MY WIFE'S SECRET
PART 7
Kubaringkan tubuh atas sofa keong. Pikiran menerawang kembali dengan rentetan cerita yang terjadi di rumah Ibu. Teringat akan ucapan Luna tentang Dokter Dhanu yang telah dipecat lima tahun lalu. Hasil tes kesuburanku empat tahun lalu. Artinya dia sudah dipecat dari rumah sakit tempat dia bekerja.Keraguanku semakin menjadi. Risna membawaku ke klinik ilegal. Apa maksudnya semua ini? Logikaku mulai berfungsi. Aku tidak akan menyia-nyiakan tawaran Luna untuk tes kesuburan. Keraguan semakin merasuki relung jiwa.
Kuraih gawai dalam saku celana. Iseng membuka aplikasi g****e untuk mencari tahu tentang implan yang Tisya katakan padaku tempo hari.
"Mas lagi ngapain, kok asyik kali sama gawainya." Suara Risna membuat gawai ditangan terjatuh ke pangkuan. Padahal, belum sempat aku membaca artikel yang baru saja aku buka.
Sial, kenapa tiba-tiba dia bisa berada di belakangku? Bukankah dia sudah terlelap?
Pertanyaan yang tertuju untuk diriku, tanpa perlu dijawab oleh orang lain. Mengulas senyum indah untuknya. Mencoba tenang menghadapi Risna.
Dia mengambil tempat untuk duduk di sampingku. Jemari lentiknya meraih benda pipih yang jatuh di pangkuanku. Menatap sekilas, Lalu, diletakkan di meja kecil di sampingnya.
Akankah riwayatku akan segera tamat setelah ini. Semuanya membingungkan.
"Apa pun yang terjadi jangan pernah tinggal Adek, ya," ujarnya pelan.Suaranya mendayu, membuat naluri kelelakian kubangkit. Namun. Kuredam untuk sementara waktu. Ini saat yang tepat untuk menasehatinya.
"Mas tidak akan ninggalin Adek. Akan tetapi Adek harus janji berubah ke arah yang lebih baik," ujarku dengan menjalin jemarinya dengan jemariku.
Dia terdiam, pandangannya lurus ke depan. Dadanya terlihat naik turun. Aku yakin, sedang terjadi gejolak dahsyat di dalam sana.
"Iya, tapi Mas janji sama adek. Jangan pernah dengerin kata orang lain yang buruk tentang adek. Apalagi kata-kata si perawan tua itu," ujar Risna. Aku sudah lega dengan bahasa lembutnya. Akan tetapi ujungnya tetap menjelek-jelekkan Tisya.
Aku tidak membantah, karena jujur aku masih berang dengan ulah Tisya yang membawa fitnah tentang Risna kepada keluargaku.
"Mas sayang sama Adek, jadi secara otomatis mas akan berusaha mencintai adek semampu mas. Kita berubah pelan-pelan. Mas yakin adek bisa," ujarku lembut. Tak ada gunanya berteriak pada Risna. Karena suaranya melebihi daripada nada tinggi suaraku.
Risna mengangguk pelan tanpa bicara. Aku tidak tahu hal apa yang membuatnya berubah dalam sekejap. Mungkinkah dia tahu, jika aku sedang menaruh curiga untuknya?
Entah kenapa setiap aku mau tegas kepada Risna. Mulutku seperti terkunci saat melihat wajah cantiknya. Kulit putih bersih, hidung mancung terpahat sempurna melengkapi kecantikannya. Sehingga, aku tergila-gila dengan Risna.
****
"Mas, anterin adek ke kantor, ya," rengeknya pagi ini.Aku menatapnya sekilas seraya memasukkan roti ke dalam mulut. Penampilannya membuat aku pangling pagi ini. Baju lengan panjang dengan celana panjang membalut tubuhnya. Walau dia belum berhijab, tapi sudah mulai tertutup.
