Liliana membuka pintu dan membelalak melihat Devin dan Amanda belia berada di depan rumahnya. Wajah gadis itu pucat dan bibirnya gemetar ketakutan.
“Siapa, sayang?” seru suara dari arah belakang Liliana, suara suaminya.
“Anda tahu kalau suamiku melarang saya bekerja lagi pada anda, Tuan Chayton. Anda membuat saya dalam kesulitan bila …”
“Nama gadis ini Miranda,” sela Devin sembari mendorong bahu Amanda hingga gadis itu berdiri tepat di hadapan Liliana. “Dia akan tinggal di sini sampai waktu yang tidak ditentukan, karena dia kabur dari sepupu jauhmu, orang tuanya. Dia bertengkar dengan mereka karena kepergok berada di kamar dengan pacarnya, dan kurasa …. kamu hamil?”
Amanda melotot ke arah Devin.
“Devin? Kau sudah siap?”Devin menoleh dan mendapati ayahnya sudah mengenakan pakaian hitam tanda berduka. Dan Levin berdiri di belakangnya. Keduanya menatap Devin yang masih duduk di kursi, menghadap keluar jendela kamarnya. Meski sudah mengenakan pakaian duka, namun dua Chayton di depan pintu kamarnya yang terbuka sudah bisa menilai bahwa Devin belum siap berangkat ke pemakaman.“Kau bisa menyusul setelah siap,” ucap Andrew datar. Devin sama sekali tidak menangkap nada bersedih di kalimat itu. Hoggart benar, Andrew adalah orang yang paling senang ketika dia sudah tak bernyawa, meski itu tidak akan bisa mengembalikan masa lalu.“Aku lebih dari siap,” ucap Devin sembari bangkit perlahan dari kursi, mengancingkan jasnya dan melangkah mendekati ayahnya. “Kurasa, tidak ada yang
Berita pemakaman Hoggart baru saja menghiasi halaman muka koran lokal, ketika polisi dan wartawan kembali disibukkan oleh berita yang lebih menghebohkan. Bahkan Chayton masih dalam perjalanan pulang ketika jalan menuju Mansion Batista diblokir oleh polisi. Para polisi berlarian melintasi deretan mobil yang terpaksa berhenti. “Ada apa Marcus?” tanya Andrew yang duduk di sebelah Marcus. Marcus membuka pintu mobil. “Saya pastikan ke depan, Tuan.” Levin melirik Devin. Kakaknya itu memang pendiam, jarang berkomentar. Namun dia akan menjawab bila ditanya. Sepertinya, peristiwa kematian Hoggart, si sulung mengetahui banyak hal yang tidak diketahuinya. Dan karena segala tentang Hoggart ternyata berkaitan dengan Sabrina Brice, maka lelaki itu tidak layak lagi menjadi bahan pembicaraan di antara mereka bertiga, apalagi men
Devin berusaha tidak menampakkan kepanikan dalam wajah dan tingkah lakunya. Terutama ketika Andrew melongok ke dalam kamarnya dan mendapati kamar itu masih belum dirapikan.“Sepertinya pelayanmu masih harus sering diingatkan. Aku akan menyuruh Irene agar membuat dia cepat beradaptasi.”“Aku sendiri yang akan melakukannya, Dad,” ucap Devin sembari mencoba menarik napas panjang untuk menenangkan dirinya sendiri. Rentetan kejadian hari ini memerlukan kepala dingin untuk merunut dan mencari benang merahnya. Devin merasa semua berkaitan satu sama lain.“Hm, aku mau istirahat dulu di kamarku. Aku tidak ingin nanti malam Hoggart menggentayangiku karena aku belum memaafkannya.”Andrew memasuki kamar tidur di bawah tatapan kedua a
Devin masih bergeming, malah merebahkan diri di tempat tidur. Membiarkan Levin mengoceh tentang keburukan Cindy Lau yang baru diketahuinya belakangan. Bahwa dia juga menjadi simpanan banyak pejabat, seperti halnya Sabrina Brice.Devin menulikan telinga. Dia tidak ingin menambah masalah dengan menambah pekerjaan yang bukan tugasnya. Saat ini yang penting adalah Amanda Harper? Ke mana gadis itu justru di saat Hoggart dimakamkan dan di Mansion Garcia sedang terjadi baku tembak …“Tidak … jangan-jangan ….”Devin melompat dari atas ranjang, membuat Levin sumringah tiba-tiba. Si Bungsu langsung memegang kedua lengan kakaknya dan melebarkan senyum. “Kau mau membantuku?”Devin mengibaskan tangan Levin, lalu meraih
