MY WIFE'S SECRET
PART 13
"Tisya Humaira, bukan tanpa sebab saya meminta kamu untuk tetap di sini. Namun, ada hal yang lebih penting dari masalah perusahaan ingin saya sampaikan kepada kamu," ungkap Pak Arya dengan senyum penuh arti dan sialnya aku tak mampu mengerti maksud dari senyum Pak Arya.
Tisya mengangguk pelan. Suasana kembali hening. Tisya mempersilahkan Pak Arya untuk berbicara.
"Tisya Humaira binti Harun Arrasyid bersediakah engkau menjadi bagian keluarga Whidibrata dengan menjadi pendamping putra tunggal keluarga Whidibrata?"
Tisya menutup wajah dengan kedua tangannya. Rasa tak percaya sedang menghampiri jiwanya. Lain hal denganku, cemburu bangkit merajai hati. Tak beda dengan Risna, tangannya terkepal menahan amarah.
"Pelet apa yang dia gunakan, sial. Perawan tua sialan," desis Risna kesal. Istriku tak mampu membendung kekesalannya yang sudah mencapai ubun-ubun.
Lelaki muda yang menyedot perhatian kaum hawa diruangan ini m
MY WIFE'S SECRETPART 14Luna menarik napas panjang seraya mengeleng-geleng kepalanya. Tersenyum kecut ke arah Risna. Beruntung, Risna tidak melihat ke arah Luna.Para karyawan memberikan ucapan selamat kepada Tisya. Luna berbalik menatapku tanpa kedip, semenit kemudian dia tertawa tanpa sebab."Mas, akhirnya Mbak Tisya bisa move on dari Mas. Eh dapatnya lelaki tampan yang tajir melintir, baik budi lagi," puji Luna."Biasa saja, nggak usah segitunya. Sebentar saja, abis itu di depak akhirnya. Wanita itu biasa saja nggak ada yang bisa dibangga-baggain. Lama-lama juga nggak betah," jawabku membuang muka."Lha, nggak bisa dibangga-banggain, lelaki mah gitu, waktu pacaran di puji bak langit dan bumi. Kaulah bintang dan matahariku. Eh pas putus bilangnya nggak ada yang bisa dibanggain, hadeuh! Capek deh." Tingkah Luna membuatku semakin geram."Lun, bisa nggak kamu diam?" tanyaku dengan mengertakkan gigi.Luna membingkai wajahk
Part 15Aku berjalan menuju parkir, netraku melihat Tisya berbicara bahagia dengan Bintang di sofa loby. Lalu kemana Risna? Bukannya tadi dia ingin bicara dengan Tisya."Mas, ke parkiran dulu, mungkin Mbak Risna nunggu di mobil. Aku lupa masih punya tugas dari Pak Bintang," ujar Luna seraya menepuk jidatnya."Tugas apa?" tanyaku heran."Tugas negara, Mas. Membawa pulang bidadari Pak Bintang ke rumah dengan selamat," jawab Luna seraya melangkah menjauh dariku.Aku hanya mampu menarik napas panjang, melirik sekilas. Senyum Tisya sangat menggoda. Melangkah gontai menuju parkiran. Benar saja, Risna menunggu di samping mobil. Pandangan penuh amarah diperlihatkan ke arahku."Kemana saja, sih? Capek nunggu," ucapnya kasar."Lha, tadi Adek bilang mau nemuin Tisya. Ya Mas tunggu di ruangan sampe Adek balik," sahutku seraya membuka pintu mobil."Ini udah hampir setengah jam ya sudah selesai, harusnya Mas inisiatif hubungin aku gitu. Ini nggak," gerutunya."Dek, kenapa marah-marah sama Mas, kala
Part 16 Risna membawaku masuk ke dalam, membaringkan tubuhku di atas sofa. Aku bisa melihat wajah paniknya melihat keadaanku. "Mas kenapa?" tanyanya seraya membuka kacing bajuku bagian atas. Aku tidak menjawab memandangnya lekat. Lalu menyunggingkan senyum terindahku untuknya. "Tisya," lirihku pelan. "Mas, Aku istrimu-Risna bukan perawan tua itu," ujar Risna seraya mengoyang-goyangkan tubuhku. Membuang muka dari tatapan Risna. Mulai jengah dengan keberadaannya. "Mas mau tidur," ujarku seraya bangkit. Risna memapahku menuju kamar, mulutnya terlihat komat-kamit seperti merapalkan sesuatu. Aku menghentikan langkahku, firasatku mengatakan seseorang berdiri di belakangku. Begitu kutoleh, tidak ada siapa-siapa. "Kenapa Mas?" tanya Risna cepat. Aku hanya mengeleng pelan. Risna membantu memapahku ke atas ranjang. Tangan lembutnya meraih jemariku. "Mas, cincin yang aku berikan kemana, Mas?" tanya Risna dengan wajah panik. Aku mengangkat tangan, membolak-balikkan kedua belah tangan.
