Share

Bab 6

Author: Dyah Ayu Prabandari
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

Tok... Tok...

"Nita buka pintunya!"

Kudengar suara orang memanggil, seperti ibu. Kulihat dari balik jendela.Ow,ternyata ibu tapi dengan seorang wanita. Siapa gerangan?

Kubuka pintu, lalu meberikan seulas senyum.Senyum palsu tepatnya. Namun tak dihiraukan ibu, wanita itu masuk begitu saja.

"Nita, itu tas Mila bawakan masuk!" ucapnya seraya menunjuk dua tas besar di teras.

"Mila ayo masuk!"

DEG!

Tunggu, Mila? Bukannya itu nama maduku? Kutoleh wanita itu, benar saja itu Mila, sama persis di foto yang Indah kirim padaku tempo hari.

Astaghfirullahalazim...

Kuelus dada, mencoba menahan emosi yang semakin memuncak. Bisa-bisanya Mas Deni mengizinkan pelakor itu tinggal di rumah ini. Memang benar ini rumah orang tua Mas Deni, tapi setidaknya hargai aku sebagai istrinya.

Ya Allah, kuatkan Aku!

Kubawa masuk tas-tas itu ke dalam kamar tamu.

Ah, malang benar nasibku, seperti jadi babu simpanan suamiku.

Sabar-sabar Nita, demi mobil kembali ke tangan.

Kusugesti diriku sendiri.Aku tak boleh menangis.

Aku harus kuat agar tak diinjak injak mereka semua.

"Nita sini!" titah ibu.

"Iya bu, sebentar." Aku berjalan menuju ruang keluarga di mana ibu dan Mila berada.

"Kenalin ini Mila saudara sepupu Deni." Tangannya menunjuk Mila.

"Mila ...." Mila mengulurkan tangannya.

"Nita ...." Kusambut tangan Mila.

Tak sudi sebenarnya, apa ibu bilang sepupu? Sepupu tapi memadu kasih? Cuiihh! Aku tak sebodoh itu bu.

"Mulai sekarang Mila akan tinggal di sini,kamu harus hargai dia."

"Oh...," jawabku datar.

"Maaf,Bu, Nita ke kamar dulu." Aku melangkah pergi meninggalkan mereka berdua.

Mencoba kuat namun nyatanya hati tak bisa berdusata, ada luka yang begitu perih di sanubari. Aku wanita biasa yang bisa sakit melihat simpanan suamiku di depan mata.

***

"Assalamu'allaikum,dek." Kudengar suara Mas Deni dari teras.

Kusambar hijab, kukenakan lalu berjalan menuju pintu depan.

Astaghfirullah...

Pemandangan macam apa ini, Mila memeluk mesra Mas Deni. Pakai cipika cipiki segala. Geram. Kusilangkan tangan di dada. Marah? Ya, aku sangat marah. Mana ada wanita tak marah dipertontonkan adegan seperti itu di depan matanya.

Dilepasnya pelukan secara sepihak oleh Mas Deni, Mila yang tadinya keberatan, kini diam membisu saat mengetahui aku ada di dekatnya.

"Baru pulang,Mas?" Kucium tangannya dengan takzim lalu mengambil tas kerjanya.

Kulihat rona cemburu dan tak suka dari mata Mila. Sengaja kulakukan itu, biar Mila tau rasanya cemburu dan sakit hati.

"Iya dek, Mas capek ke kamar yuk." Mas Deni menggandeng tanganku.

Kulihat ada yang sedang kebakaran jenggot. Memang enak?

***

"Bobog yuk,Dek!" ajak mas Deni saat kami sudah diatas ranjang.

"Tapi aku belum ngantuk mas, baru juga jam delapan." Kulihat jam tepat diangka delapan.

"Tapi mas sudah ngantuk." Dipeluknya tubuhku erat, akhirnya mas Deni terlelap.

Kupandangi wajahnya, wajah yang dulu selalu kurindukan. Wajah yang dulu selalu terlintas dalam doaku. Tapi kini semua sirna.Tak ada lagi cinta atau rindu, yang ada hanya tinggal benci.

Lama kelamaan mataku menjadi berat, akhirnya diriku pun ikut terlelap dipelukan Mas Deni.

