/Yang, hari ini aku mau ke dufan bareng temen-temen. Kamu mau ikut?/
/kan aku syuting, yang :( Jadi gak bisa./
Raffa menghela napas sejenak. Sudah dua hari kekasihnya itu syuting dan tidak datang ke sekolah. Chat pun dibalas seadanya saja.
/ya udah kalau gitu/
/iya/
/Jangan sampai sakit/
Pesan terakhir itu hanya dibaca saja. Thalia tidak lagi online. Ya sudahlah, biarkan saja Thalia syuting. Tak apa, yang terpenting bagi Raffa, cewek itu harus menjaga kesehatan.
"Si Geovan mau ikut, gan."
Rizki menghampiri Bintang, Raffa, dan Dendi di kantin belakang. Dia duduk di sebelah Raffa yang tengah memandangi layar ponsel.
"Geovan siapa?" Bintang yang sedang makan gorengan bertanya.
"Pacar Erika katanya."
"Adek kelas?"
"Iya."
Bintang terkekeh. "Aseekk. Keren Erika dapet adek kelas."
"Pacar kan gak mandang umur bro." Rizki menimpali.
"Lo mau nyari yang muda juga, Ki?" Tanya Raffa.
"Tante-tante gak sih." Bahkan Dendi yang sedang main games pun ikut menyahut.
"Sialan. Ya gak tante-tante jugalah."
#
Nara sudah izin pada Mama dan Papanya, maka dari itu sekarang dia bisa duduk di antara dua orang absurd di sebelah kanan dan kirinya. Mereka semua menaiki mobil Raffa untuk menuju ke Dufan.
"Bintang, geser dong. Gue kejepit. Rizki juga kejepit. Sanaan dikit, kan masih luas." Keluh Nara sembari menyenggol Bintang dengan sikunya.
"Iya iya ini udah digeser, Na. Nih gue mepet, nyender." Bintang bergeser ke tepi, memberikan ruang antara dia dan Nara.
Akhirnya, Nara pun bergeser. Begitu pula Rizki.
Raffa yang menyetir, di sebelahnya ada Dendi. Sementara di tempat duduk paling belakang, Erika dan Geovan berduaan saja.
"Yang paling belakang jangan macem-macem ye, ingat ada kami di sini." Raffa yang fokus menyetir pun sempat berucap.
"Iye iye. Lebay amat. Gue sama Erika tau tempat kaleee." Geovan nyolot, tak terima.
"Tau ih mana mungkin kita macem-macem." Tambah Erika.
Bintang dan Rizki tertawa.
"Dendi, lo kok diem aja sih. Ngomonglah. Gue jarang denger suara lo."
Perkataan Nara membuat Dendi menoleh ke belakang. "Ngomong." Setelah itu, dia kembali bermain games.
Nara memasang ekspresi julid, dan yang lain menertawainya.
"Udah ya, Nara. Dia emang gitu orangnya. Gak usah disuruh, nanti juga ngomong sendiri kalo dia pengen." Rizki memperingatkan.
Geovan memperhatikan itu semua. Ia baru tahu, ternyata Nara dan Erika sudah seakrab itu dengan keempat cowok ini.
"Ge, nanti kita foto ya. Aku mau masukin ke i*******m."
Mata berbinar Erika membuat Geo seakan terhipnotis, lantas cowok itu pun mengangguk. Sejujurnya Geo bukan orang yang aktif di sosial media. Bahkan dia tidak mau ada wajahnya terpampang di akun pribadinya.
"Iya, sayang."
"Ciyeeeeeeeeee."
"Cie ciee ciee."
Semua yang ada di sana menggoda sepasang kekasih itu. Erika sampai menutup wajah karena malu. Nara tertawa sembari bertepuk tangan.
"Cie cie achikiwirr." Bintang bergerak seperti sedang menari jaipong. "Iya, zeyeng." Nadanya berbicara terdengar sangat meledek.
Erika memajukan tubuhnya sedikit ke depan, lalu mencubit punggung Bintang sekuatnya.
"Aduh aduh, sakit Er. Gilaak kalo aja ada lomba cubit nasional, lo bakal juara kayaknya." Ujar Bintang, punggungnya dia elus-elus.
"Nara jago tinju, Erika jago nyubit. Udah klop kalian sahabat sejati." Rizki bersuara disambut sorakan dari para manusia di sana.
"Oh yaiya dong. Jelas."
"Hahaha tentu saja teman."
Omong-omong, mereka semua sudah berganti pakaian biasa. Ya, pulang sekolah tadi mereka langsung mengganti. Tidak mungkin kan ke Dufan pakai seragam sekolah?
Setelah menempuh beberapa menit perjalanan, rombongan itu sampai di Dufan. Dendi mengusulkan agar naik histeria terlebih dahulu sebelum mencoba wahana lainnya. Awalnya, Bintang dan Geo menolak mentah-mentah. Namun, mereka semua gak menyerah, ditariknya kedua cowok penakut itu, memaksa harus mau ikut naik.
