Pada sebuah desa bernama desa Mbadas bagian utara. Desa Mbadas sebenarnya terdiri dari dua bagian yang menjadi satu desa. Satu bagian utara masuk dalam lingkup kota Jombang. Satu bagian selatan masuk dalam lingkup kota Kediri.
Bagian selatan dan utara hanya dibatasi oleh pepohonan bambu yang berjajar sepanjang tepian persawahan di bagian desa Mbadas utara. Sedangkan di balik selatan dari hutan bambu adalah permukiman warga masuk wilayah kota Kediri.
Sebuah gubuk kecil terletak di pinggiran sawah sebelah utara masuk pada wilayah kota Jombang. Sebuah gubuk beratapkan daun rumbia dan berdinding dari anyaman bambu sangat sederhana.
Gubuk tersebut menghadap ke arah sawah dan memang letaknya di tepian sawah jauh dari permukiman warga di arah utara kira-kira dua kilo meter jaraknya dari gubuk. Sengaja pak tua Raji mendirikan gubuk ini jauh dari perkotaan bahkan jauh dari pedesaan sekitar.
Pak Tua Raji tak ingin ikut campur atas kejadian-kejadia
Beberapa sosok bayangan berkelebat di depan Pak Tua Raji dan Susanti yang tengah menunggu tanaman padi mereka di tepian sawah. Seakan ada aura aneh menjalar pada kulit Pak Tua Raji. Walau kekuatannya telah hilang, tetapi bila merasakan adanya sinyal-sinyal akan keadaan bahaya di sekitarnya tentu iya masih mampu.“Ndok Susanti ayo kita ke dalam kamu belum tidur siangkan Nak?” pinta Pak Tua Raji merayu Susanti agar mau diajak masuk ke dalam gubuk.Susanti masih terlalu kecil untuk melihat sosok-sosok setan atau mungkin siluman bahkan mungkin dukun pembawa setan. Pak Tua Raji sangat yakin kalau beberapa bayangan yang melintas berlarian diatas padi bukanlah manusia.Hanya para setan atau dukun atau para punggawa anak keturunan yang mampu melakukannya. Jikalau mereka adalah punggawa anak keturunan tentu mereka akan berhenti untuk sekedar menyapa serta memberi sedikit makanan seperti biasanya.Jikalau beberapa bayangan tersebut ada
“Kakek tolong Susanti Kek!” Susanti terus meronta saat dibawa paksa oleh siluman berkepala sapi. “Susanti cucu Kakek, tolong jangan sakiti cucuku dia masih kecil tuan?” rintih Pak Tua Raji seraya kesakitan dalam cekikan siluman berkepala kerbau. “Sudah diam kau pak tua nikmati saja pertunjukan adikku siluman kepala sapi itu memakan cucumu. Justru kami senang saat memakan daging anak kecil. Daging mereka masih segar dan gurih membuat kami bertambah awet muda, hahaha...,” ucap siluman kepala kerbau masih mencekik leher Pak Tua Raji. Susanti terus meronta hendak melepaskan diri dari atas pundak siluman kepala sapi, “Lepaskan aku makhluk jelek buruk rupa, lepaskan aku atau kau akan aku adukan pada MR. D Sang penjaga kota Jombang,” teriak Susanti terus meronta sambil memukul-mukul punggung siluman Sapi. Sampai di tepian hutan bambu Susanti diikat disalah satu pohon bambu yang berada disana, “Diam kau bocah nakal! Kalau terus berteriak dan meron
Agak lama MR. D dan siluman kerbau saling bertatap muka dan pandangan. Tampaknya siluman Kerbau sudah membawa sebuah kampak sakti senjata pamungkasnya. Rupanya jua siluman sapi ini terbilang lebih sakti dari kedua adinya yang telah terbunuh dengan mudah oleh MR. D. Terlihat saat siluman kerbau menatap mata MR. D dan iya tidak musnah seperti siluman kepala sapi yang hancur menjadi debu saat menatap mata MR. D. Sementara itu Pak Tua Raji dan Susanti di tepian sawah hanya bisa melihat MR. D dan siluman Kerbau yang berdiri sejajar berhadapan di atas tanaman padi mereka. “Susanti tidak apa-apa sayang, apa ada yang luka Ndok Cucuku?” ucap Pak Tua Raji memeriksa setiap tubuh Susanti dengan teliti. “Tidak apa-apa Kakek, Susanti diselamatkan Bapak yang memakai topi koboi itu,” ucap Susanti menunjuk ke arah MR. D. Saat Pak Tua Raji melihat sosok MR. D betapa terperangah iya bahwa yang selama ini di dengarnya. Tentang sepak terjang pemangku pim
