“Halo! Ayah!”
Hanasta berulang kali mengucapkan itu ketika sepertinya ayahnya yang berada jauh di negaranya itu seolah sedang tidak fokus bicara dengannya.
“Ayah! Apa sinyalnya nggak bagus?” Hanasta menekankan telepon genggamnya di telinga. “Ayah!”
Alih-alih mendengar jawaban ayahnya, gadis yang baru saja kuliah di luar negeri itu malah mendengar suara gemerisik nggak jelas.
“Ayah-”
“Ssst! Sebentar Hana!” Suara berbisik ayahnya membuat Hanasta khawatir.
“Ada apa, Ayah?” Hanasta ikut-ikutan melirihkan suara.
“Tunggu!” Suara ayahnya makin lirih.
Hanasta diam sejenak, berusaha sabar menunggu seperti permintaan ayahnya. Tapi-
“Brak!!”
“Ting!”
Hanasta terkejut ketika malah mendengar bunyi suara pintu dibuka paksa. Dan suara denting lonceng yang mengiringi gedubrak pintu itu membuat ia mengetahui bahwa saat itu ayahnya sedang berada di rumah mereka. “Ayah!!”
“Bawa dia!” Teriakan suara berat laki-laki yang sepertinya merangsek masuk ke rumah mereka.
“Tolong jangan-”
“Ini yang layak Kamu dapat!” Suara berat laki-laki itu memotong permohonan ayahnya. Dan-
“Buk! Buk!”
“Aaa.” Hana makin panik ketika mendengar teriakan ayahnya. Meskipun, nggak melihat secara langsung, gadis itu tahu bahwa ayahnya sedang dipukuli.
“Geledah rumah ini!” Suara berat laki-laki itu kembali terdengar. Sepertinya, ia sedang memberikan perintah pada beberapa orang karena detik itu juga, Hana mendengar beberapa langkah bergerak ke berbagai arah.
Dan di ujung gerak langkah-langkah itu terdengar bunyi gebubrak dari barang-barang yang dibanting.
Hanasta tercekat.
“A- yah!” Mulutnya mengucapkan kata itu, tapi nggak ada suara yang keluar dari sana. Tangannya mulai berkeringat saat jantungnya terasa berdegup nggak normal.
Dan selama gadis itu termangu kaku, selama itu pula teriakan-teriakan kesakitan ayahnya terdengar.
“Seret dia!” Suara berat laki-laki itu kembali terdengar saat ayahnya tak lagi berteriak.
“Tolong! Tunggu! Biarkan aku bicara dengan-”
“Hah! Jangan pedulikan dia!” Suara berat itu kembali memotong ucapan ayahnya.
“A- Ayah ...!” Akhirnya, gadis itu bisa berteriak.
“Hana! Apa pun yang terjadi, jangan pulang! Ingat!” Dan-
Tiba-tiba komunikasi via telepon itu terputus.
“Ayah! Ayah ...!!” Hana berteriak kencang tanpa tahu harus berbuat apa. Lalu, gadis itu menangis meraung-raung.
***
Empat tahun berlalu dengan cepat. Percakapan terakhir itu terus terngiang di telinga Hanasta begitu maskapai penerbangan yang membawanya pulang kembali ke negaranya.
“Kalau bukan karena janjiku pada ayah untuk pantang pulang sebelum lulus, saat itu juga aku pasti terbang pulang meninggalkan kuliah yang baru saja berjalan,” sesal Hana dalam hati.
Gadis itu menyeret travel bag yang berisi barang-barangnya yang nggak begitu banyak begitu keluar dari tempat pengambilan barang di bandara itu. Lalu, ia mengambil telepon genggam yang bersarang di tas punggungnya.
“Ayolah, Ayah!” serunya lirih ketika berulangkali menekan nomor ayahnya yang selama empat tahun nggak bisa lagi dihubungi. Di titik terendah keputusasaannya, ia masih berharap saat ini, ayahnya mengangkat panggilannya.
