Suara hentakan keras membuyarkan kerja Tim Lucius yang saat itu sedang mengolah TKP."ARGGGGGGGGHHHHHHHHHHH..." Beberapa orang di TKP berteriak ketakutan saat Rufus datang dari balik pintu museum. Ketika Rufus membuka pintu, pandangannya terpaku pada pemandangan yang menghentikan hatinya sejenak. Ruangan itu dipenuhi dengan tanda-tanda kehancuran dan darah. Tuan Bell, yang seharusnya menjadi sosok yang kuat dan bijaksana, terbaring tak bernyawa di lantai dengan bekas gigitan vampir yang memancarkan cahaya lembut. Lucius, detektif muda yang pemberani, berlutut di sampingnya dengan ekspresi campuran antara keputusasaan dan kemarahan. Darah mengalir dari lukanya saat dia mencoba menekan luka gigitan itu dengan tangannya gemetar. Matanya yang penuh dengan kesedihan dan penyesalan bertemu dengan mata Rufus yang merah menyala, menciptakan momen tegang yang memilukan. Rufus merasakan keinginan haus darah yang semakin kuat saat melihat darah yang mengalir dari tubuh Lucius. Kekuatan gelap d
Suara parau itu mengeluarkan tawa yang mencemooh. "Kalian hanya sekelompok anak kecil yang tidak memiliki apa-apa di hadapanku. Aku akan menghancurkan kalian satu per satu dan memperoleh apa yang menjadi hakku." Tiba-tiba, energi gelap dan api yang mengerikan mengalir keluar dari suara itu. Awan hitam yang menyelimuti langit semakin pekat, dan suhu sekitar mereka meningkat drastis. Mereka berada di hadapan kekuatan yang jauh lebih kuat dari sebelumnya. Sekumpulan kelelawar muncul dari celah ventilasi museum dan mengellilingi mereka. Membentuk sebuah siluet kegelapan dan menampakkan sesosok pria dengan kulit pucatnya. Sekumpulan kelelawar yang muncul dan mengelilingi kelompok detektif muda itu menciptakan suasana yang semakin gelap dan menakutkan. Siluet pria dengan kulit pucatnya yang tampak di tengah kelelawar mengintensifkan ketegangan yang sudah ada. "Kalian telah berani mengganggu rencanaku. Kini kalian akan merasakan kekuatan sejati kegelapan!" suara pria itu bergema dengan nad
Penyelidikan Lucius kali ini kembali diawali dengan mengutus intel ke dalam wilayah Diagon Alley secara terselubung guna mencari tahu siapa pemilik liontin itu. Lucius dan timnya sepakat bahwa mengutus seorang intel ke dalam wilayah Diagon Alley adalah langkah yang penting untuk menyelidiki pemilik liontin tersebut. Mereka sadar bahwa wilayah itu merupakan pusat kegiatan sihir dan kemungkinan besar ada informasi yang bisa mereka dapatkan di sana. Setelah memilih seorang anggota tim yang ahli dalam penyamaran dan pengintaian, mereka memberikan petunjuk dan informasi yang relevan mengenai liontin tersebut. Mereka memastikan bahwa intel yang dikirimkan memahami betul misi dan risiko yang ada, serta menjaga kerahasiaan operasi mereka. Dengan menyamar sebagai seorang pedagang atau pengunjung biasa, intel tersebut memasuki Diagon Alley dengan hati-hati. Dia berusaha menjalin hubungan dengan para penjual, warga setempat, dan pihak-pihak yang mungkin memiliki informasi tentang pemilik liont
