Maia tetap dengan diamnya. Suara ketukan sepatu Dimas terdengar sedikit bergaung dalam koridor rumah susun yang mulai sepi. Mereka terus berjalan sampai akhirnya keduanya tiba di depan pintu masuk unit tempat tinggal Maia.
“Dan kau tahu, Maia?“
Maia menoleh sehingga keduanya kini saling bertatapmuka.
“Kau begitu misterius,” Dimas menyambung. Tatapannya tajam menusuk. Kali ini bukan sebuah tatapan nakal. “Benar-benar misterius.“
“Misterius?“
Dimas mengangguk.
“Selama sekian bulan mengenalimu, nampak jelas bahwa kau menyembunyikan sesuatu yang aku tidak tahu apa. Bukan hanya aku. Keluarga pak Casdi pun tidak tahu apa-apa mengenai dirmu. Kami tidak tahu dari mana kau datang, pekerjaanmu, keluargamu. Pintu rumahmu lebih sering tertutup rapat sepanjang hari dan nyaris sepanjang minggu. Pernah seharian kau disana dan itu sempat membuat kami berpikir untuk mendobrak pintu rumah. Kau mengerti kenapa
Di tengah keramaian lalu lintas, kendaraan van hitam berjalan melambat. Pria berbadan gempal nampak mencari-cari sesuatu di antara kerumunan orang. Jarum penunjuk kecepatan di speedometer yang terpampang didepannya menurun hingga berhenti di titik terendah.Terdengar suara klakson dari sebuah mobil sedan tepat di belakangnya. Kendati demikian, pengemudi van sama sekali tidak menggubris. Kendaraan yang dikemudikannya tetap diam di tengah keramaian lalu lintas. Sedan di belakang van kemudian menyalip hingga kini merendengi van yang tadi menutup jalan. Serapah keluar dari mulut pengemudi sedan yang merasa perjalanannya terganggu karena ulah pengemudi van yang tidak disiplin. Tapi hanya sesaat saja ia menyerapah. Kaget bercampur ngeri menyelimuti pengemudi sedan ketika pengemudi van tiba-tiba mengacungkan sebuah senjata revolver ke arahnya. Tidak lama kemudian ia melaju kendaraannya menembus keramaian. Kabur ketakutan.Sesosok pria lain mu
Tidak perlu menjadi seorang brilian untuk memahmi makna dibalik pertanyaan tadi.“Maksudmu?”Dimas memaksa diri untuk tersenyum.“Aku ... aku mengulang ajakan sebelumnya.”“Ajakan?” Maia ternganga.“Ya. Ajakan makan malam. Ingat? Atau kau masih cukup sibuk sehingga belum bisa aku, eh ... kami ganggu?”Maia tetap ternganga. Bingung.“Tak apa, tak apa. Kalau memang tak sempat, tentu tak apa,” Dimas cepat-cepat menyambung. Kepalanya menangguk-angguk tanpa ia sendiri mengerti mengapa ia melakukan hal tersebut.“Kami tak mau mengganggu atau terlalu merepotkan dirimu,” cetus Dimas lagi yang lagi-lagi ditanggapi Maia dengan tatap bingung.Sikap diamnya Maia terasa oleh Dimas sebagai satu bentuk penolakan halus. Tak tahu hendak berkata apa lagi, Dimas langsung beranjak untuk pamit. Ia baru saja dua-tiga langkah berjalan ketika Mai
Orang itu tidak menjawab. Hal ini memancing Casdi untuk usil bertanya lebih jauh.“Situ suaminya cewek itu kali ya? Hayo ngaku? Wah, kalo udah ketemu mau diapain nih?” Casdi terkekeh.Upaya canda Casdi tidak ditanggapi. Orang itu tetap dingin saat menjawab pertanyaannya.“Saya mau bunuh,” cetusnya sambil kemudian beranjak pergi.Casdi yang mulanya terkekeh kini tertawa terbahak-bahak.Tak terbersit setitikpun dalam benak pria sederhana itu bahwa orang yang baru ia temui serius dengan ucapannya.Sangat serius.*Tropicana Dome malam itu sesak dipenuhi pengunjung. Sebagai mall terbaru di ibukota dan karena saat itu masih awal bulan, begitu banyak orang berkunjung. Hipermarket skala raksasa yang ada nampak sesak oleh lautan manusia yang seolah hendak menghabiskan gajinya sekaligus malam itu.Maia berada didalam salah satu resto