"Iya, tumben nggak bawa mobil?" selidikku.
"Lagi pengen Mas antar, memangnya tidak boleh, Mas?" tanyanya manja.
Aku mengangguk pelan, segera menyelesaikan sarapan. Melanjutkan mengeluarkan mobil di garasi. Risna mengikutiku dari belakang. Andai tiap hari dia semanis gula jawa, tentunya semua orang akan menyukainya.
Aku membukakan pintu mobil untuknya. Dilabuhkan kecupan hangat di pipiku. Hal yang mulai Risna lakukan, kecuali di ranjang. Tak banyak bertanya, dari pada moodnya hancur kembali.
Sepanjang perjalanan, Risna berceloteh banyak hal kepadaku. Hingga tak sadar, mobilku sudah memasuki area kantornya. Butuh waktu dua jam untuk sampai ke kantor Risna yang lumayan jauh.
Aku turun dan membukakan pintu mobil. Risna menyunggingkan senyum termanisnya untukku.
"Terima kasih sayang, nanti jangan lupa jemput adek, ya," ujarnya seraya memelukku. Sikap yang berlebihan menurutku.
"Siap!"
"Hati-hati di jalan, Adek sayang Mas," bisiknya di telingaku.
Aku hanya mengeleng kepala bingung. Menatap langkahnya memasuki pintu kantor. Baru saja hendak memasuki mobil, aku melihat Tisya lewat di hadapanku menggunakan motor.
Mengurungkan niatku pulang. Aku harus berbicara pada Tisya. Kelancangannya membuat keluarga berpikiran buruk pada Risna.
Aku melangkah ke area parkir motor. Tisya berjalan dengan kepala menunduk. Penampilannya tak berubah, sederhana. Tisya dan Risna bagaikan bumi dan langit dalam hal penampilan. Jika soal wajah, Tisya lebih alami dan natural dibanding Risna yang melakukan berbagai perawatan. Bahkan puluhan juta tak cukup baginya.
"Berhenti, aku ingin bicara sebentar," ujarku dingin.
Tisya berhenti, menatapku sekilas. Tatapannya teduh dan menenangkan. Ah! Aku tidak boleh tergoda. Dia masa laluku yang berniat menghancurkan hidupku. Pikiran yang kutanamkan dalam memori.
"Ada apa, Mas?" Suaranya mengalun lembut di telinga.
"Apa maksud kamu memfitnah Risna pada keluargaku. Kamu mau apa? Jangan pernah bermimpi, jika aku akan sudi kembali padamu," ucapku kesal.
"Mas, Tisya memang menyimpan cinta di hati untuk Mas. Namun, perlu Mas ingat, Tisya tidak ada berniat mengambil Mas dari istrinya Mas. Tisya hanya ingin Mas membuka mata Mas, jika Risna membohongi Mas. Itu saja tidak lebih," dalihnya membuatku semakin geram.
"Alah! Alasan saja, aku tahu kamu rela menjadi perawan tua, demi menunggu aku kembali padamu, 'kan?"
Plak!
Tangan lembut Tisya mendarat sempurna di wajah tampanku. Hingga tangannya diturunkan, masih tersisa nyeri dalam aliran darah.
"Mas dengar, aku menyimpan cinta bukan berarti aku akan mengemis cinta kepada Mas lagi. Aku hanya sayang sama Mas. Kalau memang Mas tidak percaya ya sudah. Tidak perlu menghinaku. Masalah aku mau nikah atau tidak urusanku. Aku akan menikah dengan lelaki yang lebih semuanya dari Mas!"
Aku tersenyum sarkas mendengar omongan kosong yang sedang Tisya katakan.
"Kamu hanya pegawai rendahan, jangan bermimpi bisa mendapatkan bos," selaku cepat.
Tisya bertepuk tangan mendengar ucapanku. Tatapannya tajam menusuk ulu hati.
