Peperangan bertahun-tahun yang terjadi di kota Jombang antara cahaya dan kegelapan, antara kebenaran dan angkara murka, antara manusia dan setan. Melahirkan dampak kehancuran kota peradaban kesatria-kesatria gaib terbesar ke dua setelah Surabaya pada masa itu.
Hampir setengah populasi penduduk musnah akibat pembantaian-pembantaian masal dari kedua belah pihak bangsa manusia maupun bangsa jin. Pengungsian besar-besaran menuju kota-kota sekitar jombang menjadi cerita pedih tersendiri di perbatasan-perbatasan benteng kota.
Para kesatria-kesatria penjaga berbatasan menjadi tameng-tameng terakhir pelindung ras manusia dari ganasnya perilaku-perilaku keji bangsa setan.
Panglima Bayu serta sang anak yang bernama Sarif adalah kunci selamatnya ratusan pengungsi dari pinggiran kota Jombang sebelah utara yang hendak pergi mencari suaka menuju kota Lamongan dan Gresik.
Kala itu hampir subuh benar di kawasan hutan Ndawar Blandong Pa
Tidak jauh dari kawasan hutan beringin dimana pepohonan disana bisa hidup kembali menjadi sesosok pohon monster. Ada sebuah kawasan di salah satu tebing yang masih dalam lingkup kali Konto. Dimana kawasan tersebut berdiri megah sebuah kerajaan gaib kaum Peri. Dengan pimpinan tertinggi masa ini dipegang oleh Raja Irawan yang sangat gagah dan rupawan.Bangsa Peri termasuk dalam golongan jin separuh manusia. Berperawakan tinggi dan mata seperti mata kucing dengan hidung selalu mancung. Kulit yang putih menambah elok dari wajah lonjong seperti wajah orang-orang Eropa timur. Telinga yang khas seperti telinga kelelawar namun hanya bentuknya saja menyerupai tetap berbentuk selayaknya telinga manusia.Bersenjatakan panah cahaya dan pedang kilat yang selalu mereka bawa. Bangsa Peri sangat ulung dalam strategi perang dan dalam pertempuran jarak dekat. Atau dalam penyerangan secara cepat, taktis dan akurat.Negeri Samandaka begitulah namanya terpampang je
Tengah malam di perbatasan gerbang gaib antara kerajaan peri Samandaka dan alam nyata manusia. Tepatnya di salah satu tebing curam kali Konto. Terlihat Baginda Raja Irawan dan beberapa prajuritnya sedang mengantar Raja untuk kembali ke alam manusia.Mereka seakan berdiri menginjak udara beralaskan awang-awang tiada menyentuh tanah di depan tebing kali Konto Pas. Sedangkan di bawah kaki mereka curamnya tebing dimana dasarnya adalah aliran air sungai Konto.“Raja aku berpesan kepadamu jangan sungkan kalau suatu hari nanti kau membutuhkan bantuan kami. Kami memang golongan peri dan termasuk makhluk astral dari golongan jin. Tapi kami adalah jin Islam yang pernah bahu-membahu berperang disisi kebenaran Allah bersama kakekmu Haji Jaka di bawah naungan bendera organisasi tua bernama T O H,” ucap Baginda Raja Irawan menepuk pundak Raja seakan meyakinkan akan kesungguhannya.“Baik Baginda Raja Irawan saya mohon pamit terlebih dahulu.
