Terlebih dia memiliki kekuasaan. "Ayo, Rom, ma, kita pulang saja," ucap papa melanjutkan langkah. Tak ia perdulikan tatapan penuh kemenangan di wajah Om Damar. "Dasar pengecut!"Kami tak membalas ucapan lelaki tua itu. Percuma meladeni orang seperti itu. Hanya akan menimbulkan rasa lelah saja. Biarpun kami tak bisa membalas cukup adukan pada Sang Pencipta. Aku yakin Allah akan menegurnya dengan cara-Nya sendiri. Kami melangkah meninggalkan kerumunan para pelayat.Tatapan sinis tergambar dari raut mereka. Sesuatu yang viral tempo hati seakan hilang dalam sekajap. Uang dan kuasa mampu membungkam hal seperti itu. "Mama sudah bilang, papa sih tidak percaya!" omel mama setelah kami masuk ke mobil. "Tidak apa-apa ma, yang penting kita sudah berusaha untuk
Duduk termenung di balkon. Menatap langit yang masih tertutup mendung meski air tak lagi berjatuhan. Namun bintang dan bulan masih enggan nampak.Semilir dinginnya angin malam tak mampu mengusik diriku dari sini. "Intan atau Indah yang kamu cintai?" Perkataan Anita tadi kembali mengusik pikiranku. Benarkah kedua wanita itu menyukaiku? Apakah Indah adalah alasan Intan menolak perjodohan kami? Cinta itu sebuah perjuangan. Tapi kenapa Intan memilih mengalah dibandingkan berjuang. Apa karena aku terlalu dingin dan terkesan mengabaikannya? Entahlah, aku sendiri bingung memikirkan itu. Intan dan Indah adalah dua pribadi yang berbeda. Intan dengan penampilan tertutupnya dan Indah wanita fashionable. Keduanya memang memiliki pribadi yang baik. Namun jika aku harus memilih, tentu Intan lah yang ingin ku jadikan pendamping hidup. Bukan, bukan hanya karena Intan sholehah tapi juga karena mama sudah cocok dengan wanita berhijab menjuntai itu. Bukankah hubungan menantu dan mertua sangat berpen
"Tan," panggilku sedikit keras. "I-iya Mas," jawabnya gugup. Aku yakin dia gugup mau menjawab apa. "Bagaimana jawaban kamu?" Intan menyatukan dua alis. Pandangan tajam ke arahku. Apa aku salah bicara? "Maaf Mas, Intan belum bisa."Hancur sudah harapanku. Harusnya aku tidak bilang saja. Sekarang hanya malu yang ku rasa. "Maaf ya Mas, Intan belum bisa mencicil biaya rumah sakit ibu. Intan belum punya uang." Aku bengong mendengar jawabannya. "Bukan yang itu, Tan. Yang tadi," ucapku berusaha mengingatkan Intan. "Dari tadi Mas Romi bilang tentang uang berobat kan?"Ya Allah, Ya Robb... Susah payah menenangkan hati agar bisa bicara pada Intan. Namun dia justru tak mendengar. Percuma menahan detak jantung. Anak ini memang keterlaluan. Harusnya aku diam saja tadi. "Lupakan saja, Tan. Untuk uang pengobatan tak usah dikembalikan. Aku ikhlas kok.""Tapi, Mas!""Kamu kan sudah jagain mama aku selama tiga hari. Anggap saja kita impas""Tidak bisa gitu dong, Mas. Saya ikhlas kok.""Sudah ah