Vampir itu, dengan mata yang tergila-gila dan lapar, terus menghisap darah sang Intel. Dia merasakan kekuatan hidup intel itu memudar dengan setiap tegukan yang diambilnya. Dalam ketiadaan harapan dan kesedihan, Rodrigo menyadari bahwa nasibnya akan mirip dengan Tuan Bell, rekan sejawatnya yang juga tewas di tangan vampir ini. Sementara itu, di sekitar mereka, kehidupan berlanjut dengan tak acuh. Orang-orang berpesta tanpa sadar akan tragedi yang sedang terjadi. Tidak ada yang menyadari atau peduli bahwa seorang intel yang pemberani dan ahli seperti Intel sedang merenggang nyawa di hadapan mereka. Dalam situasi yang dramatis ini, Rodrigo menyadari bahwa tidak ada harapan penyelamatan. Nafasnya semakin lama semakin lemah, dan pandangan matanya memudar. Dalam kesedihan dan keputusasaan, dia menyerah pada takdirnya yang tragis, tunduk pada kekuatan vampir yang tak terbendung. Situasi tersebut memperlihatkan ketegangan yang melampaui batas dan tragedi yang tak terelakkan saat vampir jah
Tiba-tiba Lucius tersadar bahwa hari di mana dia kehilangan sahabatnya, Tuan Bell, adalah hari yang sama yang Alena harapkan dapat melihat pameran barang antik di museum Walikota. "Maaf, a-aku baru saja kehilangan atasanku di museum itu." Alena mengernyitkan kedua alisnya,"Apa maksudmu, Lucius?" Lucius kebingungan untuk menjelaskan kejadian demi kejadian yang ia alami selama penyelidikan berlangsung. Perasaannya kini terguncang hebat ketika ia teringat bagaimana Tuan Bell tewas di depan kedua matanya. "Lucius, cukup. Aku tidak ingin mendengar apapun. Selamat tinggal dan jangan pernah menjanjikan harapan apapun padaku jika kau tidak siap untuk menyelesaikan cerita apapun di dalam hidupku." Alena kemudian pergi dan berlalu dari rumah detektif muda itu,"Alena, please! Dengarkan aku." sambil menggenggam tangan kanan Alena yang berharap agar Alena tidak meninggalkannya malam itu. "Cukup, Lucius. Jika kau tidak ingin berkata jujur padaku tentang apa yang terjadi, lebih baik kita tidak us
Lucius menyadari ada yang mengawasi dirinya. Dengan waspada, Lucius mengarahkan kedua netranya ke segala arah. Memastikan bahwa tidak ada yang terluput dari pengawasannya malam itu. Lucius merasa ada kehadiran yang mengintai dirinya, membangunkan naluri waspada di dalam dirinya. Dia menyadari bahwa situasinya mungkin tidak aman, dan ia perlu mengawasi setiap sudut ruangan dengan seksama. Dengan hati-hati, Lucius mengarahkan kedua matanya, memindai setiap arah di sekitarnya. Ia melihat-lihat dengan perhatian ekstra, memastikan bahwa tidak ada yang terlewatkan dari pandangannya yang waspada. Dia melihat bayangan-bayangan yang bergerak di sudut-sudut ruangan, mendengarkan suara-suara yang mungkin menandakan kehadiran seseorang. Setiap detil di sekitarnya diperhatikan dengan cermat, karena ia tidak ingin ada ancaman yang terlewat dari pengawasannya. Lucius mencoba mengendalikan napasnya, memfokuskan pikirannya untuk tetap tenang dan mempertahankan kewaspadaan yang tinggi. Dia tidak ing
"Kau keterlaluan, Lucius!" *** Alena berada di dalam sebuah bathube putih.Dia terbujur di dalam air yang menggenang. Suasana remang menyelimuti Alena yang merasakan patah hati luar biasa. Tiba-tiba sebuah pre-kognisi muncul di pikiran Alena. Ingatannya terbuka di saat Perang Transylvannia pecah. Seorang gadis muda sedang membawa peti yang berisi senjata yang dicari oleh Jenderal Kegelapan. Perang antar ras juga terjadi saat gadis itu sedang bersembunyi di antara Hutan Transylvannia. Buatkan situasi dramatis terkait past regressin Alena Rampheat di abad 14.Alena Rampheat, seorang wanita muda dari abad ke-14, mendapati dirinya terlempar ke dalam peristiwa masa lalu saat berada dalam bathtub putih di tengah perasaan patah hati yang menyelimutinya. Saat terjaga dari pre-kognisi yang menghampirinya, Alena menemukan dirinya berada dalam pemandangan yang mengejutkan dan memilukan. Dia menyadari bahwa dia telah terjebak dalam masa lalu, tepat pada saat Perang Transylvannia sedang berkecamu
