Pramudya.
Perlahan kelopak matanya terbuka, walaupun masih terasa sangat berat karena pengar yang melanda begitu hebat. Sesaat dia memicing dan mengerjap lemah demi menyesuaikan cahaya yang menusuk tajam di bola matanya.
Bau obat-obatan seketika menyengat indera penciuman. Aroma khas ruang perawatan rumah sakit itu seakan mampu membangkitkan kesadarannya, walaupun belum sepenuhnya sempurna.
Semua yang berada di sekitarnya serba putih, ada juga nuansa hijau muda di beberapa bagian ketika netranya sudah terkuak lebar.
Pram tak ingat bagaimana dia bisa berada di ruang perawatan ini dan sudah berapa lama tak sadarkan diri. Akan tetapi benaknya masih mampu memutar kembali rekaman peristiwa yang dia alami. Peristiwa yang membuatnya terkulai tak berdaya. Pengeroyokan tiga lawan satu yang melumpuhkannya tanpa ampun.
“Bu Cinta .... “ desisnya berat karena tenggorokan yang tercekat.
Lantas terdengar bunyi geseran kursi di seb
Pramudya.Satu minggu berada di ruang perawatan rumah sakit, kondisi Pram tampak semakin membaik. Luka-luka di wajah sudah mulai mengering, hanya meninggalkan bekas yang masih mencetak warna kebiruan di bawah mata dan sedikit di sudut bibir.Tulang rusuk yang patah belum sepenuhnya pulih, namun dia mulai mampu menggerakan tubuh dengan perlahan untuk meregangkan persendian yang sempat kaku dengan berbagai pengobatan dan anestesi yang diberikan.Sebuah keberuntungan bagi Pram, karena Bu Ocha dengan keihklasan dan begitu perhatian mendampinginya selama masa perawatan. Dengan tekun dan penuh kasih sayang, Bu Ocha merawat Pram hingga dia pun rela tidur di sofa untuk menemani Pram hampir dua puluh empat jam.Yang menjadi konsentrasinya saat ini adalah Pram menjalani perawatan dan pengobatan semaksimal mungkin agar segera sembuh total dan pulih seperti sedia kala.Sepanjang hidup, baru kali ini Pram merasa diperhatikan sedemikian dalam layak
Pramudya.Dengan kepala setengah tertunduk dia menatap layar gawainya yang pecah parah. Batangan itu nyaris terbelah dua. Bahkan baterainya pun sudah retak di bagian tengah. Bukan hanya tak bisa menghubungi orang-orang yang menurutnya penting. Namun yang lebih menyesakkan, foto-foto wajah Cinta pun yang tersimpan tak bisa lagi dia pandang.Walaupun dua hari lalu, dia masih berkesempatan bicara dengan Cinta melalui ponsel Sabrina. Namun jelas dia merasa tak puas karena Cinta tidak bisa datang menemuinya lantaran Pak Abraham mengurung gadisnya itu hingga saat ini.Saat itu, Pram hanya bisa memandangi bola mata Cinta yang terus menerus meneteskan air mata. Serta wajah yang sembab tanda gadis itu menangis untuk waktu sekian lama. Padahal hatinya gemas ingin sekali menyentuh pipi yang basah dan menghapus air mata itu. Namun apa daya dia tengah terbaring lemah dan juga terhalang oleh perintah Pak Abraham yang begitu keras memisahkan dirinya dengan Cinta.&l
Dari jendela pesawat di sebelah kirinya, Pram melemparkan pandangan ke daratan di bawah sana. Tampak terbentang luas bagai jutaan titik penuh warna yang lama kelamaan semakin menjauh dan mengecil, lalu hilang di balik awan putih yang berarak di angkasa.Pram memejamkan mata merasakan sesak yang tiba-tiba hadir di dalam dada saat membayangkan wajah gadis tercinta yang terpaksa dia tinggalkan tanpa sempat bertemu, walaupun untuk sekedar mengucapkan selamat tinggal sementara waktu dan meminta gadis itu untuk menunggu.Namun dia yakin Cinta juga merindu seperti dirinya saat ini. Karena setiap kali hatinya melirihkan nama Cinta, sekujur tubuhnya serasa menghangat dan jantungnya berdebar hebat.Pagi tadi sewaktu Bu Ocha mengantarnya ke bandara, dia memohon pada Bu Ocha untuk segera menyempatkan diri bertemu Sabrina dan meminta nomor pribadi Cinta. Agar dia dapat menghubungi gadis itu begitu sampai di tempat tujuan.Dan Bu Ocha berjanji hanya dengan menganggukka