Part 17"Alhamdulillah!" Luna mencium pucuk kepalaku. Wajahnya terlihat bahagia.Dokter Ferdinan merasa terharu dengan kedekatanku dan Luna. Menurutnya jarang dia menemui orang-orang seperti kami. Luna menjelaskan, jika kami bertiga memiliki keakraban yang erat."Mungkin penyebab Pak Ridwan tidak memiliki anak ada pada istri Bapak. Lebih baik, Bapak bawa istrinya ke sini untuk kita periksa. Setelah keluar hasilnya kita bisa mengetahui kendalannya dimana. Sehingga kita bisa mencari solusi agar Bapak segera memiliki momongan. Seharusnya dalam urusan beginian harus periksa suami-istri, biar tidak ada saling tuduh-menuduh. Biar dalam hubungan tidak ada saling curiga," terang Dokter Ferdinan.Aku menatap ke arah Luna. Adik tersayangku mengedipkan mata pelan."Baik, dok. Akan tetapi, Kakak Ipar saya sedang dinas ke Medan. Setelah dia pulang, saya yang akan membawa dia kesini," jelas Luna."Baiklah, lebih cepat lebih baik," sahut Dokter Ferdinan."Oh ya, adakah pemeriksaan lanjutan terhadap
Part 18"Bu-bukan, Anda salah Pak Ustaz. Istri saya tidak mungkin menyakiti saya. Dia sangat mencintai saya," ujarku dengan perut yang masih terasa mual.Ustaz Irsyad tersenyum penuh arti ke arahku. Lalu, mengeleng pelan."Jiwamu terlalu kosong, Wan. Bagaimana bisa kamu yang ahli ibadah ketika masih muda bisa krisis iman sedemikian rupa. Wan, ingat ada Allah yang memegang kendali atas hidup kita. Ngucap, Wan," ujar Ustaz Irsyad.Tiba-tiba saja Ibu memekik hebat, mengeser tubuhnya ke belakang. Penyebabnya, keluar belatung dari bekas mutahanku."Wan, sini tangan kamu," pinta Ustaz Irsyad seraya mengulurkan tangannya ke depanku.Aku menjulurkan tangan ke arah telapak tangannya. Secepat kilat, lelaki senja itu menarik cincin pemberian Risna. Suara tangisan Risna mengalun di telinga."Tega kamu menyakitiku, Mas. Kamu jahat!" teriakan Risna terdengar jelas di telinga. Mataku memindai seluruh ruangan. Namun, sosok Risna tidak kutemui."Pak Ustaz, kembalikan cincin saya. Saya tak mau istri sa
Part 19"Sini!" teriak Luna. Wajah Risna pucat pasi. Kakinya mundur ke belakang, hingga tubuhnya hampir tumbang tersandung anak tangga pertama."Luna!" teriakku membuat langkah Luna terhenti dan menoleh ke arahku."Tolong, jangan hentikan aku, Mas," ujar Luna dengan raut wajah gelisah.Aku melangkah mendekat ke arah Luna. Kutarik tubuhnya ke dalam pelukanku."Lun, kalau kamu sayang sama Mas, tolong hentikan ini, Lun," lirihku pelan."Mas, aku tidak bisa diam, Mas. Aku tidak bisa melihat wanita ini terus mempermainkan Mas, Luna tak terima!" Luna meronta-ronta dalam pelukanku. Matanya memerah, memandang sarkas ke arah Risna yang tak berkutik."Risna, katakan yang sejujurnya, setidaknya kami bisa memaafkanmu," celutuk Mbak Mia datar. Ibu hanya melihat seraya menarik napas kasar. Drama menyayat hati, sedang ditampilkan di hadapannya."Apa yang harus aku katakan, Mbak. Aku tidak melakukan apa-apa," kilah Risna. Tubuhnya melorot ke lantai. Derai air mata membasahi wajah cantiknya."Alah, ng
Part 20"Bu, tolong suruh Risna keluar," pintaku pada Ibu. Tulang-tulang terasa lemas seketika. Sebelah tanganku memegang kepala, sebelah lagi meraba tempat untuk bersandar."Mas, Mas kenapa?" tanya Risna panik."Keluar!" tegasku."Risna, jangan keras kepala keluar dulu," ujar Ibu masih dengan nada bicara normal.Risna berisi keras ingin bersamaku. Kuarahkan tangan ke arah Ibu sebagai tanda mengusir Risna dari kamar Ibu. Semakin mendengar suaranya, kepalaku semakin sakit. Ibu menarik paksa Risna keluar dari kamar. Teriakannya tak menghentikan Ibu untuk mengusirnya.Tubuhku berguncang bagaikan di landa gempa. Peluh membasahi wajah dan kemeja yang kukenakan. Debaran jantung berpacu laksana orang berlari jauh. Tubuhku terjatuh di atas ranjang. Ibu meraih tubuhku, dilafalkan asma Allah di telingaku. Semua itu tak mengurangi rasa sakit. Semakin Ibu membaca ayat kursi, semakin kepalaku bagai dilindas dengan alat berat. Napas memburu, dada terasa panas. Hingga puncaknya, semua gelap.****En
