Share

Istrimu Pantas Diganti

Penulis: Widanish
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

            Sorot mata Linda semakin menantang, aku jadi terpancing. “Kamu ambil saja Mas Hangga jika bisa. Akan kupastikan kamu yang menangis karena dia tak akan meninggalkanku!” Tanpa merasa takut aku membalas tantangan Linda. 

Sementara itu, Ibu Mertua menarik tangan Linda dan membawanya menjauh dari hadapanku. “Sudah, tak usah diladeni. Kami sekeluarga mendukungmu,” bisiknya pada Linda. Aku dapat mendengarnya bicara seperti itu meski jarak kami kini sudah lumayan jauh.

***

Tanganku sibuk memasang sprei di kasur yang akan ditiduri Linda malam nanti, dia akan menginap. Meski berat hati, aku tetap membereskan kamar tamu untuknya demi memenuhi perintah Ibu Mertua. Sambil bekerja, pikiranku terus berkecamuk tentang rencana pernikahan Mas Hangga dan Linda seperti yang selalu diperbincangkan seluruh anggota keluarga akhir-akhir ini. Tentu saja hatiku pun hancur berantakan, dan aku harus tetap waras dalam keadaan seperti ini. 

“Sedang apa?” Mas Hangga mengagetkanku dari ambang pintu.

“Mas? Kau sudah pulang, rupanya.” Kulirik jam di dinding menunjuk ke angka empat. “Maaf, aku sibuk membereskan kamar ini dari tadi, jadi aku lupa kalua ini sudah jam empat sore, waktunya kamu pulang,”

“Tak apa. Tapi kamu bereskan kamar ini untuk siapa?”

“Linda akan menginap malam ini, Mas,” jawabku, berusaha tenang. Padahal dengan menyebut nama perempuan itu saja, hati ini sudah merasa hancur. Apalagi jika teringat bahwa dia akan menikah dengan suamiku!

Sekilas kulihat Mas Hangga salah tingkah dengan jawabanku. “Ada apa dia menginap di sini? Tumben?” 

“Jangan pura-pura tak tahu. Linda itu calon istri keduamu, kan?” Dengan sinis, kujawab pertanyaan bodoh suamiku itu, dan dia hanya terpaku mendengarkan.

“Ja—jadi kamu sudah tahu?” tanyanya terbata.

Aku mengangguk. “Sejak dari pertama kalian merencanakannya! Bahkan kamu dan ibumu sering curhat ke Linda pun aku tahu, Mas! Kalian mengeluhkan segala kekuaranganku pada Linda, seolah aku ini tidak berguna, seolah aku ini tidak pernah berbuat baik pada kalian!” Suaraku agak tertahan saat berbicara, dadaku terasa sesak jika mengingat kelakuan mereka di belakangku.

“Ta—tapi—”

Belum sempat Mas Hangga melanjutkan bicaranya, aku langsung meninggalkan dia di kamar tamu. Buru-buru kulangkahkan kaki ke loteng sambil membawa satu keranjang penuh cucian kotor, air mataku menitik setetes demi setetes. Biarkan saja Mas Hangga bermain dengan pikiran dan perasaannya sendiri, aku yakin dia sangat kaget dan merasa tak tenang saat ini. Terlihat dari ekspresi wajahnya waktu kutinggalkan dia barusan.

            Setelah menyimpan keranjang berisi cucian, aku langsung turun lagi ke lantai bawah hendak menyiapkan air hangat untuk mandi Mas Hangga, sekaligus masak menu sederhana untuk makan sore suamiku itu. Namun, begitu tiba di lantai bawah, Ibu Mertua menyuruhku naik lagi ke loteng, dia menyuruhku melanjutkan cuci baju.

            “Jangan numpuk-numpuk cucian kotor, Mama gak suka. Nanti baunya susah hilang kalau ditumpuk lama-lama!” kata Ibu Mertua.

            “Sebentar saja, Ma. Aku mau nyiapin  air hangat dan makan sore untuk Mas Hangga,” kataku. 