Alena tersadar dari pre-kognisi yang intens itu dengan napas terengah-engah. Dia menemukan dirinya kembali di dalam bathtub putih yang tenang, air yang menggenang, dan suasana remang yang sama seperti sebelumnya. Hati dan pikirannya masih tertegun oleh perjalanan masa lalu yang tiba-tiba ia alami. Berbaring di dalam bathtub, Alena merenungkan pengalaman yang baru saja ia alami. Dia merasa seperti telah hidup dalam dunia lain, menyaksikan perang dan petualangan di abad ke-14 dengan kejelasan yang menakjubkan. Meskipun hanya sebuah pre-kognisi, perasaan dan pengalaman itu terasa begitu nyata baginya. Alena mencoba merangkai ingatan-ingatan tersebut dan merenungkan arti dari apa yang ia alami. Apakah itu hanya sekadar mimpi atau mungkin pesan dari alam gaib? Dia merasa ada makna khusus di balik pre-kognisi tersebut, seperti pesan untuknya secara pribadi. Perjalanan yang dia alami di masa lalu telah membuka pintu ke dunia baru yang tak terduga, menuntunnya pada petualangan emosional dan
Setelah pertemuan dengan Lucius, situasi di rumah sakit jiwa St. Dymphna semakin tegang. Frank Flanders, meskipun sempat merasa lega karena telah menceritakan tentang liontin kepada Lucius, tetap dihantui oleh mimpi-mimpi buruk yang mengerikan setiap malam. Suara-suara yang berbisik dalam mimpinya semakin kuat, memerintahkannya untuk melakukan hal-hal yang tak terbayangkan.Suatu malam, saat petugas rumah sakit berpatroli di lorong-lorong yang sunyi, Frank tampak lebih tenang dari biasanya. Para petugas mengira obat penenang yang diberikan akhirnya bekerja. Namun, di dalam kamar isolasinya, Frank memandang sekeliling dengan mata yang gelap dan penuh keputusasaan. Di sudut ruangan, sebuah kain putih, bekas tirai yang telah disobek, tergeletak tak terpakai. Frank menghela napas dalam-dalam, merasakan beban berat di dadanya. Ia merasa tidak ada lagi jalan keluar dari mimpi-mimpi buruk ini. Dengan tangan gemetar, ia meraih kain tersebut dan mulai mengikatkan salah satu ujungn
Lucius merasa putus asa setelah pertemuannya dengan Adrian tidak membuahkan hasil. Liontin yang begitu penting baginya ternyata sudah dicuri oleh Frank Flanders, seorang pria yang kini dirundung mimpi buruk setiap malam. Mimpi-mimpi itu begitu mengerikan hingga membuat Frank kehilangan akal sehatnya dan akhirnya harus dirawat di rumah sakit jiwa. Di rumah sakit jiwa, Frank terus meracau tentang liontin yang memanggilnya dalam mimpi, meminta untuk dikembalikan kepada pemiliknya. Kondisinya semakin memburuk, dan meskipun para dokter berusaha memahami keadaannya, mereka tidak dapat menghilangkan mimpi-mimpi buruk yang menghantuinya. Lucius, yang merasa bahwa liontin itu bukan hanya barang berharga tapi juga memiliki kekuatan mistis, sadar bahwa dia harus menemukan cara untuk mendapatkan kembali liontin itu. Dia tahu bahwa hanya dengan mengembalikan liontin kepada pemilik yang sah, kutukan ini dapat diakhiri. Namun, pertanyaannya adalah, bagaimana cara masuk ke rumah sakit
