Sudah Pandu duga, Alisya akan mengirim makan siang sebanyak ini.Biasanya saja sang istri akan membawakan bekal yang cukup untuk porsi dua tiga orang, bukan tanpa alasan juga Alisya melakukannya, Pandu memang kerap makan bersama para bawahannya, awalnya mereka merasa canggung tapi lama-lama sangat menyenangkan dan Pandu sangat menikamatinya.Akan tetapi jika untuk berbagi dengan dua orang wanita di depannya ini, ogah. "Apa ini? Kenapa tidak ada tulisan restoran tempat kamu memesan."Kadang Pandu mengakui kalau sang tante bisa sangat cermat, tapi sayang kemampuan istimewanya itu tidak dia gunakan dalam bekerja tapi dalam mengurusi hidup orang lain, terutama hidupnya, padahal Pandu dengan jelas mengatakan dia tidak butuh perhatian yang sangat terlambat ini."Karena memang bukan dari restoran, ini dari istriku," kata Pandu tenang, tapi mampu membuat kedua wanita di depannya menatap tak percaya "Kalau kalian sudah selesai bisa tinggalkan ruangan ini, aku ingin makan siang," lanjutnya tak
“Hari ini aku harus menemui dokter.” Alisya menatap suaminya, Pandu Wardana menghentikan makannya dan menatap wanita itu datar. “Aku harus bekerja.” Tentu saja apa yang bisa Alisya harapkan Pandu mengantarnya ke dokter? Dia pasti sudah gila. Pernikahan mereka bukan pernikahan atas dasar cinta pada umumnya. Alisya memang mencintai Pandu, bahkan sangat mengagumi laki-laki itu, mereka dulu adalah rekan kerja yang kompak hingga petaka itu terjadi. Alisya yang waktu itu sedang bingung kemana harus mencari uang untuk pengobatan ibunya, menyebrang jalan begitu saja. Ia tak melihat kendaraan yang dikemudikan Pandu dengan kencang. Kecelakaan itu membuatnya harus duduk di kursi roda karena kakinya sama sekali tak mampu menompang tubuhnya. Berhari-hari Alisya menyesali kecerobohannya, apalagi tak lagi punya uang untuk pengobatan ibunya. Di saat itulah kedatangan Pandu dan ayahnya seperti secercah harapan untuknya. Mungkin Tuhan memang mengujinya dengan kaki yang lumpuh. Tapi diba
“Ini Sekar kekasihku.” Dari sekian banyak wanita yang bisa menjadi pacar suaminya kenapa harus wanita ini. tidak cukupkah luka yang wanita ini torehkan pada keluarganya dulu? Alisya tak mungkin salah mengenali orang, meski penampilannya sudah dipoles sana sini sedemikian rupa, tapi senyum dan wajah lembut penuh tipu muslihat itu tak akan pernah dia lupakan. Dan sepertinya Sekar menyadari siapa dirinya tapi seperti yang sudah Alisya kenal bertahun-tahun yang lalu, Sekar adalah orang sangat pandai menjaga raut wajahnya, dan itu yang membuatnya berbahaya. Alisya tahu ini sudah sangat terlambat, tapi bertemu dengan wanita ini membuatnya bukan hanya merasakan rasa sakit tapi juga amarah.“Halo Alisya.” Alisya masih menggenggam tangannya kuat berusaha menguasai dirinya saat wanita itu berjalan mendekatinya dan mengulurkan tangan dengan senyum terkembang. “Halo, kamu pasti sudah tahu siapa aku, meskipun itu tak menyurutkan langkahmu untuk memilki suamiku.” Alisya sendiri terkejut
