Frank merasa terhina oleh komentar tersebut dan menjawab dengan rasa tidak sabar, "Kamu tidak tahu siapa yang kamu lawan, Wanita. Kamu hanya menghadapi kesialan besar." Namun, sebelum Frank dapat melanjutkan lagi, wanita itu tiba-tiba menghilang dalam sebuah sigil emas yang muncul di bawah kakinya. Frank hanya bisa menatap terkejut pada tempat di mana wanita itu berada, bertanya-tanya siapa sebenarnya wanita itu dan bagaimana ia bisa menghilang begitu saja. Frank Flanders, lalu tanpa berkata apa-apa, keduanya meninggalkan ruangan untuk menghadapi masalah yang lebih besar.***Dr. Jones melihat peti mati di depannya dengan tatapan penasaran. "Lihat, saya yakin peti mati ini memiliki kisah menarik. Kita harus mencari tahu siapa pemiliknya dan apa yang ada di dalamnya." Asisten pertama mengangguk setuju. "Baiklah, Pak. Ini akan menjadi penemuan yang luar biasa jika kita berhasil menemukan sesuatu yang berharga di dalamnya." Asisten kedua menambahkan, "Tapi apakah membuka peti mati itu
“Liontin ini terbuat dari emas putih dengan Batu Darah sebagai mata yang indah di tengahnya. Desainnya juga sangat elegan dan cocok untuk digunakan dalam acara formal maupun informal. Darimana kau dapatkan ini?” tanya Tuan Borgins dengan selidik. Oliver berusaha menutupi rasa was-was ya kemudian menjawab, "Dari seorang teman."Setelah memeriksa liontin dengan cermat, Tuan Borgins menyatakan bahwa liontin tersebut adalah barang yang sangat berharga dan langka. Tuan Borgins menawarkan harga yang sangat tinggi untuk pendant tersebut, yang membuat Oliver terkejut. “Hmm, terdengar menarik. Berapa harganya?” “Harganya adalah 9000 galleon, namun saya dapat memberikan diskon 10% jika Anda memutuskan untuk membelinya hari ini.” tawar Oliver yang berharap Tuan Borgins mau menerimanya. “Hmm, itu cukup mahal. Apakah Anda bersedia untuk bernegosiasi?” sergah Tuan Borgins datar. Setelah mempertimbangkan tawaran Tuan Borgins, Oliver setuju untuk menjual liontin tersebut. Tuan Borgins memberikan
-Flashback on- [Rufus mendapatkan memorinya ketika ia adalah keturunan terakhir dari Ketua Pembasmi Vampir yang tewas oleh Vlad Transylvannia, seorang Pemimpin Ordo Vampir yang kala itu menguasai Diagon Alley lama.Rufus terbangun di suatu tempat yang asing, tidak tahu bagaimana dia bisa berada di sana. Dia melihat sekitar dan merasa kebingungan karena segala sesuatu terlihat sangat berbeda dari dunia yang dia ingat. Seorang wanita misterius mendatanginya dan memberinya sebuah kotak yang berisi beberapa benda, seperti pedang dan baju besi. Dia memberitahu Rufus bahwa dia adalah keturunan terakhir dari Keluarga Pembasmi Vampir yang terkenal. Wanita itu menjelaskan bahwa keluarga Rufus telah bertarung melawan Ordo Vampir pimpinan Vlad Transylvannia pada abad ke-14, tetapi mereka kalah dan semua anggota keluarga kecuali Rufus tewas. Dalam kotak tersebut, Rufus menemukan buku harian leluhurnya yang berisi informasi tentang keluarga dan bagaimana mereka bertarung melawan vampir. Rufus
BLASS! Sebuah cahaya kuning keemasan muncul dari area Rufus dan Dr. Jones yang termanifestasikan lewat Perisai Vampir yang dibuat Rufus. Para vampir itu mulai terbakar dan tidak dapat menahan panasnya perlindungan tersebut. Terdengar jeritan dan erangan dari para vampir yang terbakar oleh cahaya perisai tersebut."GGGGGRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRRAAAAAAAAAAAAAAARRRRRRRGGGGHHHHHH!" "Kau berguna juga,Nak!"Dr. Jones tersenyum lega melihat efektivitas Perisai Vampir yang telah diciptakan oleh Rufus. Ia tahu bahwa mereka memiliki peluang yang lebih baik untuk bertahan hidup di dunia yang penuh dengan vampir ini. Namun, kegembiraan mereka berdua tidak berlangsung lama. Salah satu anggota vampir yang lebih kuat muncul dari kegelapan dan menyerang Dr. Jones dengan cepat. Rufus bereaksi dengan segera dan melindungi Dr. Jones dengan Perisai Vampirnya. Saat itu, kekuatan vampir tersebut sangat kuat sehingga perisai Rufus mulai terkoyak dan mulai melemah. Rufus berjuang untuk mempertahankan p