“Maju perlahan jangan membuat suara tetap bergerak kita dalam gelap. Jangan sampai kita ketahuan oleh pasukan anjing setan itu,” perintah Michael Ucup untuk para anggotanya divisi tiga bersama Ganda sebagai wakilnya.Atas perintah Raja divisi tiga kembali digenapi menjadi sepuluh orang terpilih dari keempat divisi lain. Dari semula pasukan divisi Michael Ucup telah berkurang hingga tersisa empat orang. Pasukan divisi ini sebenarnya bertugas untuk menyisir daerah pinggiran kota Jombang. Karena tugasnya itulah mereka jarang sekali menetap di satu tempat secara lama.Tugas mereka dari pimpinan tertinggi anak keturunan yakni Raja adalah memusnahkan para setan atau siluman yang mencoba masuk ke desa-desa pinggiran kota Jombang. Agar asa terus terjaga dan kehancuran tiada terus meluas sampai ke tepian-tepian desa-desa yang masih di bawah naungan kota Jombang.Perintah serangan gaya gerilya jua sedikit banyak sangat mempengaruhi perubahan peta pertaru
Divisi dua yang dipimpin oleh Gilang tengah menyusuri sebuah ngarai panjang di hutan salak sebelah utara dari lembah setan. Mereka tengah dalam perjalanan menuju lembah setan sesuai perintah Raja untuk menghancurkan pusat dari kerajaan gaib Dardak. Bangsa siluman yang menyebabkan kehancuran total semenjak tiga puluh tahun yang lalu.Tampak Gilang dan Rianti istrinya serta Ganda perwira wakil Gilang memimpin dua puluh pasukan. Mereka menyusuri hutan purba dengan pohon-pohon aneka ragam besar dan tinggi. Kawasan ini disebut hutan salak sebab di bawah jajaran pohon yang begitu tinggi-tinggi. Banyak tumbuh pohon salak disela-sela jajaran pohon tersebut.Alkisah pohon-pohon salak yang ratusan jumlahnya. Tumbuh akibat biji salak yang terbawa oleh para kelelawar setelah mengambilnya dari perkebunan milik warga jauh di ujung selatan. Saat mereka pulang menuju gua kelelawar yang ada di ujung ngarai biji salak yang terbawa oleh ratusan kelelawar terjatuh di sekitar ngarai.
Gilang dan Rianti bersama rombongan divisi dua berlari dengan cepat menuju tempat Ganda yang sudah duduk bersama Kakek Halilintar dan Kakek Dewa.“Loh Kakek Hal?” teriang Rianti yang kaget atas keberadaan Kakek Halilintar.“Rianti kamu ini semenjak kecil belum jua berubah selalu memanggilku dengan nama tidak lengkap. Kakek Halilintar Rianti bukan Kakek Hal. Gilang apa kau tak memberi tahu nama lengkapku?” ucap Kakek Halilintar sambil menyeruput kopi panas yang iya buat.“Hahaha, maaf kan istriku Kek. Memang kebiasaan-kebiasaan sedari kecilnya sulit untuk diubah,” jawab Gilang tertawa terbahak-bahak dengan tawa sang ketua agak meringankan beban pikiran dan ketakutan diantara anak buahnya yang ikut tertawa.“Ayo-ayo duduk lah kalian semua. Gilang suruh anak buahmu untuk membuat tenda-tenda darurat dari bahan seadanya. Kita bermalam dahulu di tempat ini menunggu terang kembali. Bukankah kalian tadi melewa
