Dengan dada bergemuruh aku menyudahi mengecek CCTV. Darah yang mengalir terasa panas. Awas saja kalau memang Mas Radit berani menghianatiku. Aku sudah mengangkat derajat dia dan keluarganya. Kalau saja bukan karena keinginan Ayah, aku juga takkan sudi menikah dengannya. Padahal saat itu aku sudah menjalin tali kasih dengan teman semasa kuliah dulu.
Karena tak ingin dianggap anak durhaka, aku menyetujui perjodohan dengan Mas Radit. Walau harus mengubur dalam-dalam kisah asmara yang telah terajut indah selama lima tahun.
Setelah menikah denganku, kehidupan keluarga Mas Radit berubah drastis. Rumah yang dulu hanya terbuat dari bilik bambu berubah menjadi rumah modern. Mobil mewah juga bertengger di garasi. Adik perempuan satu-satunya juga mengecap pendidikan tinggi. Semua itu memakai uangku. Aku ikhlas karena bagaimanapun mereka juga keluargaku. Awas saja kalau sampai penghianatan itu ada. Akan aku kembalikan mereka ke habitatnya.
“Siapa wanita berambut pirang sepanjang punggung? Kalian pasti mengenalnya?!” tanpa basa-basi aku bertanya kepada para karyawan. Menatap wajah mereka satu persatu. Tak ada jawaban. Mereka tetap bungkam. Menghela nafas dan menahan sesak dalam dada.
“Kalian semua aku pecat! Kemasi barang-barang kalian! tak ada sepeserpun uang pesangon!” aku menggebrak meja dengan geram. Dengan bungkamnya mereka makin membuat kecurigaanku tak terbendung.
“Jangan, Bu. Jangan pecat saya. Kasihan anak-anak dan istri saya!”
Aku menutup telinga saat mendengar permohonan para karyawan. Biar ini menjadi pelajaran untuk mereka. Walau mereka memohon-mohon aku tetap bergeming dan membuang pandangan jauh. Amarah semakin menjadi ketika mendegar ucapan dari salah satu karyawan.
“Yang berhak memecat kami adalah Pak Radit. Karena toko ini milik beliau. Jadi kami hanya akan tunduk kepada Pak Radit. Bukan Ibu!”
Suara itu membuat kupingku panas. Apalagi saat mendengar bisik-bisik yang membuatku makin kesal.
Melayangkan sorot mata tajam ke arah pria muda yang tidak aku kenal sebelumnya.
“Siapa kamu?! beraninya berbicara seperti itu di hadapan saya?! Apa kau tidak tahu sedang berbicara dengan siapa, hah?!” aku mendekat kearahnya dan menunjuk wajahnya. Aku tahu yang kulakukan ini tidak sopan. Namun dia juga sangat kurangajar dan berani menentangku.
Tiba-tiba pria itu menunduk ketakutan dan berlindung di belakang Karno. Dan terlihat pria paruhbaya itu berusaha melindunginya.
“Jangan bersembunyi seperti tikus! Hadapi aku!” aku sangat kesal melihat pria muda itu tidak berani menghadapi amarahku.
“Maafkan dia, Bu. Dia anak saya dan baru bekerja di sini. Jadi belum tahu kalau ibu pemilik asli toko ini. Bukan Pak Radit. Sekali lagi maafkan dia.”
Aku menghela nafas panjang untuk melonggarkan sesak di dada. Mencoba mengatur nafas dan meredakan amarah. Tak ada gunanya aku marah-marah seperti ini. Kemarahan takkan bisa menyelesaikan masalah.
Mungkin aku bisa mengambil kesempatan baik ini. Dengan sedikit menekannya aku pasti bisa mendapat jawaban dari pertanyaan yang membuat kepala mengepul.
Melipat tangan di dada sembari membusungkan dada. Aku sengaja memperlihatkan keangkuhan supaya mereka segan kepadaku.