Rufus mengangguk. "Ya, mereka adalah sebuah kelompok legendaris yang dikenal memiliki kekuatan untuk mengalahkan vampir dan selalu beroperasi dalam ketertutupan. Tapi sepertinya mereka tidak lagi beroperasi di zaman kita ini." Dr. Jones menggaruk kepalanya dan berpikir sejenak. "Jadi kisah Lady Bangsawan dan serangan vampir yang kita alami kemungkinan terkait dengan Klan terakhir Pembasmi Vampir itu?" Rufus mengangguk. "Ya, kemungkinan besar. Kita harus mencari tahu lebih lanjut tentang kelompok itu dan kaitannya dengan kisah Lady Bangsawan."Dr. Jones setuju. "Benar. Saya akan mencari informasi tentang Klan terakhir Pembasmi Vampir ini dan kisah Lady Bangsawan. Sementara itu, kamu harus istirahat dulu dan memulihkan dirimu sepenuhnya dari kejadian tadi."Beberapa jam kemudian, setelah Rufus terbangun dari tidurnya, Dr. Jones memberitahunya bahwa ia telah menemukan informasi yang menarik tentang Klan terakhir Pembasmi Vampir."Menurut catatan sejarah, Klan terakhir Pembasmi Vampir ad
"Ya, Bulan Darah adalah momennya para vampir untuk meregenerasi kekuatan mereka. Saat Perang Templar sedang terjadi, sebenarnya saat itulah sebuah perang yang tidak kita ketahui telah terjadi dimulai sebuah pengkhianatan dari salah satu orang kepercayaan Sang Lady." Rufus menjelaskan dengan runtut dan detail. Dr. Jones setuju untuk memulai pencarian di kastil tersebut.Mereka membuat rencana dan mempersiapkan diri dengan baik, termasuk membawa peralatan dan sumber daya yang cukup.Mereka tiba di kastil dan memeriksa kondisinya, menemukan beberapa benda yang dapat membantu dalam pencarian.Mereka menemukan petunjuk yang mengarah ke makam dan mulai mengikuti jejak tersebut.Setelah beberapa saat, mereka berhasil menemukan makam kuno dan menemukan harta karun yang luar biasa.***"Apakah Anda mengetahui di mana Toko Borgins?" "Ada di sana, Tuan."Seorang penduduk menunjukkan lokasi toko barang antik yang ditanyakan Lucius. "Terima kasih." Setelah bertanya ke beberapa orang di sekitar ko
Alena mengernyitkan alisnya”Aaa, aku tahu kau masih menungguku untuk penantian terakhirmu, bukan?” godanya lagi . Lucius tertawa mendengar candaan sahabat kecilnya itu. “Jadi, kau mau pesan buku yang seperti apa, Tuan…Lucius Damien?” “Hahah, aku ingin sekali mencari informasi tentang sesuatu yang sangat berharga. Bisakah aku menemukannya di tempat kau bekerja, Alena?” “Tunggu, kau bilang kau sedang mencari informasi tentang sesuatu?” tanya Alena dengan senyuman manis. Lucius semakin salah tingkah saat Alena bertanya demikian,”Tak kusangka aku bertemu denganmu hari ini. Bagaimana jika hari ini aku mentraktirmu sebuah…kopi? Atau the? Atau makan malam?” Alena terperanjat dengan tawaran Lucius,”Menarik. Sudah lama sejak kepindahanku dari kota ini, aku tidak pernah merasakan kopi seenak kopi Diagon Alley.” Seakan mendapat kesempatan, Lucius merasa mungkin dia bisa mendapatkan titik terang lagi dari perpustakaan, tempat Alena bekerja. Mereka tiva di sebuah kafe kopi yang sangat aesteti