Marcus dan Irene tidak bisa mengelak beragam dugaan dalam hati mereka, meski mereka berdua berusaha tidak memperhatikan. Saat mobil Devin memasuki garasi, Amanda alias Beverly melompat keluar dan berlari ke belakang. Penampilannya sungguh berbeda, seperti gadis yang pulang dari berkencan dan dijemput paksa oleh majikannya. Devin keluar dari mobil, melihat Marcus dan Irene mengamati gerak gerik Beverly, lalu kini mengamati dirinya. Sebagai majikan dan yang berkuasa, dia pun berusaha untuk bersikap wajar. Menutup pintu mobil dan berjalan menuju dua orang pelayan senior di dekat pintu. “Bila sampai Amanda menghilang lagi, kalian berdua yang harus bertanggungjawab!” ucap Devin dengan menekan nada bicaranya, agar terkesan berwibawa. Walau sebenarnya untuk meredakan gemuruh di dadanya. Beverly benar-benar membuatnya tidak bisa menguasai diri. Bisa-bisanya dia kemba
“Dev, aku minta untuk terakhir kali.” Devin hanya melirik Levin yang berdiri di pintu kamarnya yang terbuka separuh. Adiknya itu mengenakan celana jeans dan jacket SMA-nya. Sepertinya dia hendak menemui gadis. Siapa? Bella atau Cindy Lau?” “Aku sibuk.” Devin melemparkan ballpoint ke atas meja. Seharian dia membaca dokumen dan menandatangani semuanya. Dia berencana ke luar kota beberapa hari, menjenguk Amanda dan menyiapkan tempat tinggal yang layak untuknya. Meski alasan lain adalah agar tidak bertemu dengan Beverly selama beberapa hari. Dia tidak tahu bagaimana harus bersikap bila Beverly masuk ke dalam kamarnya. Sebagai pelayan pribadinya, tentu saja dia harus kerap memasuki kamarnya. Bila melihat gadis itu lagi, entah apa yang akan dilakukannya. Menariknya dalam pelukan dan membungkam mulutnya meski seda
Andrew Chayton memindai Devin dari ujung kepala hingga ujung kaki sembari mengerut kening. Devin berusaha untuk tetap tenang. Dia sudah menjalani profesi ini tidak satu atau dua hari. Jadi, sudah terbiasa dihadapkan pada situasi genting yang akan menyebabkan dia tertangkap basah bila gegabah dan terburu-buru. “Aku mau ke pabrik sebentar, Dad.” Andrew tampak tidak percaya. “Ke pabrik? Malam-malam begini? Kenapa tidak ditunda besok?” “Laporan security ada yang aneh di sana. Aku harus memastikan sendiri. Bye Dada.” Devin meraih leher ayahnya dan mengecup keningnya. Membuat Andrew sekali lagi terheran-heran. Tingkah Devin menjadi sedikit aneh. Biasanya dia mengecup kening ayahnya bila mereka semua sedang berbahagia. Saat hari raya atau mendengar berita kesuksesan Salina
Makan malam Chayton berlangsung menegangkan, bagi Levin. Dia berkali-kali mengelap keringat yang menganak sungai di pelipisnya. Baju bagian leher dan punggungnya juga basah. Membuat Andrew mengernyit heran. "Kamu habis maraton?" tanya Andrew tak melepaskan tatapannya dari si bungsu. Devin hanya melirik adiknya dengan cuek dan menyantap makan malam layaknya pekerja bangunan kelaparan. Andrew tidak menaruh curiga pada Devin, karena memaklumi bahwa dia baru saja datang dari pabrik. Kecurigaannya hanya tertuju pada Levin yang banjir keringat dan kelihatan tidak berselera makan. SEjak tadi dia hanya menatap piring makanan dan segelas susunya, padahal bisanya dia yang paling lahap menyantap semua hidangan. Dia tak pernah bermasalah dengan selera makan, meski tak pernah membuatnya sedikit lebih gemuk. "Ka