Dimas bersyukur. Niken yang sejak kasus tewasnya isteri tercinta menjadi amat perasa, emosional dan cenderung tertutup, belakangan semakin keluar dari kungkungan kesedihan seiring perkenalannya dengan Maia. Suatu hal yang ia ragu apakah akan cepat terjadi seandainya pertemuan dengan Maia tidak pernah terjadi.Pertemuan demi pertemuan antara mereka semakin intens tejadi. Maia sendiri nampaknya menyukai kehadiran mereka. Sayang, kendati hal tersebut berulang terjadi, Maia masih tetap dengan sosoknya semula.Misterius.“Melamun terus.”Dimas tersadar. Astaga, benar. Ia terlalu lama tenggelam dalam lamunannya. Kentang dan ayam goreng pesanannya juga mulai mendingin.“Kenapa?”Dimas masih enggan menjawab. Pura-pura sibuk untuk mulai menyantap makan malamnya.“Tidak apa-apa.”“Sungguh?““Sungguh.““Kau tak berpiki
Tersipu, mbak Sarni menjawab bahwa ia tidak tahu dimana letak toiletnya. Dimas menggeleng kepala. Dengan mencoba sabar ia lalu mengantar mereka ke toilet meninggalkan Maia sendirian di tempatnya.“Kami tinggal dulu sebentar, oke?“*Dua orang pria yang mencari-cari keberadaan Maia sudah hampir sejam lalu tiba di mall yang sama. Baik pria pertama yang biasa mengemudikan mobil van, maupun pria kedua yang selalu mengenakan jaket coklat dengan lengan kiri dipenuhi tato. Mereka mulai bergerak menjalani lantai basement gedung dengan mata setajam elang ketika mengawasi setiap orang yang berlalu-lalang. Kendati mall begitu penuh oleh para pengunjung, rasanya tidak terlalu sulit bagi mereka untuk menemukan orang yang mereka cari. Setiap rombongan yang terdiri atas beberapa orang dewasa dan seorang anak perempuan dengan s
Bagi Maia yang melihat jelas peristiwa tadi ia sangat hafal bahwa dirinyalah yang tengah menjadi target sasaran pria tadi. Terlebih ketika dalam gerak yang luar biasa tenang, pria itu melempar baki dan mengeluarkan senjata fully-automatic Uzi yang dibawanya dengan tatapan mata terarah pada Maia yang hanya berjarak belasan meter saja darinya. Tatapan matanya dingin dan kejam layaknya seorang pembunuh bayaran. Beberapa pengunjung restoran melihat ulahnya seolah tidak percaya ketika tangan kirinya terulur. Bukan banyaknya tato di tangan orang tersebut yang membuat mereka menatap penuh keheranan, melainkan senjata api yang berada dalam genggamannya.Melihat Maia dalam bahaya, dengan gerak refleks Dimas mencoba merebut senjata. Sungguh suatu tindakan luar biasa ceroboh. Demi menyelamatkan Maia, Dimas mencoba menangkap senjata yang siap menyalak. Ini memberikan tambahan waktu beberapa detik bagi Maia untuk menyelamatkan diri atau melakukan sesuatu.&nb