“Apa kompensasinya untuk saya?” tanyaku dengan perasaan yang sedikit lebih tenang.
“Saya akan memberikan seluruh informasi yang Ibu butuhkan.”
“Oke. Setuju. Dan pertanyaan pertama, jawab siapa wanita berambut pirang yang sering datang ke tempat ini. Yang kedua kemana tadi mengantarkan pesanan tak berbayar?” aku mengambil kursi plastik dan duduk di hadapan sopir pribadi yang dulu menjadi orang kepercayaan ayah. Jujur tak sepantasnya aku menekannya seperti ini. Dia sudah sangat berjasa kepada keluarga kami. Walau dia buta huruf, tapi bisa bekerja dengan baik.Namun gara-gara anaknya yang songong itu membuatku sedikit menekannya.
“Yang pertama, wanita itu adalah ....” Karno tak melanjutkan ucapannya. Dia terlihat mengambil nafas panjang lalu menghembuskannya perlahan. Tangannya mngurut dadanya perlahan. Sepertinya dia sangat bimbang dengan apa yang akan dia lakukan. Aku tahu. Mungkin saja dugaanku benar. Wanita itu adalah selingkuhan suamiku hingga pria ini berat menjawabnya.
Aku akan mencoba membuatnya tenang. Mata pria itu mulai berkaca-kaca.
“Jawab saja yang jujur. Mas Radit tidak mungkin berani memecat Bapak. Percayalah, aku akan melindungi Bapak.” Menepuk-nepuk bahunya seraya tersenyum.
“Bapak? Ibu memanggil saya Bapak?” pria itu seolah tak percaya menatapku.
“Iya. Maafkan saya. Tadi saya sangat emosi.”
“Tidak apa-apa, Neng.” Ucapnya seraya menepuk-nepuk tanganku. Panggilan kesayangan semenjak aku kecil. Pak Karno dulu pernah tinggal di mess yang ada di belakang rumah. Hingga kami dulu begitu akrab.
“Bapak akan jawab. Bapak juga kasihan sama Neng di bohongi terus-terusan sama Radit. Eh maksud saya, Pak Radit.”
“Jadi benar wanita itu selingkuhan Mas Radit?” tanyaku dengan bibir bergetar. Tanpa bertanyapun aku sudah yakin sekali jawabannya.
“Bukan sekedar selingkuhan, Neng. Semua yang sudah bekerja lama di sini juga tahu kalau Neng Neva itu kekasih Radit sebelum menikah sama Neng Putri. Dia suka nemenin kalau Radit lagi ngangon sapi.”
“Mantan maksudnya, Pak?” aku mengulang pernyataan Pak Karno yang kurasa salah. Dada kembali bergemuruh.
“Mereka masih pacaran sampai sekarang. Jadi bukan mantan, Neng. Dulu si Neva teh masih jelek, item, dekil cerumut pokokna mah. Sekarang sudah cantik, bahenol dan sexy. Pasti duitnya dari si Radit.”
Tanganku mengepal menahan amarah. Perih dan sangat sakit. Pria yang sudah kuberikan kepercayaan selama ini ternyata bukan pria setia. Dia bukan hanya menghianatiku, tapi juga membohongiku selama ini. Aku merasa jadi wanita paling bodoh di dunia ini yang dengan mudahnya mempercayakan usaha ayah kepada buaya seperti dia. Aku akan membuat perhitungan dengannya.
“Dan pesanan daging itu untuk ... “ kembali pria itu menggantung ucapannya.
“Katakan saja. Saya sudah siap mendengar berita paling buruk sekalipun.” Jawabku mencoba tegar. Padahal jauh di dalam hati sakit seperti tertusuk ribuan benda tajam.
“Bapak tidak berani. Takut Neng terluka.” Pak Karno menundukkan kepala dengan lemah. Aku yang tidak sabar memegang kedua lengannya dan mengguncangnya keras.