Tegak dan berusaha bersikap tenang, Pram duduk di sofa single tengah menunggu Burhan yang menghadap manajer HRD di dalam ruangan.Penampilannya tampak rapi pagi ini. Mengenakan celana basic hitam dan kemeja biru tua. Sepatu pantofelnya mengkilat licin tanpa noda. Rambut klimisnya membingkai wajahnya yang segar merona. Tak ketinggalan keharuman khas pria yang menguar dari tubuh tegapnya. Para karyawan wanita yang berada di balik kubikel sesekali meliriknya penuh tanda tanya. Bahkan ada beberapa yang melemparkan tatapan nakal menggoda sambil berbisik-bisik dengan sesama rekan kerja. Namun Pram tetap bersikap datar, walaupun merasa risih karena dirinya kini menjadi santapan mata para wanita.Perfect! Pesona Pram memang tak terbantahkan.Walaupun kepala tetap tegak, namun bola mata dia arahkan ke bawah. Sesekali dia melirik laju jarum jam tangannya. Sudah lewat tiga puluh menit dia duduk sendiri menunggu Burhan di dalam sana.Pintu ruangan yang
Tok ... Tok ... Tok....Terdengar ketukan dari pintu kamar. Pram yang baru selesai berpakaian melangkah cepat menuju pintu.Ketika Pram menguak pintu itu lebar, seorang wanita tua tampak berdiri tegak di hadapannya dengan tersenyum ramah. Namun tiba-tiba senyuman wanita itu memudar, seiring dengan bola matanya yang membelalak lebar. Pram menangkap reaksi yang berubah secepat kilat itu, mengernyitkan dahi menatap wanita di hadapan. Dia merasa seperti ada sesuatu yang salah dengan dirinya.“Bu? Selamat pagi.” Pram menyapa lebih dulu. Spontan membuyarkan keterpanaan wanita itu.Wanita itu gelagapan disapa oleh Pram. Kemudian merubah raut wajahnya dengan menghadirkan kembali senyuman ramah seperti di awal tadi.“Eeeh ... iya. Se ... selamat pagi,” balasnya gugup.“Ehmm ... Ibu ... siapa?” tanya Pram hati-hati demi melihat sinar mata wanita itu begitu sendu menatap dirinya.“Oh, iya.
Makan siang ini Pram lewati dengan menuntaskan pekerjaannya yang menumpuk. Memeriksa file biodata keanggotaan seluruh tenaga pengamanan di dalam komputer. Mempelajari prosedur kerja Chief Security sebelumnya. Dan mengatur ulang jadwal kegiatan harian para anggotanya agar ada penyegaran di divisi pengamanan yang dia pimpin saat ini.Pram mendongak dan mengalihkan pandangannya dari tumpukan berkas dan layar komputer ketika terdengar ketukan di pintu ruang kerjanya.Tanpa menunggu dipersilakan masuk, Burhan muncul dari balik pintu lalu melangkah santai menghampiri meja kerjanya dan duduk di hadapannya.Pria itu menyodorkan sebuah kotak berwarna putih dengan lambang Apel ke hadapan Pram.Sejenak Pram menatap Pak Burhan dengan pandangan heran, lalu meraih kotak itu dan dibukanya pelan-pelan.Dia terperangah begitu melihat satu unit ponsel yang dia tahu seharga motor itu teronggok di dalamnya, lalu beralih lagi menatap Burhan.“Ini ... buat
Cinta.Satu minggu dia berada di kota Medan, mengikuti kegiatan papa dan mama yang baginya tidak terlalu berguna. Hanya menemani keduanya menemui beberapa kerabat papa.Kata mama, mereka adalah para calon investor yang tengah dilobi oleh papa untuk menanam saham di proyek apartement yang akan dibangun tak lama lagi, yang berlokasi di perbatasan antara Jawa Barat dan Jakarta Selatan. Mereka membawa serta dirinya dengan harapan dia berminat mempelajari bisnis papa dan ikut terjun langsung menangani proyek tersebut.Padahal dia tahu, maksud papa dan mama membawanya ke kota itu tak lain hanya untuk menjauhkan dia dari pria yang melamar dirinya dan memberinya cincin tanda ikatan dua minggu lalu, Pramudya.Terlebih ketika dia teringat ancaman papa sewaktu dia diseret pulang dari tempat terakhir dirinya bertemu dengan Pram.“Kalau kalian berani ketemuan lagi, jangan harap kamu bisa lihat Pram dalam keadaan masih bernyawa!”