Lucius meninggalkan rumah Elara dengan berbagai pikiran berkecamuk di benaknya. Perpustakaan tua itu menjadi tujuan berikutnya. Mengemudi melalui jalan-jalan kota yang mulai sepi, ia berusaha mengingat setiap detail yang telah didapatkan sejauh ini. Perpustakaan tua itu terletak di ujung jalan yang jarang dilalui orang. Bangunan batu dengan jendela-jendela tinggi dan pintu kayu besar tampak berdiri megah di bawah cahaya bulan. Lucius memasuki perpustakaan, di dalamnya suasana tenang dan berdebu terasa menyelimutinya. Rak-rak buku yang tinggi dan lampu redup menciptakan suasana yang hampir magis.Di belakang meja kayu besar di tengah ruangan, seorang pria tua dengan rambut abu-abu pendek dan kacamata bundar sedang membaca sebuah buku tebal. Lucius mendekatinya dengan hati-hati. "Victor?" tanya Lucius dengan suara rendah agar tidak mengganggu keheningan perpustakaan. Pria tua itu mengangkat pandangannya dan tersenyum tipis. "Ya, saya Victor. Ada yang bisa saya bantu?" Lucius
Setelah mengucapkan terima kasih kepada pria tua itu, Lucius bergerak dengan tujuan yang lebih jelas. Dia memindai kerumunan di bar sekali lagi, mencoba menemukan wanita bernama Alicia. Ia memutuskan untuk bertanya pada bartender, yang mungkin lebih mengenal para pelanggan tetap di sana.Lucius mendekati bar dan memanggil perhatian bartender, seorang pria dengan kumis tebal dan tatapan tajam. "Permisi, apakah Anda tahu di mana aku bisa menemukan seorang wanita bernama Alicia? Aku diberitahu bahwa dia sering berada di sini." Bartender itu menatap Lucius sejenak sebelum menjawab, "Alicia, ya? Dia ada di sini tadi. Sepertinya dia sedang duduk di pojok sana, di dekat jendela." Lucius mengikuti arah pandangan bartender dan melihat seorang wanita muda dengan rambut hitam panjang dan mata tajam yang duduk sendirian. Dia sedang menatap keluar jendela, tampaknya tenggelam dalam pikirannya sendiri.Dengan langkah mantap, Lucius mendekati meja Alicia dan memberanikan diri untuk berbicara.
Lucius menatap layar ponselnya sejenak setelah mengirim pesan balasan kepada Alena. Keheningan jalanan malam yang terhampar di sekitar Knockturn Alley menambah suasana misterius di sekitarnya. Cahaya lampu jalan yang redup menyala samar-samar di antara bangunan-bangunan kuno yang menjulang tinggi, memberi sentuhan dramatis pada suasana malam itu.Ia menarik napas dalam-dalam saat melangkah keluar dari gedung penyelidikan. Udara dingin malam London menusuk tulang, membuatnya lebih berhati-hati saat berjalan di sepanjang trotoar yang gelap. Langkahnya mantap meskipun hatinya dipenuhi dengan rasa was-was dan antisipasi akan apa yang akan dihadapinya dalam perjalanan ini.Dengan kunci mobilnya yang digenggam erat, Lucius melangkah menuju kendaraannya. Cahaya lampu mobil menyinari jalanan yang sepi saat ia membuka pintu mobil dan masuk ke dalam. Sejenak, ia duduk di dalam mobilnya, membiarkan dirinya meresapi ketenangan sejenak sebelum melanjutkan perjalanan. Setelah memastikan bahw
[Marcus:]"Hai Lucius, ada waktu untuk ngobrol sebentar?"[Lucius:]"Halo Marcus, tentu. Ada apa?"[Marcus:]"Aku turut berduka cita atas kematian atasan kita,Tuan Grissham Bell. Bisa ketemu sebentar di tempat biasa?"[Lucius:]"Bisa. Ada masalah apa?"[Marcus:]"Aku ingin mendiskusikan proyek baru. Ada beberapa hal yang perlu dipecahkan."[Lucius:]"Baiklah, aku akan ke sana dalam 15 menit."[Marcus:]"Terima kasih, Lucius. Sampai nanti."[Lucius:]"Sampai nanti, Marcus."Lucius kemudian bangkit dari peraduannya lalu pergi membersihkan dirinya. Dia sadar bobot tubuhnya sudah menurun sedikit namun perut abs-nya tetap terbentuk sempurna. Setelah berpakaian rapi, Lucius keluar dari rumahnya dan menuju tempat pertemuan yang biasa mereka gunakan, sebuah kafe kecil di sudut kota yang tenang.[Kafe Kecil di Sudut Kota]Marcus sudah duduk di meja sudut, menatap ke luar jendela dengan secangkir kopi di tangannya. Ketika melihat Lucius masuk, dia melambaikan tangan dan tersenyum tipis."Lucius,