Perlahan kubuka mata, kulihat ke samping. Kosong, tak kutemukan sosok Mas Deni. Aku berjalan ke kamar mandi, aku terbangun juga karena ingin buang air kecil.

Kreek...

Pintu kamar mandi kubuka, Mas Deni belum juga ada di kamar. Kulihat jam menunjukkan pukul 11.30.

Sepertinya aku tau dimana Mas Deni sekarang. Keluar kamar, kini aku menuju kamar tamu,kamar yang dipakai Mila. Aku berjalan mengendap-ngendap seperti maling.

Aku tepat berada di depan pintu kamar Mila. Lalu kutempelkan telinga tepat di pintu. Terdengar jelas suara orang berdesah-desahan. Aku tau apa yang sedang mereka lakukan.Menjijikkan kamu mas!

Bulir bening kembali menetes di pipi. Ternyata rasanya masih sakit.

Tanganku sudah memegang knop pintu. Ingin rasanya kulabrak mereka berdua saat ini juga.

Tapi tunggu, aku harus memiliki video atau foto saat mereka memadu kasih. Biar jadi bukti yang memberatkan di pengadilan nanti.

Berfikir Nita, ku ketok-ketok kepalaku.

Ahaa... Aku punya ide brilian. Kutinggalkan kamar Mila perlahan, agar mereka tak curiga aku sudah menguping.

***

Azan subuh berkumandang, kubuka mata perlahan. Mas Deni tak ada di ranjang. Apa mungkin Mas Deni masih di kamar Mila? Bodo amatlah!

Melangkahkan kakiku menuju kamar mandi, terdengar dari luar gemercik air jatuh dari kran. Tampaknya Mas Deni sedang mandi. Kutunggu di depan pintu kamar mandi.

Klik...

Kreeekk...

Pintu kamar mandi dibuka, Mas Deni keluar dengan rambut basah.

"Tumben keramas pagi buta gini,Mas?"

"Em,anu dek, Mas gerah semalaman jadi mas keramas aja biar seger," ucapnya agak gugup.

Ya ialah Mas, kamu mandi besar orang semalam habis tempur dengan istri keduamu.

"Ow, masak sih mas, aku aja semalam kedinginan lho mas. Buktinya aku pakai selimut."

"Kan beda,Dek, kamu buruan mandi,dek."Mas Deni menuju almari.

Masuk ke kamar mandi, melepas baju yang kukenakan. Air mengguyur pucuk kepala hingga ujung kaki. Memijat-mijat kepala setelah kuberi shampoo.Eiit...Ada yang lupa. Kubuka sedikit pintu kamar mandi. Ku keluarkan kepala.

"Mas, shalatnya jangan lupa!" teriakku.

"Iya dek, ini mas mau shalat. Kamu itu nyuruh mas shalat atau mau ngajak mas mandi bareng nih?"godanya.

"Gak kok." Kumasukkan lagi kepala ini, lalu kukunci pintu. Tak ingin ada adegan yang tak ku nginkan terjadi.

"Hahahahaaa... "Mas Deni tertawa terbahak - bahak.

***

Related chapters

  • Maaf Mas, Aku Tega!    Bab 7

    Aku siapkan sarapan pagi di meja, teh hangat pun sudah tersedia. Mas Deni sudah duduk di kursi biasanya. Mila keluar dari kamarnya, ditariknya kursi di dekat Mas Deni.Tunggu dulu, tak akan ku lbiarkan itu terjadi. Dengan cepat kilat kududuki kursi itu. "Lho mbak, aku kan mau duduk di sini!" protesnya sambil menyilangkan kedua tangan di dada."Oh, kukira kamu mempersilahkan aku duduk. Inikan tempat biasanya aku duduk," jawabku santai. "Hemm, istri kamu tu mas nyebelin!" adunya."Udah, kamu duduk dekat ibu saja sana,lagian ini juga tempat duduk Nita." Mas Deni membelaku.Semakin di tekuk muka Mila, tambah sinis dia melihatku.Kupindahkan nasi dan ayam goreng ke piring Mas Deni, tak lupa sambal pete dan lalapan. Mas Deni paling suka ayam goreng dengan sambel pete.Sarapan kali ini, dengan suasana hening tanpa suara.Seperti biasa, selesai makan kuantar Mas Deni ke depan. Lho, lho, kok Mila ikut-ikutan ke depan sih?"Mas berangkat dulu ya,Dek, Mila ayo!" hendak ku cium tangan Mas Deni,

