Hancurnya rumah tanggaku berawal dari curhat. Kebiasaan Ibu Mertua yang selalu menceritakan segala kekuranganku kepada Linda—mantan kekasih suamiku—membuka jalan bagi perempuan itu untuk masuk ke dalam kehidupan pernikahanku bersama Mas Hangga.
“Salah apa sih, si Mirna itu, Ma?” tanya Linda kepada Ibu Mertua pada saat aku pergoki mereka tengah membicarakanku di rumah. Aku baru saja pulang dari pasar, membeli sayuran dan bahan masakan lain untuk acara kumpul keluarga lusa.
“Salahnya Mirna itu cuma satu, karena dia bukan orang kaya! Andai saja dia orang kaya, Mama bisa terima dia meskipun dia mandul. Tapi karena dia orang tak berpunya, Mama jadi berpikir seribu kali untuk mempertahankannya sebagai menantu. Apa yang akan Hangga dapatkan darinya nanti? Keturunan? Harta? Tidak mungkin Mirna bisa memberikan semua itu. Dia anak yatim yang Hangga nikahi, dan malah menjadi beban bagi keluarga ini. Mirna tidak bisa memberikan perubahan apa-apa pada kami,” jawab Ibu Mertua.
Aku memundurkan langkahku ke balik dinding pemisah antara dapur dan ruang tengah, bersembunyi untuk menguping percakapan mereka lebih lanjut meskipun rasanya sangat menyakitkan. Wajahku mulai terasa panas diiringi basah di pipi akibat air mata yang terus berjatuhan. Percakapan mereka jelas terdengar sebagai hinaan untuk diriku. Ingin rasanya tangisan ini kuiringi dengan teriakan sekencang-kencangnya, namun aku harus menahan diri di tengah kekacauan perasaan ini demi menjaga agar mereka tak mengetahui bahwa aku tengah menguping.
“Kasihan, Ma. Jangan segitunya sama Mirna,” balas Linda. Rupanya perempuan itu punya belas kasihan juga padaku, meskipun kutahu itu hanyalah pura-pura, karena baru saja kemarin dia terang-terangan mengirimiku inbox yang isinya dia tidak akan menyerah untuk mendapatkan Mas Hangga Kembali.
“Mau bagaimana lagi? Seluruh anggota keluarga sudah membicarakan permasalahan ini dan kami sepakat untuk mengembalikan Mirna pada ibunya. Hangga juga akhirnya setuju setelah dibujuk. Lagipula, kasihan kalau rumahtangga mereka dipertahankan, Mirna akan tersiksa mental dan batinnya karena keluarga menerima keberadaannya setengah hati. Apalagi, rencana kami untuk menikahkan Hangga denganmu itu sudah bulat, Linda. Janganlah sok merasa kasihan pada Mirna, kamu juga mengharapkan mereka berpisah, kan?” Ibu Mertua menjawab perkataan Linda dengan kalimat yang begitu menusuk jantung. Kemudian mereka tertawa, terdengar seperti sedang mengejekku.
Lemas terasa kedua lutut ini, pertahananku akhirnya roboh juga. Aku terduduk di lantai dengan tiga keresek besar berisi belanjaan yang baru saja kubeli dari pasar. Benar kata Linda, malang benar nasibku ini, menjadi istri dan menantu di keluarga yang setengah hati menerimaku, membuat posisiku tidak penting di tengah-tengah keluarga ini. Aku hanya dijadikan pelengkap saja, untuk melayani semua keperluan mereka.
Aku tidaklah mengatakan bahwa aku dijadikan ART di sini, aku hanya mengungkapkan apa yang kurasa, bahwa keberadaanku di sini tidak begitu berarti bagi mereka. Aku yang selalu mengambilalih tugas pekerjaan rumahtangga, apalagi jika keluarga besar datang berkunjung, maka akulah yang selalu ditugasi Ibu Mertua untuk melayani mereka, meskipun ada menantunya yang lain di rumah ini.
Di rumah ini tinggal tiga keluarga, yaitu Ibu dan Bapak Mertua, Uwak Halimah, dan aku bersama Mas Hangga. Kami adalah keluarga besar dan terbilang kaya raya. Ketiga anak Ibu Mertua sudah berkeluarga dan tinggal di kota. Sedangkan Mas Hangga—suamiku—adalah anak bungsu, jadi Ibu Mertua tak mengizinkan kami tinggal pisah rumah dengannya.
