Setelah kapak berhenti berputar dan mampu dijinakkan oleh Kakek Duwi. Kakek Duwi mulai memegang gagang kapak lalu secepat kilat mengayunkan ke arah belakang.
“Hiya...!” teriak Kakek Duwi seketika mengubah wujudnya menjadi mode api kuning kembali. Sehingga kapak yang iya pegang semula bukan senjatanya ikut tersalurkan api kuning membakar setiap sisi kapak namun tak hancur tetap utuh.
Saat kapak terayun ke arah belakang oleh ayunan dari lengan kuat tangan Kakek Duwi. Ada satu tangan dari sosok tua lain yang menangkap ayunan kapak padanya. Sosok tersebut tersenyum pada Kakek Duwi sambil berkata, “Paman kau masih saja lekas marah.”
Samping pas kakek tua yang memanggil Kakek Duwi dengan sebutan Paman. Ada pula satu sosok lebih tua lagi tapi masih lebih tua Kakek Duwi berkata, “Mas tidak ingatkah pada kami keponakan-keponakanmu, anak dari mendiang Haji Bagus Effendik.”
Seketika saat Kakek Duwi melihat wajah-wajah mereka dan sesaat setelah menden
Terus ikuti keseruan Raja dan kawan-kawan dalam meraih kembali kota Jombang dari tangan para dukun dan Setan.
“Nyai jangan sampai penyamaran kita diketahui orang,” ucap Suhendra berjalan di sisi Nyimas suci sambil membawa gerobak sayur yang Suhendra dorong perlahan di area pasar desa Sumobito.Mereka berdua tengah ditugaskan Raja mencari informasi tentang sebuah bayi keturunan dari pendekar golongan tua terdahulu.Desa Sumobito adalah sebuah desa kecil yang termasuk dalam beberapa desa perbatasan sebelah utara kota Jombang. Tak semua desa telah hancur oleh ulah para setan dengan kalimat goro-goro yang sering di teriakkan oleh beberapa petinggi praktisi para normal atau sering disebut dukun.Beberapa desa kecil di area perbatasan-perbatasan yang selalu di jaga oleh pasukan-pasukan elite sekutu organisasi tua terdahulu yakni T O H dari lima kota sekitar. Membuat para dukun enggan menduduki apalagi menghancurkan desa-desa tersebut. Sebab bisa jadi turut campurnya elite-elite pasukan perbatasan dari kota lain di luar kota Jombang akan ikut campur. Ka
“Loh-loh Bu, Bu,” teriak Nyimas Suci menangkap Si Ibu Muda yang pingsan setelah melihat kepala pemilik warung di atas gerobak Dengan cepat Suhendra membungkus kepala tersebut dengan sebuah kain putih agar tidak menimbulkan kepanikan seluruh orang yang tengah berada di pasar. Tapi beberapa mata terlanjur melihat kepala putus dari pemilik kedai makan. Sehingga suasana pasar tradisional desa Sumobito menjadi tak terkendali dan semakin kacau saja. “Bagaimana kang?” tanya Nyimas Suci masih menopang tubuh Si Ibu muda. “Kalau aku bertarung sendirian Nyi aku tak akan mampu melawan mereka yang berjumlah sepuluh orang itu,” jawab Suhendra tampak mulai berpikir keras untuk menemukan satu cara agar Si Ibu muda dan bayinya terselamatkan dan Nyimas Suci dapat membantunya bertarung. “Woi kalian para berandal jangan mengacau di daerah kami!” teriak beberapa orang yang datang ternyata mereka adalah sekelompok punggawa Lurah yang diketuai langsu