            “Tidak usah. Sudah ada Linda yang mengerjakan tugas itu. Dia kan calon istri Hangga, jadi tak apa dia belajar melakukannya dari sekarang.”

            Tanpa berusaha protes, aku langsung naik lagi ke loteng. Meski sebenarnya aku tak terima dan ingin sekali mengutarakan keberatanku pada Ibu mertua, namun aku harus pura-pura tak peduli Linda melakukan tugas seorang istri untuk suamiku. Aku tahu, Ibu Mertua hendak memancing emosiku agar aku rebut dengannya dan didengar Mas Hangga. Dengan begitu, Mas Hangga akan marah padaku dan menilaiku pantas dipoligami.

Kumasukkan separuh isi keranjang ke mesin cuci, kuputar tombol ‘cuci’ dan seketika suara mesinnya begitu nyaring di telinga. Bahkan aku masih harus mengerjakan pekerjaan rumahtangga meski sudah sore begini. Di saat anggota keluarga yang lain mungkin sedang beristirahat atau sibuk dengan aktivitasnya masing-masing, namun aku harus mengurus segala keperluan mereka. 

Menjadi istri dan menantu di keluarga ini memang sudah menjadi jalan takdirku. Aku menikah dengan Mas Hangga karena permintaan ibuku. Ya, memang aku pun mencintainya sudah sejak lama, saat Mas Hangga masih menjadi pacar Linda waktu itu. Ibu yang tahu tentang perasaanku, langsung iseng menceritakan semuanya pada Mas Hangga ketika Mas Hangga jajan di kedai gorengan Ibu. Mendengar cerita Ibu, Mas Hangga yang saat itu baru saja putus dari Linda, langsung merespon dengan baik, dia bilang akan melamarku dalam waktu dekat hingga sekarang kami resmi menjadi suami-istri.

“Mirna!” Suara Uwak Halimah berbisik memanggil dari belakang punggungku. “Cepat matikan mesin cucinya!” tambahnya lagi.

“Tapi ini belum selesai.”

“Biarkan. kamu di sini bukan pembantu. Biarkan pekerjaan itu dilanjutkan besok pagi.”

Dengan tergesa, Uwak Halimah langsung menarik tanganku hingga kami tiba di ujung tangga. Dari atas sini dapat kulihat Linda tengah menyiduk nasi untuk Mas Hangga. Jantungku rasanya mau copot melihat adegan ini! Apalagi saat kulihat ekspresi Mas Hangga pun malah biasa-biasa saja, dia sama sekali tak merasa risih. 

“Kamu cemburu, kan?” kata Uwak Halimah, pelan.

Aku diam sejenak, mengatur emosi. Tak tahu apa maksud Uwak Halimah bertanya seperti itu, apakah untuk memancing emosiku atau memang dia benar peduli padaku.

“Kalau kamu mau menyingkirkan Linda dari rumah ini, Uwak bisa bantu kamu!” katanya.

“Ma—maksudnya?”

“Uwak juga gak suka sama Linda. Uwak gak mau dia jadi menantu di rumah ini.”

“Te—terus?” Aku semakin gugup dengan apa yang ada di pikiran Uwak saat ini.

Kemudian Uwak Halimah membisikkan sesuatu di telingaku dan itu membuatku sangat takut! Mendadak aku berlari menuruni anak tangga sambal berteriak, hingga tak sadar sudah berada di dekat meja makan. Aku berdiri mematung ketika Linda, Ibu Mertua, dan Mas Hangga—yang tengah menyantap hidangan—melihatku dengan tatapan kaget sekaligus marah. 

Ya, saat Uwak Halimah berbisik bahwa dia sudah menaruh racun di makanan Linda tadi, membuatku terkejut sekaligus takut hingga aku refleks berlari menghindarinya dan sekarang aku berada di hadapan Ibu Mertua, Linda, dan Mas Hangga dengan keadaan salah tingkah juga malu! 

Ibu Mertua berdiri dari duduknya dan menatapku tajam dengan sorot mata penuh amarah. “Kenapa kamu?!” katanya setengah berteriak.