“Katakan saja, pak. Aku tidak akan terpengaruh dengan jawaban Bapak. Percayalah, aku wanita kuat.
“Baiklah, daging itu adalah pesanan dari ... “
Kembali Karno menghentikan ucapannya membuatku sangat stress. Rasanya tak sabar untuk mendengar jawaban darinya.
“Pesanan dari Pak Radit, bu.” Jawab anak muda songong tadi.“Untuk apa?!” tanyaku gusar. Makin tidak mengerti dengan apa yang terjadi.“Untuk pernikahannya dengan Neva!” jawab anak pak karno dengan penuh emosi.“Jangan berani memfitnah suamiku atau kau tahu akibatnya!” aku mencoba tetap kuat. Walau ada getaran dalam ucapanku. Bolamata mulai memanas. Aku tak bisa percaya kepada anak songong itu. Namun jauh dalam hati aku mempercayai ucapannya.‘Tapi itu benar, Bu. Pernikahannya akan dilaksanakan besok. Kami diancam oleh Bapak untuk tak memberitahukan kepada ibu. Kalau sampai kami memberitahu ....”“Cukup! Aku tak mau mendengar apapun!” menutup kedua telingaku. Dada terasa terbakar dan sangat berat bagai di tindih ribuan batu. Untuk mengambil nafas saja terasa sulit.Menjatuhkan tubuh di lantai dan menumpahkan kesedihan. Tega sekali kamu menghianatiku, Mas. T
Menutup sambungan telepon dengan Ratih temanku. Informasi darinya benar-benarmembuatku tak percaya. Awalnya aku menanyakan suamiku sering mengambil uang dari tabunganku. Tapi kenapa tak pernah ada laporan dari sms banking.Alangkah terkejutnya saat aku mendengar jawabannya. Ternyata Mas Radit mempunyai rekening atas namanya sendiri. Dan itu sudah cukup lama. Kenapa aku sampai tidak tahu. Benar-benar penipu kelas kakap.Apa yang harus kulakukan. Sebenarnya aku ingin memblokir rekeningnya, tapi menurut Ratih aku tak bisa melakukan itu. Bank pasti menolak. Kecuali kalau memang suamiku melakukan kejahatan yang berhubungan dengan rekeningnya. Dan itu juga perlu ada bukti yang kuat.Memijit kepala yang tiba-tiba saja terasa berat. Aku harus bisa mencari solusinya. Akan aku pikirkan nanti.Saat ini aku punya prioritas yaitu mengetahui keberadaan suamiku. Dia sudah membuatku seperti wanita dungu yang begitu mudah dikadali oleh buaya mu
Sesampainya di rumah, aku menghambur ke pangkuan ibu dan menumpahkan kesedihan.bIbu terlihat sangat khawatir. Beliau mengelus rambutku.“Ada apa, Nak?”“Mas Radit menghianati putri, Bu.”“Menghianati bagaimana?”Aku menatap wajah ibu. “Mas Radit sudah membohongi putri. Dia tidak pergi ke lauar kota untuk berbisnis. Ternyata dia sedang mempersiapkan pernikahan dengan wanita lain. Mereka sudah menjalin hubungan sebelum pernikahan kami, Bu.”“Astaghfirulloh hal’adzim. Tega sekali Radit. Kasihan sekali kamu, Nak. Yang sabar, ya.” Ibu memelukku dan ikut larut dalam kesedihan. Beliau pasti lebih terluka melihat putri satu-satunya dihianati.Aku tak boleh melihat ibu seperti ini. Mengangkat dan menghapus airmata. Lalu menatap wajah ibu yang bersimbah airmata. “Aku tidak apa-apa. Jangan menangis, Bu. Jangan membuang airmata ibu sia-sia demi pria seperti Raditya. Ai
