“Hueekk… hueeekkk….” Helena tampak berjongkok di depan kloset dan menumpahkan semua isi perutnya yang bergejolak, bahkan hingga tinggal air yang keluar. Dia terduduk dengan nafas terengah, sebelah tangannya mengusap permukaan perut yang bergejolak. “Astaga… aku kenapa?”Mendadak Helena terdiam, memorinya kembali berputar beberapa jam sebelumnya. Sontak matanya melebar ketika baru teringat apa yang dilakukannya semalam. “Apa- aku benar-benar mabuk?”Helena bangkit, menuju ke cermin di wastafel kamar mandi. Terlihat jelas tubuhnya masih berbalut baju semalam, itu tandanya Keyland tidak melakukan apa pun padanya. Dia bergegas keluar dari kamar mandi, berniat mencari pria itu untuk sekedar meminta penjelasan, tapi ternyata hanya ada dirinya di apartemen tersebut.Helena menghela nafas panjang, terduduk di tepi ranjang. Dia masih mencoba mengingat kejadian semalam yang mungkin masih terselip di otaknya, tapi nihil- terakhir kali yang diingat hanyalah saat dia emosi dan menegak habis minuma
“Katakan, siapa pria bernama Vian itu, hem?”Suara itu terdengar tidak lagi seperti sebuah pertanyaan, tapi bagaikan rayuan iblis yang bergema di telinga Helena. Pasalnya, pertanyaan itu disertai dengan godaan jemari panjang yang terus bergerak di bawahnya, menciptakan sengatan gairah yang membuatnya hilang logika. Helena frustasi, ingin sekali menghindar tapi ruangan yang mereka tempati terlalu sempit. Ingin juga berteriak tapi terlalu takut kalau mereka ketahuan, dan tentu akan menjadi sebuah aib seumur hidup. Alhasil, dia hanya bisa terus menggeleng sembari menggigit bibirnya kuat-kuat, menahan desahan yang siap mencuat.“Katakan, Helena,” desis Keyland dengan bibir yang menempel di telinga wanita itu.Permainan Jari Keyland terasa semakin intens, membuat tubuh Helena bergetar pelan. Gelenyar nikmat yang dirasakan hampir mencapai puncaknya, hingga seluruh inderanya terasa begitu sensitive, bahkan kakinya seolah tak bertulang. Dia mencengkeram lengan Keyland kuat-kuat, tak peduli ka
“Sedang apa mereka di sini?” Mata biru pucat itu tampak menyala-nyala, menatap sebuah butik di hadapannya, apalagi saat terlihat manekin pasangan yang memamerkan setelan baju pengantin di balik kaca.“Saya tidak tahu, Tuan,” jawab Joddy santai.“Jadi, si manajer itu benar-benar kekasih, Helena?” geram Keyland dengan rahang tampak mengetat.“Saya juga tidak tahu, Tuan.”Sontak Keyland menoleh ke arah anak buahnya itu dengan tatapan tajam. “Lalu apa yang kau tahu, hah?!”“Maaf, Tuan. Saya akan segera mencari tahu,” balas Joddy sembari sedikit menunduk.“Tidak perlu, aku akan mencari tahu sendiri.” Keyland melangkah maju, hampir mencapai pintu butik saat tiba-tiba Joddy menghadang di hadapannya. Dia menatap pria itu dengan mata memicing. “Apa yang kau lakukan?!”“Maaf, Tuan. Anda tidak perlu melakukannya sendiri, karena sebenarnya anda tidak memiliki hak untuk melarang hubungan mereka.”“Apa katamu?!” bentak Keyland dengan mata menyala-nyala, tapi di detik selanjutnya malah berdehem pela