Jadilah muka Bintang sangat kusut sekarang. Posisinya sekarang, Nara, Raffa, Bintang, Dendi dan di sisi lain ada Rizki, Erika, dan Geovan.
Nara menggoyang-goyangkan kakinya, tidak sabar ingin memulai. "Ayo, Mas. Mulai buruan."
"Hei, manusia gue belum ngumpulin keberanian. Gue butuh waktu untuk mencerna apa yang terjadi pada gue saat ini-"
Tangan Dendi menutup mulut Bintang yang mengoceh tak jelas.
Dengan cepat Bintang menyingkirkannya. "Cuihh, asin bego!"
"Asin apaan. Emangnya gue garam apa?"
"Den, ngaku lo abis pegang ketek, kan? Terus lo abis garuk pantat!"
Tidak terima, Dendi meninju Bintang habis-habisan. Raffa dan Nara menertawai itu.
Di sisi lain, Geovan dan Erika berpegangan tangan erat. Sepasang kekasih itu tampak sama-sama ketakutan, Geo bahkan sampai memejamkan matanya. Dan jangan lupakan ada nyamuk di antara mereka, yaitu Rizki. Cowok berjaket denim itu memasang tampang melas.
"Kenapa coba gue harus duduk di sini." Gumam Rizki pelan.
Pengaman dipasangkan. Lalu, wahana itu segera naik ke atas, lantas turun. Naik lagi dengan cepat, turun lagi. Membuat orang-orang yang duduk di sana jejeritan, berteriak, bahkan ada yang menangis.
"MAAAKKKK! SEPATUKU JATOH, MAKKK!"
"ALLAHUAKBAR! AMPUNI DOSAKU YA ALLAH!"
"Ya Allah!"
Itu suara Bintang, teriakan lelaki ja kalau kata orang-orang. Sepatu sebelah kanannya terhempas ke bawah.
Berbeda dengan Bintang yang histeris ketakutan, Nara, Raffa dan Dendi malah tertawa ngakak menyaksikan reaksi Bintang.
Nara menoleh ke Raffa yang ada di sebelahnya, anehnya cowok bertopi hitam itu kalem sekali, tidak memasang ekspresi takut. Hanya saja bibir Raffa mengundang tawa dari Nara. Raffa memanyunkan bibirnya sedari tadi.
"Hahahaha. Komuk lo, Raff. Ngapain sih."
Raffa ikut terbahak. "Mending gua. Liat Bintang noh."
Sementara itu, Geovan dan Erika berteriak sangat nyaring sudah seperti adu high note saja. Rizki ketakutan, ia meringis karena tidak membawa pasangan. Andai saja bawa, pasti gak akan sengenes ini.
Rizki terbahak sekaligus geli melihat Geovan mengeluarkan air liur sewaktu berteriak. "AHAHA! Ge, muncrat, sat."
Akhirnya, wahana itu berhenti. Nara semangat sekali membuka pengaman. Puas menertawai masing-masing reaksi teman-temannya. Bintang berjalan sempoyongan mencari sepatu, Erika menenangkan Geo yang sudah teler ngences, juga Rizki yang memegang perutnya mual.
Hanya Nara, Raffa, dan Dendi yang biasa saja.
"Ayo, naik Halilintar!" Seru Nara semangat, bahkan gadis itu melompat-lompat kegirangan.
"Bener juga, ayo naik lagi!" Tambah Raffa.
"Ntar dulu woi, Geo masih ngumpulin nyawa." Erika berkata sambil memijat kepala Geovan.
Rizki menepuk kepalanya sendiri. "Tau nih. Sabar, dong."
"Hueeekk!"
Bintang muntah di dalam tong sampah terdekat. Mereka yang menyaksikan itu tertawa ngakak. Nara segera menghampiri Bintang, lalu memberikan tissue serta air mineral yang diambil dari tas ranselnya. Untung saja, Nara bawa perlengkapan.
"Ini nih, minum tolak angin juga."
Selesai meneguk air putih, Bintang meminum satu sachet tolak angin yang disodorkan Nara. Terakhir, dia minum air putih lagi.
Raffa menghampiri Nara dan Bintang.
"Lu bawa itu semua?"
"Iya. Kenapa?"
"Asli, kami gak kepikiran buat bawa itu. Untung ada lo."
Nara berdecak. "Gue sama Erika bawa perlengkapan. Jadi orang tuh harus siap siaga, Raffa."
Benar, sebelum pergi tadi pasukan rempong, maksudnya Nara dan Erika sempat membeli tolak angin, tissue, dan air mineral. Mereka tahu, cowok-cowok mana mungkin mau repot.
"Bagi airnya, Er." Dendi meminta botol minuman yang barusan diminum Geo.
"Gue juga mao." Tangan Bintang merebutnya.
Telunjuk Dendi menyentil telinga Bintang.
