~
Laki-laki bersurai hitam itu dengan sekuat tenaga mengejar mobil yang menculik Mamanya. Kakinya lemas, namun dia tidak menyerah begitu saja. Suaranya sampai habis meneriakkan Sang Mama.
"MAMA!"
"WOI ANJIR BERHENTI!"
Bahu Raffa naik turun karena napas yang terengah-engah. Sudah tak kuat lagi, dia tersungkur ke aspal sampai kedua lututnya lecet. Lagi-lagi dia gagal menyelamatkan Tata.
"Uhukk uhukk!"
"Ma!"
Dia meninju aspal dengan tangannya. Rambutnya ia acak-acak, frustrasi dengan keadaan. Raffa benci menjadi lemah.
"Mama!"
Mata cowok itu terbuka lebar. Sedetik kemudian, dia menyadari kalau itu semua hanya mimpi. Tetapi, entah kenapa rasanya seperti nyata. Rasa lelah itu masih terasa.
Selama lima menit mengumpulkan kesadaran, Raffa beringsut duduk. Diliriknya jam dinding yang kini menunjukkan pukul setengah lima pagi.
Ini bahkan masih terlalu gelap untuk per
~~Di antara mereka semua, siapa pacar lu?~Bakso yang baru saja akan dia masukkan ke mulut mendadak kembali ke dalam mangkuk. Cewek itu menatap malas ke layar ponselnya.Pesan dari orang itu lagi.Tanpa pikir panjang, Nara memblokir akun kosongan itu. Kemudian mematikan ponsel, lalu lanjut memakan bakso kuah. Hidup udah ribet, jadi bawa santai saja.Erika tengah kepedasan makan seblak. "Mantep banget njir. Hidup seblak!" Keringatnya mengucur dari pelipis dan wajah."Welcome asam lambung. Hehe.""Yeee, Naraaa tega lu.""Bebiiiii. I'm coming."Nara menahan tawa saat Geovan datang dengan penampilan yang acak-acakan, rambut tak beraturan, baju tidak dimasukkan, tangan dipenuhi coretan pulpen. Anak itu tidak ada rapi-rapinya. Memang sudah klop dengan Erika yang selalu setia merapikannya, seperti sekarang. Lihatlah kedua orang itu, seakan sudah suami istri.
Raffa sedang di kamar, duduk di meja belajar tepatnya depan layar laptop yang menyala. Ia dalam proses belajar adobe illusiator. Tangannya memegang ponsel, memvideo call, mendengarkan ocehan Thalia tentang hari-hari yang cewek itu lewati. Sesekali Raffa tertawa mendengar cerita lucu itu."Btw, yang. Aku dapet tawaran main sinetron dan pasangannya David, lawan main aku yang di iklan sebelumnya. Menurut kamu gimana? Setuju kan?"Agak ragu, Raffa diam sebentar. Thalia terdengar sangat senang dengan tawaran itu. Mana mungkin Raffa tega melarangnya. Perihal David, dia agak takut mereka berdua terlalu dekat."Gimana, yang?"Kemudian, Raffa mengangguk yakin. Membuat Thalia kegirangan sampai mencium layar ponsel.Raffa terkekeh. "Semangat kerjanya yang.""Iya sayang. Kamu itu pacar terbaik.""Aku mandi dulu ya yang, udah jam tiga sore nih." Sambung Thalia.Setelah itu, sambungan ditutup. Raffa mele
Penasaran dengan apa yang dibicarakan orang-orang tentang dirinya, Nara mempercepat langkah menuju mading sekolah.Matanya membola begitu mendapati papan mading yang luas itu dipenuhi foto dirinya. Mulai dari foto-foto dia dan Papanya yang mengangkut buah-buahan pakai mobil, lalu Nara yang pergi sekolah naik angkot, bahkan foto rumah depannya pun ada.Hal yang mengejutkan lainnya adalah, di bagian paling atas tertera tulisan "NARA AMANDA ADALAH PENYEBAB KERIBUTAN DAN PERTANDINGAN ILEGAL DI ANTARA SMA BAKTI DAN SMA HARAPAN"Nara mundur selangkah. Dia sungguh tidak tahu apapun tentang pertandingan basket itu. Kapan keributan terjadi? Ia benaran tidak tahu menahu soal itu.Di bagian paling bawah terpampang nyata foto-foto bukti kericuhan yang terjadi. Beberapa anak basket yang bertanding wajahnya pada luka-luka. Ternyata mereka kalah lagi dalam pertandingan ulang kemarin.