Akri berlari tergesa-gesa melewati beberapa orang yang tengah beristirahat. Mata Akri sedikit melihat wajah-wajah para pejuang di sekitarnya. Kengerian tampak menggelayut di setiap raut muka mereka. Rasa takut akan kematian dan kecemasan apakah akan ada pertempuran terjadi lagi menjadi kekhawatiran tersendiri di benak masing-masing pejuang.Sore itu divisi utama tengah beristirahat dalam reruntuhan masjid besar di pinggiran kota Jombang sebelah desa Dempok. Salah satu alasan para kelompok anak keturunan sering bermukim atau beristirahat di dalam reruntuhan masjid adalah, karena tidak mungkin setan masuk dalam masjid memburu mereka. Para pasukan setan hanya mampu sampai gerbang depan.Sebab kalau ia sampai masuk ke dalam tubuhnya akan terbakar habis menjadi abu oleh aura tersendiri yang di timbulkan masjid walau masjid tersebut sudah berupa reruntuhan. Akri terseok-seok menghadap Raja yang tengah berunding mengatur strategi dengan Gilang. Iya tampak tergesa-gesa d
“Hahay, asyik Duwi, sudah lama kita tidak bersenang-senang lagi seperti ini ya,” teriak Kakek Mamat sambil terus menghantam dan menendang beberapa manusia kayu hingga hancur lebur tak bersisa.“Hati-hati encok kawan,” teriak Kakek Duwi yang masih berwujud mode api kuning terus membakar dan menghanguskan beberapa manusia kayu atau pohon setan yang iya lalui saat melesat bolak-balik di sepanjang aliran sungai Konto tepatnya di Dam Sanggar Arum.Sementara itu Akri dan sembilan belas orang yang ada pada naungannya dalam divisi pengintai. Mereka terus ikut membantu pembantaian pohon setan hingga hancur lebur dengan kekuatan dan jurus mereka masing-masing.“Woi ketua Akri kenapa pohon setan seakan tak pernah habis,” teriak salah satu punggawa divisi pengintai sambil terus melontarkan panah-panah cahaya.Rupanya manusia pohon dari hutan beringin memang dapat dihancurkan. Tapi ada satu keanehan dari tubuh mereka yang hanc
Air yang semula tenang di sulap menjadi sebuah ombak besar oleh Ki Burhan dengan sebuah jurus peraga ajian pemanggil kodam setan miliknya. “Raja kali ini tamatlah riwayatmu bangsa kalap adalah setan terkuat yang tak bisa hancur. Sebab bangsa kalap terbuat dari air sehingga dipukul jua tak akan bisa, dibakar api jua tak mampu membakarnya seluruh bentuk mereka adalah air,” teriak Ki Burhan sambil terus menatap dengan mata melotot pada Raja yang tengah bersiap dengan kuda-kuda sempurna di depannya. Sementara itu di belakang Ki Burhan berdiri ratusan bentuk setan berwujud air berkumpul. Sehingga bentuk-bentuk setan kalap yang berasal dari air dan berbentuk tinggi besar. Seakan mereka serupa air bah mirip dengan tsunami yang hendak meluluh lantakkan apa pun yang menghalanginya. “Raja kami akan membantumu,” ujar Akri datang dengan sembilan belas anggota divisi pengintainya berjajar di samping kanan, kiri dan belakang Akri setelah beberapa saat yang lalu mener
Setelah kapak berhenti berputar dan mampu dijinakkan oleh Kakek Duwi. Kakek Duwi mulai memegang gagang kapak lalu secepat kilat mengayunkan ke arah belakang. “Hiya...!” teriak Kakek Duwi seketika mengubah wujudnya menjadi mode api kuning kembali. Sehingga kapak yang iya pegang semula bukan senjatanya ikut tersalurkan api kuning membakar setiap sisi kapak namun tak hancur tetap utuh. Saat kapak terayun ke arah belakang oleh ayunan dari lengan kuat tangan Kakek Duwi. Ada satu tangan dari sosok tua lain yang menangkap ayunan kapak padanya. Sosok tersebut tersenyum pada Kakek Duwi sambil berkata, “Paman kau masih saja lekas marah.” Samping pas kakek tua yang memanggil Kakek Duwi dengan sebutan Paman. Ada pula satu sosok lebih tua lagi tapi masih lebih tua Kakek Duwi berkata, “Mas tidak ingatkah pada kami keponakan-keponakanmu, anak dari mendiang Haji Bagus Effendik.” Seketika saat Kakek Duwi melihat wajah-wajah mereka dan sesaat setelah menden