Pernikahanku dan Mas Hangga sudah berjalan empat tahun. Aku memang belum dikaruniai keturunan, dan itu membuatku semakin tidak berguna bagi keluarga Mas Hangga. Meski dokter kandungan maupun bidan tidak pernah memvonis aku mandul, namun semua anggota keluarga selalu menuduhku mandul, padahal bisa saja Alloh belum memberikan kepercayaan padaku dan Mas Hangga untuk menjadi orangtua. Mereka hanya tidak bersabar menungguku bisa hamil, ditambah latarbelakangku yang hanyalah orang tak berpunya, membuat mereka semakin semena-mena terhadapku—berbicara dan bersikap semau mereka—tanpa mempedulikan perasaan dan harga diriku.
Memang, aku pun menyadari bahwa keturunan itu amatlah penting bagi kebanyakan keluarga, dan aku telah mengecewakan keluarga suamiku ini. Karena itulah, Ibu Mertua meminta suamiku untuk menikahi Linda. Aku sudah mengetahui rencana mereka sejak lama—hampir setahun mereka telah mengatur pernikahan Mas Hangga dan Linda secara sembunyi-sembunyi dariku. Meskipun cenderung tak pernah menghargai keberadaanku, namun rupanya untuk urusan yang satu ini mereka mempertimbangkan perasaanku juga. Mereka tahu aku akan sangat sedih dan sakit hati jika mendengar rencana itu. Karena itu pula lah, aku pun pura-pura tak tahu semuanya.
Dan sejak mendapat lampu hijau dari keluarga Mas Hangga, Linda semakin terang-terangan menunjukkan rasa sukanya pada Mas Hangga. Perempuan itu jadi sering main ke rumah, dan pulangnya dia selalu mengirimiku inbox yang menceritakan keluhan-keluhan Ibu Mertua padaku. Dari situlah aku sadar, Ibu Mertua ternyata sering curhat tentang kekuranganku pada Linda. Hal itu membuatku semakin down dan tidak merasa percaya diri. Meskipun begitu, aku tak pernah membalas inbox itu, aku tahu dia membocorkan kelakuan Ibu mertua hanya untuk memancing emosiku, agar aku bertengkar dengan mertuaku.
Brakkk!
Suara keresek belanjaan berisi dua kilogram kentang jatuh dan menimbulkan bunyi di lantai, membuat Linda dan Ibu mertua tersentak sekaligus mencurigai kehadiranku. Aku segera berdiri dan melengos ke dapur.
“Mirna, sejak kapan kamu datang?” Ibu Mertua menyusulku dan dengan ekspresi kaget bertanya padaku. Kulihat Linda juga berdiri di belakang Ibu Mertua—di ambang pintu dapur.
“Baru saja, Ma,” jawabku.
“Syukurlah kalau begitu. Kamu gak nguping, kan?”
“Nguping apa, Ma?” Aku pura-pura tidak tahu.
“Gak usah dibahas. Cepat bereskan saja sayuran itu dan simpan ke kulkas. Jangan lupa besok mulai masak untuk menyambut kedatangan anak mantuku yang dari kota. Setelah itu, rapikan kamar tamu, Linda akan menginap malam ini,” titah Ibu Mertua.
Kulihat calon menantu ibu mertuaku itu mendelik padaku, seakan mengejek karena merasa dirinya menang. Aku membalas delikan itu dengan tatapan tajam.
“Kasih tahu saja, Ma,” ucap Linda.
“Jangan, nanti dia nangis.”
“Mau dikasih tahu sekarang ataupun nanti, toh sama aja, ujung-ujungnya bakal nangis juga!” Linda begitu sinis.
“Kalian tidak perlu memberitahuku apapun,” kataku lantang. “Aku sudah tahu semuanya, dan aku tidak akan menangis!”
Mereka tercengang mendengarku berkata lantang seperti itu.
