Share

Zan Ducan

“Kenapa gadis itu?” batin Zan begitu melihat gadis yang baru saja duduk di sampingnya berlari mengejal mobilnya. “Apa urusan gadis itu denganku?”

“Bos, sepertinya, gadis itu mengejar Anda,” info laki-laki berotot yang duduk di samping kemudi.

Zan mengerutkan kening. “Aku nggak merasa mengatakan apa pun yang akan membuat gadis itu berlari mengerjarku sampai seperti itu.”

Zan menoleh dan melihat gadis itu terus mengejar sambil meneriakan sesuatu.

“Wajah dan penampilan Anda nggak membutuhkan kata. Gadis mana yang nggak akan tertarik dengan Zan Ducan.” Laki-laki berotot itu ikut melihat ke arah belakang.

“Kupikir dia bukan jenis yang akan begitu saja tertarik dengan penampilan dan wajah. Dia bukan gadis dari dunia kita. Jadi, dia nggak tahu siapa Zan Ducan.” kilah Zan datar.

“Apa Bos ingin mobil ini berhenti?” tanya laki-laki berotot itu seraya menatap wajah Zan.

Zan termenung sesaat.

“Tapi, biasanya gadis-gadis akan menimbulkan masalah, Bos.” Laki-laki berotot itu memberikan rambu penolakan.

Sekali lagi, Zan menoleh ke belakang. Kemudian ..., “Terus jalan!”

Dan mobil mewah itu melaju kencang meninggalkan seorang gadis yang sampai hampir kehabisan napas mengejar.

***

Di sisi lain, Hana baru saja menghentikan larinya. Ia membungkuk di tepi jalan raya dengan napas terengah. “Haah ...!”

“Tin! Tin!” Beberapa mobil membunyikan klakson dengan keras, pertanda para pengemudinya marah.

“Ah ...,” desah Hana kesal. Ia naik ke trotoar, berbalik arah dan berjalan dengan gontai ke peron kedatangan di mana travel bag-nya tertinggal.

Beberapa saat kemudian, Hana tiba di kursi yang semula ia duduki. Ia mengambil air minum dan menenggaknya sampai isinya habis. Lalu, dengan cepat ia mengambil telepon genggamnya.

Jemarinya dengan cepat mengetikan nomor plat mobil yang baru saja ia kejar. Dan dalam sekian detik nama pemilik mobil itu terpampang di layar.

“Zan Ducan.” Kening Hana berkerut. “Siapa laki-laki itu?”

Hana menatap jauh ke arah mobil itu menghilang. “Dari gerak-geriknya, laki-laki berotot yang suaranya kudengar dalam percakapan terakhirku dengan ayah itu pasti anak buahnya.”

Gadis itu terlihat bingung. “Lalu, apa hubungan laki-laki kaya itu dengan ayahku?”

Hana menggulung layar dan menemukan beberapa informasi tentang laki-laki yang sedang ia selidiki.

“CEO dari Teta Tech. Corporation, Man of the year dari majalah bisnis bergengsi dan ....” Gadis itu membaca apa saja yang berkaitan dengan laki-laki tampan yang beberapa saat lalu ia temui itu.

“Wah!” Ia menggeleng-nggelengkan kepala. “Aku yakin di sekitarnya banyak wanita cantik, sosialita, artis dan gadis-gadis kaya lain yang ingin menjadi pendampingnya. Tapi-”

Kening Hana kembali berkerut. Ia bingung saat berusaha menghubungkan antara ayahnya dan laki-laki kaya itu. “Kayaknya dunia kita berbeda. Lalu, kenapa anak buahnya bisa menganiaya ayah ketika itu? Atau ...?”

Hana mengibas-ibaskan bajunya yang basah, berharap dengan itu angin membuatnya lebih segar.

“Atau ayahku hanya berurusan dengan laki-laki berotot itu? Tapi, masalah apa?” Hana terlihat sangat bingung.

Lalu, ia memutuskan untuk mencari taksi dan kembali pulang ke rumah daripada makin terperosok dalam kebingungan.

Dan beberapa saat kemudian, taksi itu berhenti di sebuah apartemen tua dan tak terurus.

“Empat tahun yang lalu, tempat ini sangat ramai. Aku sering mengantarkan langgananku di sini,” ucap sopir taksi ketika menerima uang Hana.

“Ya, setahu saya juga begitu. Tapi, kenapa sekarang jadi seperti ini ya, Pak?” Hana mengedarkan pandangannya sebelum kembali menatap sopir taksi itu.

