Agung baru saja ingin membuka mulut sebelum kendaraan berhenti perlahan-lahan. "Saya mengantar sampai di sini saja, om." ucap Hendra dengan lirih.Agung memperhatikan jalan di depan mereka yang diterangi oleh cahaya lampu sepeda motor Hendra. Tampak sebuah jembatan yang lumayan besar yang terbuat dari balok kayu yang di kombinasi dengan lempengan baja yang tebal di sisi-sisi jembatan itu. Di seberangnya tampak pula jalanan yang menanjak di antara pepohonan yang berdaun rapat dan rimbun.Sadar dengan Hendra yang mulai gelisah, mau tidak mau agung terpaksa harus turun. Barang bawaannya di simpan hati-hati di atas rerumputan liar yang tumbuh subur di pinggir jalan. Lalu dompet nya di cabut dari saku belakang celana. Belum juga dompet itu sempat dibuka, Hendra sudah memutar sepeda motornya ke arah semula seraya berkata tergesa-gesa. "Lupakan saja om!" ucapnya pada Agung."Hei ....""Yang pernah saya terima dari almarhumah, sudah lebih dari cukup," potong Hendra tegas. "Selamat malam om.
Agung terus melihat kearah menghilangnya sang mahluk. Seketika ia tersadar dan memutuskan untuk melanjutkan perjalanannya.Dengan perasaan berkecamuk dan campur aduk pistol yang masih dia pegang kini kembali di masukkan kedalam sarungnya. Sengaja tidak langsung dikuncikan begitu pun dengan bagian kemeja yang di biarkan setengah terbuka. Siapa tahu sewaktu-waktu senjata itu di pergunakan kembali. Tujuan perjalanan Agung memang tidak seberapa jauh lagi, tapi mungkin saja bahaya masih tetap mengintai.Tas yang tadinya berpindah ketangan kiri kini dipindah kembali ke tangan kanan. Setelah melewati tanjakan, Agung pun tiba di tempat tujuan yakni kampung Rancabiuk yang rumah-rumah penduduknya tampak berdampingan di kiri dan kanan jalan. Tampak lampu-lampu menyala lebih terang di bandingkan dengan sebelumnya yang terlihat di bawah sana. Namun suasana yang di temui masih tetap sama yakni sunyi senyap mencekam. Tidak tampak adanya manusia di jalan atau hanya sekedar duduk di teras rumah, tida
Sebuah rumah besar model tradisional yang tampak begitu megah dan anggun di tengah pelataran yang maha luas, Disebut maha luas, karena tidak terlihat adanya pagar atau tembok yang membatasi dengan alam sekitar. Sehingga bagian belakang rumah tampak seperti bertabirkan dan di lindungi oleh dinding bukit. Lalau lembah terbuka sebagai latar depan. Di mana pusat desa Rancabiuk serta hamparan luas sejumlah tambak yang terlihat samar-samar dalam keremangan malam yang bermandikan sinar rembulan.Tok ... Tok ... Agung mengetuk pintu rumah, dan terdengar suara seorang wanita dari dalam."Siapa?" "Aku Agung ... Agung Bratamangala." jawabannya dari balik pintu rumah itu.Mendengar nama yang sangat ia kenal sang wanita bergegas berjalan menuju pintu rumahnya.Pintu rumah di buka oleh Astuti, rangkulan erat dan hangat dengan sekujur tubuh gemetar di tambah pula sesenggukan Isak tangis. Yang mau tidak mau membuat air mata agung ikut keluar. Boleh di bilang, sebenarnya Agung lebih menghibur diri se