"Bukankah aku sudah transfer kemarin?" bantah Levin di sambungan telepon."Itu untuk penyelidikan dalam kota Tuan Chayton. Dan kami menemukan petunjuk bahwa Bella Artwater pergi ke luar negeri."Levin terdiam. Ke luar negeri pasti membutuhkan lebih banyak lagi dana. Tidak hanya untuk melacak, tapi juga untuk membawa Bella pulang. Sedangkan dia tidak punya lagi uang simpanan. Beberapa orang yang dikerahkannya selalu meminta uang tambahan bila penyelidikan semakin berlanjut karena menemukan bukti baru.Levin tak ingin melibatkan polisi. Melaporkan istrinya telah menghilang di kantor polisi hanya akan mempermalukannya karena status mereka belum tercatat resmi di negara. Apalagi Cleve tak lagi menghendaki Bella bersama Levin. Hanya karena kesalahan yang menurutnya sangat sepele. Toh dia biasa meladeni wanita-wanita peng
“Kau adalah satu-satunya orang yang tahu kalau aku sudah menikah.”Bella tercekat. Menatap Devin yang juga menatapnya dengan wajah berseri-seri dan pipi bersemu merah. Kepuasan dan kebahagian terpancar jelas di wajahnya. Mereka duduk berhadapan, di sebuah cafe dengan pemandangan menara Eiffel yang berselimut senja. Devin memintanya menunggu di sini, dan baru muncul dua jam kemudian.Pasti Devin masih menyelesaikan permainannya yang terhenti karena kedatangan Bella. Sementara Bella menanti di cafe, setelah mendapat pesan dari Devin untuk menunggunya di sana. Pesan yang dikirimkannya satu menit setelah lelaki itu menutup pintu rumahnya dan meninggalkan Bella berdiri di seberang rumahnya seperti perempuan bodoh.“Siapa dia?”“Istr
“Anda tidak akan percaya, Devin Chayton ada di Paris.” Bella tercekat, ludahnya terasa tertahan di kerongkongannya. Bagaimana mungkin Devin bisa ada di kota romantis itu? Kota idamannya yang akan dikunjunginya dengan lelaki pujaannya, Devin. “Bagaimana kau bisa menemukannya?” tanya Bella di sambungan telepon. Tangannya terasa gemetar dan dadanya serasa meledak, ketika mendengar kabar dari Detektif yang disewanya. Untuk mendapatkan Devin kembali, dia nekad melakukan apa saja, bahkan mengeluarkan uang tabungannya. Dia harus mendapatkan cinta Devin karena pada Levin dia tak lagi punya harapan. Meski sudah menyerahkan jiwa raganya pada bungsu Chayton, lelaki itu itu masih saja haus dan mereguknya dari wanita lain. Seolah Bella tak pernah bisa memuaskannya. Padahal setiap malam Bella selalu
Untuk pertama kali dalam hidupnya, Andrew merasa hidup seorang diri. Makan malamnya sejak kepergian Devin, hanya ditemani Marcus. Dia meminta Marcus duduk di sebelahnya, bukan untuk melayaninya makan, tapi untuk makam malam bersamanya.“Sebentar lagi Tuan Levin pasti datang,” hibur Marcus, melihat gurat kecewa di wajah majikannya. Sudah hampir tengah malam, Levin belum juga memberi kabar apakah akan pulang ke Batista atau tidak. Sejak kepergok Marcus di cafe milik Bella, Marcus belum melihat Levin memasuki Batista hampir dua hari. Lelaki itu pasti disibukkan dengan memohon maaf pada Bella Artwater.Dan Andrew tak pernah menyebut nama Levin semenjak surat dari Devin datang. Lelaki sebaya Marcus itu diliputi kerinduan pada anak sulungnya, tapi tak bisa berbuat apa-apa. Kadang tanpa sadar dia menanyakan pada Marcus apakah Devin sudah pula
Andrew meremas surat di tangannya. Dadanya terasa berat, sepertinya sesak napasnya akan kambuh. Marcus yang berada di sebelahnya, sudah melihat gelagat majikannya. Napas Andrew mulai pendek dan berat.“Saya ambilkan obat, Tuan?”Andrew menggeleng. Dia lalu melemparkan surat yang sudah diremasnya ke lantai. Marcus hanya melirik gumpalan kertas itu jatuh tak berdaya. Masih bagus Andrew tidak merobeknya, jadi dia bisa menyimpan surat itu nanti. Biasanya Andrew akan mencari surat itu lagi bila hati dan kepalanya sudah dingin.“Mana Levin?”Marcus menelan ludah. Pertanyaan tentang Levin adalah soal yang paling sulit untuk dijawab. Marcus tidak ingin anak itu menjadi sasaran kemarahan ayahnya lagi. Lagipula dengan dimarahi, tidak akan membuat Levin menj
