MY WIFE'S SECRET
Part 6
Mobil mewahku memasuki kediaman kami. Baru saja aku memarkir mobil, Risna turun tanpa sepatah kata pun. Sampai si kembar menanyakan perihal sikap Mamanya. Dalih kecapean menjadi alibi terbaik untuk anak-anak.Aku meminta mereka turun dan beristirahat. Firasat mulai tak enak. Aku yakin, Risna sedang emosi dengan ulah keluargaku hari ini. Kesulitan terberat bagi pria untuk tetap adil antara istri dengan keluarga. Terlebih, Risna bagai bocah kecil saat berhadapan denganku.
Aku melangkah mengikuti anak-anak. Mempersiapkan jawaban terbaik untuk segala pertanyaan Risna. Tabiat buruknya senantiasa mempersulit hidupku.
Melangkah memasuki rumah yang kubeli dengan hasil jerih payahku. Kusapu seluruh sudut ruangan dengan netraku. Sungguh, ini semua tidak ada artinya, jika hati tidak tentram.
Menyeret langkah gontai menaiki tangga. Tujuan utama saat ini menuju kamar.
Aku berdiri di depan pintu. Aku tahu, Risna berada di dalam. Berhenti sejenak, hati bimbang melangkah masuk atau pun pergi menjauh.
Kuraih gagang pintu dengan detak jantung yang mulai kencang.
"Mas, aku nggak mau pulang lagi ke rumah Ibumu," ujarnya saat daun pintu terbuka. Bahkan dia tidak menungguku masuk ke dalam.
Aku terpaksa diam, mendengarkan ocehannya tanpa interupsi. Melangkah pelan mendekatinya dengan senyum terindahku.
"Mas pasti senang, 'kan?" tanyanya dengan nada meledek.
Aku mengusap wajah frustasi. Hal ini akan selalu terjadi setiap pulang dari rumah Ibu. Nasehat yang selalu kukatakan padanya sama sekali tidak menempel di otaknya.
Aku meraih tubuhnya dalam dekapanku. Kukecup bibir sensualnya dengan penuh cinta. Menikmati sensasi yang membangkitkan hasratku untuk mencumbunya lebih mesra lagi.
Namun sayang, dia tidak suka dengan perlakuanku. Bahkan, mengelap bibirnya dengan jemari-jemari lentiknya. Nafsu semakin merangkak naik. Kuredam sementara waktu, mencoba mendamaikan hatinya yang panas membara.
"Coba tenang dulu, kita selesaikan satu-satu. Kalau ngambek gini, bukan masalahnya selesai. Namun, nambah masalah baru," ujarku lembut seraya membelai pucuk kepalanya.
"Mas, bagaimana aku bisa tenang. Jika aku selalu salah di mata keluargamu," keluhnya seraya mengeratkan pelukannya.
Risna mulai menangis, padahal keluargaku tidak mengatakan hal yang buruk di depannya. Mungkinkah Risna tersinggung dengan ucapan keluargaku? Apa mungkin dia menyembunyikan sesuatu dariku?
"Dek, keluarga Mas ingin yang terbaik untuk keluarga kita. Ibu juga menginginkan cucu dari mas. Apa itu salah?" tanyaku pelan. Takutnya pertanyaanku melukai hatinya.
"Ya jelas salah. Mas yang tidak bisa memberikan keturunan. Bukan aku," jawabnya lantang.
Risna mendorong tubuhku kasar. Dia membanting tubuhnya ke ranjang empuk yang menjadi pergumulan erotis penuh kenikmatan.
Tuduhan yang menyakiti relung hati terdalam. Dimana aku merasa gagal menjadi lelaki.
Kutarik napas pelan, membiarkan oksigen mengisi paru-paru yang hampir kosong karena ucapan Risna.
Kujatuhkan bokong di sofa empuk di sisi jendela. Rambut menjadi tempat pelampiasanku saat ini. Andaikan dia bisa bicara, mungkin dia akan protes dengan kasarnya tangannku menjambaknya.
"Mas tidak mencintaiku!" jeritnya seraya melempar bantal ke arahku.
Dengan helaan napas kasar. Aku bangkit mendekat ke arahnya. Perlahan kubuka kemeja yang membalut tubuhnya. Lalu, kutarik pelan tubuh mungil yang selalu menjadi candu bagiku.