Setelah semuanya normal kembali, mereka akan naik bianglala saja. Sesuai permintaan Bintang dan Geovan. Kedua cowok itu tidak mau pusing lagi. Isi perut serasa diacak-acak, kata Bintang.
Tujuh orang itu menaiki bianglala. Nara duduk di samping kanan Rizki, dan samping kiri Dendi. Lalu, di tempat sebelah ada Geovan, Erika, Raffa, dan Bintang. Nara sempat mencuri pandang ke arah Raffa yang sedang bercanda dengan Geovan.
"Udah kali ngelirik-liriknya."
Bisikan Rizki membuat Nara tersentak, cepat-cepat Nara membuang pandangan. "Apaan sih. Cuma liat dikit doang." Kata gadis itu seraya menyampirkan rambut pendeknya ke belakang.
Kekehan kecil berasal dari Dendi. Cowok itu menutup mulutnya dengan tangan.
"Kenapa Dendi? Ada yang lucu?" Ketus Nara.
"Ntar Raffa tau loh." Celoteh Dendi.
"Ih, nyebelin banget ya kalian!"
Nara meninju Dendi dan Rizki secara bergantian. "Kalian pasti sering ngegosipin gue kan." Ucapnya dengan sombong. Ia sampai mengibaskan rambut dengan sengaja.
Rizki mengangkat satu kaki. "Adeh adeh pede juga lo, Na."
"Siapa sih yang awalnya nyebarin gosip kalo gue suka Raffa? Padahal gue gak bilang siapa-siapa selain Erika."
Berpura-pura sedih, Nara menundukkan pandangan, menatap kuku-kukunya yang baru dia potong.
"Ah elah, semua orang juga bisa perhatiin kali, Na." Jawab Rizki.
"Terlalu ketara. Tapi gak papa, Na. Raffa gak akan nyadar, kok. Santai aja."
Ucapan kedua cowok itu membuat Nara termenung lama. Jadi selama ini orang-orang mengerti bahwa sikap atau gerak geriknya pada Raffa menunjukkan ketertarikan?
Melihat Nara berpikir, Rizki menepuk bahu Nara dua kali. "Dah gak usah dipikirin. Ntu anak gak bakalan peka sama cewek yang suka dia kecuali Thalia."
"Jelaslah. Kan bucin." Nara berkata diiringi tawa.
Lelah bermain histeria, bianglala, para layang, dan ontang anting, ketujuh remaja itu mencoba kereta misteri dan istana boneka. Di kereta misteri, Nara sangat senang kedapatan duduk di belakang Raffa. Erika ketakutan dan memeluk Geovan. Bintang juga jejeritan sambil memeluk Rizki.
Selanjutnya, mereka memasuki istana boneka. Nara yang paling semangat, ia sungguh menyukai boneka. Matanya berbinar melihat sekeliling.
Selesai itu, tujuan berikutnya adalah makan. Menaiki wahana-wahana itu menghabiskan banyak tenaga. Tadinya mereka mau merasakan arung jeram, namun sayang sekali semuanya kompak tidak membawa baju ganti.
Kini, Nara tengah menyantap bakso kuah beningnya. Erika sedari tadi menempel dengan Geovan. Untungnya, Nara tidak merasa kesepian karena ada Bintang, Dendi, dan Raffa.
"Padahal gue pengen banget main arung jeram." Gerutu Nara. Wajahnya menekuk.
Raffa yang melihat itu jadi kasihan. Ia perhatikan sejak awal memang Nara yang paling semangat. Cewek itu pasti sedikit kecewa. "Yuk, naik aja. Gak apa basah toh sekalian pulang."
Mata Nara melotot mendengar ide gila itu. "Maksudnya? Gak gak usah. Basah mobil lo. Jangan ngadi-ngadi. Terus nanti anak-anak juga masuk angin."
Bintang tersedak kuah mie ayam, Dendi segera memberinya minum. "Masuk angin sesekali gak masalah kali, Na. Kan ada tolak angin."
Raffa mengabaikan perkataan Nara. Dia mengajak semuanya naik arung jeram. Yang lain setuju, hanya Nara yang berpikir lama.
"Ayolah, Ra."
Suara Raffa terdengar sopan sekali, akhirnya Nara menyetujui. Sesudah makan, mereka segera naik arung jeram sebelum hari gelap. Saat akan menuju tempat duduknya, kepala Nara dan Raffa tidak sengaja terbentur. Nara meringis karena itu. Reflek, tangan Raffa mengelus kepala Nara.
"Eh, sorry sorry."
Salah tingkah, Nara buru-buru duduk di tempatnya, di sebelah Bintang.
"Cie." Bisik Bintang tepat di dekat telinga Nara. Tangan Nara terangkat menabok cowok itu.
"Pegangan mulu, mau nyebrang lo?"
Perkataan Rizki mengundang tawa orang yang ada di sana. Erika dan Geo yang berpegangan tangan pun segera melepaskan. Erika malu dilihat banyak orang, mana suara Rizki besar pula.