Part 21Aku meronta, tapi Luna mengancamku. Dia menarik kunci dari dalam sakuku. Membuka pintu mobil dan mendorong tubuhku kekursi penumpang. Tak lama kemudian Risna berlari ke arah mobil."Kau puas! Lihat Masku menjadi gila karenamu. Sekarang, bawa dia pulang! Aku akan membuat perhitungan denganmu setelah ini!"sentak Luna seraya mendorong Risna kasar ke kursi kemudi.Risna menatapku jengah."Apa-apaan kamu, Mas. Bikin malu saja. Gara-gara kamu, aku yang dimarahin Adikmu," gerutu Risna seraya menginjak pedal gas kasar."Kamu jangan banyak bicara, kepalaku sakit. Suara kamu menambah sakit kepalaku," ujarku dingin.Risna melajukan mobil dengan kecepatan tinggi. Dia tidak peduli dengan keselamatan kami berdua berulang kali memintanya berhenti percuma. Suaraku dianggap bagai angin lalu."Risna, kamu sudah gila, hah? Kamu ingin kita mati?!" tanyaku setengah berteriak.Dia bungkam, melirikku melalui ekor matanya. Dimainkan stir kemudi dengan lihai. Sukses membuat tubuhku tidak bisa diam di k
"Mas, kamu sudah siap miskin, hah? Jangan tinggalkan aku! Kebahagiaanmu hanya padaku," racau Risna berusaha menyentuhku."Tidak! Kamu salah, kebahagiaanku tidak ada padamu. Mulai hari ini hubungan kita berakhir. Silahkan kamu ambil seluruh hartaku, tapi tidak lagi dengan harga diriku yang telah kau renggut sembilan tahun lamanya," ucapku penuh penekanan. Kutepis tangannya yang hendak menyentuhku. Sorot matanya merah menyala seakan api yang hendak menyambar tubuhku. Perasaan untuknya tak jauh berbeda dengan pertama kali bertemu dengannya. Aku tidak suka dengan Risna, kerja samanya dengan iblis mengubah hatiku."Sudahlah, Mbak. Mas Ridwan sudah mengutarakan keputusannya. Mbak pun aneh, diberikan kesempatan untuk taubat. Malah sempat-sempatnya melakukan hal buruk untuk Mbak Tisya," ujar Luna dengan nada menghakimi. Risna menoleh ke arah Luna dengan tatapan ganas."Bu! Tolong Risna!" Risna beralih pada Ibu yang berurai air mata. Luka yang kupersembahkan mengores hati wanita mulia dalam h
"Mas, kamu sudah siap miskin, hah? Jangan tinggalkan aku! Kebahagiaanmu hanya padaku," racau Risna berusaha menyentuhku."Tidak! Kamu salah, kebahagiaanku tidak ada padamu. Mulai hari ini hubungan kita berakhir. Silahkan kamu ambil seluruh hartaku, tapi tidak lagi dengan harga diriku yang telah kau renggut sembilan tahun lamanya," ucapku penuh penekanan. Kutepis tangannya yang hendak menyentuhku. Sorot matanya merah menyala seakan api yang hendak menyambar tubuhku. Perasaan untuknya tak jauh berbeda dengan pertama kali bertemu dengannya. Aku tidak suka dengan Risna, kerja samanya dengan iblis mengubah hatiku."Sudahlah, Mbak. Mas Ridwan sudah mengutarakan keputusannya. Mbak pun aneh, diberikan kesempatan untuk taubat. Malah sempat-sempatnya melakukan hal buruk untuk Mbak Tisya," ujar Luna dengan nada menghakimi. Risna menoleh ke arah Luna dengan tatapan ganas."Bu! Tolong Risna!" Risna beralih pada Ibu yang berurai air mata. Luka yang kupersembahkan mengores hati wanita mulia dalam h
