Alena tersadar dari pre-kognisi yang intens itu dengan napas terengah-engah. Dia menemukan dirinya kembali di dalam bathtub putih yang tenang, air yang menggenang, dan suasana remang yang sama seperti sebelumnya. Hati dan pikirannya masih tertegun oleh perjalanan masa lalu yang tiba-tiba ia alami. Berbaring di dalam bathtub, Alena merenungkan pengalaman yang baru saja ia alami. Dia merasa seperti telah hidup dalam dunia lain, menyaksikan perang dan petualangan di abad ke-14 dengan kejelasan yang menakjubkan. Meskipun hanya sebuah pre-kognisi, perasaan dan pengalaman itu terasa begitu nyata baginya. Alena mencoba merangkai ingatan-ingatan tersebut dan merenungkan arti dari apa yang ia alami. Apakah itu hanya sekadar mimpi atau mungkin pesan dari alam gaib? Dia merasa ada makna khusus di balik pre-kognisi tersebut, seperti pesan untuknya secara pribadi. Perjalanan yang dia alami di masa lalu telah membuka pintu ke dunia baru yang tak terduga, menuntunnya pada petualangan emosional dan
"Kau adalah pria yang kucari di masa lalu..." kata Sang Lady. Di saat yang bersamaan,suara seorang wanita asing juga memanggil namanya. ***"Lucius..." suara itu merasuk ke dalam telinga Lucius, menggema di kepala dan membuat dadanya berdebar. Suaranya halus, namun ada sesuatu di dalamnya yang menggetarkan jiwa Lucius.Dia menoleh, mencari sumber suara tersebut. Di kejauhan, dia melihat sosok wanita asing yang memandangnya dengan tatapan yang ia tidak bisa mengenali. Dia merasa seperti ditarik oleh sesuatu yang tak bisa ia jelaskan. "Lady, apa maksudmu?" tanya Lucius kepada wanita yang lebih dulu berbicara padanya. Sang Lady hanya tersenyum, matanya berbinar dengan pengetahuan dan misteri. "Cari tahu, Lucius," kata Sang Lady, lalu perlahan hilang dalam kabut yang entah dari mana muncul. Lucius kemudian berjalan menuju wanita asing yang baru saja memanggil namanya. Dia tidak tahu apa yang menunggunya, tetapi dia merasa perlu untuk mencari tahu. Di balik keraguan dan kebingungan, ad
"Lucius? Apa yang terjadi padamu?" Tanya Sang Lady, nada suaranya penuh kekhawatiran. Tapi Lucius tidak bisa menjawab. Dia terlalu sibuk mencoba mengatur pikiran dan perasaannya. Pikiran Lucius dipenuhi oleh fragmen memori, cuplikan dari masa lalu yang sepertinya sudah lama hilang. Masa di mana dia terlahir sebagai seorang pangeran, perang yang menghancurkan segalanya, tragedi yang menimpa wanita yang dia cintai, kebangkitan Klan Celeste, kematian tragis sang pejuang Celeste, dan akhirnya, janji yang dibuat oleh seorang pria kepada seorang wanita tentang liontin berlian merah. Semua itu mengalir begitu cepat, mengacaukan pikiran Lucius dan membuatnya merasa mual. Tapi di antara kekacauan itu, ada satu hal yang menonjol: janji tentang liontin berlian merah. Lucius mengedipkan mata, mencoba mengingat. Dia merasa seakan-akan dia pernah melihat liontin itu sebelumnya, tapi dia tidak bisa yakin. Semuanya terasa begitu samar, seperti mimpi buruk yang buram. "Aku... Aku tidak tahu," gumam