Nara tertawa riang kala arung jeram itu berjalan terombang-ambing. Bintang berteriak kesenangan. Raffa tetap stay cool dengan gayanya menahan wajah dari terpaan air.
Raffa, Nara, Bintang, Rizki, Erika, Dendi, dan Geovan pulang dengan kondisi pakaian basah. Sebenarnya Raffa tidak mempermasalahkan mobilnya yang basah, yang penting kebersamaan mereka. Kapan lagi coba bisa main seperti ini lagi?
Jam sudah menunjukkan pukul enam sore. Raffa mengantar penumpangnya satu persatu ke rumah masing-masing. Tepat sekali, hari ini Raffa menjadi supir dadakan. Sekarang tinggal Nara yang tersisa, cewek itu duduk di belakang sendirian. Sejak tadi tidak ada yang membuka suara. Raffa melirik Nara melalui kaca. Ia lihat Nara tengah menahan kantuk.
"Ra, udah sampe."
Nara tersentak kaget. Sadar sudah sampai di depan rumah, dia memegang ransel. "Eh udah ya? Gue pamit ya, Raffa. Makasih tumpangan dan traktirannya."
Kemudian, cewek itu turun dan langsung masuk ke rumah. Menyisakan Raffa yang tengah tertawa.
#
Rutinitas Nara kalau malam adalah belajar. Tetapi, kali ini cewek penggemar buah-buahan itu sekarang tengah merekam video untuk lomba menyanyi. Dengan bermodalkan instrumen dari youtube, Nara bernyanyi. Ia memilih lagu Heather dari Conan Gray.
"I wish i was heather"
Selesai.
Jantung Nara berdebar. Takut-takut tampil di depan kamera. Tingkat kepercayaan diri Nara memang sungguh rendah. Mau tidak mau, Nara harus siap video ini ditonton banyak orang, terutama juri.
"Hmm gak buruk. Lumayanlah."
Syukurlah, hanya cukup dua kali rekaman Nara bisa menghasilkan video dan nada yang pas. Cewek berpiyama hitam itu segera mengedit videonya di laptop. Rencananya besok akan dia upload langsung.
Mood Nara sedang bagus. Acara jalan-jalan tadi bersama teman-teman membuat Nara senang. Sudah lama sekali sejak terakhir dia sebahagia itu. Terlebih lagi ada Raffa. Pujaan hati Nara.
Tak butuh waktu lama, Nara selesai juga mengedit video. Sebenarnya sangat mudah, sih. Tinggal potong bagian tidak penting, dan memberi sedikit filter agar tak terlalu suram. Selebihnya, keseluruhan video itu sudah pas. Tidak sia-sia usaha Nara latihan selama ini, dia lancar bernyanyi di depan kamera. Meski, masih sedikit berdebar sih.
Nara merenggangkan tubuhnya, bersiap akan tidur. Namun, fokusnya teralihkan ke notes kecil di atas meja. Cewek itu kembali duduk, tangannya meraih pulpen.
"List hal-hal yang pengen aku lakuin bareng Raffa."
Napasnya menghela. "Itupun kalau kesampaian." Lanjutnya bergumam.
1. Tidur di aspal sambil hujan-hujanan.
2. Memasak.
3. Duet nyanyi.
4. Temenin Raffa ngelakuin hal yang dia sukai.
5. Liat sunset.
Lengkungan senyum itu tidak lepas dari wajahnya. Tak pernah sekalipun ia sangka, Raffa bisa membuat dia bahagia. Padahal baru wacana, tetapi Nara sudah sesenang ini.
Nara menaruh sticky notes itu ke dinding meja belajar, menempelnya di samping mimpi-mimpi lain yang gadis itu tulis.
#
"Nanti kamu nyamperin dia terus ngasih es krim. Nah, Thalia kamu harus pasang wajah bete. Pas David dateng, kamu kayak terpana gitu. Gimana? Bisa gak?"
David dan Thalia mengangguk paham mendengar penjelasan pak sutradara. Ini sudah rekaman terakhir, setelah ini selesai projek iklan mereka usai.
Akhirnya, semua berjalan sesuai rencana dan keinginan pak sutradara dan produser. Thalia high five dengan David. Kedua remaja itu terlihat bahagia bisa menyelesaikan pekerjaannya.
"Akting kamu keren. Kalau menurutku cocok kalau kamu main sinetron atau film."
Ucapan David membuat Thalia tersanjung. "Beneran? Aku pengennya gitu, sih. Main film. Cuma belum ikut casting. Nanti abis ini aku akan ambil itu."
David mengacungkan kedua jempolnya. "Bagus sekali. Kamu sangat giat meraih mimpi."
Thalia tertawa mendengar penuturan pria blasteran Indonesia-Amerika itu. Maklum, David baru belajar bahasa Indonesia. Makanya terdengar sedikit kaku. Tetapi, pelafalannya tepat.