"Itu mimpiku. Kenapa Mas yang sewot. Dimana-mana orang akan berlomba mendapatkan yang terbaik. Bukan malah memilih yang buruk dan tukang tipu," sindir Tisya keji.
"Percuma bicara dengan wanita nggak waras seperti kamu. Intinya, jangan campurin urusan keluargaku!" sentakku.
"Baik, aku tidak akan mencampuri urusan keluarga Mas. Namun ingat. Jangan pernah mencariku, jika suatu saat semua kebohongan istrimu terbongkar. Mungkin di saat itu aku akan tertawa dan Mas menangis," ujarnya dengan kekehan menyebalkan.
"Kamu ...,"
"Kamu apa, Mas? Sudahlah, aku sudah telat. Jangan berpikir aku masih menginginkanmu lagi. Ingat aku hanya kasihan. Kasihan tidak lebih!" tegas Tisya dan berlalu dari hadapanku.
Aku tak menyangka dia bisa setenang sekarang. Dua hari yang lalu dia masih menangis menemuiku. Aku menarik rambutku kasar. Sikap keras kepala Tisya tak pernah berubah.
Dddrrt!
Gawaiku berdering, segera kuraih benda pipih di dalam saku celana. Tertera nama Luna di layar.
"Assalamualaikum, Mas."
"Waalaikum salam, ada apa, Lun?"
"Mas ke rumah sakit sekarang, aku sudah buat janji sama Dokter Ferdinan."
"Harus sekarang, tidak bisa besok atau kapan gitu?"
"Mas Ridwan tersayang, lebih cepat lebih baik. Ingat Mas sudah janji sama Luna. Mas nggak mau Luna marah, 'kan?"
"Iya, iya, iya! Mas akan ke sana sekarang."
Aku menutup sambungan telepon dengan nada jengkel. Dimana-mana wanita semuanya sama. Sikap dominan yang sering ada pada mereka ; egois, suka mengancam dan keras kepala membuat lelaki bersusah payah harus mengerti setiap kemauan mereka. Aku menggerutu seorang diri, memacu mobil dalam kecepatan tinggi. Tujuan sekarang, rumah sakit tempat Luna bekerja.
Bersambung
MY WIFE'S SECRETPART 8"Mas!" teriak Luna seraya melambaikan tangan ke arahku di pojokan parkir. Seutas senyum manis dia perlihatkan padaku.Aku membalas lambaian tangannya. Melangkah mendekati adik kesayanganku. Ya memang, karena dia anak bungsu dalam keluarga."Mas kesini nggak ketahuan sama Mbak Risna, 'kan?" tanyanya seraya bergelayut manja dilenganku."Nggak, Mbakmu kerja. Baru saja mas antar ke kantornya," jawabku."Baguslah, Mas tahu nggak, kalau Dokter Dhanu sudah lari ke luar negeri?" Langkah Luna terhenti. Tentunya langkahku juga berhenti. Berita yang mengucang jiwa."Nggak, sejak kapan dan kenapa?" cercaku pada Luna."Ya, karena kebandelannya menipu orang," jawab Luna dengan napas berat.Aku terdiam, tak bisa membayangkan tentang sebenarnya yang terjadi dengan hasil tes kesehatanku empat tahun yang lalu."Ya sudah, nggak perlu dipikirkan lagi. Sekarang kita cari kebenarannya," ucap Luna dengan me
