Share

Dibalik Percakapan Terakhir

“Brak!"

“Agh!” seru Hana kesal. 

Suara gedubrak dari pintu yang dibanting itu adalah suara keempat kalinya setelah ia mencoba bertanya pada para tetangga yang berada satu lantai dengan bekas rumahnya dahulu.

“Ayah ... Kamu di mana?” keluhnya sambil mengelap keringat yang mulai membasahi wajahnya.

Tapi, jelas nggak ada satu pun yang bakal menjawab keluhan lirihnya. Lalu, ia berjalan dengan gontai sambil menarik tas travel berodanya ke lantai dasar.

“Eh! Bukankah pemilik toko elektronik di depan bangunan ini sahabat ayahku?” cetusnya dalam hati.

Semangat yang sempat surut kembali berkobar. Ia mempercepat langkahnya untuk segera sampai di tempat itu.

“Om,” sapa Hana sembari sedikit membungkukan kepala.

“Oh! Hana!” Laki-laki bermata sipit itu ternyata masih mengingat Hana. 

“Om, tahu nggak ke mana ayah Hana pindah?” Hana menatap laki-laki itu lekat. Ia berharap yang satu ini nggak seperti tetangganya yang lain.

“Ah ...,” desah laki-laki itu lemah. Ia terlihat sedih ketika melihat tas travel yang berada di samping Hana. “Andai om bisa kasih tahu ....”

“Puh!” Hana mengembuskan napas dalam. Kedua bahunya turun dengan pelan. “Ayah itu orangnya ramah dengan tetangga, agak aneh kalau nggak ada satu pun yang tahu ke mana ayah pindah.”

“Tapi, memang orang-orang sini nggak ada yang tahu, Hana,” bela laki-laki itu lirih. Ia merasa sangat kasihan melihat sinar mata Hana yang mendadak redup.

Hana berkacak pinggang ketika mengedarkan pandangannya ke seluruh jalan di antara bangunan bekas rumahnya dan bangunan di mana toko itu berada. “Ayah nggak mungkin tiba-tiba menguap 'kan?”

“Eh!” Tiba-tiba matanya berbinar. “Om, boleh Hana lihat rekaman CCTV-nya?” 

Harapan Hana kembali bersemi saat melihat sebuah kamera milik toko elektronik itu menghadap tepat ke arah rumahnya.

“Ya, masuk aja! Pegawaiku akan membantumu.” Wajah pemilik toko itu ikut terlihat cerah.

Hana bergegas masuk. Seorang laki-laki muda menyambutnya.

“Duduk dulu! Akan aku carikan.” Laki-laki muda itu beranjak dari kursi kerjanya setelah Hana memberitahukan maksudnya.

Hana mengikuti pegawai muda itu dengan pandangan matanya. Ia pergi ke sebuah ruangan yang terlihat rapi. Dan ia kembali dengan membawa rekaman CCTV yang Hana minta.

Hana menyeret kursinya agar lebih dekat dengan pegawai laki-laki yang mulai memutar rekaman itu di layar komputer.

“Mau yang tanggal berapa?” tanya pegawai toko elektronik itu tanpa menoleh ke arah Hana.

Dengan cepat, Hana menyebutkan tanggal yang nggak akan pernah ia lupakan selama empat tahun ini, tanggal percakapan terakhir dengan ayahnya.

Dengan cepat, pegawai itu menuju tanggal yang diminta Hana. “Nah! Kamu bisa lihat sendiri!” Lalu, ia beranjak. “Aku akan meninggalkanmu sendiri. Kalau ada hal lain yang dibutuhkan, bilang saja!”

Hana lupa menjawab, dengan tak sabar, Hana menggeser kursinya tepat di depan layar. Tangannya menekan tombol berbentuk segitiga miring pada rekaman video itu.

Hana merasa tegang saat rekaman itu menunjukan kedatangan dua mobil jeep. Orang-orang dari dalam mobil-mobil itu keluar dengan cepat. Tiga orang standby di dekat mobil, sedangkan yang lain naik ke lantai dua. 

Lalu, mereka bertiga berhenti di depan bekas rumah Hana. Salah satu dari mereka terlihat menggedor pintu.

Hana membesarkan tayangan video itu.

“Itu ....” Ia seperti mengenali postur tubuh salah satu di antara mereka bertiga. “Laki-laki berotot itu ....”

Tapi, mulut Hana kembali terbungkam saat bekas rumahnya terbuka, ayah yang ia rindukan muncul dengan membawa telepon genggam yang masih terangkat.