Selama beberapa hari berkenalan, Thalia dan David sudah sangat akrab. Mereka berbicara banyak hal dari A sampai Z. Banyak yang belum David ketahui tentang Indonesia, dan Thalia dengan senang hati menjelaskan.
Mereka berdua berteman baik. Bahkan Ibunya David sangat menyukai Thalia. Omong-omong David itu keturunan bule dari papanya. Meski begitu, mamanya juga gak kalah cantik.
"Kerja bagus kalian!"
"Akting pertama kali tapi udah sebagus ini. Keren!"
"Thalia kamu natural banget aktingnya."
"Kamu juga David, pinter mainin ekspresi."
Banyak pujian bersahut-sahutan membuat David dan Thalia tersipu malu mendengarnya.
"Terima kasih kak, mbak, bu."
"Terima kasih ya semua. Kalian juga hebat."
Thalia mengajak David duduk di kursi panjang. "Eh, nanti masih ada sesi foto bareng kan? Yang kita megang es krimnya." Cewek itu baru ingat kalau ini belum berakhir.
David tertawa kecil, kemudian mengangguk. "Iya benar. Setelah itu baru selesai."
~Esoknya, Bintang tidak masuk sekolah. Katanya masih pusing dan badan sakit semua. Nara, Raffa, Erika, dan Rizki tertawa mengetahui itu. Biasalah, anak seperti Bintang sok berani, padahal penakut.Sekarang Raffa, Rizki, dan Dendi ada di kantin belakang sedang mengisi perut yang kosong."Minta sambel ya, Raf." Aziz tiba-tiba ikut bergabung di meja, ia duduk di sebelah Raffa.Rizki menyentil tangan Aziz yang dengan joroknya sambel itu sampai bececeran. "Jorok anjir.""Sayang."Keempat cowok itu menoleh ke belakang, mendapati Thalia yang berjalan mendekati meja mereka."Ayo, ke kantin sana aja."Perkataan Thalia membuat Raffa yang tengah mengunyah gorengan pun menoleh. "Bentar ya aku abisin ini dulu." Dia menunjukkan tangan kanannya yang memegang bakwan yang tinggal setengah.Thalia mendengus sebal. Kemudian, ia terbatuk karena asap rokok dari Aziz dan beberapa cowok lain yang ada di san
~Laki-laki bersurai hitam itu dengan sekuat tenaga mengejar mobil yang menculik Mamanya. Kakinya lemas, namun dia tidak menyerah begitu saja. Suaranya sampai habis meneriakkan Sang Mama."MAMA!""WOI ANJIR BERHENTI!"Bahu Raffa naik turun karena napas yang terengah-engah. Sudah tak kuat lagi, dia tersungkur ke aspal sampai kedua lututnya lecet. Lagi-lagi dia gagal menyelamatkan Tata."Uhukk uhukk!""Ma!"Dia meninju aspal dengan tangannya. Rambutnya ia acak-acak, frustrasi dengan keadaan. Raffa benci menjadi lemah."Mama!"Mata cowok itu terbuka lebar. Sedetik kemudian, dia menyadari kalau itu semua hanya mimpi. Tetapi, entah kenapa rasanya seperti nyata. Rasa lelah itu masih terasa.Selama lima menit mengumpulkan kesadaran, Raffa beringsut duduk. Diliriknya jam dinding yang kini menunjukkan pukul setengah lima pagi.Ini bahkan masih terlalu gelap untuk per
~~Di antara mereka semua, siapa pacar lu?~Bakso yang baru saja akan dia masukkan ke mulut mendadak kembali ke dalam mangkuk. Cewek itu menatap malas ke layar ponselnya.Pesan dari orang itu lagi.Tanpa pikir panjang, Nara memblokir akun kosongan itu. Kemudian mematikan ponsel, lalu lanjut memakan bakso kuah. Hidup udah ribet, jadi bawa santai saja.Erika tengah kepedasan makan seblak. "Mantep banget njir. Hidup seblak!" Keringatnya mengucur dari pelipis dan wajah."Welcome asam lambung. Hehe.""Yeee, Naraaa tega lu.""Bebiiiii. I'm coming."Nara menahan tawa saat Geovan datang dengan penampilan yang acak-acakan, rambut tak beraturan, baju tidak dimasukkan, tangan dipenuhi coretan pulpen. Anak itu tidak ada rapi-rapinya. Memang sudah klop dengan Erika yang selalu setia merapikannya, seperti sekarang. Lihatlah kedua orang itu, seakan sudah suami istri.