“Jadi, kau sudah tahu? Baiklah, kami tidak perlu repot-repot memberitahumu. Sekarang, kamu sadar kan kalau sebentar lagi posisimu akan tergeser olehku?” Linda melangkah mendekat, hingga dia berada dihadapanku melipat kedua tangan di dada. Sudah tak ada benteng diantara kami, Linda terang-terangan menyatakan permusuhannya denganku. “Kamu pilih bertahan tapi hanya sebagai istri tak dianggap? Atau mundur?” tantangnya.
Sorot mata Linda semakin menantang, aku jadi terpancing. “Kamu ambil saja Mas Hangga jika bisa. Akan kupastikan kamu yang menangis karena dia tak akan meninggalkanku!” Tanpa merasa takut aku membalas tantangan Linda. Sementara itu, Ibu Mertua menarik tangan Linda dan membawanya menjauh dari hadapanku. “Sudah, tak usah diladeni. Kami sekeluarga mendukungmu,” bisiknya pada Linda. Aku dapat mendengarnya bicara seperti itu meski jarak kami kini sudah lumayan jauh.***Tanganku sibuk memasang sprei di kasur yang akan ditiduri Linda malam nanti, dia akan menginap. Meski berat hati, aku tetap membereskan kamar tamu untuknya demi memenuhi perintah Ibu Mertua. Sambil bekerja, pikiranku terus berkecamuk tentang rencana pernikahan Mas Hangga dan Linda seperti yang selalu diperbincangkan seluruh anggota keluarga akhir-akhir ini. Tentu saja hatiku pun hancur berantakan, dan aku harus tetap waras dalam keadaan seperti ini. “Sedang apa?” Mas Hangga mengagetkanku dari ambang pintu.“Mas
Seketika aku langsung berlari ke kamar dengan menghentakkan kaki keras-keras ke lantai. Bukannya melawan ataupun membela diri di hadapan mereka, aku memilih pergi. Aku tak boleh gegabah dalam bertindak. Jika aku marah dan mengeluarkan kata-kata sedikit saja, mereka pasti akan menang karena itu akan dijadikan senjata untuk menyerangku balik di hadapan Mas Hangga, mereka akan berdalih aku ini suka melawan dan tidak sabaran sehingga pantas diceraikan. Menghadapi posisi seperti ini, aku memang harus banyak mengalah dan banyak sabar pada mereka.“Mirna?”Suara Mas Hangga mengejutkanku dari depan kamar, dia mengetuk pintu sambil memanggil namaku. Cepat kutatap cermin dan mengusap air mata yang membanjiri pipi.“Masuk saja, Mas. Tidak dikunci,” kataku, mengatur nada suara senatural mungkin agar tidak terdengar seperti orang habis menangis.Mas Hangga mendekat dan mendudukkanku di tepi ranjang. Dia pun mengusap sisa air mata di pipiku. “Mas tahu bagaimana perasaanmu, dan kesulitanmu selama ja
“Ada apa ini?” bantahku. “Mas Hangga memang menyuruhku pulang, tapi dia tak menyuruhku mengemasi semua barang dan baju. Aku akan pulang untuk sementara, tidak untuk selamanya.”“Ngeyel!” Linda menggerutu sambil berlalu dari hadapanku, meninggalkan koper-koper tergeletak begitu saja.Kini tinggal Ibu Mertua yang masih berdiri di depanku sambil menunjuk koper. “Bereskan. Terserah kamu mau pergi atau tidak, yang penting Hangga sudah menyuruhmu dan tak memberatkanmu. Jangan salahkan kami kalau nanti situasi di rumah ini tak sesuai seperti yang kamu harapkan,” katanya.*Tepat jam tiga dini hari aku bangun seperti biasanya, namun tak kudapati Mas Hangga di sisiku, padahal aku yakin sekali semalam dia tidur bersamaku bahkan suamiku itu menyelimuti dan membenarkan posisi kepalaku yang tak pas di bantal, kami juga sempat mengobrol sebentar tentang keinginan Mas Hangga yang kukuh menyuruhku pulang ke rumah Ibu.“Mungkin dia sedang pergi ke kamar mandi, mengambil air wudhu atau sedang di mushol