"Kata siapa? Mas mencintaimu, Dek," bisikku di telinganya.
Aku menjalin jemariku dengan jemarinya. Mata indahnya menatapku tak suka. Arrgh! Ini terlalu berat.
"Kalau Mas sayang sama aku, tentunya Mas tidak akan mengungkit masalah anak. Karena penyebabnya Mas bukan aku," protesnya dengan mata melotot. Hormatnya sebagai istri sama sekali tak terlihat.
"Dek, gimana kalau kita tes kembali. Siapa tahu tes waktu itu salah," tukasku dengan hati diliputi rasa takut.
Risna mendorong tubuhku, kali ini dia berkacak pinggang di hadapanku."bukankah kita sudah berjanji tidak membahasnya lagi?"
Terpaksa mengusap wajah frustasi. Tak ada tawar-menawar berbicara dengannya. Hal yang membuatku lelah dan hampir menyerah. Namun, rasa cinta bertahta di hati membuatku tak sanggup jauh darinya.
"Iya, nggak di bahas lagi. Tolonglah jadi istri solehah untuk Mas," pintaku. Berbicara dengannya harus pelan dan yang paling penting aku yang mengalah. Tidak peduli dia salah atau tidak. Sifat buruk yang harusnya dia buang. Namun, dia simpan menjadi kebiasaan.
"Mas aku sudah menjadi istri yang baik untuk Mas," sahutnya cepat.
Risna bangkit dan berputar di hadapanku. Dia mengandalkan kecantikan dan kemolekan tubuhnya untuk menarikku. Aku hanya mengeleng pelan seraya beristighfar dalam hati. Aku terlalu memanjakan Risna.
"Dek, kebutuhan Mas bukan di ranjang saja. Mas butuh makan. Penampilan mas butuh diperhatikan. Kenzi dan kenzo juga butuh perhatian Mamanya," keluhku untuk pertama kali.
Dia menatapku kejam, laksana harimau ingin menerkam mangsanya."begini nih, kalau udah pulang ke rumah Ibu. Mas itu nyebelin."
"Ini tidak ada sangkut pautnya sama Ibu, Dek. Tolong jangan kaitkan Ibu dalam masalah kita," belaku. Tentunya setiap Ibu akan mengingikan yang terbaik untuk anak-anaknya.
"Mas, aku tidak mau mendengar apa pun lagi tenang masalah anak. Masalah perhatian atau apa. Selama Ini Mas nggak pernah protes. Sembilan tahun kita sudah bersama. Semuanya baik-baik saja," bebernya dengan napas ngos-ngosan.
"Dek, Mas malas berdebat sama Adek. Kalau Adek sayang sama mas. Adek tu kudu berubah ke arah yang lebih baik," pungkasku seraya berlalu dari hadapannya.
Aku berjalan menuju balkon. Pendingin dalam ruangan serasa tak berfungsi. Terpaan angin sore menyambutku hangat. Risna tak pernah berubah, keras kepala, egois dan childish. Sifat yang melekat erat dalam dirinya.
"Mas! Aku belum selesai bicara. Selalu gini! Aku mau masalah ini selesai." Risna mencekal pergelangan tanganku. Kukunya mengores kulit.
"Tidak ada yang perlu dibicarakan lagi," ujarku datar. Berharap dia diam dan mengalah sejenak.
Risna melepaskan cekalan tangannya. Dia mengumpat dan memaki sesuka hatinya. Terkadang terbesit dalam hati, istriku bak anak kecil yang semua keturunanya harus dituruti.
Dikantor dia terlihat dewasa dan berwibawa. Berbanding terbalik dengan sikap dia di rumah.
Kunikmati angin sore yang memainkan dedaunan sesuka hati mereka. Langit berwarna jingga mulai mengantikan awan biru. Tak ada yang abadi, semua akan datang dan pergi.
Aku mendonggak menatap langit tanpa tiang. Namun, tetap berdiri kokoh, tanpa bantuan. Kuasa Allah yang tak mampu terpikir oleh manusia.
Beragam pikiran mengintari kepala. Menciptakan denyar-denyar yang menyiksa. Apakah ini Karma atas perlakuan burukku pada Tisya? Batin dan jiwa mulai tak tenang. Rasanya semakin menyebar dan terasa nyata.