Helena melemparkan tubuhnya ke atas ranjang sembari mendesah panjang, sedangkan paperbag besar yang dibawanya diletakkan begitu saja. Dia merasakan tubuhnya yang cukup lelah oleh segala macam aktifitas hari ini, tapi entah kenapa rasa lelahnya tidak begitu menyiksa seperti dulu, mungkin karena rasa lelahnya dulu bukan hanya fisik melainkan batin. Tentu saja semua itu tidak terlepas dari biaya pengobatan Vian yang sudah tertutupi.Mata Helena nyalang menatap langit-langit kamar, dengan bibir yang mengulas senyum kecil. Setelah mencari gaun tadi siang, dia menyempatkan diri berkunjung ke rumahsakit untuk sekedar menyapa Vian seperti biasa. Saat itu dia mendapat kabar baik dari suster Sinta bahwa Vian mengalami perkembangan pesat, bahkan mulai bisa bernafas sendiri meskipun hanya dalam hitungan detik.“Aku nggak sabar lihat kamu bangun, Yan,” gumam Helena dengan mata menyorot penuh harap. Dia berguling ke samping, menyambar guling dan memeluknya seolah sedang bersama dengan sang suami. D
“Aku masih selalu menginginkanmu.”Kalimat tersebut masih terngiang di telingan Helena, meskipun telah didengarnya beberapa menit yang lalu. Entah kenapa dia merasa bahwa kalimat tersebut bagaikan sebuah pujian, sebuah tanda yang menjadikannya begitu berharga. Walaupun dia sangat sadar kalau dirinya diinginkan hanya dalam konteks nafsu belaka.“Ini makanan apa?”Suara itu mmebuat Helena mengerjapkan mata, tersadar dari lamunannya. Dia menatap Keyland yang duduk di hadapannya. “Ah ini, namanya nasi gila.”“Kau bercanda?” Keyland menaikkan sebelah alisnya, menatap nasi di piring dengan topping aneh di atasnya.“Kami memang menyebutnya nasi gila. Nasi yang ditambah dengan tumisan telur, sosis dan sayur,” terang Helena dengan tangan yang mulai mengaduk nasi miliknya. “Tenang saja, anda tidak akan menjadi gila hanya gara-gara makan itu.”Keyland tersenyum kecil, tatapannya berganti ke arah wanita itu. “Kau bisa membuat lelucon juga ternyata.”Helena tak menanggapi, memilih untuk menyuapkan
“Kau berdebar, Helena.”Bagaimana tidak berdebar saat baru saja Helena mencapai pelepasan entah yang ke berapa kali. Jangan dikira Keyland benar-benar terserang diare dan lemas, nyatanya pria itu masih sangat gila saat memasuki Helena beberapa saat yang lalu. Walaupun sekarang Keyland malah bersikap manja dengan terus minta dipeluk oleh Helena, membenamkan wajah di dada hangat wanita itu.Untuk sesaat mereka sama-sama diam, menikmati kesunyian yang menyenangkan. Keyland tampak memejamkan mata, merasakan kenyamanan aneh yang belum pernah dirasakan dengan wanita lain. Sedangkan Helena tampak canggung, tidak berani bergerak karena akan malah akan menjadi boomerang untuknya. Pasalnya, wajah Keyland benar-benar menempel di dadanya, pergerakan sedikit saja pasti akan menciptakan sengatan nikmat baginya.“Apa perut anda masih sakit?” tanya Helena lirih, berniat menjauhkan diri tapi lengan Keyland malah mendekapnya erat.“Aku tidak bisa merasakan rasa selain nikmat saat ini,” gumam Keyland d
"Aku akan nemenin Vian seharian ini," ucap Helena yang sudah tampak rapi dengan kaos pendek dan celana jeans santai. Dia menyemprotkan parfum secukupnya sebelum akhirnya keluar kamar. Helena memang selalu memanfaatkan hari libur untuk menemami Vian di rumah sakit, meskipun hanya untuk menyeka pria itu ataupun malah mengobrol sendiri. Dia tetap percaya bahwa apa pun yang dilakukan bersama Vian, pasti bisa dirasakan dalam alam bawah sadar pria itu. Senyum Helena terkembang saat akhirnya terbebas dari Keyland, walaupun semalaman pria itu tidak melepaskannya sedetik pun. Tapi ternyata pagi ini dia sudah tidak menemukan Keyland di dalam kamarnya. Hanya saja rasa senangnya tak berlangsung lama, segera digantikan oleh keheranan yang muncul tiba-tiba. Pasalnya sekarang dia mencium aroma nikmat dari arah dapur, mau tak mau membawa langkahnya menuju ke sana.“Hah? dia masih di sini?!” pekik Helena tanpa sadar. Matanya melebar dengan mulut menganga saat mendapati tubuh tegap itu berdiri di pan