RADITYA“Bagaimana, Nak. Kau puas dengan hasil yang kau dapatkan sekarang?” tanya ibu dengan wajah berseri.“Puas sekali, Bu. Terima kasih. Semua berkat ibu yang punya rencana sangat jenius. Akhirnya aku kini sudah mendapatkan semua yang kumau dan tidak harus berpura-pura lagi di depan wanita membosankan itu. Aku bangga pada ibu.” Memeluk ibu dengan penuh bahagia.“Aku juga dong. Kan sudah banyak bantu kakak juga.” Ucap adikku satu-satunya dengan bibir manyun.“Iya adikku Sayang. Kakak juga berterimakasih padamu. Makanya seberapapun uang yang kau butuhkan untuk biaya kuliah dan keperluan pribadimu selalu kakak penuhi. Ayo peluk kakak!” Aku melebarkan tangan sembari tersenyum menatapnya.“Idih bau pengantin baru nih.” Goda adikku saat bersandar pada dadaku. Walau usianya kini sudah dua puluh tahun, tapi masih manjanya minta ampun. Semua keinginannya harus terpenuhi. Kalau tida
Saudara sudah berkumpul semua. Ibu memang sengaja mengundang keluarga untuk menyaksikan pernikahanku dengan calon menantu pilihannya. Ya, ibu sangat cocok dengan Neva. Aku sendiri tidak begitu tahu alasannya. Padahal kalau dilihat dari segala sisi, putri jauh lebih baik dari Neva. Mungkin saja keduanya cocok karena sama-sama licik.Yang aku khawatirkan putri sudah mengendus pernikahan keduaku ini. Perasaannya sangatlah tajam. Dulu, saat aku hanya sedikit terkena pisau saat mengajari karyawan memotong daging, dia langsung menghubungi dan menanyakan keadaanku. Feelingnya begitu kuat.Dia sangat perhatian dan pengandiannya sebagai seorang istri tidak main-main. Kepercayaan yang dia berikan untuk mengelola usaha warisan ayahnya juga sebagai bentuk kepatuhan dan juga menjaga harga diriku di depan seluruh karyawan. Dia tidak akan membiarkan suaminya menjadi bawahannya.Dan kini, aku membalas semuanya dengan penghianatan dan menipunya. Apakah yang aku lak
Melihat ke arah jam dinding. Jarum jam sudah menunjukkan pukul sembilan pagi. Satu jam lagi pernikahan Raditya akan dilaksanakan. Aku harus segera menuju kesana. Tak boleh terlambat walau hanya sedetik saja. Bisa kacau kalau sampai pernikahan mereka sah sebelum kedatanganku.Aku akan menghubungi orang-orang yang sudah bekerja untukku. Mereka sudah profesional dalam mengerjakan tugas rahasia. Aku mengenal salah satu dari mereka dari paman. Untung saja aku masih menyimpan nomornya.“Bagaimana, semua pekerjaan beres?” tanyaku setelah mendengar suara dari seberang.“Sudah,bu. Semua sudah berjalan sesuai dengan yang kita rencanakan.”“Oke. Setengah jam lagi saya sampai di lokasi.”“Siap. Saya tunggu.”Menutup sambungan telepon. Lalu menyambar map yang ada di atas nakas dengan tergesa. Bersamaan dengan itu terdengar suara nyaring seperti pecahan gelas.Aku menoleh ke arah s
PUTRISuara ketukan halus di kaca mobil membuatku tersentak. Ternyata salah satu orang kepercayaanku. Lalu sedikit menurunkan kaca mobil.“Bagaimana?” tanyaku padanya.“Ini buku tabungan yang ibu inginkan.” Pria itu memberikan buku tabungan atas nama Radit. Penasaran dan membuka saldo akhir. Astaga. Aku menutup mulut yang menganga lebar. Bola mata membulat dengan sempurna. Delapan ratus juta. Nominal yang cukup besar walau sudah terpakai untuk biaya resepsi semewah ini.“Haach!!” aku membuangnya dengan kesal. Lalu memukul kemudi dengan kuat.“Tahan, Bu. Jangan emosi.”“Diam! Jangan mencoba mengaturku!” aku menunjuk orang suruhanku. Dia hanya terdiam dan menundukkan kepala.Aku melihat buku tabungan yang sudah kubuang berada di tangannya.“Berikan padaku!” Aku mengulurkan tangan untuk meminta buku yang membuat emosiku memuncak.Pria itu