“Puh ...,” desah Hana lelah. Gadis itu menghentikan langkah, lalu merobohkan punggungnya di kursi besi yang berada di sebelah luar terminal kedatangan.
Lalu, ia mencoba menghubungi nomor lain yang sekiranya dapat memberitahukan keberadaan ayahnya, tapi beberapa nomor itu pun membuat harapannya kian pudar.
“Harusnya, ini adalah hari yang paling membahagiakan untuk aku dan ayah. Hari ini aku berhasil lulus dengan nilai terbaik. Ayah pasti merasa perjuangannya nggak sia-sia. Tapi ....” Sudut-sudut mata Hana mulai menghangat, matanya mulai berkaca-kaca.
“Ayolah, Ayah! Aku sudah menahan geram, takut, sedih, khawatir dan semua emosi negatif selama empat tahun untuk nggak pulang apa pun yang terjadi. Sekarang aku sudah berada di negara ini, setidaknya, Ayah-”
“Apa saja yang kalian kerjakan?!” Mendadak suara laki-laki yang terdengar marah mengalihkan apa yang sedang ada dalam pikiran gadis itu.
Hana menoleh. Ia melihat seorang laki-laki tampan mengenakan stelan jas warna hitam dengan dasi dalam warna senada. laki-laki itu berdiri di samping kursi besi yang ia duduki.
“Kalian menyuruhku menunggu? Ha?!” Laki-laki yang sedang berbicara dengan seseorang melalui telepon genggam itu terlihat kesal.
Hana mengamati laki-laki itu dari atas ke bawah, “Dari semua yang menempel di badannya, sepertinya ia bukan orang sembarangan. Sayang sekali, ia melampiaskan kemarahannya di sembarang tempat.”
“Lima menit lagi! Lewat dari itu, kalian semua dipecat!” tegas laki-laki itu kencang.
Hana tak melepaskan pandangan matanya mendengar kemarangan angkuh itu. Dalam hatinya, gadis itu terus menggerutu karena nggak bisa menyuarakan ketidaksetujuannya.
“Eh?!” seru Hana tertahan ketika mendadak laki-laki tampan itu menoleh ke arahnya.
“Butuh bantuan?!” Laki-laki itu menatap tajam.
“Ha?! Aku?” Hana menunjuk hidungnya.
Alih-alih langsung menjawab, laki-laki berambut hitam dengan netra mata hitam itu mendekat dan duduk di samping Hana, “Ya, wajahnya seperti orang yang butuh bantuan.”
Hana menghela napas begitu mendengar penghakiman dingin itu. “Aku hanya sedang menunggu keluarga.” Ia terlihat enggan bicara dengan laki-laki itu.
“Hm, bagus. Jadi, aku nggak harus menelepon polisi atau ambulan untukmu. Dan ... setidaknya, gadis lucu sepertimu bisa mengalihkan kekesalanku,” ucap laki-laki itu enteng seraya mengedikan bahu.
“Lucu?” Hana terlihat kesal.
Laki-laki itu mengangguk, “Rambut lurus coklat, mata hidung dan bibirmu seperti ditempel dengan sempurna. Itu lucu.”
“Itu bukan lucu-”
“Ciit!”
Decit roda ban depan mobil hitam mewah mengurungkan jawaban Hana. Dan saat gadis itu menoleh mobil itu berhenti tepat di depannya.
Seorang laki-laki berotot turun dari kursi di samping kemudi. Ia buru-buru menghampiri laki-laki tampan yang duduk di samping Hana.
“Maaf, Bos.” Laki-laki berotot yang mengenakan kemeja putih dan celana hitam itu membungkuk hormat.
“Eit, tunggu!” seru Hana dalam hati. Ia terkejut saat mengetahui suara dari laki-laki berotot itu terdengar tidak asing. Hana memelototi laki-laki itu seraya mencoba mengingat-ingat.