Apakah Ibu balasan durhakaku pada Ibu? Arrghh! Tak bisakah pikiran-pikiran yang membuatku semakin masuk ke dalam benak kusut enyah dalam otakku? Aku tidak salah, aku memilih jalan hidupku sendiri.
Ah! Aku menyugar rambut frustasi, tatapanku mulai kosong dan hanyut dalam lamunan.
Ketika aku kembali ke dunia nyata. suara Risna tak terdengar lagi. Aku menoleh ke dalam. Risna terbaring di atas ranjang. Posisinya tidak bergerak, sepertinya dia tertidur karena kelelahan.
Bersambung
MY WIFE'S SECRETPART 7Kubaringkan tubuh atas sofa keong. Pikiran menerawang kembali dengan rentetan cerita yang terjadi di rumah Ibu. Teringat akan ucapan Luna tentang Dokter Dhanu yang telah dipecat lima tahun lalu. Hasil tes kesuburanku empat tahun lalu. Artinya dia sudah dipecat dari rumah sakit tempat dia bekerja.Keraguanku semakin menjadi. Risna membawaku ke klinik ilegal. Apa maksudnya semua ini? Logikaku mulai berfungsi. Aku tidak akan menyia-nyiakan tawaran Luna untuk tes kesuburan. Keraguan semakin merasuki relung jiwa.Kuraih gawai dalam saku celana. Iseng membuka aplikasi google untuk mencari tahu tentang implan yang Tisya katakan padaku tempo hari."Mas lagi ngapain, kok asyik kali sama gawainya." Suara Risna membuat gawai ditangan terjatuh ke pangkuan. Padahal, belum sempat aku membaca artikel yang baru saja aku buka.Sial, kenapa tiba-tiba dia bisa berada di belakangku? Bukankah dia sudah terlelap?Pertanyaan ya
MY WIFE'S SECRETPART 8"Mas!" teriak Luna seraya melambaikan tangan ke arahku di pojokan parkir. Seutas senyum manis dia perlihatkan padaku.Aku membalas lambaian tangannya. Melangkah mendekati adik kesayanganku. Ya memang, karena dia anak bungsu dalam keluarga."Mas kesini nggak ketahuan sama Mbak Risna, 'kan?" tanyanya seraya bergelayut manja dilenganku."Nggak, Mbakmu kerja. Baru saja mas antar ke kantornya," jawabku."Baguslah, Mas tahu nggak, kalau Dokter Dhanu sudah lari ke luar negeri?" Langkah Luna terhenti. Tentunya langkahku juga berhenti. Berita yang mengucang jiwa."Nggak, sejak kapan dan kenapa?" cercaku pada Luna."Ya, karena kebandelannya menipu orang," jawab Luna dengan napas berat.Aku terdiam, tak bisa membayangkan tentang sebenarnya yang terjadi dengan hasil tes kesehatanku empat tahun yang lalu."Ya sudah, nggak perlu dipikirkan lagi. Sekarang kita cari kebenarannya," ucap Luna dengan me
MY WIFE' SECRETPart 9Luna menoleh ke dalam ruangan. Melambaikan tangan pada Dokter Ferdinan.Aku menutup pintu pelan dan berlalu menyusuri koridor rumah sakit."Mas, cari makan, yuk!" ajak Luna manja."Ayo!" Aku mengandeng tangannya mesra. Puluhan pasang mata melihat heran ke arah kami berdua. Terlebih lagi, Luna masih mengenakan jas putih kebanggaannya.Aku tidak pernah ke rumah sakit ini selama Luna pindah tugas ke tempat ini. Tentunya mereka tidak mengenaliku sebagai saudaranya.Luna mengajakku berjalan kaki menuju restoran yang hanya berjarak 500 meter dari rumah sakit yang sedang kukunjungi. Luna tidak bisa pergi jauh, karena masih ada jadwal dengan pasien-pasiennya.Sepanjang perjalanan. Luna terus saja mengodaku. Kami tertawa lepas, tanpa beban.Tidak butuh waktu lama, kami memasuki restoran yang tidak terlalu ramai. Karena masih jam kerja. Luna memintaku duduk dipojokan, alasannya agar mudah berbica