Raffa sedang di kamar, duduk di meja belajar tepatnya depan layar laptop yang menyala. Ia dalam proses belajar adobe illusiator. Tangannya memegang ponsel, memvideo call, mendengarkan ocehan Thalia tentang hari-hari yang cewek itu lewati. Sesekali Raffa tertawa mendengar cerita lucu itu."Btw, yang. Aku dapet tawaran main sinetron dan pasangannya David, lawan main aku yang di iklan sebelumnya. Menurut kamu gimana? Setuju kan?"Agak ragu, Raffa diam sebentar. Thalia terdengar sangat senang dengan tawaran itu. Mana mungkin Raffa tega melarangnya. Perihal David, dia agak takut mereka berdua terlalu dekat."Gimana, yang?"Kemudian, Raffa mengangguk yakin. Membuat Thalia kegirangan sampai mencium layar ponsel.Raffa terkekeh. "Semangat kerjanya yang.""Iya sayang. Kamu itu pacar terbaik.""Aku mandi dulu ya yang, udah jam tiga sore nih." Sambung Thalia.Setelah itu, sambungan ditutup. Raffa mele
Penasaran dengan apa yang dibicarakan orang-orang tentang dirinya, Nara mempercepat langkah menuju mading sekolah.Matanya membola begitu mendapati papan mading yang luas itu dipenuhi foto dirinya. Mulai dari foto-foto dia dan Papanya yang mengangkut buah-buahan pakai mobil, lalu Nara yang pergi sekolah naik angkot, bahkan foto rumah depannya pun ada.Hal yang mengejutkan lainnya adalah, di bagian paling atas tertera tulisan "NARA AMANDA ADALAH PENYEBAB KERIBUTAN DAN PERTANDINGAN ILEGAL DI ANTARA SMA BAKTI DAN SMA HARAPAN"Nara mundur selangkah. Dia sungguh tidak tahu apapun tentang pertandingan basket itu. Kapan keributan terjadi? Ia benaran tidak tahu menahu soal itu.Di bagian paling bawah terpampang nyata foto-foto bukti kericuhan yang terjadi. Beberapa anak basket yang bertanding wajahnya pada luka-luka. Ternyata mereka kalah lagi dalam pertandingan ulang kemarin.
"Nara, makannya pelan-pelan, Nak. Nanti tersedak," ucap Kiki-Mama Nara saat melihat anaknya memakan nasi goreng buatannya dengan terburu-buru. Tak memedulikan ucapan Mamanya, Nara tetap melahap dengan sigap. Entah apa yang dikejarnya, padahal jam masih menunjukkan pukul 7 pagi dan Nara juga tidak piket kelas hari ini. Iko datang sembari membawa tas ranselnya. Dia adalah kakak Rana. Baru saja menjadi mahasiswa. Dia pergi sepagi ini hanya untuk menjemput temannya dan pergi bersama ke kampus. Mengurusi hal-hal yang belum beres. "Dek, lo potong rambut sependek ini?" Tanya Iko terkejut saat melihat penampilan baru adiknya. Tangannya menyentuh rambut pendek Rana yang sudah mirip seperti laki-laki. Rana menyingkirkan tangan Iko. Dia cemberut. "Emang napa sih? Kan ga salah." Balasnya jutek. "Ya ampun. Lo kan cewek, Ran. Jangan sependek inilah. Gak
Rana pulang dengan mengendarai motor maticnya. Dia tidak pulang Bersama Radit karena cowok itu ada jadwal latihan futsal Bersama teman-temannya. Biasanya mereka berdua berjalan beriringan dengan motor masing-masing menuju rumah. Dan Radit juga satu komplek dengannya, makanya mereka sering jumpa. Radit sering main ke rumah Rana, begitu pun sebaliknya.Sampai setengah perjalanan, motor Rana mogok karena habis bensin.“Sial banget gue kayanya. Haduh.” Rana turun dari motornya.“Pom bensin masih jauh lagi. Mau gak mau gue dorong dah nih kambing.”Rana memakai jaket hitam serta masker. Dia juga menutup kepalanya. Setidaknya dengan itu tidak begitu memalukan jika dilihat orang-orang.Sekitar satu meter berjalan, akhirnya Rana berhenti di pinggir jalan di mana penjual bensin eceran. “Bang, bensin.”“Iya, neng.” Abang-a
Hari sudah gelap. Rana dan Radit akhirnya sampai di depan rumah Rana. Sebelum memasukkan motor ke garasi, Rana berhenti sebentar."Masuk terus, gue juga buru-buru mau mandi, nih," perintah Radit."Ya udah gue masuk dulu ya. Nanti malem gue telepon lo. Bye." Rana membuka pagar dan memasukkan motor ke garasi. Lalu kembali menutup pagar, Radit sudah pergi. Rana menghela napas. Dia akan ceritakan semuanya pada Radit nanti.Rana membuka sepatu, kemudian masuk ke dalam rumah. "Assalamu'alaikum. Rana pulang..."Papa, Mama, dan Iko sedang duduk bersantai di ruang keluarga. Papanya membaca koran sambil minum teh, Mamanya menonton sinetron, dan Iko sedang bermain games di ponsel. Mereka semua menoleh ketika Rana bersuara."Rana, baru pulang jam segini?" Wijayanto-papa Rana bertanya. Tidak ada kemarahan dalam nada suaranya, karena istrinya pun sudah memberi tahu sebelumnya
Sunyi.Satu kata yang menggambarkan kehidupan Falisha sejak kepergian separuh jiwanya beberapa bulan lalu.Hanya suara televisi yang memenuhi apartemen itu. Satu-satunya manusia yang ada di sana tengah duduk melamun di sofa kesayangannya.Falisha membenci tempat ini. Tempat penuh kenangan bersama mantan suaminya, Devano. Tempat di mana mereka berdua menghabiskan waktu selama satu tahun.Andai saja saat itu Falisha dapat menahan kata-katanya agar tak menyakiti siapapun. Pasti Devano masih di sini, bersamanya. Lagi dan lagi Falisha menyesali itu.Ketika itu dia terlampau marah dan dipenuhi rasa cemburu berlebihan. Falisha telah menuduh Devano bermain di belakangnya. Sampai saat kata-kata itu terucap, Devano terdiam dan langsung meninggalkannya sendirian.“Itu bukan selingkuhan aku, Fal. Itu rekan kerjaku!”“Jangan bohong. Kamu gak tahu diri banget ya udah banyak aku bantu segala macem masih beraninya selingkuh!”