“Beraninya kamu menyakiti kekasihku.” Pandu menatap Alisya dengan dingin.Laki-laki itu langsung meraih Sekar dalam pelukannya dan memeriksa pipi dan juga semua bagian tubuh dengan sangat khawatir, membuat Alisya hanya bisa menggigit bibirnya getir. Ada rasa takut dalam hatinya karena tak pernah melihat Pandu semarah itu.Alisya memang dibesarkan dengan kesederhanaan oleh kedua orang tuanya bahkan setelah ayahnya meninggal mereka bisa dikatakan kekurangan tapi tak pernah ada perlakukan kasar dan bentakan meski mereka mendidknya dengan sangat keras tapi saat dia menikah kata-kata kasar penuh hinaan itu sudah menjadi makanannya sehari-hari. Bukan hanya dari Pandu suaminya tapi juga dari keluarga laki-laki itu bahkan para pelayan yang bekerja di rumah ini. Biasanya Alisya hanya diam saja dan hanya menunduk kemudian pergi dari sana, menganggap itu adalah bagian dari resiko. Akan tetapi kali ini dia tak bisa terima Sekar telah menghina ibunya. Dia tidak pernah memiliki hutang budi pada
Wajah pucat dan mata sembab.Itulah yang dilihat Alisya dari sosok dalam pantulan cermin. Dia ingin tetap di dalam kamar dan tidak usah menghadiri pesta itu, tapi dia tidak bisa mengabaikan ancaman Pandu. Alisya tak menyangka bahwa banyak orang yang hadir untuk menghadiri pesta ulang tahunnya, tapi dia bahkan tak tahu siapa saja yang diundang. Dia memang pemeran utama dalam pesta ini tapi dia merasa seperti tamu yang tak diundang, begitu menyedihkan.Tentu saja ini pesta untuk Sekar, wanita yang dicintai Pandu.Alisya mengedarkan pandangannya tak terlihat Pandu atau keluarganya dimanapun. Bahkan Sekar juga tak ada diantara tamu yang tak semua Alisya kenal. “Aku tidak tahu apa yang membuatmu betah duduk di kursi menyedihkan itu?” Alisya yang semula sibuk mengedarkan pandangan mencari keberadaan Pandu langsung menoleh dan menemukan laki-laki yang menatap sinis padanya. Pramudya Setiaji, sahabat Alisya, mereka sudah mengenal sejak SMA, ayah Pram adalah salah satu rekan bisnis ayah
Alisya bukan batu dia manusia yang memiliki perasaan. Dia juga seorang istri yang sama sekali tidak diharapkan dan diperlakukan begitu kejam. “Aku akan memberikan perawatan terbaik untuk ibumu setelah kamu melakukan ini.” Alisya menelan kembali tangisnya. Ibunya... benar wanita yang sangat dia sayangi itu saat ini sedang berjuang melawan penyakit yang menggerogotinya. Alisya tak akan sanggup bila harus kehilangan wanita itu. Ayahnya sudah berpulang terlebih dahulu dengan cara yang tak sanggup lagi dia ingat, dan sekarang ibunya adalah satu-satunya hal berharga yang dia miliki di dunia ini. Selama ini orang tuanya sudah membesarkannya dengan sangat baik meski dalam keterbatasan. Jika nyawa itunya bisa dipertahannya dengan rasa sakit hatinya... Alisya ikhlas menerimannya. “Aku mengerti terima kasih, mas. Aku sangat berharap ibuku akan segera sembuh.” Alisya tersenyum meski hatinya sangat pedih, sejenak dia menatap wajah rupawan Pandu yang sangat dia kagumi, untuk terakhir kalinya
“Biar aku bantu.” Alisya langsung mendongak, saat melihat siapa yang bicara dia tak bisa lagi menyembunyikan air matanya. Di saat semua orang sedang memperhatikan Sekar dan Pandu di sana, diam-diam Alisya menyingkir. Perannya sudah selesai dan waktunya dia turun panggung. Akan tetapi panggung ini tentu saja tidak didesain untuknya, wanita cacat yang harus menggunakan kursi roda, sebuah bukti nyata lagi bahwa semua ini memang bukan untuknya. Dan Alisya tentu saja kesulitan untuk turun sendiri.“Aku tahu kamu memang bodoh tapi tidak aku sangka kamu sebodoh ini,” komentar laki-laki itu lagi.Mulut Alisya langsung terkunci, itu kenyataan yang memang tak bisa dia sangkal. Senyum getir menghiasi bibirnya.Meski terlihat luar biasa kesal tapi perlahan laki-laki itu membantu Alisya menurunkan kursi rodanya dari atas panggung dengan hati-hati. Saat telah ada di bawah panggung Alisya menoleh sejenak pada Pandu dan Sekar yang masih tamp