  • Maaf Mas, Aku Tega!    Bab 8

    Suara mobil memasuki halaman rumah, Mas Bayu baru saja pulang dari kantor. Kuintip dia dari balik jendela.Ih ... menjijikkan! Mas Deni dan Mila saling berhadapan,tangan Mila melingkar di leher Mas Deni. Aku tahu apa yang mereka lakukan di dalam mobil. Walau tak begitu jelas,aku yakin mereka melakukan hal terlarang. Setelah mereka cukup puas, keluarlah dua insan tak memiliki urat malu dari mobil. Tangan Mila bergelayut manja di tangan Mas Deni. "Assalamuallaikum,Dek.""Wa'alaikumsalam," jawabku jutek,tak kucium tangan mas Deni. Kutinggalkan lelaki itu begitu saja mereka."Mbak, buatin minum dong! Haus nih!" perintah Mila."Kamu punya kaki dan tangan kan? Sana buat sendiri! Aku bukan babumu!" jawabku ketus, kutinggalkan mereka berdua."Tu mas, istri kamu gak tau apa, aku lagi hamil.""Huss, jangan keras-keras, nanti Nita dengar."Walau sudah di dalam kamar, aku masih bisa mendengar percakapan mereka. Mila hamil? Ya Allah Ya Robb. Drama macam apa ini?Bulir bening jatuh membasahi pipi

  • Maaf Mas, Aku Tega!    Bab 9

    "It--itu mobil mobil Nita,Buk," jawabnya tergagap. "Tetap mobil itu tak akan kuberikan padamu, anggap saja itu bayaran kami tinggal di sini." Ibu tak mau kalah. "Sekarang kamu tinggalkan rumah ini, aku tak sudi punya mantu macam kamu...!""Jangan usir Nita Bu, Deni mohon.""Buat apa sih mas kamu pertahanin wanita mandul kayak Nita. Lagian sudah ada aku yang jelas-jelas sedang hamil anak kamu!" Mila tersenyum mengejak ke arah ku. Ku seka air mata yang jatuh, berlari ke kamar. Akan ku beresi barang-barangku dan pergi dari sini.DEERKubanting pintu kamar, kubuka koper, kutata baju-baju agar muat di dalam koper besar. Ternyata satu koper besar tak muat menampung pakaianku. Belum lagi hijab dan yang lain. Kumasukkan lagi baju-baju dan beragam hijab ke dalam ransel besar. Tinggal sepatu, tas, alat kosmetik. Tapi bagaimana aku membawa semua ini?Aku ingat masih punya tiga tas karung yang biasanya untuk laundry. Kucari di dalam almari.Alhamdulillah ketemu, kumasukan bermacam model tas, d

  • Maaf Mas, Aku Tega!    Bab 10

    Pov AnitaAku bangun saat azan subuh berkumandang, mandi pagi dan kulanjutkan aktivitas pagi dengan beres-beres rumah. Barang bawaan, kubiarkan begitu saja, tak kusentuh. Biar nanti saja kutatasetelah sarapan pagi. Kubuka kulkas,zonk. Tak ada apapun, hanya ada air putih saja. Ya Allah... Kok aku bisa sampai lupa, kalau di rumah tak ada bahan makanan. Beras apalagi. Kuambil hijab di dalam almari, tak lupa kaos kaki. Kusambar tas dan ponsel yang ada di atas ranjang. Kemudian aku keluarkan motor. Tak lupa kukunci rumah terlebih dahulu. Aku nyalakan motor, lalu melajukan perlahan menuju pasar tradisional. Sengaja aku memilih berbelanja di pasar tradisional, bukan tanpa alasan selain harga yang lebih miring, sayur dan buah pun lebih segar.Dua puluh menit, akhirnya aku pun sampai di pasar tradisional. Aku mulai membeli beras 10 kg, telur 1kg, ayam 1 kg,dan bumbu dapur dari kecap, garam, gula merica dan lain sebagainya. Kini tinggal membeli sayur dan buah,kuputar arah,kembali ke parki