"Nara, makannya pelan-pelan, Nak. Nanti tersedak," ucap Kiki-Mama Nara saat melihat anaknya memakan nasi goreng buatannya dengan terburu-buru. Tak memedulikan ucapan Mamanya, Nara tetap melahap dengan sigap. Entah apa yang dikejarnya, padahal jam masih menunjukkan pukul 7 pagi dan Nara juga tidak piket kelas hari ini. Iko datang sembari membawa tas ranselnya. Dia adalah kakak Rana. Baru saja menjadi mahasiswa. Dia pergi sepagi ini hanya untuk menjemput temannya dan pergi bersama ke kampus. Mengurusi hal-hal yang belum beres. "Dek, lo potong rambut sependek ini?" Tanya Iko terkejut saat melihat penampilan baru adiknya. Tangannya menyentuh rambut pendek Rana yang sudah mirip seperti laki-laki. Rana menyingkirkan tangan Iko. Dia cemberut. "Emang napa sih? Kan ga salah." Balasnya jutek. "Ya ampun. Lo kan cewek, Ran. Jangan sependek inilah. Gak
Rana pulang dengan mengendarai motor maticnya. Dia tidak pulang Bersama Radit karena cowok itu ada jadwal latihan futsal Bersama teman-temannya. Biasanya mereka berdua berjalan beriringan dengan motor masing-masing menuju rumah. Dan Radit juga satu komplek dengannya, makanya mereka sering jumpa. Radit sering main ke rumah Rana, begitu pun sebaliknya.Sampai setengah perjalanan, motor Rana mogok karena habis bensin.“Sial banget gue kayanya. Haduh.” Rana turun dari motornya.“Pom bensin masih jauh lagi. Mau gak mau gue dorong dah nih kambing.”Rana memakai jaket hitam serta masker. Dia juga menutup kepalanya. Setidaknya dengan itu tidak begitu memalukan jika dilihat orang-orang.Sekitar satu meter berjalan, akhirnya Rana berhenti di pinggir jalan di mana penjual bensin eceran. “Bang, bensin.”“Iya, neng.” Abang-a
Hari sudah gelap. Rana dan Radit akhirnya sampai di depan rumah Rana. Sebelum memasukkan motor ke garasi, Rana berhenti sebentar."Masuk terus, gue juga buru-buru mau mandi, nih," perintah Radit."Ya udah gue masuk dulu ya. Nanti malem gue telepon lo. Bye." Rana membuka pagar dan memasukkan motor ke garasi. Lalu kembali menutup pagar, Radit sudah pergi. Rana menghela napas. Dia akan ceritakan semuanya pada Radit nanti.Rana membuka sepatu, kemudian masuk ke dalam rumah. "Assalamu'alaikum. Rana pulang..."Papa, Mama, dan Iko sedang duduk bersantai di ruang keluarga. Papanya membaca koran sambil minum teh, Mamanya menonton sinetron, dan Iko sedang bermain games di ponsel. Mereka semua menoleh ketika Rana bersuara."Rana, baru pulang jam segini?" Wijayanto-papa Rana bertanya. Tidak ada kemarahan dalam nada suaranya, karena istrinya pun sudah memberi tahu sebelumnya