MR. D masih menatap langit puncak Tunggorono. Mendung kelam telah tertambat bertahun-tahun di atas kota Jombang. Ujarnya dalam hati. Seakan matanya berbicara akan kepedihan perang berkepanjangan yang tengah terjadi.Walau tubuhnya sudah terbebas dari segel kutukan dan kini tak lagi berwadah tubuh tua. Melainkan kembali muda, tetapi hatinya memiliki sisi lembut sebagai orang tua. Bahkan pikirannya hanya tertuju pada perjuangan sang anak yang tengah berjibaku bersama seluruh pejuang kota. Mempertahankan kedamaian akan kota Jombang di lembah setan.Sedikit wajahnya mendongak ke atas langit. Petir masih terus menyambar, entah kapan badai akan reda. Entah kapan perang bisa usai dan kedamaian kembali ada di kota Jombang. Terkadang MR. D mencemaskan masa depan kota Jombang. Dalam hatinya selalu bertanya, bisakah kota Jombang bertahan, berdiri dengan gagahnya untuk generasi selanjutnya.“Ayah maafkan Wahyumu, Ayah wahyumu ini tak mampu sehebat di
Dar,Dar,Dar,Dar,Suara-suara jatuhnya empat pasang kaki dari sekelompok pemuda divisi empat. Telah mendarat pada sebuah bukit berbentuk kepala tengkorak. Sesuai namanya dan masyhur popularitasnya. Bukit tengkorak tersebutlah demikian tempat pijakan dari divisi empat organisasi keturunan.Mereka hendak menuju lembah setan yang sekiranya masih satu hari perjalanan lagi dari bukit tengkorak. Petir sang pemimpin divisi empat maju ke arah depan. Tepatnya pas di tengah-tengah puncak bukit, tempat mereka berdiri kini.Matanya mulai aktif dari mode terawang gaib. Sisi hitam dari bola mata Petir berubah menjadi guratan-guratan petir namun tak besar hanya sekitar bola matanya saja. Walau pandangannya hanya memandang arah depan matanya. Tetapi mata batinnya menelusuri seluruh keadaan bukit dengan kemampuan detail hampir sempurna.“Muhamad Abdi Manah kemarilah kau saudaraku seperjuangan?” ucap Petir di sambut dengan ger
Tengah malam lewat 15 menit sudah Jaka baru pulang dan baru sampai di teras rumahnya pas berdiri di depan pintu depan rumah berbentuk kupu-kupu atau orang Jawa menyebutnya pintu berbentuk kupu tarung. Entah apa maksudnya kupu tarung yang kalau di buat menjadi arti bahasa Indonesia artinya kupu berkelahi mungkin bentuknya yang seperti kupu-kupu saling berhadapan.“Eh ketok enggak ya, ah terobos sajalah,” gerutu Jaka melewati Pintu dengan gampangnya seakan Jaka selalu dengan mudah menembus pintu tebal yang terbuat dari pohon jati hasil karya Mbah Raji tersebut.“Hehe, sudah masuk dong ke dalam rumah, eh percuma dong istriku mengunci pintu kalau aku gampang masuk. Dan oh tidak orang yang bisa kayak aku juga gampang masuk dong. Haduh Putri jadi ngeri meninggalkan kamu lama-lama sayang, ah kok jadi parno begini ya cus ke kamar,” gerutu Jaka melangkah ke kamar dengan langkah di percepat.Sampai pintu kamar ternyata keadaan pintu tak tertutup se
Krek..., blek...,Suara pintu kamar Vivi terbuka perlahan dari luar oleh Jaka dan Bagus yang hendak mengecek keadaan Vivi dan Wahyu.“Rupanya mereka sudah pulas Mas,” ucap Jaka tersenyum kecil melihat tingkah lucu anaknya yang tengah memeluk erat Vivi sambil terus mengusap perut Vivi sambil terus mengigau Mas Dewa.“Eh sebentar deh Dek Jaka coba dengar igauan anakmu itu,” kata Bagus masih berdiri di depan pintu bersama Jaka.“Sebentar Mas, diam lah dulu aku tidak begitu jelas coba aku dengar sekali lagi,” ujar Jaka mendekatkan daun telinganya agak menjorok ke dalam pintu sambil melonggokkan kepala ke dalam kamar.“Mas Dewa cepat lahir ya,” kembali igauan Wahyu terdengar kali ini agak jelas.“Eh benar kan firasatku Mas,” celetuk Jaka menatap Bagus dan Bagus yang tak tahu menahu akan maksud dari Jaka hanya bengong tak mengerti.“Maksudnya bagaimana ini Dek aku jadi penasa