“Awas Nyimas!” teriak Suhendra meloncat menghindari ledakan dari serangan Ki Surono sambil menggotong tubuh Si Ibu muda. Sedangkan Nyimas Suci jua ikut meloncat menghindar sambil menggendong bayi dari Si Ibu muda anak Pak Lurah desa Sumobito. “Sudah aku duga mereka adalah salah satu punggawa kelompok anak keturunan yang sedang menyamar, serang mereka!” teriak Ki Surono memberi aba-aba serangan pada sepuluh anak buahnya dengan cara mengacungkan gada. Serempak sepuluh dari anak buah Ki Surono melesat ke arah Suhendra dan Nyimas Suci. Dengan cepat mereka telah berhadap-hadapan dengan Suhendra dan Nyimas Suci. Tak membuang waktu lama ke sepuluh anak buah Ki Surono lantas menyerah Suhendra dan Nyimas Suci dengan jurus-jurus andalan mereka. Keadaan yang tak menguntungkan dialami Nyimas Suci dan Suhendra. Sebab masing-masing dari mereka membawa tubuh yang harus mereka selamatkan. Membuat gerak Nyimas Suci dan Suhendra menjadi tak leluasa dan berkali-kali t
Derap langkah kaki dari telapak dan cakar-cakar macan kumbang begitu mantap menjejak tanah. Sedikit iya percepat segera dari berlenggang menjadi berlari semakin cepat dan semakin cepat lagi. Matanya mulai menimbulkan efek api kemarahan yang nyata tajam dan beraura. Gigi taring terselip di sela-sela pojok bibir tak begitu panjang namun cukup untuk menakuti lawan saat iya mengaung gahar. Hoar, Hoar, Argh, “Woi Surono masih hidup kau ternyata!” macan kumbang seolah berteriak dengan cepat meloncati sepuluh anak buah Ki Surono yang tengah baku hantam dengan Suhendra. Macan kumbang wujud yang sangat gahar dan garang dengan perawakan kekar. Memungkinkan bentuk ini meloncat tinggi layaknya saudara jauh jenisnya yakni cita. Sekali melompat bahkan beberapa meter terlampaui olehnya. Kali ini yang iya incar adalah pemimpin para dukun yang sedari tadi hanya diam mengusung gada di pundak kanan. Seakan iya memandang remeh Suhendra dan Raja yang iya lawan
Duar, kratak, kratak, Ki Surono memang melangkah memang tegap berdiri mengacungkan gadanya. Namun gada yang tertinggal hanya gagang gada. Namun tubuh berdiri Ki Surono tinggallah tubuh tanpa kepala. Sesaat tadi kilat hitam bergerak cepat dari ujung pasar bawah pohon akasia. Sosok kilat percepatan dari jurus lari kilat dari sang pemimpin utama organisasi anak keturunan. Dialah Raka dalam mode kemarahan total beraura hitam pekat bercampur api hitam menyala-nyala. Haaa...! Haaa...! Teriakan-teriakan kemarahan mulai menjejali mata dan otak yang terus terbakar mengikuti seluruh tubuh luar dan dalam. Bahkan keseluruhan bola mata Raja menghitam pula. Gigi taringnya kini mulai memanjang berbarengan dengan rambutnya jua mulai memanjang. Otot-otot lengan dan kaki mulai tampak layaknya seseorang yang terkena penyakit varises menonjol keluar. Tangan kanannya menggenggam gumpalan satu daging berwujud otak
Pada sebuah desa bernama desa Mbadas bagian utara. Desa Mbadas sebenarnya terdiri dari dua bagian yang menjadi satu desa. Satu bagian utara masuk dalam lingkup kota Jombang. Satu bagian selatan masuk dalam lingkup kota Kediri.Bagian selatan dan utara hanya dibatasi oleh pepohonan bambu yang berjajar sepanjang tepian persawahan di bagian desa Mbadas utara. Sedangkan di balik selatan dari hutan bambu adalah permukiman warga masuk wilayah kota Kediri.Sebuah gubuk kecil terletak di pinggiran sawah sebelah utara masuk pada wilayah kota Jombang. Sebuah gubuk beratapkan daun rumbia dan berdinding dari anyaman bambu sangat sederhana.Gubuk tersebut menghadap ke arah sawah dan memang letaknya di tepian sawah jauh dari permukiman warga di arah utara kira-kira dua kilo meter jaraknya dari gubuk. Sengaja pak tua Raji mendirikan gubuk ini jauh dari perkotaan bahkan jauh dari pedesaan sekitar.Pak Tua Raji tak ingin ikut campur atas kejadian-kejadia