  • Maaf Mas, Aku Tega!    Bab 11

    Pov MilaPertemuan tanpa sengaja dengan cinta pertamaku. Deni Permana, ya, dialah cinta pertamaku, sungguh aku tak pernah bisa melupakannya.Setelah pertemuan itu, aku dan Deni semakin sering bertemu. Dari caranya memandangku, aku tau dia menyukaiku.Pucuk di cinta ulam pun tiba. Hingga terpikir ide gila untuk memilikinya. Saat masuk kerja aku pura-pura pusing dan meminta Deni untuk mengantarku pulang. Untung saja dia juga mau.Sesampainya di rumah, kuberikan secangkir teh hangat yang telah kucampur dengan obat perangsang. Pasti sebentar lagi akan bereaksi.Kutinggalkan Deni untuk ganti baju. Sengaja aku hanya memakai tank top dan Hot pants agar Deni semakin menginginkanku.Aku pura-pura menjerit minta tolong karena ada tikus. Padahal tak ada apapun.Setelah Deni datang, kutarik dia ke dalam kamar. Ternyata tak sia-sia aku memancingnya, dia begitu menikmati setiap sentuhanku. Hingga yang kuinginkan pun terjadi, tak hanya sekali. Kami melakukannya hingga tiga kali.Semenjak kejadian itu

  • Maaf Mas, Aku Tega!    Bab 12

    Aku asyik melihat sinetron dicenel ikan terbang sambil tiduran di sofa. Ah, nasibku kenapa bisa persis seperti sinetron yang baru aku tonton.Ditinggal suami selingkuh.Kurang apa sebenarnya diriku ini? Kurang cantik atau semok? Kalau dari sononya sudah begini, mau diapain lagi coba? Huft... Nasib-nasib!Tok... Tok .... "Assalamuallaikum ...."Suara pintu diketuk, disusul ucapan salam dari seorang laki-laki. Aku masih hafal betul suara itu. Suara orang yang berjanji membantuku mengambil mobil dari tangan Mas Deni. Kulangkahkan kaki menuju pintu depan dan membukanya. "Wa'alaikumsalam,mari duduk,Pak." Kutawarkan duduk di teras. Rasanya tidak baik kalau seorang laki-laki bertamu di rumah seorang wanita tanpa adanya orang ketiga. Apalagi malam-malam begini, takut terjadi fitnah. "Kedatangan saya ke sini untuk memberikan mobil dan suratnya,Mbak," ucap Pak Tomo sambil memberikan kunci dan STNK di meja. "Alhamdullillah, terima kasih,Pak. Saya jadi penasaran bagaimana ekspresi Mas Deni saa

  • Maaf Mas, Aku Tega!    Bab 13

    "Nita, kok ngelamun?" tanya Indah mengagetkanku."Em ... anu ... Itu ...." Tiba-tiba hilang semua berbagai macam pertanyaan yang ingin ku tanyakan padanya. Semua hilang begitu saja. "Penasaran ya? Kenapa aku bisa bisa dapat foto Mila dengan seorang pria?" Kuanggukan kepala, bertanda menyetujui apa yang dikatakan Indah. "Tadi aku gak sengaja lihat Mila dengan seorang pria bergandengan tangan dengan mesra lewat toko pakaian yang kita masuki tadi. Karena jiwa kepoku meronta-ronta akhirnya aku ikuti mereka. Tak lupa kuabadikan moment itu," ucap Indah panjang lebar. "Apa mereka ada main ya,Ndah?""Aku juga sependapat sama kamu. Aku gak di pesenin makan atau minum gitu?" "Maaf maaf tadi kelupaan, hahahahaaa... "***Sepanjang perjalanan pulang, pikiranku masih melayang ke Mas Deni. Entah perasaan apa aku pun tak tahu , antara benci, sedikit cinta, dan kasihan. Semua berkolaborasi hingga menimbulkan perasaan tidak enak di hati. "Kok melamun lagi,Nit?" tanya Indah membuka pembicaraan. "