MY WIFE' SECRETPart 9Luna menoleh ke dalam ruangan. Melambaikan tangan pada Dokter Ferdinan.Aku menutup pintu pelan dan berlalu menyusuri koridor rumah sakit."Mas, cari makan, yuk!" ajak Luna manja."Ayo!" Aku mengandeng tangannya mesra. Puluhan pasang mata melihat heran ke arah kami berdua. Terlebih lagi, Luna masih mengenakan jas putih kebanggaannya.Aku tidak pernah ke rumah sakit ini selama Luna pindah tugas ke tempat ini. Tentunya mereka tidak mengenaliku sebagai saudaranya.Luna mengajakku berjalan kaki menuju restoran yang hanya berjarak 500 meter dari rumah sakit yang sedang kukunjungi. Luna tidak bisa pergi jauh, karena masih ada jadwal dengan pasien-pasiennya.Sepanjang perjalanan. Luna terus saja mengodaku. Kami tertawa lepas, tanpa beban.Tidak butuh waktu lama, kami memasuki restoran yang tidak terlalu ramai. Karena masih jam kerja. Luna memintaku duduk dipojokan, alasannya agar mudah berbica
MY WIFE's SECRET Part 10 Kuhembus napas kasar. Mencoba mengembalikan sebagian kesadaran yang melayang mendengar ucapan Risna. "Lha, bagaimana ceritanya, Dek?" tanyaku penasaran. "Entah, berita yang beredar, perawan tua itu berhasil membuat terobosan baru di perusahaan tempat aku buang dia dulu. Pemilik perusahaan merasa bangga dengan keberhasilan dia," tukas Risna dengan raut wajah emosi. Risna memukul dashboard mobil berkali-kali. Aku mengeleng pelan, melajukan mobil dengan hati gamang. Jika benar apa yang Risna katakan, mau kubawa kemana muka ini saat bertemu dengan Tisya. Terpaksa mengaruk kepala yang tak gatal. "Mas, gimana kalau nanti dia benaran jadi bos, trus dia benci sama aku. Pada akhirnya aku dipecat, gimana, Mas?" tanya Risna seraya mengoyang-goyangkan pundakku. Aku terpaksa mengerem mobil mendadak. Tingkah Risna bisa membuatku lepas kendali. Tak ubah bak anak kecil meminta permen. Kutarik napas dalam, mengumpulkan
MY WIFE'S SECRETPART 11Aku memilih merebahkan tubuhku di ranjang seraya menonton TV. Risna kembali dengan wajah semringah. Disambarnya handuk, lalu menuju kamar mandi. Meliriknya sekilas dan fokus kembali pada layar TV di hadapanku.Beberapa menit kemudian Risna keluar dengan balutan handuk melilit tubuhnya. Mungkin ini saat yang tepat untukku mengecek keberadaan implan di lengannya. Beranjak turun dari ranjang, melangkah mendekat ke arahnya."Stop! Mas mau kemana?" tanyanya panik."Mau meluk istri Mas yang cantik jelita," ujarku tanpa peduli pada perintahnya.Aku segera menerkamnya bak singa yang tengah kelaparan. Tubuh seksinya yang menjadi canduku sukses berada dalam pelukan. Risna meronta-ronta membuat hasratku mulai merangkak.Seketika, kutepis nafsu yang tiba-tiba menyerang. Tujuan utamaku mendeteksi implan yang bersarang di lengannya. Cumbuanku turun pada leher jenjangnya. Risna mengeliat dan mencoba menghindar dari ser
MY WIFE'S SECRET PART 12 Lagi-lagi aku mengendikkan bahu, tidak tahu jawaban apa yang harus aku katakan pada Risna. Sempurna, Tisya menjadi bintang hari ini. Rekan-rekan Risna saling bisik satu sama lain. "Si Luna ngapain juga nempel sama perawan tua itu. Keluarga Mas nggak ada bedanya dengan perawan tua itu," gerutu Risna seraya menginjak sepatuku dengan high heelsnya. "Sssttt! Jaga ucapan Adek. Luna dan Tisya sudah berteman sejak kecil. Ngapain sewot, rusak make upnya nanti." Hanya kalimat tak berbobot itu keluar dari mulutku. Selang lima menit kemudian, masuk seorang lelaki muda dengan setelan jas hitam di padu dasi biru muda. Raut wajahnya tampan dengan rahang kokoh, bibirnya merah muda dengan tatanan rambut masa kini. Dibelakangnya beberapa lelaki berpakaian hitam dengan tubuh tegap bersiap di tempat. Cahaya kamera mulai menyambar wajah tampan yang di atas rata-rata. Senyumnya mampu melelehkan kaum hawa. Terbukti dar