Radit dan Rana akhirnya hampir menyelesaikan tiga puluh putaran. Namun, disaat akan mencapai angka tersebut, tiba-tiba tubuh Rana terjatuh dengan sendirinya."RANA!" Radit panik. Dengan cepat dia menggendong Rana, membawanya ke UKS. "Ran, lo kenapa?"Mata Rana sedikit terbuka. Cewek itu setengah sadar. Membuka mulut saja rasanya susah.Langkah Radit sampai di UKS. Tanpa butuh waktu lama lagi, dia segera memanggil penjaga UKS. "Kak, kasih dia obat sekarang!"Rana berbaring di brankar yang ditutupi tirai hijau.Kak Mia-Penjaga Uks langsung memeriksa keadaan Rana. Sementara itu, Radit duduk di kursi dekat brankar Rana. Menyingkirkan rambut-rambut yang menghalangi dahi Rana dengan khawatir. Bagaimana tidak, wajah Rana sangat pucat saat ini."Dia drop banget. Kalian habis olahraga, ya?""Iya. Olahraganya dapet hukuman k
"Pulang, yuk dit." Rana berlari kecil menghampiri Radit yang sedang tertidur dalam posisi duduk. Dia tertawa melihat wajah Radit. Menggoyang-goyangkan bahunya agar cowok bertopi itu segera bangun.Perlahan Radit membuka mata. Keningnya mengkerut menatap Rana yang sedang membereskan barang-barangnya. "Udah selesai? Kok udah pada pulang?"Rana melambaikan tangan pada orang yang berpamitan dengannya, kemudian menoleh ke Radit. "Udah jam lima. Ayo pulang!" Dia menarik pergelangan tangan Radit, memaksa cowok itu untuk segera berdiri.Radit menguap, merenggangkan tubuhnya yang pegal-pegal karena ketiduran di bangku. "Pegel cuy badan gue. Aduh." Lalu Radit berjalan duluan ke parkiran sekolah, meninggalkan Rana yang memasang muka sebal."Tungguin gue oy!""Besok latihan lagi?" tanya Radit ketika mereka sedang mengendarai motor."Iya." Ra
Sunyi.Satu kata yang menggambarkan kehidupan Falisha sejak kepergian separuh jiwanya beberapa bulan lalu.Hanya suara televisi yang memenuhi apartemen itu. Satu-satunya manusia yang ada di sana tengah duduk melamun di sofa kesayangannya.Falisha membenci tempat ini. Tempat penuh kenangan bersama mantan suaminya, Devano. Tempat di mana mereka berdua menghabiskan waktu selama satu tahun.Andai saja saat itu Falisha dapat menahan kata-katanya agar tak menyakiti siapapun. Pasti Devano masih di sini, bersamanya. Lagi dan lagi Falisha menyesali itu.Ketika itu dia terlampau marah dan dipenuhi rasa cemburu berlebihan. Falisha telah menuduh Devano bermain di belakangnya. Sampai saat kata-kata itu terucap, Devano terdiam dan langsung meninggalkannya sendirian.“Itu bukan selingkuhan aku, Fal. Itu rekan kerjaku!”“Jangan bohong. Kamu gak tahu diri banget ya udah banyak aku bantu segala macem masih beraninya selingkuh!”
