“Bawa ini ke ruang Glorius!”
Seorang kepala pegawai laki-laki memerintahkan itu pada bawahannya. Ia menunjuk ke satu set menu yang berada di atas nampan.
Pegawai laki-laki yang menerima perintah itu mengangguh patuh dan segera membawa nampan itu ke ruang yang ditunjuk.
Glorius adalah satu ruang VIP di klub Victory di pusat kota yang hanya boleh digunakan oleh orang-orang tertentu, seperti pemiliknya dan orang-orang yang dekat dengannya. Itu artinya, pegawai yang membawa nampan itu harus menyajikan apa pun dengan cara yang sempurna.
Lalu, ia memasuki ruang itu dengan sikap hormat. “Silahkan Mr. Zan Ducan!” Ia meletakan nampan itu dengan persisi.
“Bagaimana dengan kreasi menu baru ini?” Zan mengambil sendok dan mencicipi salah satu menu.
“Banyak pengunjung klub yang memesan set menu ini sejak pertama kali menu ini diluncurkan, Bos.” Pegawai laki-laki itu mundur selangkah.
Zan mengunyah dan meneliti rasa yang terkandung dalam salah satu makanan itu. “Bagus!”
Pegawai laki-laki itu hendak undur diri, tapi ia baru saja menerima pesan dari atasannya melalui earpiece yang terselip di lubang telinga.
“Bos, seorang gadis membuat keributan di pintu utama. Dia meneriakan nama Anda,” lapor pegawai laki-laki itu.
Seketika kening Zan berkerut. Ia menghentikan gerakan mengunyah di mulut. “Gadis?”
Ia merasa bingung dengan kata itu karena ia merasa sedang tidak berurusan dengan seorang gadis pun di circle-nya.
Tapi, pegawai laki-laki itu mengangguk tanpa ragu.
“Tampilan rekamannya dari sini!” perintahnya tegas. “Gadis mana yang membuat penjaga-penjaga di bawah sana melapor? Bukannya hal seperti ini bisa diatasi tanpa melapor padaku?”
Komentar yang mendekati gerutuan itu membuat pegawai laki-laki itu dengan cepat menjalankan instruksi bosnya. Ia menyalakan layar televisi besar yang ada di ruangan itu. Lalu, menutup mengubah mode kaca pada jendela kaca besar yang menampilkan city view menjadi gelap.
Layar datar itu mulai menggambarkan apa yang sedang terjadi di pintu utama klub Victory.
“Aku hanya ingin bicara dengan Zan Ducan!” Seorang gadis sedang melawan dua orang bodyguard di lantai dasar bangunan megah klub bergengsi itu.
Zan mengerutkan kening ketika melhat siapa yang bicara. “Bukankah itu gadis yang ....” Ia teringat dengan gadis lucu yang mencoba mengejar mobilnya kemarin.
Ia hendak memerintahkan sesuatu pada pegawai laki-laki yang masih berdiri dengan patuh tak jauh darinya. Tapi, ia mengurungkannya.
“Kamu nggak tahu siapa yang Kamu sebut itu? Dia bukan orang sembarangan yang bisa begitu saja diajak bicara!” Salah satu penjaga itu menghalangi jalan gadis itu.
“Siapapun dia, aku hanya ingin bicara, nggak kurang dan nggak lebih! Tolong izinkan aku menemuinya!” Gadis itu bersikeras.
“Bicara?” Kening Zan kembali berkerut. Ia yang sedang menonton apa yang terjadi di pintu utama klub tanpa menghentikan makannya itu mendadak meletakkan sendoknya. “Jadi, gadis itu mencariku? Kenapa?”
Ia kembali memperhatikan layar. Gadis itu mendongak untuk menatap tajam pada salah satu penjaga yang mencegatnya. Di depan bodyguard itu, tubuh gadis itu terlihat kecil.
“Suit!” Zan bersiul. “Nyalinya bolehn juga!”
“Aku nggak akan mengganggu bosmu. Aku hanya ingin mengambil waktunya lima menit!” Gadis itu berteriak kencang.
“Lima menitmu nggak sebanding dengan lima menit milik Zan Ducan. Pulanglah gadis kecil! Mainlah di tempat lain!” ejek salah satu bodyguard itu.
“Ini hal yang sangat penting untukku. Aku nggak bisa begitu saja pergi!” Gadis itu tak surut.
“Kalau begitu, biar aku yang memaksamu pulang!” Dan salah satu bodyguarg itu menyambar lengan gadis itu untuk diseret keluar.
“Tidak!” Tanpa diduga, gadis itu menggeser lengannya untuk menghindari sambaran bodyguard itu.