Matahari siang itu terasa begitu terik. Jalan raya padat kendaraan menghasilkan polusi yang memusingkan para pengendara. Suara klakson motor dan mobil saling bersahutan memekakkan telinga. Seorang gadis berambut sebahu duduk di bangku sendirian, menonton orang-orang berlalu lalang di depan toko baju tempat dia bekerja. Di saat pekerja lain berkumpul-kumpul makan siang, gadis bernama Fayola Adikari itu memilih mengasingkan diri. Mereka tidak mau berteman dengan Fayola. Alasan terjahat yang pernah Fay dengar adalah karena penampilannya yang tidak rapi dan aneh. Kulit sawo matang, freckles di bagian wajah, rambut pendek yang kusut, dan tubuh kurus tinggi. Mereka bilang Fay tidak pandai merawat diri dengan baik. Ya, memang benar adanya. Fay tak mem
Nara mematung mendengar penjelasan panjang dari Geo. Cewek itu membelakanginya sejak tadi."Kak Nara, maaf. Maafin gue sama Erika, ya." Ujar Geo menyesal, dia menundukkan kepala.Keduanya sedang berbincang di halaman depan rumah Erika. Sore ini Nara memutuskan menjenguk Erika dan ya, dia melihat sendiri bagaimana keadaan sahabatnya itu. Bahkan ketika ia mengetahui yang sebenarnya, Nara belum mau berbicara dengan Erika maupun Geovan.Hembusan angin sore membuat daun dari pohon mangga berjatuhan ke atas rumput. Rambut pendek Nara menari-nari bersama udara. Kelopak matanya dipenuhi air yang sekali kedip saja bisa tumpah membasahi pipi.Hatinya terlalu nyeri untuk mengatakan sepatah kata. Nara terisak sampai menutup mulutnya sendiri, takut tangisnya terlalu keras.Dia hanya tidak menyangka ini akan terjadi. Sahabatnya. Masa depan Erika sudah hancur. Kena
Hari ini adalah pembagian rapor anak SMA Nusantara. Sabtu pagi ini sekolah dipenuhi para orangtua siswa yang akan bertemu dengan wali kelas anaknya. Nara mengajak Firdaus untuk mengambilkan rapornya. Kebetulan hari ini Papanya itu sedang libur kerja. Nara tidak mau Mamanya yang datang karena itu akan berbahaya, beliau pasti akan menceramahi Nara jika nilai rapotnya di semester ini sangat jelek. Berbeda dengan Papanya yang santai saja."Sabar ya, Pa. Nama Nara sebentar lagi dipanggil, kok." Bisik Nara pelan. Ia menepuk paha Firdaus.Saat ini ayah dan anak itu tengah duduk di bangku kelas Nara, menunggu giliran dipanggil oleh wali kelas.Mama Erika baru saja selesai mengobrol dengan wali kelas, entah kenapa dia tampak terburu-buru ingin pulang ke rumah. Nara mengerutkan kening keheranan, Bu Lia sama sekali tidak menyapa dirinya dan juga Papanya. Padahal, selama ini mereka kenal dekat. Dan juga Erika, cewe
Sorak sorai penonton bergema di lapangan basket pagi itu. Pertandingan berlangsung seru. Kemeriahan Hari Kamis ini semakin menggebu kala tim Raffa berhasil mencetak poin kemenangan.Semua supporter berdiri sambil berteriak dan memukul balon tepuk. Nara bertepuk tangan, sesekali ia menutup gendang telinganya yang berdengung akibat suara teriakan itu.Ada yang aneh pada Raffa hari ini. Nara menyadari itu. Caranya bermain tak gesit seperti biasanya sampai-sampai teman satu timnya berkali-kali menegur Raffa. Mereka kehilangan poin karena Raffa."Oi, Nara!"Erika dan Geovan kembali dari kantin. Mereka memberi Nara satu minuman kaleng. Nara pun langsung meneguknya."Tim Raffa mah gak usah diraguin lagi. Tapi kayaknya tim adek kelas pada gak mau kalah ya." Komentar Geo.Semuanya kembali duduk ketika tim basket istirahat sejenak. Para pelatih menghampiri anak asuhnya, memberi arahan."Kalian liat Kevi