“Saya terima ....”“Hentikan pernikahan ini! pernikahan ini tidak sah!” aku segera bangkit dan membuang kacamata hitam dan melepas topi juga masker. Orang-orang menatap tajam ke arahku.“Pup ...putri?!” Mata Mas Radit membulat seolah tak percaya dengan penglihatannya sendiri. Dia berdiri dan terlihat raut wajah penuh kecemasan.“Iya. Ini aku, istri sahmu!” jawabku dengan penuh penekanan. Lalu melangkah mendekat ke arahnya.“Apa benar anda istri sahnya?” tanya pak penghulu sembari membaca kertas yang ada di hadapannya.“Benar, Pak! Pernikahan ini terjadi tanpa persetujuanku!”‘Tapi di sini tertera kalau Pak Radit itu duda yang istrinya meninggal.”Mendengar keterangan dari penghulu, membuat emosiku makin memuncak. Tanganku mengepal menahan amarah. Teganya dia membuat surat kematian palsu demi bisa menikahi kekasihnya.Plaak. Tanganku bergerak den
“Apa aku menolak waktu paman ... mencium bibirku?” aku menyapu bibir paman dengan jemariku, membuat paman memejamkan mata untuk menikmatinya.“Jawab paman?” tanyaku kembali masih dengan menyapu bibir sexynya dengan jemariku.“Tadi kau begitu berani. Kenapa sekarang diam? Hmm?” tanyaku kembali.“Aku ... aku .... ““Sst ... “ Aku menutup mulut paman dengan telunjukku. Menatap wajah tampan di hadapan membuatku tak tahan untuk tak menyentuh bibirnya. Tinggi badanku yang hanya sepundak paman, membuatku harus berjinjit untuk memberikan kecupan tipis pada bibirnya. Cup, satu kecupan sukses mendarat di bibir paman.Tak ada pergerakan. Kami saling diam dengan bibir saling menempel. Perlahan paman menjauhkan bibirnya dariku dan membingkai wajahku dengan telapak tangannya.“Ini rumah sakit. Kita tak boleh melakukan hal yang lebih.” Bisik paman dengan tersenyum. Aku merasakan harum
Wajah paman semakin dekat. Bahkan ujung hidung kami saling bersentuhan. Oh Tuhan, benarkah ini. Apa aku sedang tidak bermimpi. Pria yang sudah menggetarkan hatiku tengah menatapku penuh hasrat.Aku memejamkan mata menandakan dari sebuah kepasrahan. Aku dikejutkan oleh benda kenyal yang menyentuh bibirku membuat jantungku memacu kian cepat. Bibir paman menyapu dengan lembut hingga membuatku terbuai.Entah mendapat dorongan dari mana hingga membuatku membalasnya dengan lebih berani. Sejenak kami saling berpagut dalam balutan rindu.Sayangnya semua keindahan itu harus terhenti karena masuknya perawat yang membawa kursi roda untukku. Kami pun saling melepas pagutan dengan perasaan malu.“Sorry,” ucap paman lirih. Dia menjauh dariku sembari menghapus jejak pada bibirnya yang basah. Lalu menyugar rambutnya dan berdiri membelakangiku. Paman masuk ke dalam toilet. Entah apa yang akan dilakukannya. Aku akan mencari tahu tentang hal itu.“M