“Fokuslah pada tujuanmu dan lupakan perasaanmu.” Kalimat Pram sebelum laki-laki itu pamit pulang masih menggema di kepala Alisya dan makin membuatnya tak bisa memejamkan mata meski tubuhnya lelah luar biasa. Pesta sudah berakhir satu jam yang lalu, aktifitas membersihkan sisa pesta juga sudah mulai berkurang berisiknya. Alisya memang langsung kembali ke kamar setelah berbicara dengan Pram, pesta yang diadakan di halaman depan membuatnya leluasa untuk kembali ke kamar lewat pintu belakang. Alisya bahkan tak memiliki keinginan sedikit pun untuk beramah tamah dengan orang tua Pandu, dia bahkan tidak peduli jika dikatakan tidak sopan. Sejak kembali yang dia lakukan hanya mengurung diri dalam kamar dan bertanya-tanya pada dirinya sendiri apa dia mampu untuk menjalani hari ke depan sebagai istri pertama yang sama sekali tak dianggap oleh suaminya? Wanita itu masih sibuk menatap rimbun pohon di balik jendela kamarnya saat pintu kamarnya terbuka dan kemudian menutup lagi dengan keras.
Sudah Pandu duga, Alisya akan mengirim makan siang sebanyak ini.Biasanya saja sang istri akan membawakan bekal yang cukup untuk porsi dua tiga orang, bukan tanpa alasan juga Alisya melakukannya, Pandu memang kerap makan bersama para bawahannya, awalnya mereka merasa canggung tapi lama-lama sangat menyenangkan dan Pandu sangat menikamatinya.Akan tetapi jika untuk berbagi dengan dua orang wanita di depannya ini, ogah. "Apa ini? Kenapa tidak ada tulisan restoran tempat kamu memesan."Kadang Pandu mengakui kalau sang tante bisa sangat cermat, tapi sayang kemampuan istimewanya itu tidak dia gunakan dalam bekerja tapi dalam mengurusi hidup orang lain, terutama hidupnya, padahal Pandu dengan jelas mengatakan dia tidak butuh perhatian yang sangat terlambat ini."Karena memang bukan dari restoran, ini dari istriku," kata Pandu tenang, tapi mampu membuat kedua wanita di depannya menatap tak percaya "Kalau kalian sudah selesai bisa tinggalkan ruangan ini, aku ingin makan siang," lanjutnya tak
Alisya itu ternyata sangat cerewet. Pandu baru menyadari hal itu saat dia sakit kemarin, sang istri bahkan bisa mengomel panjang lebar saat dia malas minum obat atau bahkan makan makanan bergizi yang disediakan sang istri. Istrinya yang biasanya sedikit bicara banyak bekerja, berubah menjadi seperti radio rusak yang suaranya bisa merusakkan telinga. Akan tetapi Pandu suka. Dia pasti sudah gila karena merasa istrinya berkali lipat lebih seksi saat mengomel seperti itu, ternyata benar kata orang kalau cinta itu buta dan Pandu adalah salah satu korbannya. Dulu saat bersama Sekar juga dia menjadi sebuta ini dan mengabaikan semua omongan orang tentang kekurangan sang kekasih, Pandu bukan menyadari hal itu tapi dia memilih tutup mata meski rasa tak nyaman itu menghinggapinya, dia baru sadar setelah pengkhianatan demi pengkhianatan yang dilakukan wanita itu menamparnya dengan keras. Sekarang bersama Alisya, dia juga menyadari kekurangan wanitanya itu, tapi alih-alih merasa tak nyaman k