“Maaf terlambat, Bos. Kami nggak bisa mensterilkan jalanan.” Laki-laki berotot itu masih membungkuk.
“Aku yakin pernah mendengar suara itu, tapi di mana?” Pertanyaan yang melintas dalam benak itu muncul ketika laki-laki berotot itu mengucapkan lebih banyak kata.
Sementara itu, laki-laki tampan yang duduk di samping Hana menghela napas dalam. Ia menurunkan kakinya yang bersilang. “Jaga sikap! Ini bandara umum. Lihat! Kamu menakuti gadis lucu ini.”
“Siap, Bos!” Laki-laki berotot itu menegakan punggung. Lalu, bergeser memberikan ruang.
Sedangkan, bos tampan itu beranjak berdiri, menatap sekilas ke arah Hana, lalu berjalan menuju mobilnya.
Laki-laki berotot bergerak dengan cepat untuk membukakan pintu mobil di bagian jok penumpang.
Dan tanpa sadar, Hana bergerak mengikuti laki-laki berotot itu. “Suara berat ....”
Gadis itu mencoba mencari suara yang sama yang terekam dalam ingatannya. Tapi, laki-laki berotot itu bergerak dengan cepat, kembali ke jok di samping kemudi, menutup pintu dan-
“Seret dia!” Suara berat yang sama dalam ingatan Hana cocok dengan suara laki-laki berotot itu.
“Itu suara orang yang-”
Tapi, mobil hitam mewah itu melaju dengan kencang.
“Hei! Tunggu!!” Hana berteriak sambil berlari mengejar mobil itu. Sedangkan, suara percakapan terakhir dengan ayahnya kembali terngiang di telinga.
"Berhenti!!!"
“Kenapa gadis itu?” batin Zan begitu melihat gadis yang baru saja duduk di sampingnya berlari mengejal mobilnya. “Apa urusan gadis itu denganku?”“Bos, sepertinya, gadis itu mengejar Anda,” info laki-laki berotot yang duduk di samping kemudi.Zan mengerutkan kening. “Aku nggak merasa mengatakan apa pun yang akan membuat gadis itu berlari mengerjarku sampai seperti itu.”Zan menoleh dan melihat gadis itu terus mengejar sambil meneriakan sesuatu.“Wajah dan penampilan Anda nggak membutuhkan kata. Gadis mana yang nggak akan tertarik dengan Zan Ducan.” Laki-laki berotot itu ikut melihat ke arah belakang.“Kupikir dia bukan jenis yang akan begitu saja tertarik dengan penampilan dan wajah. Dia bukan gadis dari dunia kita. Jadi, dia nggak tahu siapa Zan Ducan.” kilah Zan datar.“Apa Bos ingin mobil ini berhenti?” tanya laki-laki berotot itu seraya menatap wajah Zan.Zan termenung sesaat.“Tapi, biasanya gadis-gadis akan menimbulkan masalah, Bos.” Laki-laki berotot itu memberikan rambu penola
“Brak!"“Agh!” seru Hana kesal. Suara gedubrak dari pintu yang dibanting itu adalah suara keempat kalinya setelah ia mencoba bertanya pada para tetangga yang berada satu lantai dengan bekas rumahnya dahulu.“Ayah ... Kamu di mana?” keluhnya sambil mengelap keringat yang mulai membasahi wajahnya.Tapi, jelas nggak ada satu pun yang bakal menjawab keluhan lirihnya. Lalu, ia berjalan dengan gontai sambil menarik tas travel berodanya ke lantai dasar.“Eh! Bukankah pemilik toko elektronik di depan bangunan ini sahabat ayahku?” cetusnya dalam hati.Semangat yang sempat surut kembali berkobar. Ia mempercepat langkahnya untuk segera sampai di tempat itu.“Om,” sapa Hana sembari sedikit membungkukan kepala.“Oh! Hana!” Laki-laki bermata sipit itu ternyata masih mengingat Hana. “Om, tahu nggak ke mana ayah Hana pindah?” Hana menatap laki-laki itu lekat. Ia berharap yang satu ini nggak seperti tetangganya yang lain.“Ah ...,” desah laki-laki itu lemah. Ia terlihat sedih ketika melihat tas trav