Devin tak melepas sedetik pun tangan istrinya. Meski Beverly berjanji untuk tidak melepaskan diri, namun kini Devin bukan lagi orang yang sama dengan dua puluh empat jam sebelumnya. Kini mereka sama-sama tahu bahwa pasangan mereka adalah orang yang diberi tugas untuk membunuh pasangannya.Bukan hal yang mudah bagi keduanya kini untuk membangun rasa saling percaya, meski setelah semua rahasia itu terbongkar, napas dan kulit mereka menyatu berbalur peluh. Baik Devin maupun Beverly tak hendak menanyakan apakah masih ada cinta di dada mereka masing-masing setelah apa yang terjadi. Bahwa mereka telah saling mengejar untuk saling membunuh–demi sebuah tugas dari organisasi tempat mereka bernaung.Kapal yang ditumpangi keduanya sudah memasuki perairan lepas dan mereka kini bebas hendak pergi ke manapun. Meski yakin para polisi pasti akan memburu bahkan mungkin me
Wajah Andrew mengerut, menampakkan usianya yang semakin renta. Ditambah dengan kemarahan yang tampak berusaha ditahannya. Napasnya tak lagi sesak, tapi semua orang bisa melihat lelaki yang masih tampak gagah di usianya itu, mengepal kedua tangan hingga gemetar. Marcus menarik lengan Levin, menyuruhnya menyingkir, masuk ke dalam kamar. Semula Levin menolak. Dia ingin menikmati momen di mana akhirnya Devin berhasil membuat Andrew Chayton murka. Selama ini, hanya Levin yang selalu berulah, membuat Mansion Batista berkali-kali heboh, kisruh dan pusing tujuh keliling. Kini giliran Devin, begitu mudahnya terkuak di depan semua orang. Dan tanpa ada yang bersangkutan hadir untuk membela diri. “Sejak kapan kau tahu, Irene? Apa yang sudah mereka lakukan?” tanya Andrew, sembari melangkah mendekati Irene, mengesampingk
Mansion Batista bangun sebelum waktunya. Para pelayan dikumpulkan di halaman oleh polisi, dan Irene menjadi orang yang paling sibuk. Semua pelayan diinterogasi, membuat suasana dini hari menjadi sangat kacau, karena mereka terpaksa dibangunkan oleh suara tembakan.Andrew berada di ruang kerjanya, mengenakan piyama. Duduk di kursi dengan kening berkerut. Polisi telah mengganggu istirahatnya, dan itu artinya harus ada harga yang harus dibayar. Mereka telah masuk dengan paksa dan membuat Andrew benar-benar marah.Komisaris berdiri di hadapannya dengan beberapa anak buahnya.“Kalian telah mengusik mansionku, tanpa seijinku!” sergah Andrew dengan nada meninggi, dan Marcus terpaksa menyentuh bahu majikannya, berusaha agar Andrew lebih tenang. Bagaimana tidak, Komisaris baru pengganti Komisaris Ho
“Berapa orang yang diperlukan untuk menangkap Devin Chayton?” gumam Devin, sembari merunduk di balik sebongkah batu. Cahaya senter tak satupun mengenainya. Para pengejar telah melewatinya, membuat Devin bisa beristirahat sejenak. Namun tak lama kemudian, terdengar langkah mendekat. Devin mengintip dari balik batu, dan dia mengenali gestur dalam kegelapan–yang rupanya ketinggalan jauh dari teman-temannya. Saat gestur itu mendekat, Devin langsung melompat dan menyergapnya. Mereka berdua jatuh terguling-guling, dan semakin terguling-guling karena ternyata berada di lereng bahu sungai. Seingat Devin, sungai ini sudah lama kering karena hulunya sudah dibuntu. Orang yang berhasil ditangkapnya, hanya mengerang kesakitan dalam pelukannya saat mereka akhirnya terbanting dan sama-sama terkapar di dasar sungai yang dipenuhi daun kering.