Bab 38"Bu, bagaimana ini?" tanyaku panik. Darah yang mengalir bagaikan kran air yang di buka. Jika dibiarkan Risna akan meregang nyawa.Ibu memintaku membaringkan Risna atas ranjang. Kemudian, berlari keluar memanggil suster jaga. Tak butuh waktu lama, dokter dan beberapa perawat memasuki ruang rawat Risna.Mereka berdiri kaku dengan keanehan yang terjadi. Menurut dokter, Risna sudah diberikan obat untuk menghentikan pendarahan."Pak, lebih baik Bu Risna kami rujuk ke rumah sakit yang lebih besar. Ini mustahil, obat dan suntikan sudah kami berikan. Ini diluar nalar." Dokter muda itu goyah dengan pernyataannya sejam yang lalu.Aku meminta rujukan ke rumah sakit tempat Luna bekerja. Meski, Risna berusaha menepis anggapan, jika dia tidak butuh pengobatan medis.Aku mengaruk kepala yang tak gatal. Berada di posisi yang serba salah seperti ini. Hatiku gamang, mempercayai dunia medis atau ucapan mistis Risna yang bisa juga dipercaya."Mas, percaya padaku. Yang aku butuh lelaki tua yang wak
Bab 37"Anak-anak bilang, Risna terkapar bersimbah darah di kamar, Wan. Ayo cepat!" Ibu terlihat sangat panik.Aku tak kalah panik membayangkan si kembar menghadapi kejadian mengerikan di depan mata mereka. Ibu memintaku tenang, fokus mengemudi.Sepanjang perjalanan menebak-nebak apa yang terjadi dengan Risna. Anak-anak tidak menjelaskan secara gamblang apa yang terjadi dengan Risna. Beberapa kali Ibu menghubungi mereka, tak ada jawaban sama sekali.Setengah jam perjalanan gawaiku berdering. Kenzo mengatakan Risna sudah di bawa ke klinik terdekat. Risna bukan bunuh diri seperti dalam bayanganku. Info baru yang kutemui semakin membuat kepala mereka-reka kejadian yang menimpa Risna.Sesampai di klinik yang di maksud, aku mencari keberadaan mereka. Keduanya memelukku erat, menangis tersedu-sedu."Pak!" panggil Bibi pelan."Iya, Bi. Ibu kenapa?" tanyaku pelan. Ibu mengambil alih kedua jagoanku untuk duduk bersamanya di depan kursi tunggu."Menurut prediksi dokter Ibu pendarahan, Pak." jaw
Bab 36Ibu menatap Luna, sedetik kemudian beralih pada Mbak Mia. Seakan-akan meminta dukungan dari kedua anak perempuannya."Untuk sementara Ridwan kembali ke rumah Ibu ....""Aku bagaimana, Bu?""Huush! Ibu belum selesai bicara. Nggak sopan," desis Mbak Mia."Kamu di sini bersama anak-anak. Belajar memperbaiki diri. Jika pikiran kalian sudah tenang. Baru kita ambil keputusan terbaik. Tak perlu buru-buru," ujar Ibu disambut anggukan terpaksa dari Risna."Tuh ingat jangan main pelet lagi! Jangan sampai wajah Mbak rusak gara-gara kesalahan Mbak sendiri," ketus Luna."Benar, bertaubat lah, Ris. Minta ampun sama Allah. Perbuatan kamu selama ini musyrik," timpal Mbak Mia.Menimbang pernyataan Ibu ada benarnya. Kali ini lebih baik, mendengar nasehat Ibu. Buru-buru lepas dari Risna pun tak ada gunanya. Tisya sudah sah dalam dekapan Bintang. Melihat Risna dalam keadaan seperti ini juga sangat menyedihkan."Kalau begitu, kita pulang sekarang, Bu! Gerah di sini," ujarku tidak sabar keluar dari
Bab 35Melangkah cepat keluar. Baru hendak menuruni tangga Mbak Mia dan Risna berjalan ke arahku."Risna! Aku tidak akan memaafkanmu! Kau telah menghancurkan hidupku. Aku tidak mau hidup bersama kamu lagi. Aku ingin kita cerai!" teriakku emosi.Tubuh Risna melorot ke lantai. Secepatnya Luna berlari dari kamar. Berusaha menenangkanku, merayu agar hal ini dibicarakan baik-baik tanpa kekerasan."Papa!" suara dan langkah kaki Kenzi terdengar mendekat."Papa! Abang tidak mau Mama dan Papa berpisah!" teriak Kenzi histeris.Kutarik napas dalam, berusaha mengatur hati dan sikap di depan dua jagoanku. Melangkah menuruni tangga cepat. Keduanya memeluk erat tubuh Risna yang tertunduk di lantai. Mbak Mia mencoba menenangkan mereka."Mas, jangan! Tolong, jangan sakiti keduanya. Mereka tidak tahu apa-apa tenang ini semua. Jangan sampai trauma menghampiri mereka," bisik Luna pelan.Mbak Mia menatapku penuh harap. Mengeleng kepala pelan untuk diam sementara waktu."Kata siapa Mama dan Papa mau pisah?