Rasanya tubuh ini sudah sehat dan tak perlu obat apapun. Berdekatan dengan paman pasti lebih mujarab dari obat manapun.Tunggu, bukankah paman sedang marah kepadaku. Bagaimana kalau dia menolak untuk menjagaku. Atau dia mau tapi aku dicuekin. Aduuh bagaimana ini. Aku menggaruk kepala yang tidak gatal.“Put! Cepat telpon pamanmu suruh ke sini. Ibu harus berangkat sebentar lag biar bisa lihat jenazah budemu.”“Hah? Aku. Bu?” aku menunjuk ke arah diri sendiri.“Iya. Cepetan!”“Ibu saja! Nih hapenya!” aku menyerahkan ponsel kepada ibu. Tak mungkin aku duluan yang menghubungi paman.“Kamu aja! Cepetan. Ibu mau beres-beres dulu!”Duh Gusti, bagaimana ini. Ibu benar-benar tak mau mengerti perasaanku.“Cepat puuuttt!!”“Iya!”Aku mengusap layar dan membuka aplikasi berwarna hijau dan mencari nomor paman. Rasanya ragu untuk menyentuhnya. Ja
“Oke, Paman tahu. Tapi setidaknya kau masih punya rahim dan bisa hamil. Jangan pernah meremehkan sesuatu yang berhubungan dengan nyawa, Putri!”“Sudahlah, Paman. Aku tak butuh nasehatmu! Yang jelas aku akan memakai jasa pengacara yang hebat untuk memberikan hukuman berat kepada mereka!”“Tapi Put ... ““Tolong, keluar! Aku ingin sendiri!”“Put! Paman seperti tak mengenal dirimu lagi! Hanya karena dendam kau sampai kehiangan jati diri dan juga hati nuranimu! Paman seperti tak mengenalmu lagi!”‘Tolong keluar, Paman! Aku ingin sendiri!” teriakku dengan kesal. Tanpa terasa airmata mengalir deras pada pipiku.“Baiklah! Paman hanya ingin kau menjadi putri yang dulu, yang penuh dengan cinta, kasih sayang. Bukan putri yang memenuhi dadanya dengan api dendam!”“Keluar, Paman! Keluar!!” aku menutup telinga dan tak mau mendengar nasihat apapun dariny
“I ... Iya Mbak Yu. A-ada apa?” tanya Paman degan terbata. Aku tahu kalau dia masih merasa canggung dengan kejadian tadi.“Radit dan keluarganya sekarang di mana?!”“Mereka sudah di bawa ke kantor polisi untuk dimintai keterangan.”“Baguslah! Kau harus menghukum mereka seberat-beratnya!” ucap Ibu sembari mengepalakn tangan. Rupanya beliau masih terbakar emosi.“Itu bukan kewenanganku Mbak. Nanti pengadilan yang akan menghakimi mereka!” jawab Paman.“Huuch pokoknya aku mau ketemu sama mereka dan bakal tak uwes-uwes mereka nanti!” ucap ibu dengan gemas. Jelas saja dia tidak terima anaknya diperlakukan seperti ini.“Sudahlah, Mbak. Yang penting sekarang kita fokus untuk pengobatan Putri. Mereka sudah ada yang mengurusi!”“Ya sudah. Mbak mau ngurus administrasi dulu. Kamu tolong tungguin Putri dulu, ya!”‘Iya, Mbak! Tapi gak bisa l
Dan tak lama kemudian terdengar suara Radit menjerit sangat keras. Bukan sekali, tapi berkali-kali. Suara bag big bug tak ada hentinya disertai suara jeritan ibunya Radit. Sepertinya paman sedang memukuli Radit dengan brutal. Syukurlah, paman selalu datang tepat pada waktunya.‘Tangkap mereka semua!” Paman memerintah kepada anak buahnya.Sepertinya terdengar penolakan dari Radit dan ibunya. Bahkan aku mendengar suara Radit yang terus memanggil nama istrinya. Aku yakin wanita itu pasti terluka parah, hingga membuat Radit berteriak histeris.Kemudian, aku merasakan tubuhku sedikit terangkat. Rupanya paman menaruh kepalaku di atas pangkuannya.“Putri! Bangunlah!” Paman menepuk-nepuk pipiku. Dia pasti sangat khawatir. Sebenarnya aku masih sadar dan mendengar semua aktifitas di sekitar. Hanya saja aku merasa seperti tak bertenaga. Bahkan untuk membuka mata saja rasanya tidak sanggup.Aku berusaha tetap bertahan. Namun lamba