Di restoran itu sendiri kali ini muncul seorang lain, yang juga turun ke arena perkelahian. Perawakannya tidak jauh berbeda dengan yang pertama kecuali dalam hal potongan rambut. Pria yang selama ini mencari-cari Maia dengan mengemudikan mobil van warna hitam. Sebuah revolver di tangan kirinya menyalak. Sebuah alat transmisi radio dengan microphone menyembul dekat mulutnya. Dengan langkah bergegas pria kedua menyerbu masuk dimana Maia masih bergelut dengan pria bersenjata pertama untuk mencoba merebut senapan mesin yang masih erat tergenggam di tangan lawan. Diiringi lengking tinggi, Maia yang berada dalam posisi dibawah mengangkat tubuh pria bersenjata pertama dengan kedua kakinya. Bertelekan punggung, tubuhnya menekuk membentuk busur sebelum kemudian melontar tubuh berbobot nyaris satu kuintal itu hingga tiga meter ke udara. Untuk kedua kalinya si pria bersenjata pertama terbanting. Lagi-lagi dengan sebelumnya membentur meja. Rasa
Namun cepat sekali pria kedua ini bangkit dan menyerang kembali dimana di saat yang sama, pria pertama, si gempal bertato, juga telah berhasil meraih senjatanya.Dengan sedikit merunduk, Maia berlari secepat kilat ke arah pintu keluar yang berada tak jauh dari posisinya berdiri.Suara tembakan terdengar lagi. Maia kembali berguling, berguling dan terus berguling di antara deretan kursi dan meja restoran yang kini benar-benar porak poranda. Proyektil peluru berkejaran mendesing disamping tubuh. Pecahan keramik diatas lantai kini bercampur dengan pecahan piring, gelas, bekas makanan dan serpihan meja yang terkoyak sambaran peluru. Ini menimbulkan rasa perih ketika Maia harus bergulingan diatasnya.Sesaat berikutnya, Maia sudah berhasil keluar dari restoran. Terdengar suara salah seorang dari mereka merutuk keras melihat buruan mereka lolos. Nampak wajar kalau mereka sangat emosional mengingat buruan mereka ternyata masih dapat lolos ken
Veily menyadari sesuatu yang lain lagi. Alex tidak lagi mengenakan kalung akik merah padam. Benda yang dulu diberikan khusus untuk pria itu kini tak ada lagi di lehernya. Sebersit rasa kecewa seketika menyeruak dalam batinnya....Bagi Veily, Alex bukan pria biasa. Ia pernah mendapat perhatian khusus dalam diri Veily yang seiring berjalannya waktu mulai berani menyalakan bara api dalam hatinya. Dan kala Alex menyambut, bara api itu – cinta, tentu saja – makin memuai. Menyalakan rindu, perhatian, dan ketertarikan yang terus bergejolak. Sampai kemudian terjadi sebuah kesalahpahaman yang belakangan ia sesali hingga saat itu. Kesalahpahaman yang membuat tersingkirnya Alex dari lembar hidupnya. Andai bisa membalik waktu, ingin rasanya ia jatuh dalam rengkuhan pria itu. Menumpahkan maaf. Mencurahkan sesalnya yang nyaris tak berujung.Dan kini. Tidak bukan kini - tapi kemarin pagi tepatnya – secara tak terduga
“Sialnya aku tiba di medan pertempuran antara pasukan Jepang dengan tentara sekutu. Aku langsung berada dibawah todongan salah seorang tentara Jepang. Penjelasan bahwa aku dari masa depan tentu saja tidak membuatnya percaya. Ia hampir saja membunuhku sampai kemudian kubuktikan kebenaran ucapanku melalui Jetpack yang kubawa. Tentara Jepang itu, Letnan Hamada namanya, memaksaku untuk memakaikan Jetpack padanya. Di bawah todongan, aku menurut. Aku hanya menge-set agar benda itu terbang naik, melayang di ketinggian tertentu, dan mendarat kembali. Semua tak lebih dari lima menit. Tapi itu memang berdampak signifikan. Dalam gelap malam, dengan mitraliurnya dan dengan sekali pukul ia melumpuhkan sekutu di tempat persembunyian dari udara. Pertempuran berakhir dengan kemenangan di pihak Jepang.”Alex menyimak rangkaian cerita menakjubkan tadi sementara Profesor tetap meneruskan.“Kami kemudian pulang ke barak Jepang yang ternyata me