BAB 5“Kamu Harus Bantu-Bantu”“Linda dan keluarganya sanggup memberi modal usaha untuk kami. Kamu tahu sendiri kan kalau warung nasi Ibu akhir-akhir ini sepi karena kehabisan modal. Menu-menu yang dimasak setiap hari selalu banyak sisa, tidak laku, akhirnya modal Ibu habis. Sementara, tabunganku pun ludes dipinjam untuk pengobatan Uwak Halimah, sampai sekarang belum juga dikembalikan uang tabunganku itu.” Mas Hangga menjelaskan. Uang. Itulah alasannya, seperti dugaanku. Linda memang berasal dari keluarga kaya, uang puluhan juta mudah saja baginya. Selain itu, dia juga berpendidikan dan berprofesi sebagai bidan, meski belum lama berpengalaman namun menurut kabar yang kudengar dia akan segera membuka praktek. Memiliki itu semua, membuat Linda mudah diterima di keluarga ini, terlebih mereka sebelumnya sudah sangat dekat karena sebelum menikah denganku Linda adalah pacarnya Mas Hangga.“Aku harap, kamu bisa terima pernikahanku dengan Linda, ya,” lanjut suamiku itu.“Semudah itu kamu mem
BAB 6AKAN JADI MENANTU KEBANGGAAN“Ayo kembali ke kamar, jangan terbawa emosi. Aku minta maaf kemarin telah menyuruhmu pulang,” kata Mas Hangga seraya merebut koper dari tanganku. Dia lalu menuju kamar.Sementara itu, Ibu Mertua memberi isyarat agar aku mengikuti Mas Hangga. Sebenarnya, aku benar-benar ingin pulang tapi aku teringat lagi konsekuensinya, nanti di kampung aku pasti akan jadi bahan perbincangan orang-orang karena pulang sendirian tanpa suami. Belum lagi, ibuku juga akan kena imbasnya, bisa saja Ibu menerimaku namun dalam hatinya akan merasa sedih melihatku pulang tanpa Mas Hangga, sudahlah dapat ditebaknya apa yang terjadi dalam rumahtanggaku.Aku memang harus mempertimbangkan baik-baik sekali lagi keputusanku untuk pulang. Akhirnya, kuputuskan untuk tetap tinggal. *Suara mobil begitu berisik di luar rumah. Aku yang baru saja pulang bersih-bersih di warung nasi Ibu Mertua langsung melihat siapa yang datang lewat jendela kamar. Ada lima mobil, itu adalah mobil ketiga k
"Mama memang paling bisa bikin Linda seneng," balas Linda.Aku sengaja menjauh dari gudang agar tak sakit hati lebih jauh lagi mendengar percakapan mereka.Sambil menahan amarah di dada, kusuguhkan minuman dan biskuit pada para ipar yang telah menunggu jamuan. Jika saja aku tak pandai menguasai emosi, sudah pasti kusiramkan teh panas ini ke muka mereka semua, sebagai ganjaran karena telah mengelabuiku dengan acara besar yang dirahasiakan selama ini."Kamu pinter di dapur ya, Mir," celetuk Kak Fira setelah meneguk teh buatanku. "Setiap makanan dan minuman yang kau bikin selalu enak dan cocok di lidah keluarga kita.""Tapi sayangnya cuma itu yang kamu bisa, Mir. Fungsimu di keluarga ini hanya sebatas urusan dapur dan kerjaan rumah." Kak Gaza--suaminya Kak Fira---ikut menambahkan."Maksud kalian apa ya, bicara seperti itu?" tanyaku memberanikan diri. Sesak dadaku dengan drama dan sandiwara keluarga suamiku, ditambah harus mendengar sindiran bernada menghina dari mereka, membuatku semakin
BAB 8BIAYA SALON & SPACengkramannya semakin erat hingga sulit kakiku melangkah walau hanya sejengkal. Diiringi ratapan memohon, suamiku terus menahan kepergian istrinya yang sudah tak diinginkan ini.“Kemarin kamu kukuh menyuruhku pergi. Sekarang kenapa kamu berubah, Mas? Kau menahanku tapi tak mau melepas Linda malah menikahinya. Di mana pendirianmu? Bukankah dari awal menikah aku sudah bilang kalau aku tak mau diduakan? Ah, tapi rupanya kamu tak peduli karena sejatinya kamu memang tak menginginkanku sejak awal. Kamu menikahiku karena rasa kasihan, dan sekarang menahan kepergianku karena rasa bersalah. Lepaskan aku, biarkan aku pulang nanti sore. Kenapa kamu seakan takut kutinggalkan?”Aku sudah mati rasa. Keberadaanku di sini pun sudah tak kurasakan lagi. Berada di tempat yang salah, di mana tak ada satu pun orang yang menganggapku berharga membuatku seperti mayat hidup, menjalani hari demi hari dengan kekosongan batin. Dan aku berjanji pada diri sendiri bahwa hari ini adalah hari