MY WIFE's SECRET Part 10 Kuhembus napas kasar. Mencoba mengembalikan sebagian kesadaran yang melayang mendengar ucapan Risna. "Lha, bagaimana ceritanya, Dek?" tanyaku penasaran. "Entah, berita yang beredar, perawan tua itu berhasil membuat terobosan baru di perusahaan tempat aku buang dia dulu. Pemilik perusahaan merasa bangga dengan keberhasilan dia," tukas Risna dengan raut wajah emosi. Risna memukul dashboard mobil berkali-kali. Aku mengeleng pelan, melajukan mobil dengan hati gamang. Jika benar apa yang Risna katakan, mau kubawa kemana muka ini saat bertemu dengan Tisya. Terpaksa mengaruk kepala yang tak gatal. "Mas, gimana kalau nanti dia benaran jadi bos, trus dia benci sama aku. Pada akhirnya aku dipecat, gimana, Mas?" tanya Risna seraya mengoyang-goyangkan pundakku. Aku terpaksa mengerem mobil mendadak. Tingkah Risna bisa membuatku lepas kendali. Tak ubah bak anak kecil meminta permen. Kutarik napas dalam, mengumpulkan
MY WIFE'S SECRETPART 11Aku memilih merebahkan tubuhku di ranjang seraya menonton TV. Risna kembali dengan wajah semringah. Disambarnya handuk, lalu menuju kamar mandi. Meliriknya sekilas dan fokus kembali pada layar TV di hadapanku.Beberapa menit kemudian Risna keluar dengan balutan handuk melilit tubuhnya. Mungkin ini saat yang tepat untukku mengecek keberadaan implan di lengannya. Beranjak turun dari ranjang, melangkah mendekat ke arahnya."Stop! Mas mau kemana?" tanyanya panik."Mau meluk istri Mas yang cantik jelita," ujarku tanpa peduli pada perintahnya.Aku segera menerkamnya bak singa yang tengah kelaparan. Tubuh seksinya yang menjadi canduku sukses berada dalam pelukan. Risna meronta-ronta membuat hasratku mulai merangkak.Seketika, kutepis nafsu yang tiba-tiba menyerang. Tujuan utamaku mendeteksi implan yang bersarang di lengannya. Cumbuanku turun pada leher jenjangnya. Risna mengeliat dan mencoba menghindar dari ser
MY WIFE'S SECRET PART 12 Lagi-lagi aku mengendikkan bahu, tidak tahu jawaban apa yang harus aku katakan pada Risna. Sempurna, Tisya menjadi bintang hari ini. Rekan-rekan Risna saling bisik satu sama lain. "Si Luna ngapain juga nempel sama perawan tua itu. Keluarga Mas nggak ada bedanya dengan perawan tua itu," gerutu Risna seraya menginjak sepatuku dengan high heelsnya. "Sssttt! Jaga ucapan Adek. Luna dan Tisya sudah berteman sejak kecil. Ngapain sewot, rusak make upnya nanti." Hanya kalimat tak berbobot itu keluar dari mulutku. Selang lima menit kemudian, masuk seorang lelaki muda dengan setelan jas hitam di padu dasi biru muda. Raut wajahnya tampan dengan rahang kokoh, bibirnya merah muda dengan tatanan rambut masa kini. Dibelakangnya beberapa lelaki berpakaian hitam dengan tubuh tegap bersiap di tempat. Cahaya kamera mulai menyambar wajah tampan yang di atas rata-rata. Senyumnya mampu melelehkan kaum hawa. Terbukti dar
MY WIFE'S SECRETPART 13"Tisya Humaira, bukan tanpa sebab saya meminta kamu untuk tetap di sini. Namun, ada hal yang lebih penting dari masalah perusahaan ingin saya sampaikan kepada kamu," ungkap Pak Arya dengan senyum penuh arti dan sialnya aku tak mampu mengerti maksud dari senyum Pak Arya.Tisya mengangguk pelan. Suasana kembali hening. Tisya mempersilahkan Pak Arya untuk berbicara."Tisya Humaira binti Harun Arrasyid bersediakah engkau menjadi bagian keluarga Whidibrata dengan menjadi pendamping putra tunggal keluarga Whidibrata?"Tisya menutup wajah dengan kedua tangannya. Rasa tak percaya sedang menghampiri jiwanya. Lain hal denganku, cemburu bangkit merajai hati. Tak beda dengan Risna, tangannya terkepal menahan amarah."Pelet apa yang dia gunakan, sial. Perawan tua sialan," desis Risna kesal. Istriku tak mampu membendung kekesalannya yang sudah mencapai ubun-ubun.Lelaki muda yang menyedot perhatian kaum hawa diruangan ini m