Aku tidak bisa menjawab. Aku hanya menundukkan pandangan untuk menghindari kontak mata dengan mertuaku itu. Mas Hangga dan Linda menatapku penuh keheranan. Sementara itu, dari atas loteng aku dapat mendengar suara cekikikan Uwak Halimah. 

“Sialan! Rupanya Uwak mengerjaiku supaya aku terlihat bodoh di hadapan Linda!” batinku.

Kedua tanganku sudah mengepal. Kesal, jengkel, dan marah karena lagi-lagi aku dijadikan bahan olokan di keluarga ini!

“Jawab!” tambah Ibu Mertua saat aku hanya diam saja dari tadi.

Suara cekikikan Uwak Halimah kini berubah menjadi suara tawa terbahak-bahak. Linda, Ibu Mertua, dan Mas hangga menatap ke atas loteng kemudian mereka geleng-geleng kepala.

“Oh … kamu habis dikerjain sama Kak Halimah, ya!” kata Ibu Mertua, langsung mengerti dengan apa yang terjadi.”Kenapa sih, kamu gampang banget dikerjain, Mirna?” lanjutnya dengan nada mengejekku.

Aku masih diam, tidak menjawab apa-apa.

“Iya, dipake dong otaknya biar gak gampang dikerjain,” Kini giliran Linda yang berkomentar, dia mendelik padaku kemudian bicara pada Mas Hangga. “Istrimu payah, gampang dibodohi, emang pantas diganti sih istri kayak gitu,” katanya.

Darahku seketika mendidih hingga ubun-ubun!

Bab terkait

  • Maaf, Aku Bukan Orang Kaya   Pulanglah ke Rumah Ibumu

    Seketika aku langsung berlari ke kamar dengan menghentakkan kaki keras-keras ke lantai. Bukannya melawan ataupun membela diri di hadapan mereka, aku memilih pergi. Aku tak boleh gegabah dalam bertindak. Jika aku marah dan mengeluarkan kata-kata sedikit saja, mereka pasti akan menang karena itu akan dijadikan senjata untuk menyerangku balik di hadapan Mas Hangga, mereka akan berdalih aku ini suka melawan dan tidak sabaran sehingga pantas diceraikan. Menghadapi posisi seperti ini, aku memang harus banyak mengalah dan banyak sabar pada mereka.“Mirna?”Suara Mas Hangga mengejutkanku dari depan kamar, dia mengetuk pintu sambil memanggil namaku. Cepat kutatap cermin dan mengusap air mata yang membanjiri pipi.“Masuk saja, Mas. Tidak dikunci,” kataku, mengatur nada suara senatural mungkin agar tidak terdengar seperti orang habis menangis.Mas Hangga mendekat dan mendudukkanku di tepi ranjang. Dia pun mengusap sisa air mata di pipiku. “Mas tahu bagaimana perasaanmu, dan kesulitanmu selama ja

  • Maaf, Aku Bukan Orang Kaya   Tidur Sekamar

    “Ada apa ini?” bantahku. “Mas Hangga memang menyuruhku pulang, tapi dia tak menyuruhku mengemasi semua barang dan baju. Aku akan pulang untuk sementara, tidak untuk selamanya.”“Ngeyel!” Linda menggerutu sambil berlalu dari hadapanku, meninggalkan koper-koper tergeletak begitu saja.Kini tinggal Ibu Mertua yang masih berdiri di depanku sambil menunjuk koper. “Bereskan. Terserah kamu mau pergi atau tidak, yang penting Hangga sudah menyuruhmu dan tak memberatkanmu. Jangan salahkan kami kalau nanti situasi di rumah ini tak sesuai seperti yang kamu harapkan,” katanya.*Tepat jam tiga dini hari aku bangun seperti biasanya, namun tak kudapati Mas Hangga di sisiku, padahal aku yakin sekali semalam dia tidur bersamaku bahkan suamiku itu menyelimuti dan membenarkan posisi kepalaku yang tak pas di bantal, kami juga sempat mengobrol sebentar tentang keinginan Mas Hangga yang kukuh menyuruhku pulang ke rumah Ibu.“Mungkin dia sedang pergi ke kamar mandi, mengambil air wudhu atau sedang di mushol