"Lu-cius..Damien..." Adelais menelan salivanya yang terasa pahit, mencoba meredakan denyut di dadanya. Air matanya mengalir deras, membasahi pipinya yang memerah. Dia merasa jantungnya hancur menjadi serpihan-serpihan kecil. "Lucius, apakah ini karena putri Kerajaan Celeste?" Suaranya terdengar hampir tak berdaya, berusaha mencari alasan di balik keputusan yang begitu mendadak dari Lucius. Pria itu memalingkan wajahnya, menatap danau yang tenang di bawah sinar bulan purnama. "Bukan itu, Adelais Kecil-ku," suaranya lembut namun tegas. "Ini adalah keputusan yang harus aku buat, untuk masa depan kerajaan dan masa depanku. Bukan karena putri Kerajaan Celeste." Adelais menarik nafas dalam-dalam, mencoba mengumpulkan keberanian yang tersisa. "Tapi Lucius, apa kau pernah mempertimbangkan perasaanku? Apa aku tidak berarti apa-apa bagimu?" Lucius tampak ragu sejenak, sebelum akhirnya dia menatap Adelais. "Adelais, kamu berarti banyak bagiku. Tapi, ini bukan tentang kita. Ini tentang masa
Percakapan itu berakhir dengan kesepakatan bersama. Ferrandus melirik Praxos dengan matanya yang tajam dan berbicara, "Praxos, saya tahu bahwa hati Anda ragu, tetapi harapan kita bersama dalam perubahan adalah hal yang paling penting. Saya harap Anda memahami ini." Praxos menundukkan kepalanya, merasa terpecah antara persahabatannya dengan Adelard dan keinginannya untuk melihat perubahan. Dia akhirnya mengangguk, meskipun ragu-ragu, menunjukkan dukungannya. Ferrandus merasa puas dengan persetujuan tersebut dan mengubah fokusnya ke rencana yang segera akan mereka lakukan. Mereka semua merencanakan detail-detail pemberontakan, menentukan posisi masing-masing dan apa yang harus dilakukan jika sesuatu berjalan tidak sesuai rencana. Ketika semua orang merasa cukup yakin dengan rencananya, Ferrandus berdiri dan mengumumkan, "Sekarang saatnya kita bergerak. Ingat, tujuan kita adalah keadilan dan perubahan. Hidup atau mati, kita akan menjadi pahlawan bagi rakyat Templar." Setelah ucapan Fe
Sangat sulit bagi Lucius untuk mengerti apa yang baru saja terjadi. Memori-memori tersebut merentang dari berbagai periode waktu dan berbagai tempat, membuatnya kebingungan. Dia merasa seolah-olah dia baru saja melalui sebuah perjalanan waktu. Dia merasa memori-memori itu bukanlah bagian dari kehidupannya, namun ada ikatan tak terlihat yang menghubungkannya dengan mereka. Lucius mencoba berpikir logis untuk mengerti apa yang sedang terjadi. Ia memutuskan untuk mencari tahu lebih banyak tentang tulisan naga yang hanya bisa dibaca oleh Bangsa Vampir, mengenai Klan Celeste yang bangkit kembali, dan tragedi yang menimpa wanita dalam salah satu memori tersebut. Dia juga penasaran tentang liontin bermata ruby yang diserahkan oleh seorang pria kepada seorang wanita, dan pernyataan mengenai reinkarnasi. Namun, untuk saat ini, dia harus memulihkan dirinya dan berusaha mengatasi pusing yang menderanya. Dia merasa seolah-olah setiap sel di tubuhnya diguncang oleh ledakan memori ini. (Haruskah
Sesosok Vampir bangun di tengah bulan Darah yang muncul tepat setelah perang Templar pecah.Sebagai Vampir, entitas ini bangkit ketika bulan Darah menggantung di langit, menandai sebuah perubahan penting dan sering kali mengisyaratkan kejadian besar. Kali ini, perang Templar telah meletus, menciptakan suasana yang penuh dengan kekacauan dan darah.Vampir ini, yang telah diam selama berabad-abad, sekarang merasakan getaran perubahan di udara. Dengan mata merah yang memancarkan kecerdasan dan kejahatan, dia merasakan suasana perang yang mencekam dan darah yang mengalir. Sebagai makhluk malam, dia tidak terpengaruh oleh pertempuran siang hari. Namun, ia merasakan kekuatan baru yang muncul dari dalam dirinya saat bulan Darah bersinar di atasnya.Dia memahami bahwa perang Templar ini lebih dari sekadar konflik antara manusia biasa. Ada kekuatan luar biasa yang bermain di balik layar, kekuatan yang bisa menarik bahkan entitas seperti dirinya dari tidur panjangnya. Mungkin ini adalah waktu u