“Berani kamu, ya—“ Mas Hangga melayangkan telapak tangannya di udara, hendak menampar pipiku yang tergenang setetes air mata namun aku segera menepis nya. Kutahan tangan kekarnya yang penuh amarah itu.“Kenapa aku harus takut? Selama ini aku diam karena masih menghargaimu. Tapi ternyata kamu sama saja dengan mereka yang menyembunyikan kebohongan dariku. Sekarang jawab pertanyaanku barusan, kenapa kau pakai uangku untuk memodali rencana pernikahanmu dengan Linda?” Aku menantang.Suamiku langsung mengatur napasnya yang memburu. Seumur menikah dengannya, baru kali ini ku lihat amarah begitu menyala dari wajahnya dan baru kali ini pula tangannya melayang hendak menamparku. Sungguh, dia kelewatan seperti itu saking ingin membela Linda daripada menenangkanku yang juga terbakar api cemburu.“Jangan banyak bertanya,” katanya agak menggeram karena amarah yang ditahan.“Aku harus bertanya, karena itu adalah uangku yang kau pakai untuk menyenangkan Linda, untuk meratukan dirinya!”“Kamu perhitun
Sekilas terbersit keinginan untuk membalasnya, mencaritahu jawaban atas rasa penasaran di pikiranku namun kuurungkan saja. Meski tidak memblokir nomornya, tapi aku sudah bulat untuk menutup akses komunikasi dengannya.Aku pun menyimpan kembali ponselku ke tempat semula. Belum ada lima menit berselang suara notifikasi berbunyi lagi, kali ini sebuah panggilan suara dari Mas Hangga yang membuatku terperanjat. Ada apa lagi dia menggangguku di malam pengantinnya?! Bukankah dia sudah berbahagia dengan istri pilihannya?Jari jempolku ragu-ragu antara memijit tombol hijau atau merah. Hijau berarti menerima panggilannya, merah berarti aku tak mau menjawabnya.“Mirna, siapa yang menelepon malam-malam begini?” Suara ibu dari kamar sebelah menyadarkanku.Akhirnya kupilih membiarkan panggilan suara itu sampai dia berhenti sendiri.*Jam delapan pagi aku sudah berjalan lima langkah dari rumah, tujuanku adalah Mbak Murni. Ibu menyuruhku untuk datang ke sana membungkus keripik hari ini. Setelah tak b
Cepat kutepis pikiran serta ingatan tentang Linda sebelum pusing di kepalaku kembali kambuh. Kenangan di rumah Mas Hangga membuatku trauma, mengingatnya akan membuatku takut. Oleh karena itu, aku harus bisa melupakan semuanya dan kepulanganku ke sini adalah langkah awal menuju kehidupanku yang baru, yang apa adanya, jauh dari kemanipulatifan.Biarlah mereka pernah mengataiku sebagai orang yang polos, lugu, naif dan semacamnya. Selama ini aku hanya mengikuti kata hati yang menurutku benar, aku punya ketulusan walaupun itu mereka anggap sebagai kebodohan sehingga membuangku setelah habis manisku. Tapi lihatlah, suatu saat mereka akan menyadari nilai positif dalam diriku ini.Tak terasa semua wadah selesai kucuci. Karena kondisi hamil muda dan flashback ke masa lalu akhirnya kerjaku jadi lambat. Sebenarnya ibu melarangku untuk mengerjakan pekerjaan rumah, hanya saja aku tidak terbiasa berdiam diri, tak tahan lihat cucian menumpuk dan rumah yang berantakan.Suara pintu rumah dibuka dengan