  • Maaf Mas, Aku Tega!    Bab 14

    Kulajukan mobil membelah padatnya jalanan ibu kota di cuaca terik seperti ini. Menuju gedung menjulang tinggi yang menyimpan berjuta kenangan. Ya, sebuah gedung tempatku menitih karir dulu. Wicaksana Grup, itu namanya. Rasanya rindu menjadi wanita karir lagi, berkutat dengan laporan dan laporan. Walau memusingkan tetap kunantikan saat-saat itu kembali.Kututup pintu mobil, lalu berjalan menuju meja resepsionis."Selamat siang, ada yang bisa saya bantu?" tanya Maya. "Assalamu'alaikum,May.""Wa'alaikumsalam,Ya Allah mbak Anita ya? Tambah cantik aja, sampai lupa ngenalin ""Hahahahaa, kamu nih bisa aja. Jadi malu nih. Gimana kabar kamu,May?""Alhamdulillah sehat Mbak, Mbak sendiri tumben banget ke sini. Ada angin apa nih? Eh, salah, ada perlu apa maksudnya,Mbak. He he he ....""Ada lowongan kerja buat aku gak May? lagi butuh nih.""Lho, bukannya kemarin mbak Anita resign biar bisa hamil,ya?" tanyanya penasaran."Iya seh, tapi udah bosen di rumah muluk," dustaku."Ada lowongan gak,May?"

Latest chapter

  • Maaf Mas, Aku Tega!    Bab 100

    "Ayo naik, ada yang ingin saya bicarakan." Aldi segera masuk ke mobil. Dengan berat hati Indah pun masuk ke mobil Aldi. "Dasar manusia kutub egois!" umpat Indah dalam hati. Kendaraan roda empat milik Aldi berjalan meninggalkan kantor. Hening, tak ada sepatah kata pun yang keluar dari mulut kedua orang itu. "Kamu sudah sholat?" tanya Aldi memecah keheningan. "Baru tanggal merah, Pak." Aldi tersenyum mendengar jawaban Indah. Bukan, bukan karena tanggal merah. Namun rencananya akan berjalan lancar tanpa kendala. Mobil melaju dengan kecepatan tinggi. Aldi ingin segera sampai tempat tujuan. Karena jarak kantor dan pantai yang ia tujuh hampir dua jam. "Pak, ini bukan jalan menuju rumah saya!" protes Indah karena arah jalan menuju pinggiran kota. Bukan menuju tempat tinggal gadis berambut panjang itu. "Jangan protes!" jawab Aldi dengan mata fokus melihat depat. Tak ia hiraukan wajah Indah yang menjadi masam. "Nanti orang tua saya khawatir, Pak. Putar balik, Pak. Saya ingin pulang!""

  • Maaf Mas, Aku Tega!    Bab 99

    Kini usia kandungan Intan sudah memasuki lima bulan. Selama itu pula Romi dan Intan tidur terpisah. Intan tidur di kamar tamu sedang Romi berada di lantai atas. Mereka berdua hanya bertegur sapa menggunakan ponsel. Pernah suatu ketika Romi sangat merindukan Intan. Ingin mencium istri dan bayi kembar yang ada di dalam kandungan. Namun saat bertemu Intan bukan kemesraan ya ia terima. Melainkan istrinya yang lemas karena muntah. Hampir lima bulan Intan dan Romi bagai orang asing. Romi selalu menyingkir saat bertemu Intan, begitu pula sebaliknya. [Sayang, Mas kangen. Pengen peluk.]Satu pesan masuk dari Romi, Intan tersenyum kala membaca pesan sang suami. Namun kemudian ia meneteskan air mata. Intan merasa belum bisa menjadi istri yang baik. Belum bisa melayani suami. Dalam hati wanita berhijab menjuntai itu sangat merindukan pelukan Romi. Namun lagi-lagi terhalang dengan rasa mual yang mendera. Hingga sebuah ide muncul dalam kepala Intan. Ia berharap ide ini berhasil. Dan menepis jar

  • Maaf Mas, Aku Tega!    Bab 98

    Bijaklah dalam membaca, yang dibawah umur di skip saja. Pov RomiAku berjalan menuju kamar. Jantung rasanya ingin lepas dari sarangnya, dag ... dig... dug,berdetak lebih kencang. Seperti inikah malam pertama dengan wanita yang ku cinta? Rumah sudah sepi. Mama dan papa sudah tidur di kamar. Ibu Halimah sendiri memilih pulang diantar Pak Yadi. Dan Nadia merengek minta diantar ke rumah sakit. Ku buka pintu perlahan. Intan tak ada di ranjang, pasti sedang di kamar mandi. Ku jatuhkan bobot di atas kasur. Mencoba menetralisir degup jantung ini yang tak menentu. Kreeek... Pintu kamar mandi di buka dari dalam. Mataku melotot melihat seorang wanita yang keluar. Intan memakai setelan celana dan baju lengan panjang. Rambut hitam panjangnya dibiarkan terurai begitu saja. Ia berjalan ke arahku sambil menundukkan kepala. Membuatku semakin gemas melihatnya. Perlahan Intan menjatuhkan bobot di kasur sebelahku. Wajahnya masih menunduk. Apakah ia malu dan deg-degan, seperti yang ku rasakan saat i