Pertanyaan itu terjawab sendiri sewaktu Asti melanjutkan kisahnya."Selama 3 tahun pernikahannya, tawa Ariadi terdengar langka. Dia berubah jadi pendiam dan sering menutup diri, alangkah mencolok perbedaannya setelah Ariadi bertemu dengan Rina, dia seperti menemukan hidupnya kembali. Ceria dan terbuka pada siapa saja. Bahkan semasih masa-masa remajanya pun belum pernah aku melihat Ariadi sebahagia hari-hari yang di lalui nya bersama Rina." Agung menghela nafas dan berkomentar dengan wajah yang di paksakan tersenyum. "Aku senang mendengarnya.""Itu pula sebabnya kak Agung, mengapa akang sewaktu diopname, kami tidak sempat berkunjung, akang tentunya masih ingat ketika akang tertimpa musibah, Rina justru baru saja meninggal," ucap Astuti dengan wajah murung. "Nah dan waktu itu pula Ariadi hampir gila karenanya. Aku lantas tak Minggu meninggalkan dia sendirian. Jangankan berkunjung kelahat, pekerjaan yang sebagai kewajiban ku pun terpaksa harus ku tinggalkan, bahkan dengan resiko di peca
Agung Bratamanggala tiba-tiba merasa gelisah. "Apa sebenarnya yang sudah terjadi?" pikirnya. Kegelisahan dan di tambah udara malam yang gerah membuat Agung berkeringat ... seperti ketika tadi ia di paksa harus berjalan kaki sejak dari tanjakan. Segera agung turun dari tempat tidur, dan membuka kemejanya lalu di gantungkan pada kapsok yang tersedia di dekat pintu. Barulah ia menyadari bahwa senjatanya masih tetap ia sandang. Pistol beserta sarungnya itu ia lepas pula dan di gantung kan pada tempat yang sama.Senjata itu mengingatkan Agung pada sosok kera besar yang bermata merah darah yang kepergok dengannya di tanjakan gelap tadi. Mahluk itu bukanlah sekedar halusinasi, karena telah di kuatkan oleh penghuni rumah yang perdebatkan mereka secara kebetulan terdengar oleh telinga Agung. "Seperti nya mahluk itu sudah pergi buk!" lalu bantahan sang istri. "Belum tentu, mungkin saja ia bersembunyi... menunggu seseorang keluar untuk di mangsa!"Agung tidak di mangsa. Agung di biarkan tetap hi
Sesuatu terjadi!Saat itu justru Rina lah yang terkejut.Dengan sigap ia melihat beberapa detik ke arah sang laki-laki. Seakan menyadari sesuatu, jari jemarinya dengan cepat ia tarik mundur dari wajah agung. Dan secepat itu pula sosoknya menjauhi tubuh Agung di tempat tidur. Dengan cepat menuju ke arah jendela yang terbuka lebar. Wajah yang indah di pandang itu tampak memucat, ketakutan. Namun di wajahnya yang memucat saat ini masih terlihat sepasang mata yang yang basah. berlinang menyedihkan. Apa yang di takutkan Rina? Apa pula yang ia tangis kan?Dengan sekuat tenaga dan perlahan-lahan Agung menggeliat bangun dari tempatnya. Dengan suara parau Agung memangil. "Rina ...." Seakan Rina tidak mendengar panggilan itu.Terlambat sudah. Seharusnya Agung Bratamangala lebih cepat meluncur dari tempat tidurnya, langsung mendatangi dan merangkul Rina, melampiaskan pendaman rindu sepuas hati. Namun baju juga kepikiran itu muncul di benak Agung, sosok Rina sudah memutar dengan cepat. Pada det
"Ada apa. Bi?" Dengan penasaran Agung mencoba bertanya, dan berharap ada jawaban yang sesuai dengan ia inginkan.Namun yang di tanya hanya. "Ah - bukan apa-apa!" Marni menyahut lirih. Dengan nada suara seperti tertekan. Mencoba tersenyum kembali, ia kemudian menambahkan. "Saya masih sulit untuk menerima kenyataan bahwa juragan istri telah berganti ... Eh - maksud saya telah tiada!" Tampak jelas Marni menyadari sesuatu dengan tiba-tiba, saat mana ia kemudian meralat ucapannya dengan cepat. sehingga mau tidak mau Agung lantas mengerutkan kening. Namun sebelum Agung sempat membuka mulut untuk bertanya kembali. Marni sudah menemukan dirinya kembali. Lantas berujar dengan sikap santai. "Om, tentunya mau ke kamar mandi ya? Silahkan, saya akan membuat kopi selagi om masih di kamar mandi!" Ucap Marni seraya berjalan menuju dapur. Baru satu dua langkah ia beranjak dari tempatnya, Marni kembali membalikkan tubuh. "Yang encer, kalau tak salah. Dengan sedikit gula. Iya toh?" Marni menebak denga