Bandara Diagon Alley kini dalam kondisi siaga satu. Petugas keamanan dikerahkan ke setiap sudut, memastikan tidak ada celah bagi pelarian. Kabar tentang hilangnya liontin vampir dari museum membuat situasi semakin tegang. Setiap penumpang yang hendak berangkat maupun baru tiba diperiksa dengan ketat, tidak ada yang luput dari pengawasan.Di tengah keramaian yang penuh dengan ketegangan, terdengar bunyi langkah berat dari sepatu-sepatu bot militer yang menggetarkan lantai bandara. Kepolisian Diagon Alley, yang kini menjalankan operasi militer, menyusuri setiap sudut dengan senjata terhunus. Kapten Marcus, pemimpin operasi, memberikan instruksi tegas kepada timnya melalui radio:"Semua unit, pastikan setiap titik keluar dijaga ketat. Tidak ada yang masuk atau keluar tanpa izin saya. Siapkan pemeriksaan intensif di semua pintu gerbang dan terminal."Frank Flanders, yang baru saja mendengar instruksi melalui radio seluler yang diselundupkan, merasa jantungnya berdetak lebih cepat. Dia meny
"Oliver yang malang, mengapa kau tidak memunculkan batang hidungmu di depanku?" dengus pria parlente itu.Frank Flanders duduk sendiri di ruang gelap, merenungi kegagalannya. Walaupun penuh dengan keyakinan awalnya, dia akhirnya tersadar bahwa dia sendirian dalam pencarian Oliver. Dalam kesendirian dan keputusasaan, dia terus mencari dengan tekad yang semakin melemah. Namun, hasilnya tetap nihil. Kegagalan itu menghancurkan semangatnya, meninggalkan dia dalam kesedihan dan penyesalan yang mendalam.Mendengar Oliver Brown tertangkap oleh Kepolisian Diagon Alley, pria gempal itu kemudian bersiap-siap untuk mengambil jalur Britania Raya untuk melarikan diri dari masalah yang diperbuat oleh Oliver Brown. Namun tak disangka, seluruh satuan Kepolisian Diagon Alley telah mencium keberadaannya."CH, sial!" geramnya, menggertakkan giginya dengan frustrasi. Ia tahu bahwa pelarian kali ini akan lebih sulit dari yang pernah dibayangkannya. Dengan setiap langkah yang diambil, bayang-bayang kegelapa
Lucius melangkah keluar dari kamar tidurnya, meninggalkan kehangatan selimut untuk menghadapi hawa dingin malam. Ia menuju ruang kerjanya yang penuh dengan buku-buku tua dan artefak berdebu, peninggalan dari berbagai penelitian yang pernah ia lakukan. Di sudut ruangan, sebuah sakel rusak yang disebutkan dalam mimpinya tergeletak di atas meja, setengah terkubur di bawah tumpukan dokumen.Dengan hati-hati, Lucius membersihkan permukaan sakel, memperhatikan ukiran-ukiran halus yang menghiasi permukaannya. Ia mencoba mengingat setiap detail dari mimpi tadi, berharap menemukan petunjuk yang bisa membantunya membuka sakel ini dalam dunia nyata.(Tidak mungkin ini hanya kebetulan,) pikirnya. (Mimpi itu pasti ada artinya.)Lucius kemudian mengingatkan dirinya pada satu nama: Profesor Aldric, seorang ahli sejarah yang pernah ia temui dalam salah satu konferensi. Profesor Aldric dikenal sebagai seorang yang memiliki pengetahuan mendalam tentang artefak kuno. Dengan cepat, Lucius memutuskan untu