"Apa?" Kepala Angga semacam diserang puluhan peluru. Bibirnya mengonsumsi debu sebab ternganga di bibir jalan. Angga menajamkan telinganya. Berpikir ulang tentang ucapan Cinta barusan."Sudah dua bulan, Mas. Gimana ini? Kamu tanggung jawablah. Tanggal berapa kita nikah? Pokoknya harus bulan ini!" tuntut Cinta dengan nada sekhawatir mungkin.Menikah? Itu belum ada dalam kamus Angga, setelah gara-gara ulahnya dia kehilangan perempuan high value dan seseorang bunuh diri karenanya pula. Angga sadar, kalau selama ini dirinya memang selalu berhubungan layaknya suami istri dengan penjaga toko bolu tersebut. Namun, siapa sangka, kalau Cinta tidak menggunakan kontrasepsi? Angga pikir karena sudah selalu berbuat, perempuan itu tahu untuk menjaganya. Ini malah sudah dua bulan pula usia kandungan Cinta. Apa tidak tambah keder Angga dibuatnya.Pria itu menekan tombol merah dan memang sengaja menghindari kesalahan terbesar yang ia lakukan. Angga juga memutuskan secara kilat untuk memblokir nomor
Bagai disambar petir mendengar kabar yang disampaikan oleh pihak kepolisian. Tadinya Ruby pikir itu cuma fiktif belaka dan ujung-ujungnya mereka akan minta tebusan berupa duit. Dia yang sejujurnya tak percaya lantas menggiring Bu Dila turut mendatangi kantor polisi. Benar saja. Angga terperangkap bersama narapidana lain di sana. Pihak kepolisian bilang; ia akan menjalani sidang seminggu ke depan, sebelum pada akhirnya dijatuhi masa tahanan. Bu Dila lemas, begitupun dengan Ruby. Dunia seakan roboh. Ibu dari lelaki cab*ul tersebut hampir mampus memikirkan gaya hidupnya yang pasti perlahan surut. "Angga! Kenapa Angga? Kenapaaaa?" Bu Dila menggebrak jeruji sejuk tersebut.Ruby menangis di belakang, memandang pria berpakaian orange itu sambil menggigit kuku risau. Hatinya padam. Tak seharusnya Angga menuruti hawa nafsu."Sudah aku bilang jangan macam-macam, Mas! Aku juga sempat larang Mas Angga buat keluar, kan? Inilah akibatnya!" sela Ruby di tengah hiruk pikuk tangisan ibu mereka.Lel
Alih-alih ingin bergaya dengan sekawanan Ibu sosialita, Dila justru dikagetkan dengan perangai mereka yang berubah drastis. Berbeda saat bertutur sapa melalui grup. Bahkan, sejak kemarin mereka heboh mengajak Bu Dila agar ikut kumpulan di minggu ini."Apa-apaan ini, Bu?" tanya Bu Dila dengan alis yang menukik tajam. Tentu merasa kaget sekaligus kecewa dengan perilaku member arisan tersebut."Sengaja kami menyuruh ibu untuk datang ke sini. Lebih tepatnya, kami mau mengeksekusi Bu Dila!" ujar ketua perkumpulan tersebut."Maksudnya apa, ya? Saya nggak ngerti." Wanita itu terkesan seperti orang bodoh di tengah keramaian yang ada."Ngaku aja, Bu! Selama ini Ibu sudah bohongi kita semua tentang kekayaan dan pekerjaan anak!" cercah wanita yang satu lagi.Sekujur tubuh Bu Dila menegang. Wajahnya menebal disertai dada yang bergemuruh dahsyat. Bagaimana pula mereka bisa tahu tentang identitas asli Bu Dila, sementara ia telah berusaha menutupinya serapat mungkin."Saya nggak ngerti apa maksudnya
"Apa lihat-lihat!" Seorang lelaki berotot lagi kekar membidik pria bertubuh jenjang dan agak tipis dengan sorot menakutkan. Netranya menyiratkan kemarahan. Tak suka ada yang menganggu ketenangannya.Sosok berwajah manis, tetapi layu itu sontak bergidik. Membayangkan tangan kokoh milik lelaki di depannya menghantam kepala. Pasti langsung jendol. Angga.Ya, dia berhasil mendekam di bui, setelah perbuatan teledornya kala itu.Sudah seminggu berada di balik jeruji besi. Ini bukanlah sesuatu yang menyenangkan, apalagi dia hidup bersama rekan-rekan yang lebih dulu menginap di sana. Badan mereka besar dengan wajah yang menyeramkan. Selama ini setiap kali Angga melihat ke arah mereka, semua pada heboh. Menyangka, kalau lelaki yang badannya lumayan cungkring itu hendak mencari masalah. Angga membeku. Ia memang nakal, tetapi ternyata kenakalannya tak berarti, saat ia telah berhadapan dengan orang-orang yang jauh lebih ganas. Ia bak anak kucing yang berada di bawah ketiak singa dewasa."Sini!