Agung memotong dengan tandas ucapan Marni. "Kuburan baru gampang menemukan nya, paling tidak di kayu nisannya masih ada nama!" Lantas agung dengan segera pergi berlalu. Di belakangnya, Marni berdiri mengawasi dengan wajah murung. Marni tetap seperti itu, berdiri terpaku beberapa saat. Sampai agung menghilang di luar rumah. Baru setelah nya Marni mengurut dada, sambil berbicara sendirian. "Laki-laki yang malang - andai, dia tau kebenarannya ...!" Saat berikutnya, sudut-sudut mata Marni tampak basah. Ia kemudian kembali meneruskan pekerjaannya yang tadi sempat tertunda. Mengepel lantai sambil bergumam pelan dan hampir tidak jelas terdengar. Suatu saat, pundak Marni tampak bergetar. Lantas wanita setengah baya itu menangis tersedu-sedu. Lanjut pada Agung.Saat keluar dari rumah, agung langsung mengitari dan kemudian memeriksa halaman di bagian luar kamar yang ia tempati. Ia menemukan beberapa lekukan di tanah yang berumput. Tetapi Agung tidak berani memastikan apakah lekukan-lekukan
Tidak pernah terbayangkan oleh Agung bahwa Rina akan mati muda, dan sedemikian cepat. Dan juga Agung sangat sulit untuk menerima kenyataan, bahwa Rina kini terbaring di kedalaman tanah yang sangat dingin dan gelap gulita. Yang lebih menghancur luluhkan hati. Agung tanpa sempat melihat jasad Rina, bahkan untuk yang terakhir kalinya!Saat terakhir agung melihat Rina adalah di suatu pagi buta di suatu tahun yang lalu, satu bulan setelah Rina menikah dengan Ariadi. Agung yang biasa terbangun di pagi buta untuk lari pagi, di buat terperanjat manakala ia membuka pintu rumah mereka ... Di lahat, Rina tahu-tahu sudah berdiri di hadapan mata. Tampak lelah, namun tetap dengan kecantikan dan sinar mata yang sama. Sinar mata yang bergelimang cinta!Agung sempat di datangi prasangka buruk, bahwa Rina telah di ceraikan oleh Ariadi. Atau yang paling masuk di akal. Rina yang menceraikan Ariadi. Siapapun di antara mana yang benar, satu hal yang sudah pasti. Agung sampai pucat sangking terguncangnya."
Sebelum Agung sempat mengutarakan sesuatu, orang tua yang bermata tajam itu sudah membuka mulutnya kembali. Suaranya tetap terdengar lembut dan tenang. Setenang sikapnya. "Saya tidak akan bertanya apa yang kau kerjakan di sini. Saya hanya menganjurkan, sebaiknya kau segera kembali ketempat dari mana kau datang!" Agung melihat dengan tersentak. "Tepi ...." Belum lagi ia menyelesaikan ucapannya."Saya tidak suka pasien saya terganggu!" Sela si orang tua. Dengan nada suara berubah tajam.Agung mengerutkan kening. "Pasien?" Ucapnya dengan nada menyelidiki."Saya seorang dukun!" Orang tua itu menjelaskan."Ohh ..." Sekali lagi Agung di buat tersedak. Namun tidak mengurangi hasrat nya untuk melunakkan penerimaan si orang tua. "Parah benarkah sakitnya?""Kau sudah dengar sendiri, anak muda. Suara mendengkur nya tidak lazim bukan?"Agung manggut-manggut setuju. Lantas mengomentari dengan gaya sambil lalu. "Tadinya aku sempat mengira yang di dalam itu..." Agung menunjuk lewat bahu kearah bela