“Bawa ini ke ruang Glorius!” Seorang kepala pegawai laki-laki memerintahkan itu pada bawahannya. Ia menunjuk ke satu set menu yang berada di atas nampan.Pegawai laki-laki yang menerima perintah itu mengangguh patuh dan segera membawa nampan itu ke ruang yang ditunjuk. Glorius adalah satu ruang VIP di klub Victory di pusat kota yang hanya boleh digunakan oleh orang-orang tertentu, seperti pemiliknya dan orang-orang yang dekat dengannya. Itu artinya, pegawai yang membawa nampan itu harus menyajikan apa pun dengan cara yang sempurna.Lalu, ia memasuki ruang itu dengan sikap hormat. “Silahkan Mr. Zan Ducan!” Ia meletakan nampan itu dengan persisi.“Bagaimana dengan kreasi menu baru ini?” Zan mengambil sendok dan mencicipi salah satu menu.“Banyak pengunjung klub yang memesan set menu ini sejak pertama kali menu ini diluncurkan, Bos.” Pegawai laki-laki itu mundur selangkah.Zan mengunyah dan meneliti rasa yang terkandung dalam salah satu makanan itu. “Bagus!”Pegawai laki-laki itu henda
“Ting!” Sendok terlepas dari tangan Zan. Dan hening menyapu ruangan itu, hanya suara terengah gadis itu yang terkadang terdengar.“Wow!” seru Zan begitu keterkejutannya berakhir. “Tamu tak diundang yang mengejutkan!”“Aku nggak bermaksud untuk-”“Bos!” Kalimat gadis itu terpotong dengan kedatangan dua orang bodyguard yang menyusul Hana. Mereka berdua hampir saja bertabrakan karena berhenti mendadak.“Kalian gagal?” sindir Zan sinis.“Ma- maaf, Bos.” Mereka menunduk. Lalu, “Kami akan menyeret gadis kurang ajar ini keluar.”“Hm.” Zan menggelengkan kepala. Lalu, mengangkat tangannya sebagai isyarat pelarangan. “Sepertinya ia hanya ingin bicara.”Kemudian Zan menggerakan jarinya untuk meminta gadis itu maju.Gadis itu melirik kesal ke arah dua bodyguard itu, lalu, ia berjalan beberapa langkah kemudian berdiri tepat di depan meja kaca di mana Zan berada.Ia menginsyaratkan kedua bodyguard itu untuk menutup pintu. Keduanya menjalankan perintah itu, tapi nggak meninggalkan ruangan. Mereka b
“Bapak nggak bisa gitu dong! Saya ‘kan juga-” “Begini.” Polisi dibalik meja itu mengangkat tangannya untuk menghentikan protes dari mulut Hana. Ia memberanikan diri menatap langsung mata Hana. “Saya tidak bisa menjelaskan secara rinci. Pokoknya, kami nggak bisa memproses laporan ini. Jadi, sebaiknya Anda menunggu kepulangan ayah Anda di rumah.” “Lo?! kok gitu, Pak?! Pak, saya punya bukti kuat tentang penganiayaan dan penculikan ayah saya. Saya akan tunjukan pada Bapak.” Hana merogoh tas punggungnya. “Hei!” Tapi, polisi itu malah memanggil dua rekan kerjanya yang berada tak jauh dari mejanya. Dua orang polisi itu mendekat dan tiba-tiba- “Pak, ini apa?” Hana bingung setengah panik ketika kedua polisi itu menghampiri, mencekal tangannya dan mendorongnya ke arah pintu keluar dan pelan tapi tegas. “Kami nggak bermaksud melakukan ini, tapi percayalah! Ini demi keamanan Anda dan kita semua.” Dua polisi itu membuat Hana berdiri di depan pintu dalam keadaan tercengang. “Saya harap ayah A