  • Maaf Mas, Aku Tega!    Bab 97

    Pov Romi"Ngelamun saja Rom!" Satu tepukan dipundak meyentakku dari lamunan. "Gangguin orang sedang berkhayal saja bro!" Yusuf hanya tersenyum melihat ekspresi kesal yang nampak di wajahku. "Sabar, besok juga sudah halal. Aku salut dengan kejujuranmu." Ku naikkan ujung alis ke atas. Tak mengerti dengan ucapan Yusuf barusan. Kejujuran, kejujuran apa maksudnnya?"Maksudnya apaan?""Ya, kejujuran tentang perasaan kamu sama bini aku tempo hari. Gak nyangka ternyata selama ini kamu memendam rasa pada Anita. Tunggu, apa jangan-jangan bunga waktu itu bukan untuk hadiah kehamilan melainkan untuk istriku." Kutelan saliva dengan susah payah. Ya Tuhan, kenapa Romi bisa tahu. Padahal waktu itu dia tak ada di rumah. Apa jangan-jangan Anita cerita pada Yusuf. Tapi kok rasanya tak mungkin. Anita bukan wanita yang suka mengadu atau membuka aib orang lain. "Bingung kan kenapa aku tahu semuanya padahal aku tak di rumah?" Yusuf seperti bisa membaca isi pikiranku. Apa yang harus ku jawab. Hanya satu

  • Maaf Mas, Aku Tega!    Bab 96

    Pov Intan"Intan, disaksikan kedua sahabatmu." Mas Romi menghembuskan nafas perlahan "maukah kamu menjadi ibu dari anak-anakku?"Mataku melotot mendengar perkataan Mas Romi. Mas Romi sadar kan? Dia sedang tidak membayangkan Mbak Anita kan?Aku masih diam, mulutku enggan menjawab perkataan Mas Romi. Entah mengapa aku belum percaya yang ia ucapkan. Semudah itukah dia melupakan pesona Mbak Anita? Walau tak bisa ku pungkiri, ada rasa bahagia mendengar setiap kata yang keluar dari mulutnya. "Bagaimana Intan? Maukah kamu menjadi istriku?"Jantungku dipacu lebih cepat. Dag dig dug. Jawaban apa yang harus ku katakan? "Bilang iya, Tan! Tak usah kamu merasa tak enak padaku. Aku sadar perkara hati tak bisa dipaksakan. Aku ikhlas jika kamu bersama Romi. Aku yakin suatu saat Allah akan mengirimkan seorang imam padaku." Senyum tergambar di wajah Mbak Indah. Bulir bening nan hangat mengalir tanpa dikomando. Mendengar ucapan Mbak Indah membuat suasana terasa semakin haru. Bukan hanya aku saja yang

  • Maaf Mas, Aku Tega!    Bab 95

    Aku melangkah ke rumah Yusuf dengan perasaan tak menentu. Mobil Indah dan sepeda Intan sudah terparkir rapi di carport. Apakah aku bisa menyelesaikan masalah ini dengan baik? Setelah semua jelas, akankah Intan mau menerima perjodohan kami? Bagaimana jika akhirnya kedua wanita itu justru membenciku? Berbagai prasangaka memenuhi pikiranku. Ya Allah bantu aku. Ting ... Tong .... Suara bel setelah ku tekan. Aku berdiri di depan pintu sambil meremas kedua tangan. Rasa gugup dan takut bercampur menjadi satu. Pintu di buka dari dalam. Jantung di pacu lebih cepat saat menanti siapakah orang yang membuka pintu. Semoga saja bukan Intan atau Indah. Seorang wanita paruh baya tersenyum kala menyambutku. Berjalan berjajar lalu masuk ke rumah bernuansa modern ini. "Apakah ada masalah, Rom?" tanya tante Ningrum. "Sedikit tan, hanya kesalahan pahaman saja. Ini mau diselesaikan."Ternyata masalah ini sudah sampai ke telinga tante Ningrum. Aku menjadi tak enak hati karena ketidak tegasanku yan