MY WIFE'S SECRETPART 13"Tisya Humaira, bukan tanpa sebab saya meminta kamu untuk tetap di sini. Namun, ada hal yang lebih penting dari masalah perusahaan ingin saya sampaikan kepada kamu," ungkap Pak Arya dengan senyum penuh arti dan sialnya aku tak mampu mengerti maksud dari senyum Pak Arya.Tisya mengangguk pelan. Suasana kembali hening. Tisya mempersilahkan Pak Arya untuk berbicara."Tisya Humaira binti Harun Arrasyid bersediakah engkau menjadi bagian keluarga Whidibrata dengan menjadi pendamping putra tunggal keluarga Whidibrata?"Tisya menutup wajah dengan kedua tangannya. Rasa tak percaya sedang menghampiri jiwanya. Lain hal denganku, cemburu bangkit merajai hati. Tak beda dengan Risna, tangannya terkepal menahan amarah."Pelet apa yang dia gunakan, sial. Perawan tua sialan," desis Risna kesal. Istriku tak mampu membendung kekesalannya yang sudah mencapai ubun-ubun.Lelaki muda yang menyedot perhatian kaum hawa diruangan ini m
MY WIFE'S SECRETPART 14Luna menarik napas panjang seraya mengeleng-geleng kepalanya. Tersenyum kecut ke arah Risna. Beruntung, Risna tidak melihat ke arah Luna.Para karyawan memberikan ucapan selamat kepada Tisya. Luna berbalik menatapku tanpa kedip, semenit kemudian dia tertawa tanpa sebab."Mas, akhirnya Mbak Tisya bisa move on dari Mas. Eh dapatnya lelaki tampan yang tajir melintir, baik budi lagi," puji Luna."Biasa saja, nggak usah segitunya. Sebentar saja, abis itu di depak akhirnya. Wanita itu biasa saja nggak ada yang bisa dibangga-baggain. Lama-lama juga nggak betah," jawabku membuang muka."Lha, nggak bisa dibangga-banggain, lelaki mah gitu, waktu pacaran di puji bak langit dan bumi. Kaulah bintang dan matahariku. Eh pas putus bilangnya nggak ada yang bisa dibanggain, hadeuh! Capek deh." Tingkah Luna membuatku semakin geram."Lun, bisa nggak kamu diam?" tanyaku dengan mengertakkan gigi.Luna membingkai wajahk
Part 15Aku berjalan menuju parkir, netraku melihat Tisya berbicara bahagia dengan Bintang di sofa loby. Lalu kemana Risna? Bukannya tadi dia ingin bicara dengan Tisya."Mas, ke parkiran dulu, mungkin Mbak Risna nunggu di mobil. Aku lupa masih punya tugas dari Pak Bintang," ujar Luna seraya menepuk jidatnya."Tugas apa?" tanyaku heran."Tugas negara, Mas. Membawa pulang bidadari Pak Bintang ke rumah dengan selamat," jawab Luna seraya melangkah menjauh dariku.Aku hanya mampu menarik napas panjang, melirik sekilas. Senyum Tisya sangat menggoda. Melangkah gontai menuju parkiran. Benar saja, Risna menunggu di samping mobil. Pandangan penuh amarah diperlihatkan ke arahku."Kemana saja, sih? Capek nunggu," ucapnya kasar."Lha, tadi Adek bilang mau nemuin Tisya. Ya Mas tunggu di ruangan sampe Adek balik," sahutku seraya membuka pintu mobil."Ini udah hampir setengah jam ya sudah selesai, harusnya Mas inisiatif hubungin aku gitu. Ini nggak," gerutunya."Dek, kenapa marah-marah sama Mas, kala