Aku semakin tak kuat mengontrol emosi yang menguasai diri, kepalaku rasanya panas dan mau pecah. Tiba-tiba saja penglihatanku gelap dan tidak sadarkan diri. Hanya sayup-sayup suara beberapa orang di sekeliling yang masih dapat kudengar. Sepertinya sedang terjadi kepanikan.“Kamu sih ngomongnya sembarangan pakai nuduh Mirna hamil anak orang lain segala.”“Emang Mirna beneran Hamil? Kan aku cuma nebak. Enggak ngomong langsung nuduh gitu.”“Kayaknya bener hamil. Kemarin saya lihat dia keluar dari rumah bidan Elsa, terus barusan dia muntah hebat. Ya pasti positif hamil lah.”“Memang benar anak saya hamil. Hamil anak Hangga—suaminya, bukan anak orang lain. Selama ini gossip yang sampai ke telinga kalian menuduh Mirna mandul, ternyata Mirna tidak mandul. Buktinya dia hamil. Baru ketahuan kemarin sore setelah periksa ke bidan Elsa. Jadi, mulai sekarang jangan ada komentar miring tentang anak saya lagi ya, dia dicerai Hangga karena mereka kira Mirna mandul, bukan karena Mirna hamil anak orang
Meski aku menepisnya, namun dalam hati mulai tumbuh keyakinan bahwa aku benar hamil. “Besok Ibu akan beli testpack untuk memastikan. Kalau kamu benar hamil, Ibu akan pergi ke rumah mertuamu dan mengatakannya dengan lantang bahwa anak Ibu tidaklah mandul!” Binar bahagia di mata ibuku begitu bersinar hingga ia lupa bahwa semua sudah terlambat, aku sudah menutup pintu untuk Mas Hangga. Jadi seandainya benar aku hamil pun, itu tidak akan mengubah nasib rumahtanggaku. Namun biarlah Ibu dengan perasaan bahagianya sendiri. Aku memilih untuk beristirahat. *Hari ini pernikahan Mas Hangga dengan Linda digelar namun aku akan bersikap tidak peduli dan tidak mau tahu. Aku mendapati surat undangan di bawah taplak meja tempat ibuku menjajakan gorengan. Rupanya, Ibu Mertua memberikan surat undangan ini pada Ibu di hari kepulanganku dua hari yang lalu dan Ibu menyembunyikannya dariku, pantaslah pada saat itu Ibu menyambutku dengan perasaan bersedih. Dengan cepat kusimpan kembali surat undangan i
“Mbak Sri tahu apa soal jodoh? Itu rahasia Alloh. Jangan sok tahu,” balasku ketus kemudian melanjutkan langkah ke rumah Ibu.Sesekali, kurasa perlu untuk menjawab dengan tegas sindiran tak enak dari orang-orang seperti itu supaya mereka tahu bahwa aku bisa melawan dan tak akan diam saja. Menunjukkan sikap tegas agar orang lain tidak berbuat semena-mena terhadap kita adalah hal yang wajib dilakukan. Meski terancam menjanda, aku harus pandai menjaga harga diri.*“Tidak apa-apa. Kamu hanya anak penjual gorengan, sedangkan perempuan itu punya harta dan tahta. Tapi kalau soal wajah dan hati, insyaalloh masih menang kamu, itu modal utama dalam menjalani hidup yaitu dengan hatimu yang jujur dan bersih. Sedangkan harta dan tahta sifatnya hanya titipan, kalau suatu saat diambil sama Alloh ... maka yang tersisa cuma apa? Kamu jawab sendiri,” kata Ibu sambil menepuk pundakku.“Jeleknya aja,” balasku lalu diikuti gelak tawa dari kami berdua.Sehabis Isya aku menghampiri Ibu di kamarnya untuk men
“Berani kamu, ya—“ Mas Hangga melayangkan telapak tangannya di udara, hendak menampar pipiku yang tergenang setetes air mata namun aku segera menepis nya. Kutahan tangan kekarnya yang penuh amarah itu.“Kenapa aku harus takut? Selama ini aku diam karena masih menghargaimu. Tapi ternyata kamu sama saja dengan mereka yang menyembunyikan kebohongan dariku. Sekarang jawab pertanyaanku barusan, kenapa kau pakai uangku untuk memodali rencana pernikahanmu dengan Linda?” Aku menantang.Suamiku langsung mengatur napasnya yang memburu. Seumur menikah dengannya, baru kali ini ku lihat amarah begitu menyala dari wajahnya dan baru kali ini pula tangannya melayang hendak menamparku. Sungguh, dia kelewatan seperti itu saking ingin membela Linda daripada menenangkanku yang juga terbakar api cemburu.“Jangan banyak bertanya,” katanya agak menggeram karena amarah yang ditahan.“Aku harus bertanya, karena itu adalah uangku yang kau pakai untuk menyenangkan Linda, untuk meratukan dirinya!”“Kamu perhitun