Bodyguard yang lain merangsek maju untuk membantu rekannya. Tapi, dengan gesit, gadis itu menipu dengan mengatur langkahnya dan bahkan bisa menyusup di antara dua badan kekar berotot itu. Lalu, ia berlari ke arah dalam.
“Hei! Berhenti!” Kedua bodyguard itu mengejar gadis itu.
Zan menyeringai geli. “Entah kenapa itu membuatku geli? Bukankah itu lucu?” tanyanya pada pegawai yang berdiri di sebelahnya.
“Ya, Bos.” Pegawai itu menjawab dengan kaku dan takut.
“Selain lucu, gadis itu juga menarik,” komentar Zan sembari menikmati tayangan video kejar-kejaran di lantai satu itu. “Lihat! Gadis kecil itu bisa mempecundangi dua orang berbadan besar.”
Zan mengambil gelas minuman dan menyesapnya tanpa mengalihkan pandangannya dari layar datar.
“Eh! Tunggu!” Zan menjauhkan gelas dari mulutnya. “Dari sekian banyak tempat yang aku datangi, dari mana gadis itu tahu aku sedang berada di sini?”
Ia menoleh ke arah pegawainya dengan tatapan penuh tanya.
“Saya tidak tahu itu, Bos.” Pegawai itu mengangguk takut. “Saya yakin pihak tim Victory bisa menjaga kerahasiaan klub.”
“Gadis itu ....” Zan menyipitkan pandangannya.
Sementara itu, layar sedang menayangkan adegan gadis itu yang berlari di salah satu lorong yang menuju ke arah ball room di mana tangga melingkar yang megah berada di tengah ruangan.
Tubuh langsing gadis itu berhasil mengalahkan kecepatan lari dua pengejarnya yang badannya dua kali lipat darinya.
“Berhenti!” Teriakan bodyguard itu bergaung di ruangan itu.
Tapi, gadis itu mengabaikannya. Ia terus mempercepat larinya ke arah tangga melingkar lain yang berada di dekat tangga pertama. Ia terus menuju lantai terakhir gedung megah Victory.
“Tangkap dia! Cepat!” Salah seorang dari bodyguard itu terlihat panik begitu gadis itu menaiki tangga yang menuju lantai terakhir bangunan megah itu.
“Puh ....” Zan meniupkan napas panjang. “Bagaimana cara mereka berdua menangkap gadis itu sedangkan jarak di antara keduanya kian lebar?”
“Apa bos ingin memerintahkan tim Victory untuk menangkap gadis itu?” sahut pegawai laki-laki yang juga ikut menyaksikan aksi kejar-kejaran itu.
“Tidak!” sahut Zan dengan cepat dan tegas.
Dengan cepat, pegawai laki-laki itu menoleh ke arah bosnya.
“Hm, aku ingin lihat sampai seberapa jauh keberanian gadis itu.” Zan menjawab tatapan penuh tanya itu dengan santai.
Pegawai laki-laki itu hanya mengangguk dan kembali memperhatikan layar.
Sementara itu, layar menunjukan bahwa saat itu, gadis itu sedang berjalan di salah satu lorong yang berada di lantai tiga.
Kening Zan berkerut ketika memperhatikan lorong itu.
“Eh! Bukannya itu lorong yang menuju ruang ....” Kemudian mata Zan membelalak.
“Ruang Glorius, Bos!” sahut pegawai laki-laki itu dengan cepat.
“Dari mana gadis itu tahu aku berada di Glo-”
“Brak!!”
Pintu ruang super VIP itu terbuka ketika gadis itu menendangnya.
Zan tak mampu menyembunyikan keterkejutannya ketika melihat gadis itu berdiri di ambang pintu dengan terengah-engah.
“Zan ... Ducan ... Mr ... aku ingin bicara!” Gadis itu kehabisan napas.
“A-” Zan ternganga. Ia nggak sama sekali nggak menyangka gadis itu bisa menemukannya.