"Mas, kamu sudah siap miskin, hah? Jangan tinggalkan aku! Kebahagiaanmu hanya padaku," racau Risna berusaha menyentuhku."Tidak! Kamu salah, kebahagiaanku tidak ada padamu. Mulai hari ini hubungan kita berakhir. Silahkan kamu ambil seluruh hartaku, tapi tidak lagi dengan harga diriku yang telah kau renggut sembilan tahun lamanya," ucapku penuh penekanan. Kutepis tangannya yang hendak menyentuhku. Sorot matanya merah menyala seakan api yang hendak menyambar tubuhku. Perasaan untuknya tak jauh berbeda dengan pertama kali bertemu dengannya. Aku tidak suka dengan Risna, kerja samanya dengan iblis mengubah hatiku."Sudahlah, Mbak. Mas Ridwan sudah mengutarakan keputusannya. Mbak pun aneh, diberikan kesempatan untuk taubat. Malah sempat-sempatnya melakukan hal buruk untuk Mbak Tisya," ujar Luna dengan nada menghakimi. Risna menoleh ke arah Luna dengan tatapan ganas."Bu! Tolong Risna!" Risna beralih pada Ibu yang berurai air mata. Luka yang kupersembahkan mengores hati wanita mulia dalam h
"Mas, kamu sudah siap miskin, hah? Jangan tinggalkan aku! Kebahagiaanmu hanya padaku," racau Risna berusaha menyentuhku."Tidak! Kamu salah, kebahagiaanku tidak ada padamu. Mulai hari ini hubungan kita berakhir. Silahkan kamu ambil seluruh hartaku, tapi tidak lagi dengan harga diriku yang telah kau renggut sembilan tahun lamanya," ucapku penuh penekanan. Kutepis tangannya yang hendak menyentuhku. Sorot matanya merah menyala seakan api yang hendak menyambar tubuhku. Perasaan untuknya tak jauh berbeda dengan pertama kali bertemu dengannya. Aku tidak suka dengan Risna, kerja samanya dengan iblis mengubah hatiku."Sudahlah, Mbak. Mas Ridwan sudah mengutarakan keputusannya. Mbak pun aneh, diberikan kesempatan untuk taubat. Malah sempat-sempatnya melakukan hal buruk untuk Mbak Tisya," ujar Luna dengan nada menghakimi. Risna menoleh ke arah Luna dengan tatapan ganas."Bu! Tolong Risna!" Risna beralih pada Ibu yang berurai air mata. Luka yang kupersembahkan mengores hati wanita mulia dalam h
Bab 38"Bu, bagaimana ini?" tanyaku panik. Darah yang mengalir bagaikan kran air yang di buka. Jika dibiarkan Risna akan meregang nyawa.Ibu memintaku membaringkan Risna atas ranjang. Kemudian, berlari keluar memanggil suster jaga. Tak butuh waktu lama, dokter dan beberapa perawat memasuki ruang rawat Risna.Mereka berdiri kaku dengan keanehan yang terjadi. Menurut dokter, Risna sudah diberikan obat untuk menghentikan pendarahan."Pak, lebih baik Bu Risna kami rujuk ke rumah sakit yang lebih besar. Ini mustahil, obat dan suntikan sudah kami berikan. Ini diluar nalar." Dokter muda itu goyah dengan pernyataannya sejam yang lalu.Aku meminta rujukan ke rumah sakit tempat Luna bekerja. Meski, Risna berusaha menepis anggapan, jika dia tidak butuh pengobatan medis.Aku mengaruk kepala yang tak gatal. Berada di posisi yang serba salah seperti ini. Hatiku gamang, mempercayai dunia medis atau ucapan mistis Risna yang bisa juga dipercaya."Mas, percaya padaku. Yang aku butuh lelaki tua yang wak