BAB 8BIAYA SALON & SPACengkramannya semakin erat hingga sulit kakiku melangkah walau hanya sejengkal. Diiringi ratapan memohon, suamiku terus menahan kepergian istrinya yang sudah tak diinginkan ini.“Kemarin kamu kukuh menyuruhku pergi. Sekarang kenapa kamu berubah, Mas? Kau menahanku tapi tak mau melepas Linda malah menikahinya. Di mana pendirianmu? Bukankah dari awal menikah aku sudah bilang kalau aku tak mau diduakan? Ah, tapi rupanya kamu tak peduli karena sejatinya kamu memang tak menginginkanku sejak awal. Kamu menikahiku karena rasa kasihan, dan sekarang menahan kepergianku karena rasa bersalah. Lepaskan aku, biarkan aku pulang nanti sore. Kenapa kamu seakan takut kutinggalkan?”Aku sudah mati rasa. Keberadaanku di sini pun sudah tak kurasakan lagi. Berada di tempat yang salah, di mana tak ada satu pun orang yang menganggapku berharga membuatku seperti mayat hidup, menjalani hari demi hari dengan kekosongan batin. Dan aku berjanji pada diri sendiri bahwa hari ini adalah hari
"Mama memang paling bisa bikin Linda seneng," balas Linda.Aku sengaja menjauh dari gudang agar tak sakit hati lebih jauh lagi mendengar percakapan mereka.Sambil menahan amarah di dada, kusuguhkan minuman dan biskuit pada para ipar yang telah menunggu jamuan. Jika saja aku tak pandai menguasai emosi, sudah pasti kusiramkan teh panas ini ke muka mereka semua, sebagai ganjaran karena telah mengelabuiku dengan acara besar yang dirahasiakan selama ini."Kamu pinter di dapur ya, Mir," celetuk Kak Fira setelah meneguk teh buatanku. "Setiap makanan dan minuman yang kau bikin selalu enak dan cocok di lidah keluarga kita.""Tapi sayangnya cuma itu yang kamu bisa, Mir. Fungsimu di keluarga ini hanya sebatas urusan dapur dan kerjaan rumah." Kak Gaza--suaminya Kak Fira---ikut menambahkan."Maksud kalian apa ya, bicara seperti itu?" tanyaku memberanikan diri. Sesak dadaku dengan drama dan sandiwara keluarga suamiku, ditambah harus mendengar sindiran bernada menghina dari mereka, membuatku semakin
BAB 6AKAN JADI MENANTU KEBANGGAAN“Ayo kembali ke kamar, jangan terbawa emosi. Aku minta maaf kemarin telah menyuruhmu pulang,” kata Mas Hangga seraya merebut koper dari tanganku. Dia lalu menuju kamar.Sementara itu, Ibu Mertua memberi isyarat agar aku mengikuti Mas Hangga. Sebenarnya, aku benar-benar ingin pulang tapi aku teringat lagi konsekuensinya, nanti di kampung aku pasti akan jadi bahan perbincangan orang-orang karena pulang sendirian tanpa suami. Belum lagi, ibuku juga akan kena imbasnya, bisa saja Ibu menerimaku namun dalam hatinya akan merasa sedih melihatku pulang tanpa Mas Hangga, sudahlah dapat ditebaknya apa yang terjadi dalam rumahtanggaku.Aku memang harus mempertimbangkan baik-baik sekali lagi keputusanku untuk pulang. Akhirnya, kuputuskan untuk tetap tinggal. *Suara mobil begitu berisik di luar rumah. Aku yang baru saja pulang bersih-bersih di warung nasi Ibu Mertua langsung melihat siapa yang datang lewat jendela kamar. Ada lima mobil, itu adalah mobil ketiga k