“Nyai jangan sampai penyamaran kita diketahui orang,” ucap Suhendra berjalan di sisi Nyimas suci sambil membawa gerobak sayur yang Suhendra dorong perlahan di area pasar desa Sumobito.Mereka berdua tengah ditugaskan Raja mencari informasi tentang sebuah bayi keturunan dari pendekar golongan tua terdahulu.Desa Sumobito adalah sebuah desa kecil yang termasuk dalam beberapa desa perbatasan sebelah utara kota Jombang. Tak semua desa telah hancur oleh ulah para setan dengan kalimat goro-goro yang sering di teriakkan oleh beberapa petinggi praktisi para normal atau sering disebut dukun.Beberapa desa kecil di area perbatasan-perbatasan yang selalu di jaga oleh pasukan-pasukan elite sekutu organisasi tua terdahulu yakni T O H dari lima kota sekitar. Membuat para dukun enggan menduduki apalagi menghancurkan desa-desa tersebut. Sebab bisa jadi turut campurnya elite-elite pasukan perbatasan dari kota lain di luar kota Jombang akan ikut campur. Ka
“Loh-loh Bu, Bu,” teriak Nyimas Suci menangkap Si Ibu Muda yang pingsan setelah melihat kepala pemilik warung di atas gerobak Dengan cepat Suhendra membungkus kepala tersebut dengan sebuah kain putih agar tidak menimbulkan kepanikan seluruh orang yang tengah berada di pasar. Tapi beberapa mata terlanjur melihat kepala putus dari pemilik kedai makan. Sehingga suasana pasar tradisional desa Sumobito menjadi tak terkendali dan semakin kacau saja. “Bagaimana kang?” tanya Nyimas Suci masih menopang tubuh Si Ibu muda. “Kalau aku bertarung sendirian Nyi aku tak akan mampu melawan mereka yang berjumlah sepuluh orang itu,” jawab Suhendra tampak mulai berpikir keras untuk menemukan satu cara agar Si Ibu muda dan bayinya terselamatkan dan Nyimas Suci dapat membantunya bertarung. “Woi kalian para berandal jangan mengacau di daerah kami!” teriak beberapa orang yang datang ternyata mereka adalah sekelompok punggawa Lurah yang diketuai langsu
Tengah malam lewat 15 menit sudah Jaka baru pulang dan baru sampai di teras rumahnya pas berdiri di depan pintu depan rumah berbentuk kupu-kupu atau orang Jawa menyebutnya pintu berbentuk kupu tarung. Entah apa maksudnya kupu tarung yang kalau di buat menjadi arti bahasa Indonesia artinya kupu berkelahi mungkin bentuknya yang seperti kupu-kupu saling berhadapan.“Eh ketok enggak ya, ah terobos sajalah,” gerutu Jaka melewati Pintu dengan gampangnya seakan Jaka selalu dengan mudah menembus pintu tebal yang terbuat dari pohon jati hasil karya Mbah Raji tersebut.“Hehe, sudah masuk dong ke dalam rumah, eh percuma dong istriku mengunci pintu kalau aku gampang masuk. Dan oh tidak orang yang bisa kayak aku juga gampang masuk dong. Haduh Putri jadi ngeri meninggalkan kamu lama-lama sayang, ah kok jadi parno begini ya cus ke kamar,” gerutu Jaka melangkah ke kamar dengan langkah di percepat.Sampai pintu kamar ternyata keadaan pintu tak tertutup se