Dengan susah payah dua wanita itu berhasil membawa tubuh Pandu ke atas sofa terdekat dan membaringkannya di sana. Sebenarnya Alisya ingin membawa sang suami ke tempat tidur, tapi dia tahu mereka berdua tak akan sanggup melakukannya. "Bibi tolong panggil satpam di depan atau siapapun untuk membantu mengangkat mas Pandu ke kamar." Bibi tak perlu diperintah dua kali, wanita itu langsung berlari keluar dan mendapati satpam dan sopir sedang main catur di teras depan meninggalkan pos satpam kosong. Pantas saja. Rasanya bibi ingin mengomel saja, tapi tidak ada waktu untuk itu, tuannya sudah menunggu. Dia segera berteriak memanggil mereka."Mas Pandu tadi pulang tidak sama bapak?" tanya Alisya pada sopir pribadi sang suami. Laki-laki paruh baya itu langsung menunduk dengan wajah bersalah. "Bersama saya, tapi saya tidak tahu tuan sakit," katanya. Alisya menghela napas, tak tega juga memarahi laki-laki ini. Sebagai sopir dia tidak punya kewajiban memperhatikan apa majikannya sakit atau
Ini bukan hari pertama Pandu pulang malam semenjak sang tante kembali membuat masalah. "Bapak sedang meeting dengan buyer dari Australi, mereka baru saja makan malam tadi dan sekarang meeting berlanjut lagi." Pandu memang bercerita padanya kalau keluarga besar suaminya itu mendesak untuk meloloskan permintaan sang tante dan tak segan-segan meminta Pandu memakai dana amal perusahaan jika memang diperlukan. Tentu saja Pandu menolak hal itu, karena sang tante bukan orang fakir miskin yang sedang kesulitan yang perlu bantuan jadi yang bisa Pandu lakukan adalah mencari buyer sebanyak mungkin untuk menutupi kekurangan harga karena ketololan sang tante. Sebenarnya bisa saja Pandu menolak, tapi itu akan berimbas pada nama baik keluarga juga saham yang kemungkinan akan anjlok."Baiklah, terima kasih mbak tolong ingatkan bapak supaya tidak telat meminum vitaminnya." "Baik, bu." Alisya menutup telepon sambil menghela napas. "Tuan muda pulang malam lagi ya, nyonya?" tanya bibi. Alisya men
Sepertinya inilah yang namanya kualat.Alisya tadi hanya memanggil nama Pram satu kali bukan tiga kali tapi kenapa laki-laki itu langsung merespon panggilannya? Parahnya di depan Pandu pula. "Kamu benar-benar janjian dengan Pramudya?" Ada nada berbahaya dalam suara Pandu dan Alisya jelas tahu hal itu. Di masa lalu meski tak ada cinta ataupun kepedulian dalam diri laki-laki itu untuknya tapi tetap saja akan marah kalau dia masih berhubungan dengan Pram atau temannya yang lain. "Apa mas akan menggunakan hak mas sebagai suamiku untuk melarangku berteman dengannya?" tanya wanita itu, dia tahu ini mungkin akan memicu pertengkaran lagi. Sebenarnya sejak menikah dengan Pandu lagi, Alisya jarang sekali berhubungan dengan Pram, juga karena laki-laki itu yang katanya sibuk sekali dan sudah memiliki wanita yang dia sukai. Tindakannya tadi hanya impulsif semata dian hanya ingin memberi pelajaran pada suaminya, bagaimana jika dia melakukan hal yang sama seperti yang dilakukan Pandu. Hubung
Kadang mencintai itu begitu menyakitkan apalagi mencintai sendiri. Seberapapun dia menolak rasa cinta itu, dia tetap saja tak mampu. Rasa itu datang dengan semena-mena dan menggerus kewarasannya. Diantara besarnya cinta yang dia miliki terdapat cemburu yang membuatnya tak ingin berbagi, dia kira Pandu sudah menyadari semuanya, bahwa dia tidak ingin terluka lagi oleh cinta orang yang sama, tapi nyatanya semua hanya fatamorgana. "Mas tidak perlu bersusah payah aku tahu urusan mas sangat banyak, aku tidak ingin dianggap beban yang merepotkan." Alisya berkata tenang, dia tidak ingin mempermalukan dirinya, sudah cukup drama yang dia ciptakan tadi. "Kamu nggak apa-apa kan, Ran. Nunggu sebentar lagi." Rani yang dari tadi ada di samping Alisya sejak tadi hanya menunduk, dia tidak tahu hari pertama dia tinggal di kota ini malah jadi seperti ini. "Aku terserah mbak Alisya saja," kata Rani dengan pandangan bingung dan enak hati, gadis itu memang tidak tahu apa yang terjadi tahu-tahu Pandu