Apa yang dia dan Sabrina duga ternyata benar.Malam harinya, setelah selesai makan malam dengan menu hidangan istimewa yang dipesan langsung dari catering hotel Swastika milik keluarga, Pak Abraham dan Bu Viola bersama Pak Derry beserta istrinya, Ibu Jessica membahas mengenai niat mereka untuk menjodohkan anak-anak mereka. Cinta dan Jamie.Kekehan dan kelakar ringan terdengar di ruang keluarga. Namun Cinta sama sekali tak berminat untuk ikut serta menanggapi. Semua pembicaraan mereka terdengar memuakkan baginya. Terlebih ketika, Pak Derry dan Bu Jessica mulai memuji-muji dirinya di depan putera mereka dan secara langsung menggoda Cinta untuk menjadi menantu mereka.“Kamu masih ingat, nggak, Jem? Dulu waktu Cinta liburan ke Sidney, dia masih kecil sekali. Cinta ikutin kamu terus selama liburan di Bronte beach saking takutnya sama ombak.” Bu Jessica, wanita berdarah campuran Indo-Chinese sebaya Bu Viola terkekeh mengenang masa liburan mereka seraya men
Pramudya.Dari tempatnya berdiri, di balkon Presidential Suit Room lantai dua puluh hotel Swastika, ia memandangi barisan gedung yang diterangi oleh lampu-lampu aneka warna. Seakan bangunan-bangunan menjulang itu tengah berlomba-lomba memamerkan keindahan di antara langit kelam.Jalan raya ibukota di bawah sana masih tampak sibuk menggeliat walau hari telah beranjak gelap.Diiringi semilir angin malam yang sejuk dan tak menusuk, ia menyandarkan pinggang di pagar balkon bersama secangkir kopi hitam di tangan. Diseruputnya beberapa teguk, lalu ia letakkan kembali ke atas meja kaca.Satu jam lalu, setelah seluruh rangkaian acara akad nikah dan resepsi digelar, sebenarnya ia ingin segera membawa Cinta pulang ke rumah. Namun, Pak Abraham, ayah mertuanya sudah mempersiapkan satu kamar termewah di hotel ini untuknya dan Cinta beristirahat beberapa hari. Tentu saja ia tak mampu menolak. Ia berpikir beginilah cara ia menghargai permintaan ayah mertua
Seseorang tidak bisa memaksakan dengan siapa ia akan jatuh cinta. Tapi hati lebih tahu siapa yang pantas untuk diperjuangkan dan siapa yang pantas didapatkan.Jadi, jangan pernah berhenti mencintai hanya karena pernah terluka. Karena tak ada pelangi tanpa hujan, tak ada cinta sejati tanpa tangisan.Pramudya dan Cinta sudah membuktikan itu semua. Setelah melewati segala rintangan, kepedihan dan kekecewaan, kini saatnya mereka berhak merayakan penyatuan cinta yang sejatinya awal melangkah menuju kehidupan baru.Cermin memang tidak pernah berdusta. Ia menampilkan apa yang ada di hadapannya. Disana terlihat seorang gadis cantik tinggi semampai dalam balutan kebaya putih berkerah rendah. Kalung rantai platina berliontin bentuk matahari melingkar di leher jenjangnya. Rambutnya disanggul dan ditaburi butiran kristal yang berkilau ketika ditimpa cahaya. Wajahnya yang sehalus porcelein dihias dengan warna-warna muda, terkesan alami namun tetap menggetarkan hati saa