Krek..., blek...,Suara pintu kamar Vivi terbuka perlahan dari luar oleh Jaka dan Bagus yang hendak mengecek keadaan Vivi dan Wahyu.“Rupanya mereka sudah pulas Mas,” ucap Jaka tersenyum kecil melihat tingkah lucu anaknya yang tengah memeluk erat Vivi sambil terus mengusap perut Vivi sambil terus mengigau Mas Dewa.“Eh sebentar deh Dek Jaka coba dengar igauan anakmu itu,” kata Bagus masih berdiri di depan pintu bersama Jaka.“Sebentar Mas, diam lah dulu aku tidak begitu jelas coba aku dengar sekali lagi,” ujar Jaka mendekatkan daun telinganya agak menjorok ke dalam pintu sambil melonggokkan kepala ke dalam kamar.“Mas Dewa cepat lahir ya,” kembali igauan Wahyu terdengar kali ini agak jelas.“Eh benar kan firasatku Mas,” celetuk Jaka menatap Bagus dan Bagus yang tak tahu menahu akan maksud dari Jaka hanya bengong tak mengerti.“Maksudnya bagaimana ini Dek aku jadi penasa
“Tante, tante Vivi, halo dimanakah dirimu Tanteku yang cantik dan perutnya gendut, hehe. Namanya hamil ya memang gendut ya ah aku ini bagaimana,” teriak Wahyu sambil menggerutu menertawakan diri sendiri terus berlari ke arah kamar Vivi.“Nah ini kamar Tante sama Om ini, gedor ah kerjai Tante biar langsung bangun tidur melulu Si Tante ah aku kan kangen,” gerutu Wahyu mulai usil dengan rencana-rencana nakalnya.“Duor,” sekali tendang pas di tengah dengan kakinya membuat suara sangat kencang namun tetap tak terbuka pintu tetap tertutup rapat terkunci dari dalam.“Loh kok enggak bangun juga ini Tante wah tidur apa pingsan sih ini orang, Tante aku kangen!” teriak Wahyu di depan pintu kamar Vivi.“Pakai apa ya biar bunyinya jadi kayak ada ritmenya gitu pas mukul-mukul ini pintu, hem, ahay ini ada palu ini di atas meja kok pas ya ada palu namanya juga novel campur komedi ia kan haha, eh jangan deh nanti
“Brem, brem, tengteng teng, sit hop stop,” celetuk Wahyu langsung lompat dari atas motor bergegas lari menuju dalam rumah Pak Bupati Bagus yang memang sudah terbuka pintu depannya.“Hey, Wahyu hati-hati Nak jangan lari nanti jatuh,” teriak Jaka namun Wahyu tak menggubris dan terus berlari dengan kaki-kaki kecilnya yang menggemaskan.“Assalamualaikum tante, oh tante,” teriak Wahyu sambil terus berlari melewati Omnya yakni Pak Bupati Bagus beserta petinggi T O H yang lain yang tengah asyik mengobrol di ruang tamu.“Eh Wahyu jangan lari-lari Nak nanti jatuh,” teriak Bagus mengingatkan Wahyu namun Wahyu melewatinya begitu saja karena saking rindunya pada tantenya Vivi.Sebentar kemudian Wahyu kembali ke tempat para peringgi T O H yang sedang duduk-duduk seraya menyalami satu persatu dari mereka. Sampai pada tempat bagus duduk Wahyu menyalami Bagus sambil mencium punggung tangannya seraya bertanya, “Om tant
Kelompok Hendrik Wijaya dari golongan hitam telah pergi beberapa menit yang lalu. Tapi masyarakat kota Jombang yang sudah kadung melihat tontonan yang begitu mengerikan menjadi trauma tik sangat ketakutan akan adanya perang kembali.Sejenak Wahyu mengamati ada yang aneh dari kejauhan tempatnya berdiri. Setelah mengalahkan Hendra Wijaya dengan hanya sekali sentuh. Wahyu tampak gelisah, karena sekejap ia seperti melihat sepasang mata menyeramkan yang tengah mengintainya.Wahyu terus memandang ke arah timur jauh tempatnya berdiri agak bingung mematung. Melihat apa sebenarnya yang ia rasakan benar adanya. Si kecil Wahyu yang masih begitu polos tak mengerti bentuk makhluk apa yang membuat desir dalam dadanya sampai bergetar kencang. Seperti ada sesuatu benturan hawa atau aura antara dia dengan makhluk tak kasat mata lain.Sedangkan para petinggi T O H yang sangat senang dapat membatalkan perang setidaknya damai akan tercipta sampai sepuluh tahun ke depan. Masih teram