  • Maaf, Aku Bukan Orang Kaya   Kamu Harus Bantu-Bantu

    BAB 5“Kamu Harus Bantu-Bantu”“Linda dan keluarganya sanggup memberi modal usaha untuk kami. Kamu tahu sendiri kan kalau warung nasi Ibu akhir-akhir ini sepi karena kehabisan modal. Menu-menu yang dimasak setiap hari selalu banyak sisa, tidak laku, akhirnya modal Ibu habis. Sementara, tabunganku pun ludes dipinjam untuk pengobatan Uwak Halimah, sampai sekarang belum juga dikembalikan uang tabunganku itu.” Mas Hangga menjelaskan. Uang. Itulah alasannya, seperti dugaanku. Linda memang berasal dari keluarga kaya, uang puluhan juta mudah saja baginya. Selain itu, dia juga berpendidikan dan berprofesi sebagai bidan, meski belum lama berpengalaman namun menurut kabar yang kudengar dia akan segera membuka praktek. Memiliki itu semua, membuat Linda mudah diterima di keluarga ini, terlebih mereka sebelumnya sudah sangat dekat karena sebelum menikah denganku Linda adalah pacarnya Mas Hangga.“Aku harap, kamu bisa terima pernikahanku dengan Linda, ya,” lanjut suamiku itu.“Semudah itu kamu mem

  • Maaf, Aku Bukan Orang Kaya   Akan Jadi Menantu Kebanggaan

    BAB 6AKAN JADI MENANTU KEBANGGAAN“Ayo kembali ke kamar, jangan terbawa emosi. Aku minta maaf kemarin telah menyuruhmu pulang,” kata Mas Hangga seraya merebut koper dari tanganku. Dia lalu menuju kamar.Sementara itu, Ibu Mertua memberi isyarat agar aku mengikuti Mas Hangga. Sebenarnya, aku benar-benar ingin pulang tapi aku teringat lagi konsekuensinya, nanti di kampung aku pasti akan jadi bahan perbincangan orang-orang karena pulang sendirian tanpa suami. Belum lagi, ibuku juga akan kena imbasnya, bisa saja Ibu menerimaku namun dalam hatinya akan merasa sedih melihatku pulang tanpa Mas Hangga, sudahlah dapat ditebaknya apa yang terjadi dalam rumahtanggaku.Aku memang harus mempertimbangkan baik-baik sekali lagi keputusanku untuk pulang. Akhirnya, kuputuskan untuk tetap tinggal. *Suara mobil begitu berisik di luar rumah. Aku yang baru saja pulang bersih-bersih di warung nasi Ibu Mertua langsung melihat siapa yang datang lewat jendela kamar. Ada lima mobil, itu adalah mobil ketiga k

  • Maaf, Aku Bukan Orang Kaya   Kamu Harus Bantu-Bantu

    "Mama memang paling bisa bikin Linda seneng," balas Linda.Aku sengaja menjauh dari gudang agar tak sakit hati lebih jauh lagi mendengar percakapan mereka.Sambil menahan amarah di dada, kusuguhkan minuman dan biskuit pada para ipar yang telah menunggu jamuan. Jika saja aku tak pandai menguasai emosi, sudah pasti kusiramkan teh panas ini ke muka mereka semua, sebagai ganjaran karena telah mengelabuiku dengan acara besar yang dirahasiakan selama ini."Kamu pinter di dapur ya, Mir," celetuk Kak Fira setelah meneguk teh buatanku. "Setiap makanan dan minuman yang kau bikin selalu enak dan cocok di lidah keluarga kita.""Tapi sayangnya cuma itu yang kamu bisa, Mir. Fungsimu di keluarga ini hanya sebatas urusan dapur dan kerjaan rumah." Kak Gaza--suaminya Kak Fira---ikut menambahkan."Maksud kalian apa ya, bicara seperti itu?" tanyaku memberanikan diri. Sesak dadaku dengan drama dan sandiwara keluarga suamiku, ditambah harus mendengar sindiran bernada menghina dari mereka, membuatku semakin