Puncaknya, saat Rina berusia 17 tahun. Yakni usia kebanggaan seorang gadis, saat di mana semua harapan dan juga serta doa di panjatkan dengan setulus hati. Dan pada kesempatan bersejarah itu, Agung menyempatkan diri untuk menyinggung hal yang sama dalam ucapan selamatnya pada Rina. Secara bermain-main tentunya."Pasti bakal rame, bilang saja saat ini kau memiliki seorang pacar ...!" Ucap Agung dengan nada bercanda.Namun Rina menatap dengan tenang. Dan menjawab dengan nada lebih tenang lagi. "Hanya Abang seorang yang patut menjadi pendamping ku!" Kali ini Agung tidak tertawa. Bukan karena tidak berani. Melainkan benar-benar tidak bisa. Hal itu di sebabkan Agung melihat langsung ke arah Rina dan ia menyadari, di balik mata Rina yang berbinar, terpancar perasaan cinta yang tulus. Cinta seorang gadis kepada lawan jenisnya.****Tempat yang terbuka di hadapannya sempat membuat Agung tertegun sejenak. Rupanya tanpa ia sadari, ia telah berjalan hanya dengan mengikuti ke arah mana kaki mela
Agung memotong dengan tandas ucapan Marni. "Kuburan baru gampang menemukan nya, paling tidak di kayu nisannya masih ada nama!" Lantas agung dengan segera pergi berlalu. Di belakangnya, Marni berdiri mengawasi dengan wajah murung. Marni tetap seperti itu, berdiri terpaku beberapa saat. Sampai agung menghilang di luar rumah. Baru setelah nya Marni mengurut dada, sambil berbicara sendirian. "Laki-laki yang malang - andai, dia tau kebenarannya ...!" Saat berikutnya, sudut-sudut mata Marni tampak basah. Ia kemudian kembali meneruskan pekerjaannya yang tadi sempat tertunda. Mengepel lantai sambil bergumam pelan dan hampir tidak jelas terdengar. Suatu saat, pundak Marni tampak bergetar. Lantas wanita setengah baya itu menangis tersedu-sedu. Lanjut pada Agung.Saat keluar dari rumah, agung langsung mengitari dan kemudian memeriksa halaman di bagian luar kamar yang ia tempati. Ia menemukan beberapa lekukan di tanah yang berumput. Tetapi Agung tidak berani memastikan apakah lekukan-lekukan
"Ada apa. Bi?" Dengan penasaran Agung mencoba bertanya, dan berharap ada jawaban yang sesuai dengan ia inginkan.Namun yang di tanya hanya. "Ah - bukan apa-apa!" Marni menyahut lirih. Dengan nada suara seperti tertekan. Mencoba tersenyum kembali, ia kemudian menambahkan. "Saya masih sulit untuk menerima kenyataan bahwa juragan istri telah berganti ... Eh - maksud saya telah tiada!" Tampak jelas Marni menyadari sesuatu dengan tiba-tiba, saat mana ia kemudian meralat ucapannya dengan cepat. sehingga mau tidak mau Agung lantas mengerutkan kening. Namun sebelum Agung sempat membuka mulut untuk bertanya kembali. Marni sudah menemukan dirinya kembali. Lantas berujar dengan sikap santai. "Om, tentunya mau ke kamar mandi ya? Silahkan, saya akan membuat kopi selagi om masih di kamar mandi!" Ucap Marni seraya berjalan menuju dapur. Baru satu dua langkah ia beranjak dari tempatnya, Marni kembali membalikkan tubuh. "Yang encer, kalau tak salah. Dengan sedikit gula. Iya toh?" Marni menebak denga
Sesuatu terjadi!Saat itu justru Rina lah yang terkejut.Dengan sigap ia melihat beberapa detik ke arah sang laki-laki. Seakan menyadari sesuatu, jari jemarinya dengan cepat ia tarik mundur dari wajah agung. Dan secepat itu pula sosoknya menjauhi tubuh Agung di tempat tidur. Dengan cepat menuju ke arah jendela yang terbuka lebar. Wajah yang indah di pandang itu tampak memucat, ketakutan. Namun di wajahnya yang memucat saat ini masih terlihat sepasang mata yang yang basah. berlinang menyedihkan. Apa yang di takutkan Rina? Apa pula yang ia tangis kan?Dengan sekuat tenaga dan perlahan-lahan Agung menggeliat bangun dari tempatnya. Dengan suara parau Agung memangil. "Rina ...." Seakan Rina tidak mendengar panggilan itu.Terlambat sudah. Seharusnya Agung Bratamangala lebih cepat meluncur dari tempat tidurnya, langsung mendatangi dan merangkul Rina, melampiaskan pendaman rindu sepuas hati. Namun baju juga kepikiran itu muncul di benak Agung, sosok Rina sudah memutar dengan cepat. Pada det