Pagi itu sebelum matahari muncul di ufuk timur, suasana masih terasa dingin dan sunyi. Pangeran Lucius Damien, sang pangeran muda yang berani dan berdedikasi, bersiap-siap untuk berangkat bertugas di garda depan. Lucius, yang baru saja selesai berdoa di dalam kamar, mengenakan seragam tempur hitam keemasannya dengan cekatan. Dia mengambil pedang Templar dari dinding dan memasukkannya ke sarungnya. Rambut cokelat panjangnya yang tergerai lepas, digelung ke belakang dengan tali kulit sederhana. Wajah tampan dan penuh tekad memancarkan sinar keyakinan yang tak tergoyahkan. Mata birunya yang tajam memancarkan keberanian dan ketegasan, serta semangat yang tak pernah padam. Kaki tegapnya melangkah mantap, setiap gerakan menunjukkan kesiapan dan kegigihan. Dia berjalan menuju pintu, tatapannya menatap jauh ke depan. Suasana pagi yang hening dan dingin tidak mempengaruhi tekadnya. Angin pagi yang berhembus lembut, membawa aroma tanah basah dan dedaunan yang segar. Lucius menarik napas dalam
Setelah pertemuan dengan Lucius, situasi di rumah sakit jiwa St. Dymphna semakin tegang. Frank Flanders, meskipun sempat merasa lega karena telah menceritakan tentang liontin kepada Lucius, tetap dihantui oleh mimpi-mimpi buruk yang mengerikan setiap malam. Suara-suara yang berbisik dalam mimpinya semakin kuat, memerintahkannya untuk melakukan hal-hal yang tak terbayangkan.Suatu malam, saat petugas rumah sakit berpatroli di lorong-lorong yang sunyi, Frank tampak lebih tenang dari biasanya. Para petugas mengira obat penenang yang diberikan akhirnya bekerja. Namun, di dalam kamar isolasinya, Frank memandang sekeliling dengan mata yang gelap dan penuh keputusasaan. Di sudut ruangan, sebuah kain putih, bekas tirai yang telah disobek, tergeletak tak terpakai. Frank menghela napas dalam-dalam, merasakan beban berat di dadanya. Ia merasa tidak ada lagi jalan keluar dari mimpi-mimpi buruk ini. Dengan tangan gemetar, ia meraih kain tersebut dan mulai mengikatkan salah satu ujungn
Lucius merasa putus asa setelah pertemuannya dengan Adrian tidak membuahkan hasil. Liontin yang begitu penting baginya ternyata sudah dicuri oleh Frank Flanders, seorang pria yang kini dirundung mimpi buruk setiap malam. Mimpi-mimpi itu begitu mengerikan hingga membuat Frank kehilangan akal sehatnya dan akhirnya harus dirawat di rumah sakit jiwa. Di rumah sakit jiwa, Frank terus meracau tentang liontin yang memanggilnya dalam mimpi, meminta untuk dikembalikan kepada pemiliknya. Kondisinya semakin memburuk, dan meskipun para dokter berusaha memahami keadaannya, mereka tidak dapat menghilangkan mimpi-mimpi buruk yang menghantuinya. Lucius, yang merasa bahwa liontin itu bukan hanya barang berharga tapi juga memiliki kekuatan mistis, sadar bahwa dia harus menemukan cara untuk mendapatkan kembali liontin itu. Dia tahu bahwa hanya dengan mengembalikan liontin kepada pemilik yang sah, kutukan ini dapat diakhiri. Namun, pertanyaannya adalah, bagaimana cara masuk ke rumah sakit