Bab 37"Anak-anak bilang, Risna terkapar bersimbah darah di kamar, Wan. Ayo cepat!" Ibu terlihat sangat panik.Aku tak kalah panik membayangkan si kembar menghadapi kejadian mengerikan di depan mata mereka. Ibu memintaku tenang, fokus mengemudi.Sepanjang perjalanan menebak-nebak apa yang terjadi dengan Risna. Anak-anak tidak menjelaskan secara gamblang apa yang terjadi dengan Risna. Beberapa kali Ibu menghubungi mereka, tak ada jawaban sama sekali.Setengah jam perjalanan gawaiku berdering. Kenzo mengatakan Risna sudah di bawa ke klinik terdekat. Risna bukan bunuh diri seperti dalam bayanganku. Info baru yang kutemui semakin membuat kepala mereka-reka kejadian yang menimpa Risna.Sesampai di klinik yang di maksud, aku mencari keberadaan mereka. Keduanya memelukku erat, menangis tersedu-sedu."Pak!" panggil Bibi pelan."Iya, Bi. Ibu kenapa?" tanyaku pelan. Ibu mengambil alih kedua jagoanku untuk duduk bersamanya di depan kursi tunggu."Menurut prediksi dokter Ibu pendarahan, Pak." jaw
Bab 36Ibu menatap Luna, sedetik kemudian beralih pada Mbak Mia. Seakan-akan meminta dukungan dari kedua anak perempuannya."Untuk sementara Ridwan kembali ke rumah Ibu ....""Aku bagaimana, Bu?""Huush! Ibu belum selesai bicara. Nggak sopan," desis Mbak Mia."Kamu di sini bersama anak-anak. Belajar memperbaiki diri. Jika pikiran kalian sudah tenang. Baru kita ambil keputusan terbaik. Tak perlu buru-buru," ujar Ibu disambut anggukan terpaksa dari Risna."Tuh ingat jangan main pelet lagi! Jangan sampai wajah Mbak rusak gara-gara kesalahan Mbak sendiri," ketus Luna."Benar, bertaubat lah, Ris. Minta ampun sama Allah. Perbuatan kamu selama ini musyrik," timpal Mbak Mia.Menimbang pernyataan Ibu ada benarnya. Kali ini lebih baik, mendengar nasehat Ibu. Buru-buru lepas dari Risna pun tak ada gunanya. Tisya sudah sah dalam dekapan Bintang. Melihat Risna dalam keadaan seperti ini juga sangat menyedihkan."Kalau begitu, kita pulang sekarang, Bu! Gerah di sini," ujarku tidak sabar keluar dari
Bab 35Melangkah cepat keluar. Baru hendak menuruni tangga Mbak Mia dan Risna berjalan ke arahku."Risna! Aku tidak akan memaafkanmu! Kau telah menghancurkan hidupku. Aku tidak mau hidup bersama kamu lagi. Aku ingin kita cerai!" teriakku emosi.Tubuh Risna melorot ke lantai. Secepatnya Luna berlari dari kamar. Berusaha menenangkanku, merayu agar hal ini dibicarakan baik-baik tanpa kekerasan."Papa!" suara dan langkah kaki Kenzi terdengar mendekat."Papa! Abang tidak mau Mama dan Papa berpisah!" teriak Kenzi histeris.Kutarik napas dalam, berusaha mengatur hati dan sikap di depan dua jagoanku. Melangkah menuruni tangga cepat. Keduanya memeluk erat tubuh Risna yang tertunduk di lantai. Mbak Mia mencoba menenangkan mereka."Mas, jangan! Tolong, jangan sakiti keduanya. Mereka tidak tahu apa-apa tenang ini semua. Jangan sampai trauma menghampiri mereka," bisik Luna pelan.Mbak Mia menatapku penuh harap. Mengeleng kepala pelan untuk diam sementara waktu."Kata siapa Mama dan Papa mau pisah?