“He, apa itu?” kata ibu-ibu yang berkerumun di pinggir trotoar.“He, iya kenapa itu ada orang berhadapan di tengah jalan?” sahut ibu satunya.“Eh, itu bukannya Bupati kita ya Pak Bagus?” timpal bapak-bapak yang ikut nimbrung bersama ibu-ibu.“Loh itu di sampingnya bukannya Mas Haji Lurah Dava dari desa Mbanjar Kerep ya?" teriak ibu-ibu yang lain.“Eh ada apa ini Ya Allah, bahaya apa lagi yang akan terjadi di kota kita ini, kenapa para petinggi T O H berkumpul. Lalu siapa mereka yang berpakaian seperti dukun itu. Jangan-jangan mau hendak perang lagi, haduh mbok yo jangan lagi,” ucap beberapa ibu-ibu saling menyahut pertanyaan dengan kekhawatiran akan adanya perang lagi seperti sepuluh tahun yang lalu.“Hei, Bapak-Bapak dan Ibu-Ibu sudah-sudah agak menjauh ya ini sangat berbahaya lebih baik pulang deh,” celetuk Gus Pendik yang tiba-tiba ada duduk santai di trotoar di antara kerumunan w
Sumilir Angin wengi kang tumetesAnnambaih kangen ku sangsoyo gediTitipan Rindu Iki sangsoyo akehAmung biso dedungo angenku nggo koweSlirahmu siji Tresnoku Yo mung sijiTak simpen lan tak jogo tekaning patiPanyuwunku kanggo Riko njogo tresno nisunSayang... Aku tulus Tresno slirahmu... HuuuTresno Ra bakal ilyangKangen sangsoyo mbekasTembang rindu kanggo rikoJanji suci tekaning patiSalam Tresno di jogoSnadyan adoh panggonanmuSumpah tulus kanggo rikoSalam rindu neng slirahmu***Petikan dawai gitar dari jemari Halilintar mengalun menyeberangi pintu ke pintu dan mengetuk kaca pintunya. Merayu-rayu penuh ritme agar beberapa orang yang tengah membuka kaca selaras dengan harapan Halilintar mengulurkan sedikit rezeki untuknya makan hari ini.Gitar klasik warna hitam tua terus setia menemani perjuangan sang musisi jalanan. Setia menemani kala hujan tiba atau panas
Sore ini bunga anggrek di halaman rumah Bagus masih saja segar dari air yang disiramkan oleh bik Amanah sejam yang lalu. Mekarnya sangat sempurna dan harumnya semakin semerbak menempel anggun pada inang induknya batang pohon mangga.Tertata rapi bak kebun bunga istana raja dibalut bekas kupasan kulit kelapa yang sering disebut orang sepet di tali rapi dengan tali sejenis kawat kecil. Bunga anggrek lurus tertanam di depan rumah seindah sang pemilik yang selalu memperhatikannya setiap sore sebelum magrib menjelang ayu sama cantiknya.Namun kali ini sang pemilik tampak bermuka murung, gundah gulana dan terpaut seribu pikiran dengan pengembaraan lamunan di atas awang langit senja yang sudah mulai tampak memerahkan langit.Di atas kursi roda Vivi merenung memandang sang bunga lekat menatapnya berlama-lama. Andai saja aku seperti bunga anggrek itu begitu terlihat sempurna di mata siapa saja yang memandangnya menarik hati, ujar dalam hati Vivi yang semakin hari semakin
Pagi gelisah tergambar pada raut wajah Halilintar. Iya masih terpikir seraut wajah dengan senyum anggun. Seorang ibu muda di dalam sebuah mobil warna merah maru, dimanah sang ibu muda tengah di sopiri seorang yang gagah rupawan. Entah itu sopirnya atau sang suami Halilintar tak mau berpikir jauh ke arah sana.Wajah Si Ibu muda membuatnya semakin gelisah. Otaknya semakin pening terpikir siapakah Si Ibu muda tersebut kenapa iya begitu baik dan yang paling membuatnya bingung seorang bapak-bapak yang juga masih muda yang menyopiri Si Ibu muda tersebut sempat memanggil namanya. Padahal iya sangat yakin tak pernah bertemu walau sekejap.Pagi ini Halilintar semakin resah duduk di atas trotoar lampu merah pas perempatan sebelah utara kebun raja. Matanya memang menatap beberapa kendaraan yang berhenti saat lampu tengah menyala merah namun seluruh badan serasa kaku tak ingin beranjak dari lamunan.Ada apa denganku ujarnya dalam benak, seharusnya aku berdiri memainkan gita