“Tante, tante Vivi, halo dimanakah dirimu Tanteku yang cantik dan perutnya gendut, hehe. Namanya hamil ya memang gendut ya ah aku ini bagaimana,” teriak Wahyu sambil menggerutu menertawakan diri sendiri terus berlari ke arah kamar Vivi.“Nah ini kamar Tante sama Om ini, gedor ah kerjai Tante biar langsung bangun tidur melulu Si Tante ah aku kan kangen,” gerutu Wahyu mulai usil dengan rencana-rencana nakalnya.“Duor,” sekali tendang pas di tengah dengan kakinya membuat suara sangat kencang namun tetap tak terbuka pintu tetap tertutup rapat terkunci dari dalam.“Loh kok enggak bangun juga ini Tante wah tidur apa pingsan sih ini orang, Tante aku kangen!” teriak Wahyu di depan pintu kamar Vivi.“Pakai apa ya biar bunyinya jadi kayak ada ritmenya gitu pas mukul-mukul ini pintu, hem, ahay ini ada palu ini di atas meja kok pas ya ada palu namanya juga novel campur komedi ia kan haha, eh jangan deh nanti
“Brem, brem, tengteng teng, sit hop stop,” celetuk Wahyu langsung lompat dari atas motor bergegas lari menuju dalam rumah Pak Bupati Bagus yang memang sudah terbuka pintu depannya.“Hey, Wahyu hati-hati Nak jangan lari nanti jatuh,” teriak Jaka namun Wahyu tak menggubris dan terus berlari dengan kaki-kaki kecilnya yang menggemaskan.“Assalamualaikum tante, oh tante,” teriak Wahyu sambil terus berlari melewati Omnya yakni Pak Bupati Bagus beserta petinggi T O H yang lain yang tengah asyik mengobrol di ruang tamu.“Eh Wahyu jangan lari-lari Nak nanti jatuh,” teriak Bagus mengingatkan Wahyu namun Wahyu melewatinya begitu saja karena saking rindunya pada tantenya Vivi.Sebentar kemudian Wahyu kembali ke tempat para peringgi T O H yang sedang duduk-duduk seraya menyalami satu persatu dari mereka. Sampai pada tempat bagus duduk Wahyu menyalami Bagus sambil mencium punggung tangannya seraya bertanya, “Om tant
Kelompok Hendrik Wijaya dari golongan hitam telah pergi beberapa menit yang lalu. Tapi masyarakat kota Jombang yang sudah kadung melihat tontonan yang begitu mengerikan menjadi trauma tik sangat ketakutan akan adanya perang kembali.Sejenak Wahyu mengamati ada yang aneh dari kejauhan tempatnya berdiri. Setelah mengalahkan Hendra Wijaya dengan hanya sekali sentuh. Wahyu tampak gelisah, karena sekejap ia seperti melihat sepasang mata menyeramkan yang tengah mengintainya.Wahyu terus memandang ke arah timur jauh tempatnya berdiri agak bingung mematung. Melihat apa sebenarnya yang ia rasakan benar adanya. Si kecil Wahyu yang masih begitu polos tak mengerti bentuk makhluk apa yang membuat desir dalam dadanya sampai bergetar kencang. Seperti ada sesuatu benturan hawa atau aura antara dia dengan makhluk tak kasat mata lain.Sedangkan para petinggi T O H yang sangat senang dapat membatalkan perang setidaknya damai akan tercipta sampai sepuluh tahun ke depan. Masih teram