"Kok pada diem?" Tanya Raffa sambil mengunyah gado-gado santai.Dua orang lainnya sibuk dengan pikiran masing-masing. Nara yang menetralkan detak jantungnya dan Kevin yang menahan kekesalannya. Pemuda itu membuang muka."Minggu depan classmeet, kan? Kalian udah persiapkan apa aja?" Nara berusaha mencairkan suasana."Gue sama tim udah sepakat. Untuk pertandingan kali ini kami gak peduli mau menang atau kalah. Yang terpenting nikmati jalannya permainan. Karena ini pertandingan terakhir kami sebelum lulus." Jelas Raffa."Lo gimana, Vin?"Nara menatap Kevin yang sedari tadi mengalihkan pandangannya. Ia melihat tangan Kevin yang mengepal kuat. Sebenarnya ada apa? Nara sama sekali tak mengerti."Gue udah keluar dari tim futsal."Raffa dan Nara serentak menatap si pembicara."Kenapa?""Males aja. Mau fokus ujian.""Keren." Nara mengacungkan dua jempol untuk Kevin.&nbs
Memasuki minggu remidial adalah suatu hal yang paling membosankan dalam hidup Nara. Ini baru hari Senin, tapi rasa bosannya serasa menggerogoti jiwa.Suatu keberuntungan untuk Nara ketika melihat pengumuman di mading. Di semua mata pelajaran Nara tidak ada yang remidial. Erika pun sama. Mungkin karena mereka berdua belajar bersama mempersiapkan ujian.Berbeda dengan keduanya, Geovan justru banyak mendapatkan remidi. Mulai hari ini cowok tengil itu disibukkan dengan belajar untuk mengulang ujian. Nilainya benar-benar buruk. Erika lelah mengomeli pacarnya itu.Sementara itu, Nara dengar Raffa dan teman-temannya harus mengikuti remidi juga di beberapa mata pelajaran. Ya, Raffa bilang, sih, sudah biasa karena di antara mereka tidak ada yang begitu pintar.Entah sudah berapa kali Nara menghela napas lelah. Tumpukan buku tebal yang dia bawa sangatlah berat. Tadi, ketika melewati rua
Kevin mempercepat langkahnya menuju ruang ujian. Keringat mengucur di pelipisnya karena berlari sangat jauh, dari gerbang sampai ke lantai dua. Hari ini dia terlambat sepuluh menit. Ujian sudah dimulai.Tok! Tok! Tok!"Permisi, Bu. Mohon maaf saya terlambat." Ucapnya di depan pintu kelas. Seluruh pasang mata menatap ke arah Kevin.Pengawas ujian hari pertama ini adalah wali kelas mereka sendiri. Jadi sangatlah mudah mendapatkan maaf. Kevin menghela napas lega saat diperbolehkan duduk di kursi yang sudah dipisah-pisah, diberi jarak. Masing-masing dari mereka duduk dengan adik kelas.Entah kebetulan atau tidak, Kevin kedapatan duduk di sebelah Nara. Di barisan paling belakang. Seiring mendekat ke kursi, bisa Kevin lihat Nara sedang memberinya senyuman. Ia pun membalas senyum itu."Jangan ada yang mencontek, ya. Kerjakan yang jujur."
Bersama teman-temannya, Nara semakin hari mulai berangsur membaik. Orang-orang yang kemarin mencibir dan menatapnya aneh satu persatu meminta maaf. Nara kembali menjadi pribadi yang ceria. Bersama Erika tentunya.Hubungannya dengan Raffa, Dendi, Rizki, dan Bintang juga baik-baik saja. Pertemanan mereka semakin erat. Sayangnya perasaan Nara pada Raffa belum juga pudar, malah semakin luas. Nara ingin mengutuk dirinya sendiri karena itu.Namun, ada yang berbeda dari pemuda itu. Akhir-akhir ini, lebih tepatnya dua minggu belakangan ini Raffa tampak murung. Nara menduga ada hubungannya dengan Thalia. Cewek mirip selebgram itu sudah tidak pernah terlihat lagi di sekolah. Ia seakan menghilang, pindah sekolah mungkin.Seperti sekarang, di saat yang Dendi, Rizki, Bintang, Geo, dan Erika asyik menikmati waktu sore di rooftop rumah Raffa, si tuan rumah malah menyendiri di sudut- tempat melihat senja di ujung.