MY WIFE'S SECRETPART 14Luna menarik napas panjang seraya mengeleng-geleng kepalanya. Tersenyum kecut ke arah Risna. Beruntung, Risna tidak melihat ke arah Luna.Para karyawan memberikan ucapan selamat kepada Tisya. Luna berbalik menatapku tanpa kedip, semenit kemudian dia tertawa tanpa sebab."Mas, akhirnya Mbak Tisya bisa move on dari Mas. Eh dapatnya lelaki tampan yang tajir melintir, baik budi lagi," puji Luna."Biasa saja, nggak usah segitunya. Sebentar saja, abis itu di depak akhirnya. Wanita itu biasa saja nggak ada yang bisa dibangga-baggain. Lama-lama juga nggak betah," jawabku membuang muka."Lha, nggak bisa dibangga-banggain, lelaki mah gitu, waktu pacaran di puji bak langit dan bumi. Kaulah bintang dan matahariku. Eh pas putus bilangnya nggak ada yang bisa dibanggain, hadeuh! Capek deh." Tingkah Luna membuatku semakin geram."Lun, bisa nggak kamu diam?" tanyaku dengan mengertakkan gigi.Luna membingkai wajahk
"Mas, kamu sudah siap miskin, hah? Jangan tinggalkan aku! Kebahagiaanmu hanya padaku," racau Risna berusaha menyentuhku."Tidak! Kamu salah, kebahagiaanku tidak ada padamu. Mulai hari ini hubungan kita berakhir. Silahkan kamu ambil seluruh hartaku, tapi tidak lagi dengan harga diriku yang telah kau renggut sembilan tahun lamanya," ucapku penuh penekanan. Kutepis tangannya yang hendak menyentuhku. Sorot matanya merah menyala seakan api yang hendak menyambar tubuhku. Perasaan untuknya tak jauh berbeda dengan pertama kali bertemu dengannya. Aku tidak suka dengan Risna, kerja samanya dengan iblis mengubah hatiku."Sudahlah, Mbak. Mas Ridwan sudah mengutarakan keputusannya. Mbak pun aneh, diberikan kesempatan untuk taubat. Malah sempat-sempatnya melakukan hal buruk untuk Mbak Tisya," ujar Luna dengan nada menghakimi. Risna menoleh ke arah Luna dengan tatapan ganas."Bu! Tolong Risna!" Risna beralih pada Ibu yang berurai air mata. Luka yang kupersembahkan mengores hati wanita mulia dalam h
"Mas, kamu sudah siap miskin, hah? Jangan tinggalkan aku! Kebahagiaanmu hanya padaku," racau Risna berusaha menyentuhku."Tidak! Kamu salah, kebahagiaanku tidak ada padamu. Mulai hari ini hubungan kita berakhir. Silahkan kamu ambil seluruh hartaku, tapi tidak lagi dengan harga diriku yang telah kau renggut sembilan tahun lamanya," ucapku penuh penekanan. Kutepis tangannya yang hendak menyentuhku. Sorot matanya merah menyala seakan api yang hendak menyambar tubuhku. Perasaan untuknya tak jauh berbeda dengan pertama kali bertemu dengannya. Aku tidak suka dengan Risna, kerja samanya dengan iblis mengubah hatiku."Sudahlah, Mbak. Mas Ridwan sudah mengutarakan keputusannya. Mbak pun aneh, diberikan kesempatan untuk taubat. Malah sempat-sempatnya melakukan hal buruk untuk Mbak Tisya," ujar Luna dengan nada menghakimi. Risna menoleh ke arah Luna dengan tatapan ganas."Bu! Tolong Risna!" Risna beralih pada Ibu yang berurai air mata. Luka yang kupersembahkan mengores hati wanita mulia dalam h