“Ayah sedang meneleponku,” gumam Hana hampir tanpa suara.

Lalu, laki-laki berotot itu terlihat mengatakan sesuatu dan tak lama kemudian mereka masuk ke dalam bekas rumah Hana.

“Apa yang mereka cari?” tanya Hana dalam hati.

Lalu, mereka keluar dan-

“Agh!” Hana tercekat ketika mereka bertiga langsung memukuli ayahnya. “Ay- yah!” Mulut gadis itu bergerak-gerak, tapi tak ada satu kata pun yang keluar.

Keringat dingin seketika mengalir deras di tubuh Hana.

“Aaa!” serunya tertahan saat beberapa saat kemudian mereka bertiga menyeret ayahnya menuruni tangga.

Dan ketika sampai di dekat mobil-mobil jeep itu, yang lain ikut memukuli, menendang dan menginjak ayahnya.

Hana ingin memejamkan mata, tapi matanya tetap terbuka. Ia membeku.

Lalu-

“Agh!” Hana kembali berseru tertahan ketika laki-laki berotot itu menginjak telepon genggam yang berada dalam genggaman ayahnya.

Rekaman video itu memang tidak memunculkan suara, tapi dari gerak-geriknya, Hana tahu bahwa ayahnya sedang berteriak kesakitan.

Hana merasa mual. Perasaannya campur aduk.

Lalu, pengeroyok ayahnya itu mengangkat tubuh ayahnya yang tak berdaya dan melemparkan tubuh itu ke dalam salah satu mobil jeep. 

Kemudian mobil-mobil itu melesat meninggalkan jalanan di depan bangunan itu.

“Hah ....” Mendadak Hana merasa sesak, seolah stok oksigen di sekitarnya habis.

“Hana, Kamu baik-baik saja?” Suara pemilik toko terdengar dari ambang pintu.

“Y- ya. Ya, Om.” Hana berusaha terlihat baik-baik saja ketika ingat sedang berada di mana dirinya.

Hana teringat dengan apa yang harus dilakukannya. Ia mengambil flaskdisk di tas punggungnya, lalu menyimpan rekaman video penganiyaan dan penculikan ayahnya itu.

Setelah itu, ia keluar dari ruangan itu.

“Sudah?” tanya pemilik toko elektronik itu seraya menatap Hana penuh selidik.

“Ya, Om. Terima kasih.” Hana sedikit membungkukan badan.

“Hana, jangan sampai ada yang tahu kalau Kamu mendapatkan rekaman itu dari aku!” Mendadak raut wajah pemilik toko itu terlihat sangat serius.

“A-” Hana ternganga tanpa sanggup melanjutkan kata.

“Carilah tempat yag nyaman, Hana. Semoga Kamu cepat menemukan ayahmu.” Pemilik toko itu menepuk bahu Hana dengan lembut.

Hana tahu diri ketika menangkap pengusiran secara halus itu dalam kata-kata teman ayahnya itu.

“Ya, Hana janji. Dan sekali lagi, terima kasih, Om.” Hana keluar dari toko itu dengan menyeret tas travel berodanya.

Mendadak Hana menghentikan langkah. Ia mengambil telepon genggamnya dan mencari alamat seseorang yang namanya baru kemarin ia tahu, Zan Ducan.

“Apa ia bisa ditemui di kantornya? Atau harus berkunjung di rumahnya? Kupikir, ia satu-satunya yang bisa membawaku pada laki-laki berotot itu!” Hana terus menggulung layar untuk mencari informasi yang berkaitan dengan Zan Ducan itu.

Layar menyala dalam genggaman tangannya segera menampilkan hasil pencarian berupa gambar gedung korporasi Teta Tech yang besar dan megah. 

Dan ketika Hana menggeser gambar itu, sebuah gambar mansion yang sangat besar dan megah terpampang.

“Uh!” Hana mengerutkan kening. “Gimana caranya seseorang seperti aku bisa langsung menemui bos besar seperti dia?”

Hana bingung.

Tapi, tekadnya nggak surut ketika ia kembali mengingat rekaman CCTV yang baru ia lihat tadi.

“Itu empat tahun yang lalu. Apa kabar ayah sekarang? Apa ia masih hi-” Hana menghentikan apa yang baru saja melintas dalam pikirannya.

“Apa pun caranya, aku harus menemui Zan Ducan. Titik!” 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status