Profesor Senjaya menatap tajam. “Aku ingin benda itu dihancurkan. Kendati perang dingin antara blok barat dan timur tak lagi muncul ke permukaan akan muncul hegemoni lain yang sama membahayakannya. Tak sulit membayangkan bencana macam apa yang terjadi jika sampai Jetpack diproduksi masif di masa ini.”Penjelasan Profesor terdengar masuk akal. Alex berpikir dan menimbang-nimbang sekian lama di tempat duduknya. Gelas berisi minuman jus jeruk yang ia pesan dari tadi sudah lama tandas. Kendati demikian, ia tetap saja mengaduk-aduk gelas yang kini hanya tersisa es batu saja.“OK,” katanya kemudian. Nyaris tanpa suara. “Aku di pihakmu.”Profesor nampak lega.“Namun sebelum kuserahkan padamu, tolong jawab pertanyaan terbesarku. Bagaimana ceritanya benda itu bisa berada di goa Jepang, teronggok bersama barang-barang peninggalan Perang Dunia kedua, sementara Prof send
Pada sepuluh detik pertama Alex masih bisa menahan. Tapi ketika sudah dua puluh detik, wajahnya mulai berubah. Alex mulai meringis ketika cubitan Tessa berlangsung hingga lebih tiga puluh detik.“Ampun,” desisnya.“Nggak!” cetus Tessa galak. Rona kemenangan terpancar di wajahnya melihat Alex yang mulanya sok kuat kini mulai meringis kesakitan.“Ampun.”“Nggak. Bilang dulu seperti tadi kubilang. Ayo, cepetan!”Dalam sengatan nyeri Alex dengan cepat mengingat sesuatu. “I miss youuuu... ouch!”Tessa melepaskan cubitannya. “Koq milih kalimat yang itu dan bukan yang satunya?”Alex tidak menjawab. Saat menarik tangannya kembali tanpa sengaja ia menyentuh ujung botol saus yang terbuka yang langsung mengotori jari-jarinya.“Tuh, kamu sih.”
Seiring kepergian Alex dan seiring pula berjalannya waktu, penyesalan yang sebelumnya menghinggapi Alex, kini mulai menyapa dirinya. Setelah berpikir lebih dalam, perlahan ia mulai menyadari bahwa Alex tidaklah seburuk yang ia sangka.Yang kemudian timbul dalam jiwanya adalah rasa bersalah yang makin kuat menyergap. Melecut hasrat memaafkan dan dimaafkan. Terpuruk dalam sesal, Veily mencoba mencari tahu keberadaan Alex hanya untuk mendapatkan kenyataan bahwa pria itu ternyata pergi tanpa meninggalkan jejak alamat, telepon, atau bahkan kota yang ia tuju.Hari dengan cepat berganti hari dan bahkan berubah hingga hitungan tahun. Namun keberadaan Alex tetap lenyap tak berbekas. Asa yang semula membara, lambat laun padam. Dingin. Hingga kemudian Veily sadar bahwa sudah tiba waktunya untuk memupus kenangan yang sempat terajut.Ia sadar telah mengambil keputusan yang salah. Namun lekas pula ia menyadari bahwa keputusan yang sal