Matahari siang itu terasa begitu terik. Jalan raya padat kendaraan menghasilkan polusi yang memusingkan para pengendara. Suara klakson motor dan mobil saling bersahutan memekakkan telinga. Seorang gadis berambut sebahu duduk di bangku sendirian, menonton orang-orang berlalu lalang di depan toko baju tempat dia bekerja. Di saat pekerja lain berkumpul-kumpul makan siang, gadis bernama Fayola Adikari itu memilih mengasingkan diri. Mereka tidak mau berteman dengan Fayola. Alasan terjahat yang pernah Fay dengar adalah karena penampilannya yang tidak rapi dan aneh. Kulit sawo matang, freckles di bagian wajah, rambut pendek yang kusut, dan tubuh kurus tinggi. Mereka bilang Fay tidak pandai merawat diri dengan baik. Ya, memang benar adanya. Fay tak mem
Nara mematung mendengar penjelasan panjang dari Geo. Cewek itu membelakanginya sejak tadi."Kak Nara, maaf. Maafin gue sama Erika, ya." Ujar Geo menyesal, dia menundukkan kepala.Keduanya sedang berbincang di halaman depan rumah Erika. Sore ini Nara memutuskan menjenguk Erika dan ya, dia melihat sendiri bagaimana keadaan sahabatnya itu. Bahkan ketika ia mengetahui yang sebenarnya, Nara belum mau berbicara dengan Erika maupun Geovan.Hembusan angin sore membuat daun dari pohon mangga berjatuhan ke atas rumput. Rambut pendek Nara menari-nari bersama udara. Kelopak matanya dipenuhi air yang sekali kedip saja bisa tumpah membasahi pipi.Hatinya terlalu nyeri untuk mengatakan sepatah kata. Nara terisak sampai menutup mulutnya sendiri, takut tangisnya terlalu keras.Dia hanya tidak menyangka ini akan terjadi. Sahabatnya. Masa depan Erika sudah hancur. Kena
Hari ini adalah pembagian rapor anak SMA Nusantara. Sabtu pagi ini sekolah dipenuhi para orangtua siswa yang akan bertemu dengan wali kelas anaknya. Nara mengajak Firdaus untuk mengambilkan rapornya. Kebetulan hari ini Papanya itu sedang libur kerja. Nara tidak mau Mamanya yang datang karena itu akan berbahaya, beliau pasti akan menceramahi Nara jika nilai rapotnya di semester ini sangat jelek. Berbeda dengan Papanya yang santai saja."Sabar ya, Pa. Nama Nara sebentar lagi dipanggil, kok." Bisik Nara pelan. Ia menepuk paha Firdaus.Saat ini ayah dan anak itu tengah duduk di bangku kelas Nara, menunggu giliran dipanggil oleh wali kelas.Mama Erika baru saja selesai mengobrol dengan wali kelas, entah kenapa dia tampak terburu-buru ingin pulang ke rumah. Nara mengerutkan kening keheranan, Bu Lia sama sekali tidak menyapa dirinya dan juga Papanya. Padahal, selama ini mereka kenal dekat. Dan juga Erika, cewe
Sorak sorai penonton bergema di lapangan basket pagi itu. Pertandingan berlangsung seru. Kemeriahan Hari Kamis ini semakin menggebu kala tim Raffa berhasil mencetak poin kemenangan.Semua supporter berdiri sambil berteriak dan memukul balon tepuk. Nara bertepuk tangan, sesekali ia menutup gendang telinganya yang berdengung akibat suara teriakan itu.Ada yang aneh pada Raffa hari ini. Nara menyadari itu. Caranya bermain tak gesit seperti biasanya sampai-sampai teman satu timnya berkali-kali menegur Raffa. Mereka kehilangan poin karena Raffa."Oi, Nara!"Erika dan Geovan kembali dari kantin. Mereka memberi Nara satu minuman kaleng. Nara pun langsung meneguknya."Tim Raffa mah gak usah diraguin lagi. Tapi kayaknya tim adek kelas pada gak mau kalah ya." Komentar Geo.Semuanya kembali duduk ketika tim basket istirahat sejenak. Para pelatih menghampiri anak asuhnya, memberi arahan."Kalian liat Kevi