Satu minggu kemudian, kesepakatan kerjasama antar dua perusahaan itu akhirnya terlaksana. Dikukuhkan dengan penandatanganan sejumlah dokumen perjanjian oleh Aura Cinta Anastasia sebagai Direktur Utama PT Swasti Karya Utama dan Rosalinda Cattleya Aji Pratama sebagai Direktur Pelaksana PT Andromeda Persada Land.Disaksikan sejumlah jajaran manager dari kedua perusahaan, pengacara masing-masing pihak dan notaris independen.Cinta seakan enggan berkedip ketika menatap sosok Pram yang tampak begitu mempesona di hari istimewa ini. Pria dengan keelokan fisiknya itu semakin menawan dengan setelan jas hitam yang begitu pas membalut tubuh tegapnya. Rambut klimisnya tertata rapi membingkai wajahnya yang segar dengan rahang licin kebiruan. Senyuman tipisnya yang selalu mengembang sepanjang acara tak ayal lagi membuat para kaum hawa melelehkan air liur kala memandangnya.Benar-benar seorang pria dengan pesona yang tak terbantahkan!Demikian juga Pram yang begitu menik
Untung saja Pram sigap menangkap tubuh Cinta yang tiba-tiba lunglai seperti daun kering yang lepas dari tangkai. Sehingga tubuh gadisnya itu tak sampai jatuh menghantam lantai.Lima menit tadi, ruangan lantai tiga mendadak gempar bagai diguncang gempa bumi. Lantaran pekikan panik Juwita saat melihat ibu direktrisnya yang cantik itu tiba-tiba tak sadarkan diri.Para karyawan langsung berhamburan keluar dari kubikel mereka menuju ruang kerja Direktur Utama untuk mengetahui apa yang terjadi.Tapi ketika melihat Pram membopong tubuh Cinta ke atas sofa dan mendekap begitu posesifnya, para karyawati yang melongo ke dalam ruangan justru berharap diri mereka yang pingsan saat itu, demi bisa bertukar tempat dengan Cinta, berada dalam dekapan hangat pria menawan itu.Burhan dan Baldi, serta Juwita akhirnya berhasil menggiring mereka kembali ke kubikel masing-masing, dan menghempaskan harapan semu mereka.Cinta mengerjap-ngerjapkan kelopak mata lemah, menyesu
Pramudya.“Apa kabar?” Terdengar begitu lugu, berbulan-bulan tak jumpa tapi hanya pertanyaan itu yang mampu terucap dari bibirnya.Perlahan Cinta mengurai dekapan dari tubuh tegapnya, kemudian mendongak untuk menjangkau pandangan tepat ke bola matanya yang juga menghangat. Lalu seulas senyum menghiasi wajah gadisnya yang basah.“Kangen.” Singkat, namun menggambarkan sejuta rasa indah.“Sama.” Begitu juga Pram yang seketika kehilangan kata-kata mesra yang sudah ia persiapkan sejak dari rumah. Karena ia terlalu sibuk menjinakkan hati yang kini melonjak-lonjak hendak melambung tinggi.Tanpa ia duga, Cinta menangkup wajahnya, menariknya untuk mendekat, lalu mengecup bibirnya begitu dalam dan lama. Walau terperanjat, ia berharap mampu membekukan waktu untuk menikmati kecupan hangat itu.Belum juga harapannya terkabul, Cinta melerai kecupan panjang di bibirnya. Lalu begitu tergesa-gesa gadis
Cinta.Ia mematut diri sejenak di depan cermin meja rias setelah tubuh semampainya terbalut blazer magenta dan celana panjang dengan warna sama, rambut coklatnya ia biarkan terurai bergelombang, serta riasan wajahnya natural, namun terkesan elegant.Lalu menyungging senyum puas ketika dirasa penampilannya saat ini sudah cukup paripurna. Pasalnya ia menganggap hari ini adalah hari penentuan bagi hidup mati perusahaan. Karena siang nanti ia akan bertemu dengan calon investor yang tertarik menanamkan dana besar pada proyek yang sedang ia perjuangkan. Setidaknya ia ingin memberikan kesan pertama yang positif lewat penampilan.“I’m gonna get dressed for success,” gumamnya sambil tersenyum dan mengerlingkan mata pada pantulan dirinya di cermin.Bergegas ia raih tas tangannya dengan brand terkenal dunia, lalu lekas melangkah keluar kamarnya.“Morning, Pa, Ma.” Ia menyapa setelah berada di kamar kedua orangtuanya.Pak A