Laporan beban fiskal perusahaan yang menggelayuti pikiran Tessa segera ia buang jauh-jauh dan diabaikan begitu saja ketika Alex hadir di pintu ruang kerjanya siang itu.“Maaf terlambat,” kata Alex sesopan mungkin sesaat setelah diijinkan Tessa untuk duduk di depannya.“Lain kali jangan terlambat dong.”Kendati cukup lantang bentakannya – kalau bisa disebut sebagai sebuah bentakan – Alex merasa bahwa Tessa hanya berpura-pura. Sorot matanya tidak bisa menutup aura rindu ketika melihat kehadiran dirinya.“Iya maaf. Aku janji.”“Sip. Kamu dimaafkan. Tadinya aku kuatir, tahu? Eh ternyata cepat juga kamu bisa nyampe. Kamu ke sini tahu kan untuk apa?”“Tahu.”“Tadinya direncanakan kami di BOM merenc...”“Kalian dibom?”&nbs
Oleg memasuki boks telepon, memutar nomor, dan mulai berbicara dengan seseorang di ujung sana. Mulutnya sibuk mengunyah permen yang sejak ia di Jakarta menjadi kesukaannya.“Letnan, aku masih belum bisa melacak keberadaan Profesor. Tapi sudah mendapatkan informasi mengenai Alex. Info itu benar.” Jeda sesaat ketika ia mendengar tanggapan dari lawan bicaranya. “Alex tinggal di kamar hotel sejak kemarin. Masalahnya, saat Dimitri dan aku diam-diam memasuki kamar, benda itu tidak ada di sana.”Terdengar suara keras orang memaki di ujung telepon.“Anak muda itu ternyata lebih cerdas daripada yang kita kira. Letnan, perlukah kita lakukan rencana B?”“Belum saatnya menghabisi dia. Kalian tunggu aba-aba dariku. Aku masih punya ide lain.”*Petugas yang bertugas di meja resepsionis mengenali pria muda yang nyaris sebaya dengan dirinya ketika ia kembali muncul di hadapannya.“Selamat pagi,” salamnya mendahului Alex.“Pagi.”“Sdr. Alex kan?”“Aku tersanjung, bapak dengan mudah bisa mengenali aku.
“Hacker, tepatnya. Aku memperbaiki misalnya sistim perbankan yang kacau, seperti transaksi derivatif, pengamanan data cyber, phone banking, dan semacamnya. Yah, itu untuk biaya hidup sehari-hari.”“I see.”“Sekarang langsung ke intinya. Jadi kamu sudah temukan benda itu?”Sadar bahwa tak perlu lagi menutupi, Alex mengangguk. “Jetpack? Ya.”Profesor langsung berbicara lebih serius ke masalahnya.“Kamu sudah tahu cara menerbangkan Jetpack?”“Prof,” Alex tersenyum sinis, “aku belum banyak menyentuhnya. Beberapa hari ini aku dibawa pada situasi yang kukhawatirkan membuatku terkena skizofrenia. Semua gara-gara benda yang mungkin dari masa depan tapi berada pada tumpukan barang rombeng eks zaman revolusi. Kukatakan dari masa depan karena bisa saja ada pabrik yang salah embose ketika menuliskan tanggal produksi pada benda aneh itu. Tidakkah itu hal yan
Ia menyibak selimut lalu duduk di pinggir ranjang. Deru suara pendingan udara yang nyaris tak terdengar di siang hari kini terasa cukup lantang saat malam hari. Sadar dirinya akan sulit lagi melanjutkan tidur, Alex memutuskan untuk bangun dan meminum dua-tiga teguk air mineral dari gelas yang masih tersisa setengahnya.Matanya yang kini terbuka lebar seketika terpaku pada laptop pemberian perusahaan. Ketertarikan yang besar membuatnya kembali membuka laptop, menghidupkannya, dan mencolok perangkat modem.Dalam setengah jam berikutnya, Alex sibuk mengutak-utik perangkat yang membawanya berselancar ke jagat maya. Kendati dirinya merupakan pengguna yang masih sangat baru, dengan kecerdasan yang dimiliki, ternyata tidak sulit untuk dirinya mempelajari mengenai internet, memanfaatkan mesin pencari, dan penggunaan email.Dengan fasilitas mesin pencari, Alex mencoba mencari informasi apa saja. Termasuk Jetpack, tentu saja, yang