“Wow… sudah lama aku tidak melihat adegan romantis darimu seperti ini, Boy,” ucap kakek Hamilton dengan senyum lebar yang tak sampai pada matanya.Keyland refleks bergerak maju seolah ingin menyembunyikan tubuh Helena di belakangnya. Dia menatap pria tua itu tajam. “Sedang apa kakek di sini?”Mata kakek Hamilton melirik ke arah tangan sang cucu yang menggenggam tangan wanita itu erat, senyum miring langsung tercetak di bibirnya. “Aku hanya ingin menyapa wanita yang berhasil membuatmu mengabaikan kakekmu ini.”“Karena kakek memanggilku di waktu yang tidak tepat, jadi-““Nona Helena….” Potong kakek Hamilton dengan kepala sedikit miring untuk bisa menatap wanita itu.Helena menarik tangannya hingga terlepas dari genggaman Keyland, lalu menggeser tubuhnya untuk berhadapan dengan pria itu. “Iya, saya Helena.”Mata biru pucat kakek Hamilton bergerak-gerak menyapu tubuh Helena dari atas ke bawah seakan sedang menelitii, dengan kepala yang mengangguk-angguk pelan. “Jadi, sudah berapa lama kau
Helena terlihat duduk pada sofa panjang di dalam ruang kerja Keyland, terlihat keningnya yang berkerut dengan mata menatap jengah pada beberapa jenis makanan yang tersaji di atas meja. Beberapa menit yang lalu Keyland meminta pada Joddy untuk membelikan makanan untuknya, tentu saja makanan tersebut akan sangat menggiurkan baginya saat dalam kondisi normal, tapi sekarang semua makanan itu malah membuatnya tak berselera.“Perutmu tidak akan kenyang hanya dengan memelototi semua makanan itu, Sayang….” Sindir Keyland yang duduk di kursi kebesarannya, tampak fokus dengan berkas-berkas di meja tapi tetap sesekali melirik ke arah Helena.“Aku benar-benar tidak ingin memakan semua makanan ini, dan malah membuatku mual,” balas Helena sembari menyandarkan punggungnya kasar.Keyland menghela nafas panjang, baru kali ini kesabarannya meningkat dalam menghadapi seorang wanita. Dia bangkit dari kursinya, berjalan cepat dan kini ikut duduk di sisi Helena. Sebelah tangannya menarik sisi wajah cantik
“Aku baru tahu kalau kamu punya banyak uang.”Seketika Helena menghentikan gerakan tangannya yang tengah menata tempat tidur. Dia memejamkan mata singkat untuk segera berpikir keras mengenai jawaban yang akan ditanyakan Vian selanjutnya.“Lina bilang kalau gajinya UMR,” tambah Vian yang kini duduk di kursi rodanya.Helena menoleh, memasang senyum kecil. “Sebenarnya aku sudah diangkat menjadi pegawai tetap di perusahaan, dan ternyata uang tunjangan di luar gaji lumayan besar.”“Apa kamu diangkat karena ada hubungan-““Nggak ada hubungannya,” sela Helena tegas, emosinya hampir tersulut kembali. “Aku diangkat sebagai pegawai tetap sebelum Keyland ke Indonesia.”“Oke, maaf,” balas Vian santai.Helena menghela nafas, kembali melanjutkan gerakan membereskan tempat tidur mereka. Setelahnya dia menghampiri Vian. “Ayo, waktunya kamu mandi-““Nggak usah,” balas Vian cepat, bibirnya tampak mengulas senyum manis tak seperti biasanya. “Aku nggak mau kamu telat ke kantor lagi gara-gara aku, jadi le