  • Maaf, Aku Bukan Orang Kaya   Biaya Salon dan Spa

    BAB 8BIAYA SALON & SPACengkramannya semakin erat hingga sulit kakiku melangkah walau hanya sejengkal. Diiringi ratapan memohon, suamiku terus menahan kepergian istrinya yang sudah tak diinginkan ini.“Kemarin kamu kukuh menyuruhku pergi. Sekarang kenapa kamu berubah, Mas? Kau menahanku tapi tak mau melepas Linda malah menikahinya. Di mana pendirianmu? Bukankah dari awal menikah aku sudah bilang kalau aku tak mau diduakan? Ah, tapi rupanya kamu tak peduli karena sejatinya kamu memang tak menginginkanku sejak awal. Kamu menikahiku karena rasa kasihan, dan sekarang menahan kepergianku karena rasa bersalah. Lepaskan aku, biarkan aku pulang nanti sore. Kenapa kamu seakan takut kutinggalkan?”Aku sudah mati rasa. Keberadaanku di sini pun sudah tak kurasakan lagi. Berada di tempat yang salah, di mana tak ada satu pun orang yang menganggapku berharga membuatku seperti mayat hidup, menjalani hari demi hari dengan kekosongan batin. Dan aku berjanji pada diri sendiri bahwa hari ini adalah hari

  • Maaf, Aku Bukan Orang Kaya   Gagal jadi Menantu Orang Kaya

    “Berani kamu, ya—“ Mas Hangga melayangkan telapak tangannya di udara, hendak menampar pipiku yang tergenang setetes air mata namun aku segera menepis nya. Kutahan tangan kekarnya yang penuh amarah itu.“Kenapa aku harus takut? Selama ini aku diam karena masih menghargaimu. Tapi ternyata kamu sama saja dengan mereka yang menyembunyikan kebohongan dariku. Sekarang jawab pertanyaanku barusan, kenapa kau pakai uangku untuk memodali rencana pernikahanmu dengan Linda?” Aku menantang.Suamiku langsung mengatur napasnya yang memburu. Seumur menikah dengannya, baru kali ini ku lihat amarah begitu menyala dari wajahnya dan baru kali ini pula tangannya melayang hendak menamparku. Sungguh, dia kelewatan seperti itu saking ingin membela Linda daripada menenangkanku yang juga terbakar api cemburu.“Jangan banyak bertanya,” katanya agak menggeram karena amarah yang ditahan.“Aku harus bertanya, karena itu adalah uangku yang kau pakai untuk menyenangkan Linda, untuk meratukan dirinya!”“Kamu perhitun

  • Maaf, Aku Bukan Orang Kaya   Hamil di Ujung Perceraian

    “Mbak Sri tahu apa soal jodoh? Itu rahasia Alloh. Jangan sok tahu,” balasku ketus kemudian melanjutkan langkah ke rumah Ibu.Sesekali, kurasa perlu untuk menjawab dengan tegas sindiran tak enak dari orang-orang seperti itu supaya mereka tahu bahwa aku bisa melawan dan tak akan diam saja. Menunjukkan sikap tegas agar orang lain tidak berbuat semena-mena terhadap kita adalah hal yang wajib dilakukan. Meski terancam menjanda, aku harus pandai menjaga harga diri.*“Tidak apa-apa. Kamu hanya anak penjual gorengan, sedangkan perempuan itu punya harta dan tahta. Tapi kalau soal wajah dan hati, insyaalloh masih menang kamu, itu modal utama dalam menjalani hidup yaitu dengan hatimu yang jujur dan bersih. Sedangkan harta dan tahta sifatnya hanya titipan, kalau suatu saat diambil sama Alloh ... maka yang tersisa cuma apa? Kamu jawab sendiri,” kata Ibu sambil menepuk pundakku.“Jeleknya aja,” balasku lalu diikuti gelak tawa dari kami berdua.Sehabis Isya aku menghampiri Ibu di kamarnya untuk men