Agung Bratamanggala tiba-tiba merasa gelisah. "Apa sebenarnya yang sudah terjadi?" pikirnya. Kegelisahan dan di tambah udara malam yang gerah membuat Agung berkeringat ... seperti ketika tadi ia di paksa harus berjalan kaki sejak dari tanjakan. Segera agung turun dari tempat tidur, dan membuka kemejanya lalu di gantungkan pada kapsok yang tersedia di dekat pintu. Barulah ia menyadari bahwa senjatanya masih tetap ia sandang. Pistol beserta sarungnya itu ia lepas pula dan di gantung kan pada tempat yang sama.Senjata itu mengingatkan Agung pada sosok kera besar yang bermata merah darah yang kepergok dengannya di tanjakan gelap tadi. Mahluk itu bukanlah sekedar halusinasi, karena telah di kuatkan oleh penghuni rumah yang perdebatkan mereka secara kebetulan terdengar oleh telinga Agung. "Seperti nya mahluk itu sudah pergi buk!" lalu bantahan sang istri. "Belum tentu, mungkin saja ia bersembunyi... menunggu seseorang keluar untuk di mangsa!"Agung tidak di mangsa. Agung di biarkan tetap hi
Pertanyaan itu terjawab sendiri sewaktu Asti melanjutkan kisahnya."Selama 3 tahun pernikahannya, tawa Ariadi terdengar langka. Dia berubah jadi pendiam dan sering menutup diri, alangkah mencolok perbedaannya setelah Ariadi bertemu dengan Rina, dia seperti menemukan hidupnya kembali. Ceria dan terbuka pada siapa saja. Bahkan semasih masa-masa remajanya pun belum pernah aku melihat Ariadi sebahagia hari-hari yang di lalui nya bersama Rina." Agung menghela nafas dan berkomentar dengan wajah yang di paksakan tersenyum. "Aku senang mendengarnya.""Itu pula sebabnya kak Agung, mengapa akang sewaktu diopname, kami tidak sempat berkunjung, akang tentunya masih ingat ketika akang tertimpa musibah, Rina justru baru saja meninggal," ucap Astuti dengan wajah murung. "Nah dan waktu itu pula Ariadi hampir gila karenanya. Aku lantas tak Minggu meninggalkan dia sendirian. Jangankan berkunjung kelahat, pekerjaan yang sebagai kewajiban ku pun terpaksa harus ku tinggalkan, bahkan dengan resiko di peca
Sebuah rumah besar model tradisional yang tampak begitu megah dan anggun di tengah pelataran yang maha luas, Disebut maha luas, karena tidak terlihat adanya pagar atau tembok yang membatasi dengan alam sekitar. Sehingga bagian belakang rumah tampak seperti bertabirkan dan di lindungi oleh dinding bukit. Lalau lembah terbuka sebagai latar depan. Di mana pusat desa Rancabiuk serta hamparan luas sejumlah tambak yang terlihat samar-samar dalam keremangan malam yang bermandikan sinar rembulan.Tok ... Tok ... Agung mengetuk pintu rumah, dan terdengar suara seorang wanita dari dalam."Siapa?" "Aku Agung ... Agung Bratamangala." jawabannya dari balik pintu rumah itu.Mendengar nama yang sangat ia kenal sang wanita bergegas berjalan menuju pintu rumahnya.Pintu rumah di buka oleh Astuti, rangkulan erat dan hangat dengan sekujur tubuh gemetar di tambah pula sesenggukan Isak tangis. Yang mau tidak mau membuat air mata agung ikut keluar. Boleh di bilang, sebenarnya Agung lebih menghibur diri se