Bab 34"Mas, tangkap!" teriak Luna girang saat bunga itu mengarah padaku.Dalam hitungan detik bunga itu berada dalam genggaman. Semua mata tertuju padaku. Risna menghampiri dengan tatapan tak suka."Ngapain, Mas tangkap," desisnya dengan mata melotot."Apaan sih, Mbak? Biasa saja kali, tangkap bunga, Pun," gerutu Luna dengan tatapan malas ke arah Risna."Siapa yang dapat bunganya, ayo ke depan," suara MC kembali mengema. Luna mengangkat tanganku ke atas. Tidak peduli delikan mata tak suka dari Risna."Suami Bu Risna dapat bunga pengantin. Bahaya itu, Mah," celetuk salah satu rekan kerja Risna."Iya, hati-hati lho Bu Risna. Kayaknya bakalan dapat madu," timpal wanita di sebelahnya."Pertanda buruk sepertinya Bu Risna. Suaminya pengen daun muda, tu," cerocos rekan kerja Risna tanpa jeda.Risna menatap mereka jengah."kebetulan saja, Bu. Tidak mungkinlah suami saya mencari yang lain." Risna mengapit lenganku manja."Hmmm! Apa lagi Bu Risna dah mulai tertutup seperti ini. Bahaya lho ke je
Bab 33Aku kembali melangkah ke dalam, mengamati keadaan sekitar. Sungguh tak mampu dijelaskan dengan kata-kata persiapan Bintang menyunting Tisya. Luar biasa-tidak cukup mewakili indah dan mewah acara yang Bintang persiapkan untuk wanita yang masih bertahta di hatiku.Beberapa awak media dari berbagai stasiun TV ikut andil dalam penghelatan akbar ini. Tak bisa dipungkiri keluarga Bintang salah satu crazy rich Indonesia.Akad nikah akan segera di mulai. Terlihat Bintang berjalan dengan balutan baju pengantin berwarna putih. Aura ketampanan Bintang tak mampu dilukis dengan kata. Ketampanannya tak sebanding denganku.Aku mengambil posisi dibagian depan. Tak lama kemudian, Risna datang dan duduk di sampingku. Mbak Mia juga tidak ketinggalan.Dalam hitungan menit Tisya akan menjadi milik lelaki lain. Kebodohan terbesar, melepas wanita hebat tanpa cela. Andai waktu bisa diputar, ingin rasanya semua kembali seperti sedia kala.Huh! Aku mencari keberadaan Tisya, Ibu dan juga Luna. Mereka bel
Bab 32"Gila! Tisya itu sudah gila. Buat peraturan sesuka hati dia. Sok kaya, gerutuku kesal."Peraturan gila khusus buat istri Mas tercinta. Yang duluan berbuat gila pada Mbak Tisya. Udah yuk, Mas. Mandi sana, kita pergi bareng," ajak Luna dengan mata yang tak berhenti berkedip-kedip.Aku kembali membenamkan wajahku ke sofa. Menutup kedua telinga agar suara Luna dan Mbak Mia tidak bisa kudengar."Mas, dengerin Luna! Bangun, kita pergi bareng. Luna janji nggak julid lagi sama Mas. Ayo!" Entah angin apa yang merasuki Luna. Dia terlihat lebih lembut kepadaku.Aku melangkah menuju kamar, Luna membawakanku dan Risna baju untuk pergi ke acara pernikahan Tisya dan Bintang. Gejolak senantiasa menguasai hati. Akankah aku sanggup melihat Tisya menjadi milik Bintang."Mas!" panggil Risna pelan. Sejak kebohongannya terbongkar, Risna menjadi lebih pendiam. Namun, perubahannya tidak memberi dampak apa-apa untukku. Perlahan hatiku mulai membatu untuknya."Jangan bicara apa-apa, aku nggak mau moodku