Bab 38"Bu, bagaimana ini?" tanyaku panik. Darah yang mengalir bagaikan kran air yang di buka. Jika dibiarkan Risna akan meregang nyawa.Ibu memintaku membaringkan Risna atas ranjang. Kemudian, berlari keluar memanggil suster jaga. Tak butuh waktu lama, dokter dan beberapa perawat memasuki ruang rawat Risna.Mereka berdiri kaku dengan keanehan yang terjadi. Menurut dokter, Risna sudah diberikan obat untuk menghentikan pendarahan."Pak, lebih baik Bu Risna kami rujuk ke rumah sakit yang lebih besar. Ini mustahil, obat dan suntikan sudah kami berikan. Ini diluar nalar." Dokter muda itu goyah dengan pernyataannya sejam yang lalu.Aku meminta rujukan ke rumah sakit tempat Luna bekerja. Meski, Risna berusaha menepis anggapan, jika dia tidak butuh pengobatan medis.Aku mengaruk kepala yang tak gatal. Berada di posisi yang serba salah seperti ini. Hatiku gamang, mempercayai dunia medis atau ucapan mistis Risna yang bisa juga dipercaya."Mas, percaya padaku. Yang aku butuh lelaki tua yang wak
Bab 37"Anak-anak bilang, Risna terkapar bersimbah darah di kamar, Wan. Ayo cepat!" Ibu terlihat sangat panik.Aku tak kalah panik membayangkan si kembar menghadapi kejadian mengerikan di depan mata mereka. Ibu memintaku tenang, fokus mengemudi.Sepanjang perjalanan menebak-nebak apa yang terjadi dengan Risna. Anak-anak tidak menjelaskan secara gamblang apa yang terjadi dengan Risna. Beberapa kali Ibu menghubungi mereka, tak ada jawaban sama sekali.Setengah jam perjalanan gawaiku berdering. Kenzo mengatakan Risna sudah di bawa ke klinik terdekat. Risna bukan bunuh diri seperti dalam bayanganku. Info baru yang kutemui semakin membuat kepala mereka-reka kejadian yang menimpa Risna.Sesampai di klinik yang di maksud, aku mencari keberadaan mereka. Keduanya memelukku erat, menangis tersedu-sedu."Pak!" panggil Bibi pelan."Iya, Bi. Ibu kenapa?" tanyaku pelan. Ibu mengambil alih kedua jagoanku untuk duduk bersamanya di depan kursi tunggu."Menurut prediksi dokter Ibu pendarahan, Pak." jaw
Bab 36Ibu menatap Luna, sedetik kemudian beralih pada Mbak Mia. Seakan-akan meminta dukungan dari kedua anak perempuannya."Untuk sementara Ridwan kembali ke rumah Ibu ....""Aku bagaimana, Bu?""Huush! Ibu belum selesai bicara. Nggak sopan," desis Mbak Mia."Kamu di sini bersama anak-anak. Belajar memperbaiki diri. Jika pikiran kalian sudah tenang. Baru kita ambil keputusan terbaik. Tak perlu buru-buru," ujar Ibu disambut anggukan terpaksa dari Risna."Tuh ingat jangan main pelet lagi! Jangan sampai wajah Mbak rusak gara-gara kesalahan Mbak sendiri," ketus Luna."Benar, bertaubat lah, Ris. Minta ampun sama Allah. Perbuatan kamu selama ini musyrik," timpal Mbak Mia.Menimbang pernyataan Ibu ada benarnya. Kali ini lebih baik, mendengar nasehat Ibu. Buru-buru lepas dari Risna pun tak ada gunanya. Tisya sudah sah dalam dekapan Bintang. Melihat Risna dalam keadaan seperti ini juga sangat menyedihkan."Kalau begitu, kita pulang sekarang, Bu! Gerah di sini," ujarku tidak sabar keluar dari
Bab 35Melangkah cepat keluar. Baru hendak menuruni tangga Mbak Mia dan Risna berjalan ke arahku."Risna! Aku tidak akan memaafkanmu! Kau telah menghancurkan hidupku. Aku tidak mau hidup bersama kamu lagi. Aku ingin kita cerai!" teriakku emosi.Tubuh Risna melorot ke lantai. Secepatnya Luna berlari dari kamar. Berusaha menenangkanku, merayu agar hal ini dibicarakan baik-baik tanpa kekerasan."Papa!" suara dan langkah kaki Kenzi terdengar mendekat."Papa! Abang tidak mau Mama dan Papa berpisah!" teriak Kenzi histeris.Kutarik napas dalam, berusaha mengatur hati dan sikap di depan dua jagoanku. Melangkah menuruni tangga cepat. Keduanya memeluk erat tubuh Risna yang tertunduk di lantai. Mbak Mia mencoba menenangkan mereka."Mas, jangan! Tolong, jangan sakiti keduanya. Mereka tidak tahu apa-apa tenang ini semua. Jangan sampai trauma menghampiri mereka," bisik Luna pelan.Mbak Mia menatapku penuh harap. Mengeleng kepala pelan untuk diam sementara waktu."Kata siapa Mama dan Papa mau pisah?