Helena tampak menggeliat dengan mata perlahan terbuka, merasakan sebuah lengan yang menimpa perutnya dengan begitu posesif. Dia tersenyum kecil, mendapati wajah tampan Keyland yang masih tampak terlelap di sampingnya, perlahan jari jemarinya terulur untuk membelai di sana. Entah sudah berapa lama dia tertidur, yang pasti kamar yang mereka tempati sekarang sudah tampak temaram karena lampu belum dinyalakan.“Tidurmu nyenyak?”Suara serak itu membuat gerakan jari Helena terhenti untuk sesaat, mendapati iris biru pucat itu mulai terbuka menatapnya. Dia mengangguk pelan, kembali membelai sisi wajah Keyland lembut. “Rasanya baru kali ini aku merasakan tidur yang begitu nyenyak setelah hampir satu bulan mengurus Vian di rumah.”“Kau memang terlihat sangat kelelahan,” ucap Keyland dengan tatapan lekat. “Tapi setelah ini kau akan lebih santai.”Helena mengerutkan kening. “Apa maksudmu?”Keyland tak menjawab kebingungan Helena, malah kini balik bertanya. “Kau ingin makan apa malam ini, hem?”“
“Hamil?!” pekik Keyland dengan mata berbinar. “Helena benar-benar hamil anakku?”“Helena memang hamil, tapi belum tentu juga itu anakmu,” jawab Cindy santai.“Jangan sembarang, sudah pasti itu anakku,” eyel Keyland dengan mata melotot. Sedangkan Cindy menedipkan mata, memberikan tanda padanya untuk melihat Helena, karena wanita itu hanya diam dengan mata memburam.“Helena, kau baik-baik saja?” Keyland sedikit membungkuk dengan sebelah tangan membelai sisi wajah Helena yang memucat. “Hei, kenapa kau diam?”Helena menoleh ke arah Cindy dengan tatapan tak bisa diartikan. “Aku- hami?”“Iya, Helena… dari hasil USG tampak kantung kehamilan, walaupun masih belum terlihat janinnya. Tapi kemungkinan besar kau memang hamil,” terang Cindy dengan senyum lembut.“Tapi- bagaimana mungkin? Aku masih dalam masa ber-KB,” cicit Helena dengan mata yang memanas.“Itu takdir, Sayang….” Keyland menangkup wajah Helena agar menatapnya. “Takdir memang menginginkan kita bersama.”Helena menggeleng kuat, membia
“Helena….” Keyland dengan wajah panik langsung masuk ke dalam bilik yang ditempati Helena, wanita itu terlihat berbaring di ranjang pasien dengan mata terpejam. Dia duduk di sisi ranjang, menggenggam tangan Helena yang terasa dingin. Mata Helena memang terpejam, tapi kening wanita itu tampak berkerut dalam menandakan bahwa tidak benar-benar hilang kesadaran.“Helena, kau bisa mendengarku?” tanya Keyland berganti membelai sisi wajah Helana yang kehilangan ronanya.Perlahan mata Helena terbuka, menatap pria itu sayu. “Kenapa kamu di sini?”“Astaga… aku benar-benar khawatir saat tahu kamu pingsan,” Balas Keyland sembari mengecupi punggung tangan Helena.“Aku baik-baik saja, hanya pusing.”“Kalau kau memang baik-baik saja, sekarang kau tidak akan berada di sini,” omel Keyland dengan tatapan tajam.“Kepalaku memang sedikit pusing, dan tadi aku sempat kehingan keseimbangan saat di kamar mandi. Tapi sekarang aku merasa lebih baik,” terang Helena dengan berniat menarik tangannya dari genggama
“Akhirnya selesai juga….” Helena menghela nafas panjang setelah baru saja menyelesaikan pekerjaan rumah yang semakin banyak. Setiap hari dia harus mengurus Vian yang memang belum bisa mandiri dalam hal apa pun, mulai dari mandi, buang air, berpakaian bahkan juga menyiapkan segala keperluan lain. Helena tidak akan mengeluh karena semua itu memang sudah menjadi tanggung jawabnya, walaupun dia menjadi sering terlambat datang ke kantor dalam beberapa hari ini.“Aku harus segera mandi,” gumamnya setelah mengeringkan cucian. Dia baru akan melangkah keluar dari laundry room saat tiba-tiba terdengar kegaduhan dari arah dapur.Prraaangg… ppyyaaarrrr….Helena berjingkat kaget, segera membawa langkahnya ke sumber suara. Matanya tampak melebar dengan wajah terperangah saat melihat semua masakan di atas meja makan terjatuh di lantai, meninggalkan taplak meja yang terjuntai tak karuan.“Aku benar-benar nggak berguna!” teriak Vian sembari memukul pegangan kursi rodanya.“Astaga, Yan… ini kenapa?” He