Bab terbaru

  • Maaf, Aku Bukan Orang Kaya   Suara Klakson Peringatan

    Sekilas terbersit keinginan untuk membalasnya, mencaritahu jawaban atas rasa penasaran di pikiranku namun kuurungkan saja. Meski tidak memblokir nomornya, tapi aku sudah bulat untuk menutup akses komunikasi dengannya.Aku pun menyimpan kembali ponselku ke tempat semula. Belum ada lima menit berselang suara notifikasi berbunyi lagi, kali ini sebuah panggilan suara dari Mas Hangga yang membuatku terperanjat. Ada apa lagi dia menggangguku di malam pengantinnya?! Bukankah dia sudah berbahagia dengan istri pilihannya?Jari jempolku ragu-ragu antara memijit tombol hijau atau merah. Hijau berarti menerima panggilannya, merah berarti aku tak mau menjawabnya.“Mirna, siapa yang menelepon malam-malam begini?” Suara ibu dari kamar sebelah menyadarkanku.Akhirnya kupilih membiarkan panggilan suara itu sampai dia berhenti sendiri.*Jam delapan pagi aku sudah berjalan lima langkah dari rumah, tujuanku adalah Mbak Murni. Ibu menyuruhku untuk datang ke sana membungkus keripik hari ini. Setelah tak b

  • Maaf, Aku Bukan Orang Kaya   Pesan yang Dihapus

    Cepat kutepis pikiran serta ingatan tentang Linda sebelum pusing di kepalaku kembali kambuh. Kenangan di rumah Mas Hangga membuatku trauma, mengingatnya akan membuatku takut. Oleh karena itu, aku harus bisa melupakan semuanya dan kepulanganku ke sini adalah langkah awal menuju kehidupanku yang baru, yang apa adanya, jauh dari kemanipulatifan.Biarlah mereka pernah mengataiku sebagai orang yang polos, lugu, naif dan semacamnya. Selama ini aku hanya mengikuti kata hati yang menurutku benar, aku punya ketulusan walaupun itu mereka anggap sebagai kebodohan sehingga membuangku setelah habis manisku. Tapi lihatlah, suatu saat mereka akan menyadari nilai positif dalam diriku ini.Tak terasa semua wadah selesai kucuci. Karena kondisi hamil muda dan flashback ke masa lalu akhirnya kerjaku jadi lambat. Sebenarnya ibu melarangku untuk mengerjakan pekerjaan rumah, hanya saja aku tidak terbiasa berdiam diri, tak tahan lihat cucian menumpuk dan rumah yang berantakan.Suara pintu rumah dibuka dengan

  • Maaf, Aku Bukan Orang Kaya   Minta Rujuk?

    Aku semakin tak kuat mengontrol emosi yang menguasai diri, kepalaku rasanya panas dan mau pecah. Tiba-tiba saja penglihatanku gelap dan tidak sadarkan diri. Hanya sayup-sayup suara beberapa orang di sekeliling yang masih dapat kudengar. Sepertinya sedang terjadi kepanikan.“Kamu sih ngomongnya sembarangan pakai nuduh Mirna hamil anak orang lain segala.”“Emang Mirna beneran Hamil? Kan aku cuma nebak. Enggak ngomong langsung nuduh gitu.”“Kayaknya bener hamil. Kemarin saya lihat dia keluar dari rumah bidan Elsa, terus barusan dia muntah hebat. Ya pasti positif hamil lah.”“Memang benar anak saya hamil. Hamil anak Hangga—suaminya, bukan anak orang lain. Selama ini gossip yang sampai ke telinga kalian menuduh Mirna mandul, ternyata Mirna tidak mandul. Buktinya dia hamil. Baru ketahuan kemarin sore setelah periksa ke bidan Elsa. Jadi, mulai sekarang jangan ada komentar miring tentang anak saya lagi ya, dia dicerai Hangga karena mereka kira Mirna mandul, bukan karena Mirna hamil anak orang

  • Maaf, Aku Bukan Orang Kaya   Hamil Anak Orang Lain?