“Ting!” Sendok terlepas dari tangan Zan. Dan hening menyapu ruangan itu, hanya suara terengah gadis itu yang terkadang terdengar.“Wow!” seru Zan begitu keterkejutannya berakhir. “Tamu tak diundang yang mengejutkan!”“Aku nggak bermaksud untuk-”“Bos!” Kalimat gadis itu terpotong dengan kedatangan dua orang bodyguard yang menyusul Hana. Mereka berdua hampir saja bertabrakan karena berhenti mendadak.“Kalian gagal?” sindir Zan sinis.“Ma- maaf, Bos.” Mereka menunduk. Lalu, “Kami akan menyeret gadis kurang ajar ini keluar.”“Hm.” Zan menggelengkan kepala. Lalu, mengangkat tangannya sebagai isyarat pelarangan. “Sepertinya ia hanya ingin bicara.”Kemudian Zan menggerakan jarinya untuk meminta gadis itu maju.Gadis itu melirik kesal ke arah dua bodyguard itu, lalu, ia berjalan beberapa langkah kemudian berdiri tepat di depan meja kaca di mana Zan berada.Ia menginsyaratkan kedua bodyguard itu untuk menutup pintu. Keduanya menjalankan perintah itu, tapi nggak meninggalkan ruangan. Mereka b
“Bapak nggak bisa gitu dong! Saya ‘kan juga-” “Begini.” Polisi dibalik meja itu mengangkat tangannya untuk menghentikan protes dari mulut Hana. Ia memberanikan diri menatap langsung mata Hana. “Saya tidak bisa menjelaskan secara rinci. Pokoknya, kami nggak bisa memproses laporan ini. Jadi, sebaiknya Anda menunggu kepulangan ayah Anda di rumah.” “Lo?! kok gitu, Pak?! Pak, saya punya bukti kuat tentang penganiayaan dan penculikan ayah saya. Saya akan tunjukan pada Bapak.” Hana merogoh tas punggungnya. “Hei!” Tapi, polisi itu malah memanggil dua rekan kerjanya yang berada tak jauh dari mejanya. Dua orang polisi itu mendekat dan tiba-tiba- “Pak, ini apa?” Hana bingung setengah panik ketika kedua polisi itu menghampiri, mencekal tangannya dan mendorongnya ke arah pintu keluar dan pelan tapi tegas. “Kami nggak bermaksud melakukan ini, tapi percayalah! Ini demi keamanan Anda dan kita semua.” Dua polisi itu membuat Hana berdiri di depan pintu dalam keadaan tercengang. “Saya harap ayah A
“Panggil dia!” perintah Zan pada sekretaris pribadinya.Laki-laki yang mengenakan stelan jas lengkap berwarna coklat itu mengangguk pelan. “Anak buah Anda akan ke ruangan ini sebentar lagi, Bos.”Zan mengangguk, tapi ia belum memberikan tanda-tanda untuk mengizinkan seketaris pribadinya itu keluar dari ruang kerjanya yang berada di lantai teratas tower Teta Tech Corporation.“Ada lagi yang perlu saya lakukan, Bos?” Laki-laki itu membaca tatapan tajam bosnya.Kedua sudut mata Zan sedikit menyipit. “Apa Kamu yakin telepon genggam atau komputermu nggak dibajak orang?”Seketaris pribadi Zan terlihat terkejut, wajahnya bingung. “Saya pikir semuanya dibawah kontrol, Bos. Semua baik-baik saja.”Zan mengangguk ragu. “Kalau begitu, bagaimana gadis itu bisa menemukanku masih menjadi misteri yang menarik.”“Gadis?” Raut wajah laki-laki itu makin bingung.“Lupakan!” Dengan cepat, Zan menepis udara kosong. “Hanya saja, jika ada sesuatu yang janggal, segera laporkan!”Anak buah Zan itu mengangguk d
“Apa sampai bisa kehilangan nyawa?” Andro menatap lekat Hana.Hana mengedikan bahu. “Melihat bagaimana laporan itu diabaikan begitu saja, bahkan aku diusir dari kantor polisi, siapapun yang ada dibelakang semua itu pasti bisa melakukan apa pun, termasuk menghilangkan nyawa orang lain.”“Oh!” Andro menyibakan rambutnya, kemudian menggaruk kepalanya yang tak gatal. Lalu, ia kembali menatap Hana dengan tajam. “Aku tetap akan membantumu, demi pertemanan kita di masa lalu.”Seketika Hana meletakan sendok di tangannya, menatap Andro dengan tatapan penuh rasa terima kasih. “Di sela-sela kekalutan dan ketidakpastian ini, ucapanmu benar-benar menghiburku. Kamu harus tahu kalau aku menghargai kesedianmu.”Andro tersenyum. “Ini bukan hanya untuk pertemanan kita, tapi juga amanat dari Hans.”Hana ternganga ketika nama itu kembali disebut. Dan nama itu juga kembali mencolek rasa sakit yang telah lama berusaha ia kubur rapat-rapat di hatinya.“Ah! Hana, maaf aku benar-benar nggak bermaksud untuk-”