“He, apa itu?” kata ibu-ibu yang berkerumun di pinggir trotoar.“He, iya kenapa itu ada orang berhadapan di tengah jalan?” sahut ibu satunya.“Eh, itu bukannya Bupati kita ya Pak Bagus?” timpal bapak-bapak yang ikut nimbrung bersama ibu-ibu.“Loh itu di sampingnya bukannya Mas Haji Lurah Dava dari desa Mbanjar Kerep ya?" teriak ibu-ibu yang lain.“Eh ada apa ini Ya Allah, bahaya apa lagi yang akan terjadi di kota kita ini, kenapa para petinggi T O H berkumpul. Lalu siapa mereka yang berpakaian seperti dukun itu. Jangan-jangan mau hendak perang lagi, haduh mbok yo jangan lagi,” ucap beberapa ibu-ibu saling menyahut pertanyaan dengan kekhawatiran akan adanya perang lagi seperti sepuluh tahun yang lalu.“Hei, Bapak-Bapak dan Ibu-Ibu sudah-sudah agak menjauh ya ini sangat berbahaya lebih baik pulang deh,” celetuk Gus Pendik yang tiba-tiba ada duduk santai di trotoar di antara kerumunan w
Sumilir Angin wengi kang tumetesAnnambaih kangen ku sangsoyo gediTitipan Rindu Iki sangsoyo akehAmung biso dedungo angenku nggo koweSlirahmu siji Tresnoku Yo mung sijiTak simpen lan tak jogo tekaning patiPanyuwunku kanggo Riko njogo tresno nisunSayang... Aku tulus Tresno slirahmu... HuuuTresno Ra bakal ilyangKangen sangsoyo mbekasTembang rindu kanggo rikoJanji suci tekaning patiSalam Tresno di jogoSnadyan adoh panggonanmuSumpah tulus kanggo rikoSalam rindu neng slirahmu***Petikan dawai gitar dari jemari Halilintar mengalun menyeberangi pintu ke pintu dan mengetuk kaca pintunya. Merayu-rayu penuh ritme agar beberapa orang yang tengah membuka kaca selaras dengan harapan Halilintar mengulurkan sedikit rezeki untuknya makan hari ini.Gitar klasik warna hitam tua terus setia menemani perjuangan sang musisi jalanan. Setia menemani kala hujan tiba atau panas
Sore ini bunga anggrek di halaman rumah Bagus masih saja segar dari air yang disiramkan oleh bik Amanah sejam yang lalu. Mekarnya sangat sempurna dan harumnya semakin semerbak menempel anggun pada inang induknya batang pohon mangga.Tertata rapi bak kebun bunga istana raja dibalut bekas kupasan kulit kelapa yang sering disebut orang sepet di tali rapi dengan tali sejenis kawat kecil. Bunga anggrek lurus tertanam di depan rumah seindah sang pemilik yang selalu memperhatikannya setiap sore sebelum magrib menjelang ayu sama cantiknya.Namun kali ini sang pemilik tampak bermuka murung, gundah gulana dan terpaut seribu pikiran dengan pengembaraan lamunan di atas awang langit senja yang sudah mulai tampak memerahkan langit.Di atas kursi roda Vivi merenung memandang sang bunga lekat menatapnya berlama-lama. Andai saja aku seperti bunga anggrek itu begitu terlihat sempurna di mata siapa saja yang memandangnya menarik hati, ujar dalam hati Vivi yang semakin hari semakin
Pagi gelisah tergambar pada raut wajah Halilintar. Iya masih terpikir seraut wajah dengan senyum anggun. Seorang ibu muda di dalam sebuah mobil warna merah maru, dimanah sang ibu muda tengah di sopiri seorang yang gagah rupawan. Entah itu sopirnya atau sang suami Halilintar tak mau berpikir jauh ke arah sana.Wajah Si Ibu muda membuatnya semakin gelisah. Otaknya semakin pening terpikir siapakah Si Ibu muda tersebut kenapa iya begitu baik dan yang paling membuatnya bingung seorang bapak-bapak yang juga masih muda yang menyopiri Si Ibu muda tersebut sempat memanggil namanya. Padahal iya sangat yakin tak pernah bertemu walau sekejap.Pagi ini Halilintar semakin resah duduk di atas trotoar lampu merah pas perempatan sebelah utara kebun raja. Matanya memang menatap beberapa kendaraan yang berhenti saat lampu tengah menyala merah namun seluruh badan serasa kaku tak ingin beranjak dari lamunan.Ada apa denganku ujarnya dalam benak, seharusnya aku berdiri memainkan gita