Beberapa sosok bayangan berkelebat di depan Pak Tua Raji dan Susanti yang tengah menunggu tanaman padi mereka di tepian sawah. Seakan ada aura aneh menjalar pada kulit Pak Tua Raji. Walau kekuatannya telah hilang, tetapi bila merasakan adanya sinyal-sinyal akan keadaan bahaya di sekitarnya tentu iya masih mampu.“Ndok Susanti ayo kita ke dalam kamu belum tidur siangkan Nak?” pinta Pak Tua Raji merayu Susanti agar mau diajak masuk ke dalam gubuk.Susanti masih terlalu kecil untuk melihat sosok-sosok setan atau mungkin siluman bahkan mungkin dukun pembawa setan. Pak Tua Raji sangat yakin kalau beberapa bayangan yang melintas berlarian diatas padi bukanlah manusia.Hanya para setan atau dukun atau para punggawa anak keturunan yang mampu melakukannya. Jikalau mereka adalah punggawa anak keturunan tentu mereka akan berhenti untuk sekedar menyapa serta memberi sedikit makanan seperti biasanya.Jikalau beberapa bayangan tersebut ada
“Kakek tolong Susanti Kek!” Susanti terus meronta saat dibawa paksa oleh siluman berkepala sapi. “Susanti cucu Kakek, tolong jangan sakiti cucuku dia masih kecil tuan?” rintih Pak Tua Raji seraya kesakitan dalam cekikan siluman berkepala kerbau. “Sudah diam kau pak tua nikmati saja pertunjukan adikku siluman kepala sapi itu memakan cucumu. Justru kami senang saat memakan daging anak kecil. Daging mereka masih segar dan gurih membuat kami bertambah awet muda, hahaha...,” ucap siluman kepala kerbau masih mencekik leher Pak Tua Raji. Susanti terus meronta hendak melepaskan diri dari atas pundak siluman kepala sapi, “Lepaskan aku makhluk jelek buruk rupa, lepaskan aku atau kau akan aku adukan pada MR. D Sang penjaga kota Jombang,” teriak Susanti terus meronta sambil memukul-mukul punggung siluman Sapi. Sampai di tepian hutan bambu Susanti diikat disalah satu pohon bambu yang berada disana, “Diam kau bocah nakal! Kalau terus berteriak dan meron
Tengah malam lewat 15 menit sudah Jaka baru pulang dan baru sampai di teras rumahnya pas berdiri di depan pintu depan rumah berbentuk kupu-kupu atau orang Jawa menyebutnya pintu berbentuk kupu tarung. Entah apa maksudnya kupu tarung yang kalau di buat menjadi arti bahasa Indonesia artinya kupu berkelahi mungkin bentuknya yang seperti kupu-kupu saling berhadapan.“Eh ketok enggak ya, ah terobos sajalah,” gerutu Jaka melewati Pintu dengan gampangnya seakan Jaka selalu dengan mudah menembus pintu tebal yang terbuat dari pohon jati hasil karya Mbah Raji tersebut.“Hehe, sudah masuk dong ke dalam rumah, eh percuma dong istriku mengunci pintu kalau aku gampang masuk. Dan oh tidak orang yang bisa kayak aku juga gampang masuk dong. Haduh Putri jadi ngeri meninggalkan kamu lama-lama sayang, ah kok jadi parno begini ya cus ke kamar,” gerutu Jaka melangkah ke kamar dengan langkah di percepat.Sampai pintu kamar ternyata keadaan pintu tak tertutup se
Krek..., blek...,Suara pintu kamar Vivi terbuka perlahan dari luar oleh Jaka dan Bagus yang hendak mengecek keadaan Vivi dan Wahyu.“Rupanya mereka sudah pulas Mas,” ucap Jaka tersenyum kecil melihat tingkah lucu anaknya yang tengah memeluk erat Vivi sambil terus mengusap perut Vivi sambil terus mengigau Mas Dewa.“Eh sebentar deh Dek Jaka coba dengar igauan anakmu itu,” kata Bagus masih berdiri di depan pintu bersama Jaka.“Sebentar Mas, diam lah dulu aku tidak begitu jelas coba aku dengar sekali lagi,” ujar Jaka mendekatkan daun telinganya agak menjorok ke dalam pintu sambil melonggokkan kepala ke dalam kamar.“Mas Dewa cepat lahir ya,” kembali igauan Wahyu terdengar kali ini agak jelas.“Eh benar kan firasatku Mas,” celetuk Jaka menatap Bagus dan Bagus yang tak tahu menahu akan maksud dari Jaka hanya bengong tak mengerti.“Maksudnya bagaimana ini Dek aku jadi penasa