"Apa yang akan kamu lakukan?" Alisya meletakkan ponselnya setelah mengirimkan screenshoot postingan tadi pada Pandu. Dia menatap Sasti sebentar. Sekarang mereka ada di ruangan Alisya dengan banyak makanan di depannya, bahkan Dara dan Rani juga mendapat jatah, tapi seperti biasa setelah mengambil makanan mereka, dua orang itu lebih memilih kabur dari pada menemani keduanya. Alisya pernah juga iseng bertanya, kenapa mereka menolak makan bersama, padahal Sasti bukan tipe bos yang pelit dan sok elit dengan tak mau makan dengan bawahannya. "Mending kita makan di warteg dari pada makan makanan mahal semeja sama bu Sasti." "Memangnya dengan makanan yang dibelikan bu Sasti?" "Makanannya pedes banget." "Kan kamu bisa request makanan yang nggak pedas." "Percuma saja.""Maksudnya?" "Makanannya memang nggak pedas tapi omongan bu Sasti yang membuat pedas." Alisya langsung tertawa dia juga mengakui hal itu. "Tapi dia baik lho, suka bantu karyawannya juga.""Tetap saja, dari pada senam jan
Alisya memakan kripik yang diberikan bulek Par padanya sambil mengamati air hujan yang jatuh ke bumi. Begitu sampai di rumah ini, mereka disambut dengan hujan yang begitu lebat. Bibi dan Pak Maman yang menyambut mereka langsung sibuk menurunkan barang-barang yang mereka bawa. Baik Pandu maupun Alisya tidak banyak membawa barang pribadi mereka kanrena mereka berencana akan sering pulang ke desa jika ada libur, lagi pula barang-barang mereka masih banyak di sini. Saat Alisya pergi dulu dia memang tidak membawa barang-barang yang dibelikan oleh Pandu hanya barang-barang lamanya saja. "Memangnya kamu pikir aku harus pake baju perempuan," kata Pandu sebal saat Alisya mengatakan baju itu milik Pandu karena dibeli dengan uang laki-laki itu dulu. Sekarang dia kembali lagi ke rumah ini, kali ini bukan hanya berkunjung tapi juga kemungkinan akan menetap entah lama, masalah keluarga Pandu tidak akan mungkin bisa diselesaikan dalam waktu dekat, banyak rencana Pandu yang diceritakan pada Al
"Memang harusnya istri ikut suaminya, Nduk." Hari ini Alisya datang ke rumah bulek Par, sengaja dengan membawakan kolak pisang kesukaan bulek yang tadi dia buat. Rumah bulek Par memang tidak besar tapi asri dan bersih. Alisya duduk di balai-balai bambu di teras depan rumah bulek. "Iya, bulek sepertinya ini memang sudah saatnya kasihan mas Pandu kalau pulang malam jaraknya jauh." "Lah sudah pinter kamu, pernikahan itu memang harus keduanya berjuang, kalau salah satu saja ya pincang." Alisya mengangguk, itu juga salah satu alasannya mau kembali bersama Pandu, dia melihat kalau laki-laki itu sudah berubah dan mau untuk berjuang untuk pernikahan mereka. "Tapi bulek ada yang menganggu saya sebenarnya kalau harus pindah ke rumah mas Pandu-" "Rumah kalian," koreksi bulek Par. "Iya maksud, Lisya rumah kami. Apa bulek mau ikut kami ke kota?" tanya Alisya hati-hati. Suasana desa yang tentram dan masyarakatnya yang saling tolong menolong membuat banyak warga di sini yang enggan untu