  • Maaf Mas, Aku Tega!    Bab 94

    Pov Romi"Jangan asal bicara, nanti akan menimbulkan fitnah," ucap papa. "Itu kenyataan, dan Romilah penyebab kematian Febi!"Ya Tuhan, ada apa lagi ini? Bisa-bisanya Om Damar memutar balikkan fakta. Orang tak tahu pasti akan percaya. Terlebih dia memiliki kekuasaan. "Ayo, Rom, ma, kita pulang saja," ucap papa melanjutkan langkah. Tak ia perdulikan tatapan penuh kemenangan di wajah Om Damar. "Dasar pengecut!"Kami tak membalas ucapan lelaki tua itu. Percuma meladeni orang seperti itu. Hanya akan menimbulkan rasa lelah saja. Biarpun kami tak bisa membalas cukup adukan pada Sang Pencipta. Aku yakin Allah akan menegurnya dengan cara-Nya sendiri. Kami melangkah meninggalkan kerumunan para pelayat.Tatapan sinis tergambar dari raut mereka. Sesuatu yang viral tempo hati seakan hilang dalam sekajap. Uang dan kuasa mampu membungkam hal seperti itu. "Mama sudah bilang, papa sih tidak percaya!" omel mama setelah kami masuk ke mobil. "Tidak apa-apa ma, yang penting kita sudah berusaha untuk

  • Maaf Mas, Aku Tega!    Bab 93

    Duduk termenung di balkon. Menatap langit yang masih tertutup mendung meski air tak lagi berjatuhan. Namun bintang dan bulan masih enggan nampak.Semilir dinginnya angin malam tak mampu mengusik diriku dari sini. "Intan atau Indah yang kamu cintai?" Perkataan Anita tadi kembali mengusik pikiranku. Benarkah kedua wanita itu menyukaiku? Apakah Indah adalah alasan Intan menolak perjodohan kami? Cinta itu sebuah perjuangan. Tapi kenapa Intan memilih mengalah dibandingkan berjuang. Apa karena aku terlalu dingin dan terkesan mengabaikannya? Entahlah, aku sendiri bingung memikirkan itu. Intan dan Indah adalah dua pribadi yang berbeda. Intan dengan penampilan tertutupnya dan Indah wanita fashionable. Keduanya memang memiliki pribadi yang baik. Namun jika aku harus memilih, tentu Intan lah yang ingin ku jadikan pendamping hidup. Bukan, bukan hanya karena Intan sholehah tapi juga karena mama sudah cocok dengan wanita berhijab menjuntai itu. Bukankah hubungan menantu dan mertua sangat berpen

  • Maaf Mas, Aku Tega!    Bab 92

    "Tan," panggilku sedikit keras. "I-iya Mas," jawabnya gugup. Aku yakin dia gugup mau menjawab apa. "Bagaimana jawaban kamu?" Intan menyatukan dua alis. Pandangan tajam ke arahku. Apa aku salah bicara? "Maaf Mas, Intan belum bisa."Hancur sudah harapanku. Harusnya aku tidak bilang saja. Sekarang hanya malu yang ku rasa. "Maaf ya Mas, Intan belum bisa mencicil biaya rumah sakit ibu. Intan belum punya uang." Aku bengong mendengar jawabannya. "Bukan yang itu, Tan. Yang tadi," ucapku berusaha mengingatkan Intan. "Dari tadi Mas Romi bilang tentang uang berobat kan?"Ya Allah, Ya Robb... Susah payah menenangkan hati agar bisa bicara pada Intan. Namun dia justru tak mendengar. Percuma menahan detak jantung. Anak ini memang keterlaluan. Harusnya aku diam saja tadi. "Lupakan saja, Tan. Untuk uang pengobatan tak usah dikembalikan. Aku ikhlas kok.""Tapi, Mas!""Kamu kan sudah jagain mama aku selama tiga hari. Anggap saja kita impas""Tidak bisa gitu dong, Mas. Saya ikhlas kok.""Sudah ah

DMCA.com Protection Status