“Tante, tante Vivi, halo dimanakah dirimu Tanteku yang cantik dan perutnya gendut, hehe. Namanya hamil ya memang gendut ya ah aku ini bagaimana,” teriak Wahyu sambil menggerutu menertawakan diri sendiri terus berlari ke arah kamar Vivi.“Nah ini kamar Tante sama Om ini, gedor ah kerjai Tante biar langsung bangun tidur melulu Si Tante ah aku kan kangen,” gerutu Wahyu mulai usil dengan rencana-rencana nakalnya.“Duor,” sekali tendang pas di tengah dengan kakinya membuat suara sangat kencang namun tetap tak terbuka pintu tetap tertutup rapat terkunci dari dalam.“Loh kok enggak bangun juga ini Tante wah tidur apa pingsan sih ini orang, Tante aku kangen!” teriak Wahyu di depan pintu kamar Vivi.“Pakai apa ya biar bunyinya jadi kayak ada ritmenya gitu pas mukul-mukul ini pintu, hem, ahay ini ada palu ini di atas meja kok pas ya ada palu namanya juga novel campur komedi ia kan haha, eh jangan deh nanti
“Brem, brem, tengteng teng, sit hop stop,” celetuk Wahyu langsung lompat dari atas motor bergegas lari menuju dalam rumah Pak Bupati Bagus yang memang sudah terbuka pintu depannya.“Hey, Wahyu hati-hati Nak jangan lari nanti jatuh,” teriak Jaka namun Wahyu tak menggubris dan terus berlari dengan kaki-kaki kecilnya yang menggemaskan.“Assalamualaikum tante, oh tante,” teriak Wahyu sambil terus berlari melewati Omnya yakni Pak Bupati Bagus beserta petinggi T O H yang lain yang tengah asyik mengobrol di ruang tamu.“Eh Wahyu jangan lari-lari Nak nanti jatuh,” teriak Bagus mengingatkan Wahyu namun Wahyu melewatinya begitu saja karena saking rindunya pada tantenya Vivi.Sebentar kemudian Wahyu kembali ke tempat para peringgi T O H yang sedang duduk-duduk seraya menyalami satu persatu dari mereka. Sampai pada tempat bagus duduk Wahyu menyalami Bagus sambil mencium punggung tangannya seraya bertanya, “Om tant
Kelompok Hendrik Wijaya dari golongan hitam telah pergi beberapa menit yang lalu. Tapi masyarakat kota Jombang yang sudah kadung melihat tontonan yang begitu mengerikan menjadi trauma tik sangat ketakutan akan adanya perang kembali.Sejenak Wahyu mengamati ada yang aneh dari kejauhan tempatnya berdiri. Setelah mengalahkan Hendra Wijaya dengan hanya sekali sentuh. Wahyu tampak gelisah, karena sekejap ia seperti melihat sepasang mata menyeramkan yang tengah mengintainya.Wahyu terus memandang ke arah timur jauh tempatnya berdiri agak bingung mematung. Melihat apa sebenarnya yang ia rasakan benar adanya. Si kecil Wahyu yang masih begitu polos tak mengerti bentuk makhluk apa yang membuat desir dalam dadanya sampai bergetar kencang. Seperti ada sesuatu benturan hawa atau aura antara dia dengan makhluk tak kasat mata lain.Sedangkan para petinggi T O H yang sangat senang dapat membatalkan perang setidaknya damai akan tercipta sampai sepuluh tahun ke depan. Masih teram