“Panggil dia!” perintah Zan pada sekretaris pribadinya.Laki-laki yang mengenakan stelan jas lengkap berwarna coklat itu mengangguk pelan. “Anak buah Anda akan ke ruangan ini sebentar lagi, Bos.”Zan mengangguk, tapi ia belum memberikan tanda-tanda untuk mengizinkan seketaris pribadinya itu keluar dari ruang kerjanya yang berada di lantai teratas tower Teta Tech Corporation.“Ada lagi yang perlu saya lakukan, Bos?” Laki-laki itu membaca tatapan tajam bosnya.Kedua sudut mata Zan sedikit menyipit. “Apa Kamu yakin telepon genggam atau komputermu nggak dibajak orang?”Seketaris pribadi Zan terlihat terkejut, wajahnya bingung. “Saya pikir semuanya dibawah kontrol, Bos. Semua baik-baik saja.”Zan mengangguk ragu. “Kalau begitu, bagaimana gadis itu bisa menemukanku masih menjadi misteri yang menarik.”“Gadis?” Raut wajah laki-laki itu makin bingung.“Lupakan!” Dengan cepat, Zan menepis udara kosong. “Hanya saja, jika ada sesuatu yang janggal, segera laporkan!”Anak buah Zan itu mengangguk d
“Apa sampai bisa kehilangan nyawa?” Andro menatap lekat Hana.Hana mengedikan bahu. “Melihat bagaimana laporan itu diabaikan begitu saja, bahkan aku diusir dari kantor polisi, siapapun yang ada dibelakang semua itu pasti bisa melakukan apa pun, termasuk menghilangkan nyawa orang lain.”“Oh!” Andro menyibakan rambutnya, kemudian menggaruk kepalanya yang tak gatal. Lalu, ia kembali menatap Hana dengan tajam. “Aku tetap akan membantumu, demi pertemanan kita di masa lalu.”Seketika Hana meletakan sendok di tangannya, menatap Andro dengan tatapan penuh rasa terima kasih. “Di sela-sela kekalutan dan ketidakpastian ini, ucapanmu benar-benar menghiburku. Kamu harus tahu kalau aku menghargai kesedianmu.”Andro tersenyum. “Ini bukan hanya untuk pertemanan kita, tapi juga amanat dari Hans.”Hana ternganga ketika nama itu kembali disebut. Dan nama itu juga kembali mencolek rasa sakit yang telah lama berusaha ia kubur rapat-rapat di hatinya.“Ah! Hana, maaf aku benar-benar nggak bermaksud untuk-”
“Zan, please ....” Max merasa lelah. “Kamu bisa berhubungan dengan siapapun. Shelomita White, Arina Tsarkova, Madeline Smith atau siapapun itu, tapi tidak dengan gadis tanpa nama belakang itu!”“Max, tenang! Apa yang Kamu takutkan,” balas Zan santai.“Ah! Zan. Kita mengenalmu sejak aku baru bisa jalan. Dan aku tahu sekali tanda-tanda jika Kamu sedang tertarik dengan seorang gadis.” Max meletakan kedua jarinya yang membentuk huruf V ke arah matanya, lalu mengalihkan kedua jari itu ke arah Zan.Zan hanya mengedikan bahu. “Aku hanya ingin tahu apa yang membuat gadis itu senekad itu. Itu saja.”“Ah, katakan apa saja. Tapi, Kamu nggak akan pernah bisa membohongiku!” seru Max tegas.Zan mengarahkan pandangannya ke arah kertas yang menyertai foto gadis yang telah menggeruduk klub bergengsinya itu.“Max, kenapa alamat rumah gadis itu nggak diketahui?” Zan mengerutkan kening.“Ah ....” Max kembali menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi. “Itu juga yang membuatku kesal! Jadi, ke mana Victory