Tiga hari berlalu.Angga dulu adalah seorang pemuda cerdas yang penuh potensi, bahkan ia pernah menjabat sebagai seorang guru yang diidam-idamkan banyak siswa. Namun, keadaan tak terduga mengubah hidupnya secara drastis. Setelah kehilangan pekerjaannya dan tak memiliki tempat tinggal, dia terpaksa menjalani kehidupan sebagai tukang tipu wanita. Merebut harta banyak perempuan dengan bekal wajah tampan yang ia miliki.Ide gila sahabatnya kemarin berhasil mengeluarkan Angga dari bui. Tak ada yang mengetahui, jika sosok di balik pakaian serba gelap itu adalah dirinya. Entahlah, mungkin saat ini pihak kepolisian sedang geger perkara kaburnya seorang tahanan dari penjara.Namun, Angga harus menerima kenyataan pahit tentang ibunya yang sudah meninggal dunia, sementara adiknya-Ruby hidup sebatang kara. Angga cukup ngilu mengetahui kabar buruk ini. Namun, tak bisa juga menjenguk makam ibunya sekaligus menemui Ruby sang adik. Angga tak boleh berlama-lama ada di kota itu. Doni menyarankannya aga
Tidak tahu kenapa, laki-laki yang satu ini sangat sulit merubah diri. Dia terlampau enak menikmati kejahatan, sampai-sampai lupa, kalau sesungguhnya dia berasal dari keluarga baik-baik dan pernah berlaku apik pula.Sama seperti sebelumnya, Angga mustahil menolak ajakan perkenalan dari seorang wanita, terlebih sosok ini luar biasa cantiknya. Dia mempunyai kulit yang bersih dan harum. Netra bulat dengan bulu mata yang begitu lentik. Sempurna."A- aku takut ngerepotin kamu," tutur Angga berusaha malu-malu. Sebisa mungkin menyembunyikan keinginannya tersebut."Sebenarnya aku yang sudah ngerepotin kamu, Mas. Kamu capek ngejar-ngejar jambret tadi, bahkan mempertaruhkan nyawamu, karena bisa saja para pencopet itu membawa senjata tajam. Jadi, kamu terima makan siang di rumah aku, ya. Kalau kamu nolak, aku tentu sedih banget dan merasa berhutang budi sama kamu."Malu-malu tapi mau. Pada akhirnya Angga menganggukkan kepala dengan senyum nya mengembang di wajah. Dia manggut-manggu, lalu mengikut
"He, korban?" Angga membatin.Kegiatannya tidak berlanjut. Angga masih menanti obrolan selanjutnya dari dua perempuan di sana. Namun, tampaknya pembicaraan itu gagal diteruskan entah sebab apa. Rumah sederhana tersebut seketika bak kosong penghuni.Karena penasaran, Angga pun langsung keluar bilik dan ternyata Nira bersama ibunya masih duduk terpaku di ruang tengah. Angga menyorot mereka penuh tanda tanya, sementara yang ditatap turut membalas pandangannya dengan serupa."Sudah?" Nira bertanya seakan tidak terjadi apa-apa.Pria itu mengangguk ragu. Ingin sekali mempertanyakan maksud obrolan mereka tadi, tetapi Angga masih berpikir, kalau itu ditujukan untuk permasalahan lain dan tidak ada sangkut pautnya dengan diri Angga."Sudah," tutur Angga."Mas, sekiranya kamu mau makan langsung saja ke rumah depan, ya. Pokoknya kamu jangan ragu, apalagi sampai malu." Nira menyampaikan pesan kepada rekan barunya."Terima kasih banyak ya Nira dan ibu. Kalian baik banget sama aku.""Sama-sama, Mas.
Jadilah Angga pulang dalam keadaan bingung. Belum pernah dia bertemu dengan perempuan semisterius Nira, terlebih para tetangga seakan-akan tidak mau membuka kartu wanita tersebut. Entah memang karena ada yang ditutupi, atau justru Nira tidak seburuk yang Angga pikirkan.Tepat pada pukul sembilan malam, Angga kembali berjejak di bangunan luas dan megah tersebut. Keadaan benar-benar hening. Hanya ada detak jarum jam yang menembus telinga.Semula Angga bermaksud untuk menembus pintu belakang rumah guna sampai di kediaman barunya. Namun, seketika langkahnya terhenti, saat sosok gadis berambut hitam mengkilau mencegatnya."Lho, Mas, kamu dari mana? Kayaknya habis dari luar, ya?" Mimik Nira heran."Emang aku habis dari luar. Silaturahmi sama tetangga."Angga dapat melihat dengan jelas ekspresi Nira yang spontan berubah. Matanya melotot diikuti dengan bibir yang perlahan terbuka."Ngapain kamu ke tetangga? Kamu orang baru di sini lho, Mas." Nada bicara wanita itu sedikit meninggi."Ya, justr