Bab 34"Mas, tangkap!" teriak Luna girang saat bunga itu mengarah padaku.Dalam hitungan detik bunga itu berada dalam genggaman. Semua mata tertuju padaku. Risna menghampiri dengan tatapan tak suka."Ngapain, Mas tangkap," desisnya dengan mata melotot."Apaan sih, Mbak? Biasa saja kali, tangkap bunga, Pun," gerutu Luna dengan tatapan malas ke arah Risna."Siapa yang dapat bunganya, ayo ke depan," suara MC kembali mengema. Luna mengangkat tanganku ke atas. Tidak peduli delikan mata tak suka dari Risna."Suami Bu Risna dapat bunga pengantin. Bahaya itu, Mah," celetuk salah satu rekan kerja Risna."Iya, hati-hati lho Bu Risna. Kayaknya bakalan dapat madu," timpal wanita di sebelahnya."Pertanda buruk sepertinya Bu Risna. Suaminya pengen daun muda, tu," cerocos rekan kerja Risna tanpa jeda.Risna menatap mereka jengah."kebetulan saja, Bu. Tidak mungkinlah suami saya mencari yang lain." Risna mengapit lenganku manja."Hmmm! Apa lagi Bu Risna dah mulai tertutup seperti ini. Bahaya lho ke je
Bab 33Aku kembali melangkah ke dalam, mengamati keadaan sekitar. Sungguh tak mampu dijelaskan dengan kata-kata persiapan Bintang menyunting Tisya. Luar biasa-tidak cukup mewakili indah dan mewah acara yang Bintang persiapkan untuk wanita yang masih bertahta di hatiku.Beberapa awak media dari berbagai stasiun TV ikut andil dalam penghelatan akbar ini. Tak bisa dipungkiri keluarga Bintang salah satu crazy rich Indonesia.Akad nikah akan segera di mulai. Terlihat Bintang berjalan dengan balutan baju pengantin berwarna putih. Aura ketampanan Bintang tak mampu dilukis dengan kata. Ketampanannya tak sebanding denganku.Aku mengambil posisi dibagian depan. Tak lama kemudian, Risna datang dan duduk di sampingku. Mbak Mia juga tidak ketinggalan.Dalam hitungan menit Tisya akan menjadi milik lelaki lain. Kebodohan terbesar, melepas wanita hebat tanpa cela. Andai waktu bisa diputar, ingin rasanya semua kembali seperti sedia kala.Huh! Aku mencari keberadaan Tisya, Ibu dan juga Luna. Mereka bel
Bab 32"Gila! Tisya itu sudah gila. Buat peraturan sesuka hati dia. Sok kaya, gerutuku kesal."Peraturan gila khusus buat istri Mas tercinta. Yang duluan berbuat gila pada Mbak Tisya. Udah yuk, Mas. Mandi sana, kita pergi bareng," ajak Luna dengan mata yang tak berhenti berkedip-kedip.Aku kembali membenamkan wajahku ke sofa. Menutup kedua telinga agar suara Luna dan Mbak Mia tidak bisa kudengar."Mas, dengerin Luna! Bangun, kita pergi bareng. Luna janji nggak julid lagi sama Mas. Ayo!" Entah angin apa yang merasuki Luna. Dia terlihat lebih lembut kepadaku.Aku melangkah menuju kamar, Luna membawakanku dan Risna baju untuk pergi ke acara pernikahan Tisya dan Bintang. Gejolak senantiasa menguasai hati. Akankah aku sanggup melihat Tisya menjadi milik Bintang."Mas!" panggil Risna pelan. Sejak kebohongannya terbongkar, Risna menjadi lebih pendiam. Namun, perubahannya tidak memberi dampak apa-apa untukku. Perlahan hatiku mulai membatu untuknya."Jangan bicara apa-apa, aku nggak mau moodku