Lucius meninggalkan rumah Elara dengan berbagai pikiran berkecamuk di benaknya. Perpustakaan tua itu menjadi tujuan berikutnya. Mengemudi melalui jalan-jalan kota yang mulai sepi, ia berusaha mengingat setiap detail yang telah didapatkan sejauh ini. Perpustakaan tua itu terletak di ujung jalan yang jarang dilalui orang. Bangunan batu dengan jendela-jendela tinggi dan pintu kayu besar tampak berdiri megah di bawah cahaya bulan. Lucius memasuki perpustakaan, di dalamnya suasana tenang dan berdebu terasa menyelimutinya. Rak-rak buku yang tinggi dan lampu redup menciptakan suasana yang hampir magis.Di belakang meja kayu besar di tengah ruangan, seorang pria tua dengan rambut abu-abu pendek dan kacamata bundar sedang membaca sebuah buku tebal. Lucius mendekatinya dengan hati-hati. "Victor?" tanya Lucius dengan suara rendah agar tidak mengganggu keheningan perpustakaan. Pria tua itu mengangkat pandangannya dan tersenyum tipis. "Ya, saya Victor. Ada yang bisa saya bantu?" Lucius
Setelah mengucapkan terima kasih kepada pria tua itu, Lucius bergerak dengan tujuan yang lebih jelas. Dia memindai kerumunan di bar sekali lagi, mencoba menemukan wanita bernama Alicia. Ia memutuskan untuk bertanya pada bartender, yang mungkin lebih mengenal para pelanggan tetap di sana.Lucius mendekati bar dan memanggil perhatian bartender, seorang pria dengan kumis tebal dan tatapan tajam. "Permisi, apakah Anda tahu di mana aku bisa menemukan seorang wanita bernama Alicia? Aku diberitahu bahwa dia sering berada di sini." Bartender itu menatap Lucius sejenak sebelum menjawab, "Alicia, ya? Dia ada di sini tadi. Sepertinya dia sedang duduk di pojok sana, di dekat jendela." Lucius mengikuti arah pandangan bartender dan melihat seorang wanita muda dengan rambut hitam panjang dan mata tajam yang duduk sendirian. Dia sedang menatap keluar jendela, tampaknya tenggelam dalam pikirannya sendiri.Dengan langkah mantap, Lucius mendekati meja Alicia dan memberanikan diri untuk berbicara.
Lucius menatap layar ponselnya sejenak setelah mengirim pesan balasan kepada Alena. Keheningan jalanan malam yang terhampar di sekitar Knockturn Alley menambah suasana misterius di sekitarnya. Cahaya lampu jalan yang redup menyala samar-samar di antara bangunan-bangunan kuno yang menjulang tinggi, memberi sentuhan dramatis pada suasana malam itu.Ia menarik napas dalam-dalam saat melangkah keluar dari gedung penyelidikan. Udara dingin malam London menusuk tulang, membuatnya lebih berhati-hati saat berjalan di sepanjang trotoar yang gelap. Langkahnya mantap meskipun hatinya dipenuhi dengan rasa was-was dan antisipasi akan apa yang akan dihadapinya dalam perjalanan ini.Dengan kunci mobilnya yang digenggam erat, Lucius melangkah menuju kendaraannya. Cahaya lampu mobil menyinari jalanan yang sepi saat ia membuka pintu mobil dan masuk ke dalam. Sejenak, ia duduk di dalam mobilnya, membiarkan dirinya meresapi ketenangan sejenak sebelum melanjutkan perjalanan. Setelah memastikan bahw
[Marcus:]"Hai Lucius, ada waktu untuk ngobrol sebentar?"[Lucius:]"Halo Marcus, tentu. Ada apa?"[Marcus:]"Aku turut berduka cita atas kematian atasan kita,Tuan Grissham Bell. Bisa ketemu sebentar di tempat biasa?"[Lucius:]"Bisa. Ada masalah apa?"[Marcus:]"Aku ingin mendiskusikan proyek baru. Ada beberapa hal yang perlu dipecahkan."[Lucius:]"Baiklah, aku akan ke sana dalam 15 menit."[Marcus:]"Terima kasih, Lucius. Sampai nanti."[Lucius:]"Sampai nanti, Marcus."Lucius kemudian bangkit dari peraduannya lalu pergi membersihkan dirinya. Dia sadar bobot tubuhnya sudah menurun sedikit namun perut abs-nya tetap terbentuk sempurna. Setelah berpakaian rapi, Lucius keluar dari rumahnya dan menuju tempat pertemuan yang biasa mereka gunakan, sebuah kafe kecil di sudut kota yang tenang.[Kafe Kecil di Sudut Kota]Marcus sudah duduk di meja sudut, menatap ke luar jendela dengan secangkir kopi di tangannya. Ketika melihat Lucius masuk, dia melambaikan tangan dan tersenyum tipis."Lucius,