Radit tahu kemana arah pandanganku. Seketika dia memasang badan untuk istrinya. Dan wanita itu juga bersembunyi di balik tubuh Radit.Rahangku mengeras menahan amarah. Entah apa yang terjadi denganku, sepertinya ada dorongan yang menyuruhku untuk melenyapkan janin yang ada di perut wanita itu. Hati kecilku memngatakan jangan, tapi bisikan itu sangat kuat dan mengalahkan perasaanku sebagai sesama wanita.Aku juga seperti tak bisa mengontrol tubuhku yang terus mendekat ke arah si pelakor yang masih ketakutan.“Berhenti, Putri! Jangan sakiti Neva! Dia tidak bersalah! Kalau kau mau membalas dendam balas saja kepadaku!” seru Radit berusaha menghentikanku. Namun kembali bisikan itu semakin kuat dan tak bisa terbendung.“Kau pikir aku tidak tahu kalau dia juga ikut pergi ke paranormal bersama ibumu! Dan yang lebih membuatku kesal adalah dia mempercantik diri dengan uangku yang kau curi! Dan kini aku ingin melihatmu dan juga ibumu menangis darah
“Berani sekali kau! Rasakan ini!” aku berusaha bangkit untuk menyerang si pelakor. Namun si Radit sialan kembali mendorongku hingga terjatuh.“Jangan berani menyentuh Neva atau kau akan tahu akibatnya!”” seru Radit sembari menunjukku. Jelas saja apa yang dilakukannya membuatku kesal.“Kau pikir aku takut dengan ancamanmu?! Aku ingatkan, Kalian saat ini berada di posisi yang tidak aman. Jadi jangan bertindak bodoh atau kalian menginginkan hukuman yang lebih berat! Pintu gerbang penjara sudah di depan mata dan menanti kalian!” ancamku kepada Radit dan kroni-kroninya. Jelas saja hal ini membuatku makin kesal.“Aku tidak peduli dengan semua omong kosongmu. Sedikit saja kau menyentuh kulit Neva, kau akan menyesal!”“Aku tak takut dengan ancamanmu. Yang sangat membuatku menyesal hanya satu, yaitu pernah menjadi istrimu!”Radit mendengkus kesal. Lalu melangkah ke arah ibunya.Aku ban
“Aaacchh!”Terdengar suara teriakan dari ibunya Radit. Hal itu membuatku penasaran dan ingin melihat apa yang terjadi di dalam sana. Namun saat aku hampir mencapai pintu, paman menarik lenganku dan membawaku untuk menjauh.Dengan kesal aku menepis tangan paman.“lepasin, Paman! Kenapa Paman menahanku?”“Jangan masuk ke sana! Itu bisa membahayakan dirimu! Di dalam sedang terjadi perkelahian!”“Iih, gak apa-apa. Lagian aku’kan cuma mau lihat ibunya Radit menjerit karena apa. Itu saja, kok!”“Kau lihat sendiri, Radit saja tidak berani masuk ke dalam! Dia berpikir untuk menyelamatkan dirinya sendiri! Jadi jangan nekad! Turuti kata-kata Paman!”Lebih baik aku pura-pura menurut saja. Tunggu saat Paman agak lengah, aku akan berlari menuju ke sana. Paman pasti takkan mampu mencegahku.Paman terlihat begitu waspada. Dia terlihat sedang menerima telpon dari seseorang dan m