“Aku sudah boleh pulang, Sayang.”Mata Helena melebar mendengar kalimat yang baru saja diucapkan oleh Vian. “Beneran?!”Vian mengangguk dengan senyum lebar, menatap ke arah taman rumah sakit dengan dirinya yang duduk di kursi roda. “Hem… rasanya aku tidak sabar untuk menghirup udara bebas di luar rumah sakit. Pasti akan sangat menyenangkan bisa kembali hidup berdua denganmu meskipun masih di rumah kontrakan.”Sontak Helena terdiam, melupakan fakta bahwa dirinya belum memberi tahu Vian tentang tempat tinggalnya selama ini. Bahkan, sampai detik ini semua barang-barang Vian masih dititipkan di rumah suster Sinta.“Hei, kenapa kamu diam saja? Kamu nggak suka kalau aku ikut pulang?”Helena tersenyum kecil sembari menggeleng pelan. “Mana mungkin aku nggak suka, bahkan aku sudah memimpikan bisa pulang bersamamu sejak lama, tapi-““Tapi apa?”“Sebenarnya-” Helena menggigit bibirnya sendiri, tanda kalau ragu untuk berucap. Hal tersebut tentu saja tak terlepas dari perhatian Vian yang memang su
Beberapa hari ini Helena kembali menjalani kehidupan normal seperti dulu, pagi pergi bekerja dan sore menemani Vian di rumah sakit. Sesekali dia ikut menemani Vian terapi, hingga pria itu kini sudah mulai bisa duduk sendiri. Sudah hampir satu minggu juga kehidupan normalnya dilalui tanpa bertemu dengan Keyland, pria itu benar-benar menepati janji untuk tidak mengusiknya. Namun, apakah Helena merasa tenang? nyatanya ada ruang di sudut hatinya yang malah terasa kosong.“Hel, kenapa sih bengong aja?” tanya mbak Nadia yang saat ini duduk di hadapan Helena, mereka sedang makan siang di kantin perusahaan.“Nggak kok, itu perasaan Mbak Nadia aja,” balas Helena dengan senyum tipis.“Terus itu nasi mau diaduk sampai jadi apa, hem?”Refleks Helena menurunkan tatapan ke arah piring miliknya. Benar saja, nasinya sudah tampak mengenaskan bercampur dengan lauk. Dia menghela nafas panjang sembari meletakkan sendok, berganti meraih capucino dingin dan menyesapnya.“Eh, sejak pulang liburan kok aku ng
“Kau tidak perlu pindah dari apartemen ini sesuai ucapanku waktu itu.”Kalimat itu membuat Helena tersenyum tipis tanpa mengubah posisinya yang saat ini bersandar di dada Keyland, dengan tubuh polos mereka sama-sama terendam di dalam busa sabun yang terasa hangat di dalam bathup. Tak perlu ditanya lagi apa yang baru saja mereka lakukan, karena Keyland seperti orang kesetanan yang tidak memberikan waktu bagi Helena untuk beristirahat. Mereka terus mengulang sentuhan kenikmatan, seolah tidak akan pernah bisa melakukannya lagi.“Kau bisa mengganti password pintunya kalau takut aku akan tiba-tiba datang,” bisik Keyland dengan bibir yang mengecup leher Helena.“Oke, aku akan menggantinya nanti agar kamu tidak seenaknya muncul tiba-tiba,” balas Helena dengan jari jemarinya yang terus menjalari lengan Keyland di perutnya.“Hem… kau bisa tetap menyapaku di kantor saat bertemu.” Keyland semakin mengeratkan pelukannya, dengan bibir yang terus berjalan di sepanjang bahu polos Helena.“Dan jangan