Bandara Diagon Alley kini dalam kondisi siaga satu. Petugas keamanan dikerahkan ke setiap sudut, memastikan tidak ada celah bagi pelarian. Kabar tentang hilangnya liontin vampir dari museum membuat situasi semakin tegang. Setiap penumpang yang hendak berangkat maupun baru tiba diperiksa dengan ketat, tidak ada yang luput dari pengawasan.Di tengah keramaian yang penuh dengan ketegangan, terdengar bunyi langkah berat dari sepatu-sepatu bot militer yang menggetarkan lantai bandara. Kepolisian Diagon Alley, yang kini menjalankan operasi militer, menyusuri setiap sudut dengan senjata terhunus. Kapten Marcus, pemimpin operasi, memberikan instruksi tegas kepada timnya melalui radio:"Semua unit, pastikan setiap titik keluar dijaga ketat. Tidak ada yang masuk atau keluar tanpa izin saya. Siapkan pemeriksaan intensif di semua pintu gerbang dan terminal."Frank Flanders, yang baru saja mendengar instruksi melalui radio seluler yang diselundupkan, merasa jantungnya berdetak lebih cepat. Dia meny
"Oliver yang malang, mengapa kau tidak memunculkan batang hidungmu di depanku?" dengus pria parlente itu.Frank Flanders duduk sendiri di ruang gelap, merenungi kegagalannya. Walaupun penuh dengan keyakinan awalnya, dia akhirnya tersadar bahwa dia sendirian dalam pencarian Oliver. Dalam kesendirian dan keputusasaan, dia terus mencari dengan tekad yang semakin melemah. Namun, hasilnya tetap nihil. Kegagalan itu menghancurkan semangatnya, meninggalkan dia dalam kesedihan dan penyesalan yang mendalam.Mendengar Oliver Brown tertangkap oleh Kepolisian Diagon Alley, pria gempal itu kemudian bersiap-siap untuk mengambil jalur Britania Raya untuk melarikan diri dari masalah yang diperbuat oleh Oliver Brown. Namun tak disangka, seluruh satuan Kepolisian Diagon Alley telah mencium keberadaannya."CH, sial!" geramnya, menggertakkan giginya dengan frustrasi. Ia tahu bahwa pelarian kali ini akan lebih sulit dari yang pernah dibayangkannya. Dengan setiap langkah yang diambil, bayang-bayang kegelapa
Lucius melangkah keluar dari kamar tidurnya, meninggalkan kehangatan selimut untuk menghadapi hawa dingin malam. Ia menuju ruang kerjanya yang penuh dengan buku-buku tua dan artefak berdebu, peninggalan dari berbagai penelitian yang pernah ia lakukan. Di sudut ruangan, sebuah sakel rusak yang disebutkan dalam mimpinya tergeletak di atas meja, setengah terkubur di bawah tumpukan dokumen.Dengan hati-hati, Lucius membersihkan permukaan sakel, memperhatikan ukiran-ukiran halus yang menghiasi permukaannya. Ia mencoba mengingat setiap detail dari mimpi tadi, berharap menemukan petunjuk yang bisa membantunya membuka sakel ini dalam dunia nyata.(Tidak mungkin ini hanya kebetulan,) pikirnya. (Mimpi itu pasti ada artinya.)Lucius kemudian mengingatkan dirinya pada satu nama: Profesor Aldric, seorang ahli sejarah yang pernah ia temui dalam salah satu konferensi. Profesor Aldric dikenal sebagai seorang yang memiliki pengetahuan mendalam tentang artefak kuno. Dengan cepat, Lucius memutuskan untu