Tapi, sopir itu hanya mengedikan bahu. “Banyak hal yang terjadi.”

Hana harus kecewa ketika hanya itu yang ia dapatkan.

Kemudian, Hana menyeret travel bag-nya ke tangga apartemen yang akan menuntun ke unitnya.

Apartemen itu hanya terdiri dari lima lantai. Dan gedung yang sekarang tak terawat itu tidak memiliki lift.

Sekian menit kemudian, Hana sudah berdiri di depan pintu rumahnya yang berada di lantai dua. Ia berdiri memandangi sebuah hiasan yang dulu ia tempelkan dengan tangannya sendiri.

“Semoga setelah percakapan terakhir di telepon itu, meskipun setelah itu ayah nggak bisa dihubungi, ayah baik-baik saja dan hidup dengan baik di rumah ini.” Hana menghela napas dalam. “Ia hanya nggak ingin aku pulang sebelum selesai kulian saja.”

“Tok! Tok!”

Tangan Hana sedikit gemetar mengetuk pintu rumahnya. Mulutnya nggak sabar menyebut nama ayahnya.

“Permisi!” teriak Hana riang. Ia harap ayahnya mengenali suaranya.

Dalam hitungan kelima, dari dalam unit itu terdengar suara langkah diseret, pemiliknya seperti enggan berjalan.

Dan-

“Klek!”

Jantung Hana berdetak tak menentu.

“Seperti apa ayah sekarang? Apa seluruh rambutnya sudah memutih? Atau kerutan di wajahnya bertambah banyak?” Tangan gadis itu berkeringat.

Pintu terbuka.

“Ay-” Seketika ucapannya urung.

Seorang laki-laki bertubuh gendut berdiri di depan pintu. Wajahnya terlihat ngantuk dan jengkel. “Cari siapa?”

“Bapak siapa?!” Suara Hana meninggi saat orang yang sama sekali nggak dikenalnya keluar dari rumahnya.

Laki-laki gendut itu membelalakan matanya, “Lo, Kamu cari siapa?”

“Ayah.” Suara Hana terdengar ragu ditabrak fakta.

Laki-laki gendut itu mendengus sebal. “Apa urusanku dengan ayahmu? Cari di tempat lain?!” Ia menutup pintu dengan cepat.

“Tunggu!” Hana menahan pintu itu.

Pintu kembali dibuka.

“Apalagi?!” Laki-laki gendut itu terlihat kesal.

“Sudah berapa lama Bapak tinggal di sini?” Hana mulai menyadari keadaan.

“Empat tahun-”

“Empat tahun?!” seru Hana terkejut.

“Sudah, jangan banyak tanya!” Laki-laki itu kembali hendak menutup pintu.

“Pak!” Hana kembali menahan pintu itu. “Apa pemilik lama meninggalkan alamat?”

“Nggak!”

“Brak!”

Dan pintu rumah itu tertutup.

“A-” Hana tercengang. Ia berdiri terpaku di depan pintu, gemetar. “Jadi, di mana ayah?”

Tapi, ia nggak kehilangan akal. Ia berjalan beberapa meter ke samping kanan dan mengetuk rumah tetangganya.

Begitu pintu tak kunjung terbuka, ia berulang kali memanggil nama pemilik rumah.

Pintu terbuka.

Dan seorang wanita tua, dengan rambut ikal yang telah memutih berdiri di depan pintu. Ia menatap Hana dengan pandangan penuh selidik.

“Tante, apa Tante tahu ke mana ayah pergi?” Hana memohon.

“Ha-na?!” Wanita tua itu membelalakan mata begitu menyadari siapa yang berdiri di depannya.

“Ya, aku Hana, Tante. Tante, tahu ‘kan di mana ayahku tinggal sekarang?” Hana sangat berharap jawaban tetanggganya yang masih tinggal di sana itu.

“Huh!” dengus wanita itu sebal. “Aku nggak tahu.”

Hana tak percaya dengan jawaban ketus itu. “Tante, tolong! Aku sudah empat tahun nggak ketemu ay-”

“Aku nggak tahu! Nggak tuli ‘kan?” sahut wanita tua itu tajam. Lalu, ia menutup pintu.

“Tante!” Hana menahan pintu itu.

“Tolong-”

“Pergi anak sial!” umpat wanita tua itu kesal.

“Ha?!” Hana ternganga. Di detik yang sama tangannya terlepas dari pintu dan-

“Brak!”

Pintu itu ditutup dengan kasar.

“A- yah.”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status