“Zan, please ....” Max merasa lelah. “Kamu bisa berhubungan dengan siapapun. Shelomita White, Arina Tsarkova, Madeline Smith atau siapapun itu, tapi tidak dengan gadis tanpa nama belakang itu!”“Max, tenang! Apa yang Kamu takutkan,” balas Zan santai.“Ah! Zan. Kita mengenalmu sejak aku baru bisa jalan. Dan aku tahu sekali tanda-tanda jika Kamu sedang tertarik dengan seorang gadis.” Max meletakan kedua jarinya yang membentuk huruf V ke arah matanya, lalu mengalihkan kedua jari itu ke arah Zan.Zan hanya mengedikan bahu. “Aku hanya ingin tahu apa yang membuat gadis itu senekad itu. Itu saja.”“Ah, katakan apa saja. Tapi, Kamu nggak akan pernah bisa membohongiku!” seru Max tegas.Zan mengarahkan pandangannya ke arah kertas yang menyertai foto gadis yang telah menggeruduk klub bergengsinya itu.“Max, kenapa alamat rumah gadis itu nggak diketahui?” Zan mengerutkan kening.“Ah ....” Max kembali menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi. “Itu juga yang membuatku kesal! Jadi, ke mana Victory
“Kamu tahu?” Wajah Hana pias.“Jadi, menurutmu aku nggak tahu?!” Hans mengetuk-ngetukan telunjuknya ke kepala Hana dengan pelan. “Naif. Alex juga tahu.”“Puh ....” Hana mengembuskan napas panjang. Lalu, ia menunduk.“Kevin memang paling lembut di antara kita bertiga. Dan di matanya, ia lebih dari sekadar orang yang mirip ayahmu, Kamu juga mencintainya.” Hans menahan sesak.Sedangkan, Hana makin dalam menunduk.“Aku tahu kalian saling mengasihi. Kevin lebih sekadar dari menjagamu, ia juga mencintaimu. Tapi, jika kalian memang nggak ditakdirkan bersama, bukan berarti pertemanan kita berempat bubar, bukan?” Hans mendorong bahu Hana dengan telunjuknya pelan.Hening menyela di antara keduanya.“Hei!” Hans merangkul bahu Hana. “Kalau nggak ada Kevin, masih ada aku. Em, bukankah kita akan menjadi pasangan petualang yang seru? Hana dan Hans, lihat! Bahkan nama kita saja sudah cocok. Hmm, sepertinya semesta juga mendukung itu.”Seketika Hana mengangkat pandang. Ia menoleh ke arah Hans dan mena
“Ssst!” Alex meletakan telunjuknya di depan bibir. Lalu, ia meminta Hana untuk kembali duduk dengan tenang. “Ini bukan informasi yang bisa dikatakan dengan suara keras.” Ia melirihkan suara. Alex membuat isyarat untuk tenang dengan kedua tangannya.Hana paham. Lalu, ia kembali duduk seperti semula, tapi ketertarikannya membuatnya mencondongkan badannya ke depan. “Cepat katakan!”“Sepertinya dia teman ayahmu. Dia terlihat ketakutan dan aku menariknya ke satu sudut di bawah rumahmu itu untuk menanyainya. Awalnya, dia menolak untuk mengatakan apa pun. Tapi, aku yakinkan jika aku akan membuatnya lebih susah jika nggak mengatakan apa yang ia tahu,” jelas Alex dengan suara lirih.Hana ternganga. “Lalu apa yang ia katakan?”“Dia bilang bahwa ayahmu berada di tangan seorang ....” Alex menoleh ke kiri dan ke kanan untuk memastikan nggak ada seorang pun yang sedang melihatnya. “Seorang Du-can.”“Ha?!” seru Hana tertahan. Meskipun nama itu disebutkan tanpa suara, tapi gerakan bibir yang sangat j
“Suplai sayur datang!” sopir yang mengenakan topi yang menutupi sebagian wajahnya berteriak di depan gerbang bangunan megah klub Victory.Sebuah mobil box tertutup yang bagian sampingnya tertera gambar sayuran segar dalam ukuran besar mengantri di belakang mobil mewah yang baru saja masuk ke halaman parkir Victory.Seorang sekuriti bertubuh tinggi besar mendekati mobil sayur itu. “Bukannya harusnya sore tadi?” Ia terlihat nggak senang, karena mobil sayur seperti itu nggak seharusnya ada ketika Victory telah dibuka untuk tamu.“Sorry, Bos. Tadi terhambat di jalan. Tapi, jangan khawatir! Semua bahan makanan yang dikirim ke Victory tetep fresh dan kualitasnya nggak main-main.” Sopir mobil sayur itu menyertakan senyum cengengesan.“Ya, sudah! Langsung bongkar muat di pintu dapur ya!” Sekuriti itu mempersilakan mobil itu masuk.Lalu, mobil itu berbelok menuju pintu yang ditunjuk. Dan begitu berhenti. Dua orang dengan baju yang sama dengan sopir mobil box itu turun dari bagian belakang mobi