    Meski aku menepisnya, namun dalam hati mulai tumbuh keyakinan bahwa aku benar hamil. “Besok Ibu akan beli testpack untuk memastikan. Kalau kamu benar hamil, Ibu akan pergi ke rumah mertuamu dan mengatakannya dengan lantang bahwa anak Ibu tidaklah mandul!” Binar bahagia di mata ibuku begitu bersinar hingga ia lupa bahwa semua sudah terlambat, aku sudah menutup pintu untuk Mas Hangga. Jadi seandainya benar aku hamil pun, itu tidak akan mengubah nasib rumahtanggaku. Namun biarlah Ibu dengan perasaan bahagianya sendiri. Aku memilih untuk beristirahat. *Hari ini pernikahan Mas Hangga dengan Linda digelar namun aku akan bersikap tidak peduli dan tidak mau tahu. Aku mendapati surat undangan di bawah taplak meja tempat ibuku menjajakan gorengan. Rupanya, Ibu Mertua memberikan surat undangan ini pada Ibu di hari kepulanganku dua hari yang lalu dan Ibu menyembunyikannya dariku, pantaslah pada saat itu Ibu menyambutku dengan perasaan bersedih. Dengan cepat kusimpan kembali surat undangan i

  • Maaf, Aku Bukan Orang Kaya   Hamil di Ujung Perceraian

    “Mbak Sri tahu apa soal jodoh? Itu rahasia Alloh. Jangan sok tahu,” balasku ketus kemudian melanjutkan langkah ke rumah Ibu.Sesekali, kurasa perlu untuk menjawab dengan tegas sindiran tak enak dari orang-orang seperti itu supaya mereka tahu bahwa aku bisa melawan dan tak akan diam saja. Menunjukkan sikap tegas agar orang lain tidak berbuat semena-mena terhadap kita adalah hal yang wajib dilakukan. Meski terancam menjanda, aku harus pandai menjaga harga diri.*“Tidak apa-apa. Kamu hanya anak penjual gorengan, sedangkan perempuan itu punya harta dan tahta. Tapi kalau soal wajah dan hati, insyaalloh masih menang kamu, itu modal utama dalam menjalani hidup yaitu dengan hatimu yang jujur dan bersih. Sedangkan harta dan tahta sifatnya hanya titipan, kalau suatu saat diambil sama Alloh ... maka yang tersisa cuma apa? Kamu jawab sendiri,” kata Ibu sambil menepuk pundakku.“Jeleknya aja,” balasku lalu diikuti gelak tawa dari kami berdua.Sehabis Isya aku menghampiri Ibu di kamarnya untuk men

  • Maaf, Aku Bukan Orang Kaya   Gagal jadi Menantu Orang Kaya

    “Berani kamu, ya—“ Mas Hangga melayangkan telapak tangannya di udara, hendak menampar pipiku yang tergenang setetes air mata namun aku segera menepis nya. Kutahan tangan kekarnya yang penuh amarah itu.“Kenapa aku harus takut? Selama ini aku diam karena masih menghargaimu. Tapi ternyata kamu sama saja dengan mereka yang menyembunyikan kebohongan dariku. Sekarang jawab pertanyaanku barusan, kenapa kau pakai uangku untuk memodali rencana pernikahanmu dengan Linda?” Aku menantang.Suamiku langsung mengatur napasnya yang memburu. Seumur menikah dengannya, baru kali ini ku lihat amarah begitu menyala dari wajahnya dan baru kali ini pula tangannya melayang hendak menamparku. Sungguh, dia kelewatan seperti itu saking ingin membela Linda daripada menenangkanku yang juga terbakar api cemburu.“Jangan banyak bertanya,” katanya agak menggeram karena amarah yang ditahan.“Aku harus bertanya, karena itu adalah uangku yang kau pakai untuk menyenangkan Linda, untuk meratukan dirinya!”“Kamu perhitun