Bab 34"Mas, tangkap!" teriak Luna girang saat bunga itu mengarah padaku.Dalam hitungan detik bunga itu berada dalam genggaman. Semua mata tertuju padaku. Risna menghampiri dengan tatapan tak suka."Ngapain, Mas tangkap," desisnya dengan mata melotot."Apaan sih, Mbak? Biasa saja kali, tangkap bunga, Pun," gerutu Luna dengan tatapan malas ke arah Risna."Siapa yang dapat bunganya, ayo ke depan," suara MC kembali mengema. Luna mengangkat tanganku ke atas. Tidak peduli delikan mata tak suka dari Risna."Suami Bu Risna dapat bunga pengantin. Bahaya itu, Mah," celetuk salah satu rekan kerja Risna."Iya, hati-hati lho Bu Risna. Kayaknya bakalan dapat madu," timpal wanita di sebelahnya."Pertanda buruk sepertinya Bu Risna. Suaminya pengen daun muda, tu," cerocos rekan kerja Risna tanpa jeda.Risna menatap mereka jengah."kebetulan saja, Bu. Tidak mungkinlah suami saya mencari yang lain." Risna mengapit lenganku manja."Hmmm! Apa lagi Bu Risna dah mulai tertutup seperti ini. Bahaya lho ke je
Bab 33Aku kembali melangkah ke dalam, mengamati keadaan sekitar. Sungguh tak mampu dijelaskan dengan kata-kata persiapan Bintang menyunting Tisya. Luar biasa-tidak cukup mewakili indah dan mewah acara yang Bintang persiapkan untuk wanita yang masih bertahta di hatiku.Beberapa awak media dari berbagai stasiun TV ikut andil dalam penghelatan akbar ini. Tak bisa dipungkiri keluarga Bintang salah satu crazy rich Indonesia.Akad nikah akan segera di mulai. Terlihat Bintang berjalan dengan balutan baju pengantin berwarna putih. Aura ketampanan Bintang tak mampu dilukis dengan kata. Ketampanannya tak sebanding denganku.Aku mengambil posisi dibagian depan. Tak lama kemudian, Risna datang dan duduk di sampingku. Mbak Mia juga tidak ketinggalan.Dalam hitungan menit Tisya akan menjadi milik lelaki lain. Kebodohan terbesar, melepas wanita hebat tanpa cela. Andai waktu bisa diputar, ingin rasanya semua kembali seperti sedia kala.Huh! Aku mencari keberadaan Tisya, Ibu dan juga Luna. Mereka bel
Bab 32"Gila! Tisya itu sudah gila. Buat peraturan sesuka hati dia. Sok kaya, gerutuku kesal."Peraturan gila khusus buat istri Mas tercinta. Yang duluan berbuat gila pada Mbak Tisya. Udah yuk, Mas. Mandi sana, kita pergi bareng," ajak Luna dengan mata yang tak berhenti berkedip-kedip.Aku kembali membenamkan wajahku ke sofa. Menutup kedua telinga agar suara Luna dan Mbak Mia tidak bisa kudengar."Mas, dengerin Luna! Bangun, kita pergi bareng. Luna janji nggak julid lagi sama Mas. Ayo!" Entah angin apa yang merasuki Luna. Dia terlihat lebih lembut kepadaku.Aku melangkah menuju kamar, Luna membawakanku dan Risna baju untuk pergi ke acara pernikahan Tisya dan Bintang. Gejolak senantiasa menguasai hati. Akankah aku sanggup melihat Tisya menjadi milik Bintang."Mas!" panggil Risna pelan. Sejak kebohongannya terbongkar, Risna menjadi lebih pendiam. Namun, perubahannya tidak memberi dampak apa-apa untukku. Perlahan hatiku mulai membatu untuknya."Jangan bicara apa-apa, aku nggak mau moodku