"Kok pada diem?" Tanya Raffa sambil mengunyah gado-gado santai.Dua orang lainnya sibuk dengan pikiran masing-masing. Nara yang menetralkan detak jantungnya dan Kevin yang menahan kekesalannya. Pemuda itu membuang muka."Minggu depan classmeet, kan? Kalian udah persiapkan apa aja?" Nara berusaha mencairkan suasana."Gue sama tim udah sepakat. Untuk pertandingan kali ini kami gak peduli mau menang atau kalah. Yang terpenting nikmati jalannya permainan. Karena ini pertandingan terakhir kami sebelum lulus." Jelas Raffa."Lo gimana, Vin?"Nara menatap Kevin yang sedari tadi mengalihkan pandangannya. Ia melihat tangan Kevin yang mengepal kuat. Sebenarnya ada apa? Nara sama sekali tak mengerti."Gue udah keluar dari tim futsal."Raffa dan Nara serentak menatap si pembicara."Kenapa?""Males aja. Mau fokus ujian.""Keren." Nara mengacungkan dua jempol untuk Kevin.&nbs
Memasuki minggu remidial adalah suatu hal yang paling membosankan dalam hidup Nara. Ini baru hari Senin, tapi rasa bosannya serasa menggerogoti jiwa.Suatu keberuntungan untuk Nara ketika melihat pengumuman di mading. Di semua mata pelajaran Nara tidak ada yang remidial. Erika pun sama. Mungkin karena mereka berdua belajar bersama mempersiapkan ujian.Berbeda dengan keduanya, Geovan justru banyak mendapatkan remidi. Mulai hari ini cowok tengil itu disibukkan dengan belajar untuk mengulang ujian. Nilainya benar-benar buruk. Erika lelah mengomeli pacarnya itu.Sementara itu, Nara dengar Raffa dan teman-temannya harus mengikuti remidi juga di beberapa mata pelajaran. Ya, Raffa bilang, sih, sudah biasa karena di antara mereka tidak ada yang begitu pintar.Entah sudah berapa kali Nara menghela napas lelah. Tumpukan buku tebal yang dia bawa sangatlah berat. Tadi, ketika melewati rua
Kevin mempercepat langkahnya menuju ruang ujian. Keringat mengucur di pelipisnya karena berlari sangat jauh, dari gerbang sampai ke lantai dua. Hari ini dia terlambat sepuluh menit. Ujian sudah dimulai.Tok! Tok! Tok!"Permisi, Bu. Mohon maaf saya terlambat." Ucapnya di depan pintu kelas. Seluruh pasang mata menatap ke arah Kevin.Pengawas ujian hari pertama ini adalah wali kelas mereka sendiri. Jadi sangatlah mudah mendapatkan maaf. Kevin menghela napas lega saat diperbolehkan duduk di kursi yang sudah dipisah-pisah, diberi jarak. Masing-masing dari mereka duduk dengan adik kelas.Entah kebetulan atau tidak, Kevin kedapatan duduk di sebelah Nara. Di barisan paling belakang. Seiring mendekat ke kursi, bisa Kevin lihat Nara sedang memberinya senyuman. Ia pun membalas senyum itu."Jangan ada yang mencontek, ya. Kerjakan yang jujur."
Bersama teman-temannya, Nara semakin hari mulai berangsur membaik. Orang-orang yang kemarin mencibir dan menatapnya aneh satu persatu meminta maaf. Nara kembali menjadi pribadi yang ceria. Bersama Erika tentunya.Hubungannya dengan Raffa, Dendi, Rizki, dan Bintang juga baik-baik saja. Pertemanan mereka semakin erat. Sayangnya perasaan Nara pada Raffa belum juga pudar, malah semakin luas. Nara ingin mengutuk dirinya sendiri karena itu.Namun, ada yang berbeda dari pemuda itu. Akhir-akhir ini, lebih tepatnya dua minggu belakangan ini Raffa tampak murung. Nara menduga ada hubungannya dengan Thalia. Cewek mirip selebgram itu sudah tidak pernah terlihat lagi di sekolah. Ia seakan menghilang, pindah sekolah mungkin.Seperti sekarang, di saat yang Dendi, Rizki, Bintang, Geo, dan Erika asyik menikmati waktu sore di rooftop rumah Raffa, si tuan rumah malah menyendiri di sudut- tempat melihat senja di ujung.