  • Maaf, Aku Bukan Orang Kaya   Biaya Salon dan Spa

    BAB 8BIAYA SALON & SPACengkramannya semakin erat hingga sulit kakiku melangkah walau hanya sejengkal. Diiringi ratapan memohon, suamiku terus menahan kepergian istrinya yang sudah tak diinginkan ini.“Kemarin kamu kukuh menyuruhku pergi. Sekarang kenapa kamu berubah, Mas? Kau menahanku tapi tak mau melepas Linda malah menikahinya. Di mana pendirianmu? Bukankah dari awal menikah aku sudah bilang kalau aku tak mau diduakan? Ah, tapi rupanya kamu tak peduli karena sejatinya kamu memang tak menginginkanku sejak awal. Kamu menikahiku karena rasa kasihan, dan sekarang menahan kepergianku karena rasa bersalah. Lepaskan aku, biarkan aku pulang nanti sore. Kenapa kamu seakan takut kutinggalkan?”Aku sudah mati rasa. Keberadaanku di sini pun sudah tak kurasakan lagi. Berada di tempat yang salah, di mana tak ada satu pun orang yang menganggapku berharga membuatku seperti mayat hidup, menjalani hari demi hari dengan kekosongan batin. Dan aku berjanji pada diri sendiri bahwa hari ini adalah hari

  • Maaf, Aku Bukan Orang Kaya   Kamu Harus Bantu-Bantu

    "Mama memang paling bisa bikin Linda seneng," balas Linda.Aku sengaja menjauh dari gudang agar tak sakit hati lebih jauh lagi mendengar percakapan mereka.Sambil menahan amarah di dada, kusuguhkan minuman dan biskuit pada para ipar yang telah menunggu jamuan. Jika saja aku tak pandai menguasai emosi, sudah pasti kusiramkan teh panas ini ke muka mereka semua, sebagai ganjaran karena telah mengelabuiku dengan acara besar yang dirahasiakan selama ini."Kamu pinter di dapur ya, Mir," celetuk Kak Fira setelah meneguk teh buatanku. "Setiap makanan dan minuman yang kau bikin selalu enak dan cocok di lidah keluarga kita.""Tapi sayangnya cuma itu yang kamu bisa, Mir. Fungsimu di keluarga ini hanya sebatas urusan dapur dan kerjaan rumah." Kak Gaza--suaminya Kak Fira---ikut menambahkan."Maksud kalian apa ya, bicara seperti itu?" tanyaku memberanikan diri. Sesak dadaku dengan drama dan sandiwara keluarga suamiku, ditambah harus mendengar sindiran bernada menghina dari mereka, membuatku semakin

  • Maaf, Aku Bukan Orang Kaya   Akan Jadi Menantu Kebanggaan

    BAB 6AKAN JADI MENANTU KEBANGGAAN“Ayo kembali ke kamar, jangan terbawa emosi. Aku minta maaf kemarin telah menyuruhmu pulang,” kata Mas Hangga seraya merebut koper dari tanganku. Dia lalu menuju kamar.Sementara itu, Ibu Mertua memberi isyarat agar aku mengikuti Mas Hangga. Sebenarnya, aku benar-benar ingin pulang tapi aku teringat lagi konsekuensinya, nanti di kampung aku pasti akan jadi bahan perbincangan orang-orang karena pulang sendirian tanpa suami. Belum lagi, ibuku juga akan kena imbasnya, bisa saja Ibu menerimaku namun dalam hatinya akan merasa sedih melihatku pulang tanpa Mas Hangga, sudahlah dapat ditebaknya apa yang terjadi dalam rumahtanggaku.Aku memang harus mempertimbangkan baik-baik sekali lagi keputusanku untuk pulang. Akhirnya, kuputuskan untuk tetap tinggal. *Suara mobil begitu berisik di luar rumah. Aku yang baru saja pulang bersih-bersih di warung nasi Ibu Mertua langsung melihat siapa yang datang lewat jendela kamar. Ada lima mobil, itu adalah mobil ketiga k

DMCA.com Protection Status