“He, apa itu?” kata ibu-ibu yang berkerumun di pinggir trotoar.“He, iya kenapa itu ada orang berhadapan di tengah jalan?” sahut ibu satunya.“Eh, itu bukannya Bupati kita ya Pak Bagus?” timpal bapak-bapak yang ikut nimbrung bersama ibu-ibu.“Loh itu di sampingnya bukannya Mas Haji Lurah Dava dari desa Mbanjar Kerep ya?" teriak ibu-ibu yang lain.“Eh ada apa ini Ya Allah, bahaya apa lagi yang akan terjadi di kota kita ini, kenapa para petinggi T O H berkumpul. Lalu siapa mereka yang berpakaian seperti dukun itu. Jangan-jangan mau hendak perang lagi, haduh mbok yo jangan lagi,” ucap beberapa ibu-ibu saling menyahut pertanyaan dengan kekhawatiran akan adanya perang lagi seperti sepuluh tahun yang lalu.“Hei, Bapak-Bapak dan Ibu-Ibu sudah-sudah agak menjauh ya ini sangat berbahaya lebih baik pulang deh,” celetuk Gus Pendik yang tiba-tiba ada duduk santai di trotoar di antara kerumunan w
Sumilir Angin wengi kang tumetesAnnambaih kangen ku sangsoyo gediTitipan Rindu Iki sangsoyo akehAmung biso dedungo angenku nggo koweSlirahmu siji Tresnoku Yo mung sijiTak simpen lan tak jogo tekaning patiPanyuwunku kanggo Riko njogo tresno nisunSayang... Aku tulus Tresno slirahmu... HuuuTresno Ra bakal ilyangKangen sangsoyo mbekasTembang rindu kanggo rikoJanji suci tekaning patiSalam Tresno di jogoSnadyan adoh panggonanmuSumpah tulus kanggo rikoSalam rindu neng slirahmu***Petikan dawai gitar dari jemari Halilintar mengalun menyeberangi pintu ke pintu dan mengetuk kaca pintunya. Merayu-rayu penuh ritme agar beberapa orang yang tengah membuka kaca selaras dengan harapan Halilintar mengulurkan sedikit rezeki untuknya makan hari ini.Gitar klasik warna hitam tua terus setia menemani perjuangan sang musisi jalanan. Setia menemani kala hujan tiba atau panas
Sore ini bunga anggrek di halaman rumah Bagus masih saja segar dari air yang disiramkan oleh bik Amanah sejam yang lalu. Mekarnya sangat sempurna dan harumnya semakin semerbak menempel anggun pada inang induknya batang pohon mangga.Tertata rapi bak kebun bunga istana raja dibalut bekas kupasan kulit kelapa yang sering disebut orang sepet di tali rapi dengan tali sejenis kawat kecil. Bunga anggrek lurus tertanam di depan rumah seindah sang pemilik yang selalu memperhatikannya setiap sore sebelum magrib menjelang ayu sama cantiknya.Namun kali ini sang pemilik tampak bermuka murung, gundah gulana dan terpaut seribu pikiran dengan pengembaraan lamunan di atas awang langit senja yang sudah mulai tampak memerahkan langit.Di atas kursi roda Vivi merenung memandang sang bunga lekat menatapnya berlama-lama. Andai saja aku seperti bunga anggrek itu begitu terlihat sempurna di mata siapa saja yang memandangnya menarik hati, ujar dalam hati Vivi yang semakin hari semakin
Pagi gelisah tergambar pada raut wajah Halilintar. Iya masih terpikir seraut wajah dengan senyum anggun. Seorang ibu muda di dalam sebuah mobil warna merah maru, dimanah sang ibu muda tengah di sopiri seorang yang gagah rupawan. Entah itu sopirnya atau sang suami Halilintar tak mau berpikir jauh ke arah sana.Wajah Si Ibu muda membuatnya semakin gelisah. Otaknya semakin pening terpikir siapakah Si Ibu muda tersebut kenapa iya begitu baik dan yang paling membuatnya bingung seorang bapak-bapak yang juga masih muda yang menyopiri Si Ibu muda tersebut sempat memanggil namanya. Padahal iya sangat yakin tak pernah bertemu walau sekejap.Pagi ini Halilintar semakin resah duduk di atas trotoar lampu merah pas perempatan sebelah utara kebun raja. Matanya memang menatap beberapa kendaraan yang berhenti saat lampu tengah menyala merah namun seluruh badan serasa kaku tak ingin beranjak dari lamunan.Ada apa denganku ujarnya dalam benak, seharusnya aku berdiri memainkan gita