Aura Cinta AnastasiaAtmosfere Meeting Room Hotel Swastika saat ini membeku. Dingin, kaku, dan membuat semua peserta internal meeting perusahaan itu mendadak diam membisu. Terlebih saat dua orang anggota tim konsultan bisnis memaparkan sejumlah temuan dan analisa di hadapan mereka.Yang intinya bahwa pembangunan proyek apartement yang akan dibangun oleh Pak Abraham dan rekannya Pak Derry Nugraha terpaksa dihentikan untuk sementara waktu. Dan perusahaan harus mengembalikan keseluruhan dana konsumen yang sudah masuk, juga semua kewajiban perbankan yang sudah jatuh tempo. Sementara sumber keuangan yang dimiliki oleh perusahaan tersebut berada di titik rawan.Untuk mengatasi kendala tersebut, tak ada cara lain yaitu mencari investor atau menjual semua aset perusahaan bahkan aset pribadi pemilik untuk mendapatkan sumber pendanaan. Sedangkan para calon investor yang dianggap berpotensi saat ini sepertinya mundur teratur setelah berita mengenai masalah pr
“Selamat pagi, Sayang ... “Pram terlihat memutar bola matanya, sedikit jengah mendengar sapaan ibunya itu saat ia melangkah masuk ke ruang kerja dimana sang ibu sedang berkutat dengan beberapa dokumen di belakang meja kaca.“Jangan panggil ‘sayang’, Bu. Nggak suka!”Dari balik kacamatanya, Bu Ocha melirik Pram yang langsung menempatkan diri di kursi seberangnya. Lalu ia mengulum senyum.“Kan emang sayang,” godanya, karena suka melihat wajah puteranya yang tertekuk sebal itu.“Ibu ... please. Udah setua ini dipanggil ‘sayang’ sama Ibu, bikin malu aja,” gerutu Pram sambil memainkan pena di atas meja.Bu Ocha terkekeh ringan sambil melirik Mak Ayu yang duduk di sofa di tengah ruang kerja itu. Demikian juga Mak Ayu yang ikut tersenyum melihat interaksi ibu dan anak itu, lalu menyeruput secangkir teh hangat di tangannya.“Kalo nggak mau dipanggil ‘sayang&r
Pramudya.Ia tertegun menatap sesosok wajah yang tergambar di dalam bingkai foto berukuran besar di salah satu dinding kamar. Kelopaknya sedikit memicing mengamati wajah teduh namun terkesan bijaksana itu. Ia tak menampik bahwa tampilan sosok itu memiliki banyak persamaan dengan dirinya. Sepasang mata yang dalam di kawal dengan kedua alis yang legam. Bibir yang tipis dengan sudut tajam saat tersenyum. Dan garis rahang yang sangat menawan menggambarkan ketegasan. Ia memandangi foto itu seperti sedang bercermin.“Itu Pratama, cinta pertama Ibu, ayah kamu.” Dibelakangnya, Bu Ocha melingkarkan tangan di bahunya, kemudian meletakkan kepala di sana sambil ikut memandangi wajah di dalam bingkai foto warna kuning keemasan di hadapannya.“Ganteng,” Ia memuji tanpa mengalihkan tatapan pada foto itu.“Iya, persis kayak kamu. Wajah kamu seperti copy paste ayah kamu, Pram. Ibu cuma kebagian mewarisi bentuk hidung ke kamu,&rd