Tiba-tiba, Lucius melihat seorang pria mengenakan jubah hitam yang sedang berjalan di depannya. Pria itu memiliki tampilan yang agak misterius dan Lucius merasa bahwa ia mungkin merupakan orang yang dicari-cari. Lucius memutuskan untuk mengikutinya dari jarak yang cukup jauh agar tidak terlihat mencurigakan. "Hei, berhenti!" teriak Lucius keras. Namun pria Itu tetap berlari kencang tanpa memperhatikan panggilan Lucius."Hei, kau!" Setelah beberapa menit mengikuti pria itu, Lucius tiba-tiba kehilangan jejaknya. Disugarkannya wajah dan rambutnya hingga ke belakang, "Sial! Aku kehilangan jejaknya!" Ia berputar-putar di sekitar Diagon Alley mencari tahu di mana pria itu pergi, tetapi tidak berhasil menemukannya. Lucius akhirnya memutuskan untuk kembali ke mobilnya dan pergi ke rumahnya. pemuda ituSampai di rumah, Lucius terus memikirkan tentang keberadaan pria misterius itu dan apa yang akan dilakukannya dengan artefak kuno yang dicarinya. Ia merasa bahwa ia harus melakukan sesuatu u
Setelah pertemuan dengan Lucius, situasi di rumah sakit jiwa St. Dymphna semakin tegang. Frank Flanders, meskipun sempat merasa lega karena telah menceritakan tentang liontin kepada Lucius, tetap dihantui oleh mimpi-mimpi buruk yang mengerikan setiap malam. Suara-suara yang berbisik dalam mimpinya semakin kuat, memerintahkannya untuk melakukan hal-hal yang tak terbayangkan.Suatu malam, saat petugas rumah sakit berpatroli di lorong-lorong yang sunyi, Frank tampak lebih tenang dari biasanya. Para petugas mengira obat penenang yang diberikan akhirnya bekerja. Namun, di dalam kamar isolasinya, Frank memandang sekeliling dengan mata yang gelap dan penuh keputusasaan. Di sudut ruangan, sebuah kain putih, bekas tirai yang telah disobek, tergeletak tak terpakai. Frank menghela napas dalam-dalam, merasakan beban berat di dadanya. Ia merasa tidak ada lagi jalan keluar dari mimpi-mimpi buruk ini. Dengan tangan gemetar, ia meraih kain tersebut dan mulai mengikatkan salah satu ujungn
Lucius merasa putus asa setelah pertemuannya dengan Adrian tidak membuahkan hasil. Liontin yang begitu penting baginya ternyata sudah dicuri oleh Frank Flanders, seorang pria yang kini dirundung mimpi buruk setiap malam. Mimpi-mimpi itu begitu mengerikan hingga membuat Frank kehilangan akal sehatnya dan akhirnya harus dirawat di rumah sakit jiwa. Di rumah sakit jiwa, Frank terus meracau tentang liontin yang memanggilnya dalam mimpi, meminta untuk dikembalikan kepada pemiliknya. Kondisinya semakin memburuk, dan meskipun para dokter berusaha memahami keadaannya, mereka tidak dapat menghilangkan mimpi-mimpi buruk yang menghantuinya. Lucius, yang merasa bahwa liontin itu bukan hanya barang berharga tapi juga memiliki kekuatan mistis, sadar bahwa dia harus menemukan cara untuk mendapatkan kembali liontin itu. Dia tahu bahwa hanya dengan mengembalikan liontin kepada pemilik yang sah, kutukan ini dapat diakhiri. Namun, pertanyaannya adalah, bagaimana cara masuk ke rumah sakit
Lucius meninggalkan rumah Elara dengan berbagai pikiran berkecamuk di benaknya. Perpustakaan tua itu menjadi tujuan berikutnya. Mengemudi melalui jalan-jalan kota yang mulai sepi, ia berusaha mengingat setiap detail yang telah didapatkan sejauh ini. Perpustakaan tua itu terletak di ujung jalan yang jarang dilalui orang. Bangunan batu dengan jendela-jendela tinggi dan pintu kayu besar tampak berdiri megah di bawah cahaya bulan. Lucius memasuki perpustakaan, di dalamnya suasana tenang dan berdebu terasa menyelimutinya. Rak-rak buku yang tinggi dan lampu redup menciptakan suasana yang hampir magis.Di belakang meja kayu besar di tengah ruangan, seorang pria tua dengan rambut abu-abu pendek dan kacamata bundar sedang membaca sebuah buku tebal. Lucius mendekatinya dengan hati-hati. "Victor?" tanya Lucius dengan suara rendah agar tidak mengganggu keheningan perpustakaan. Pria tua itu mengangkat pandangannya dan tersenyum tipis. "Ya, saya Victor. Ada yang bisa saya bantu?" Lucius
Setelah mengucapkan terima kasih kepada pria tua itu, Lucius bergerak dengan tujuan yang lebih jelas. Dia memindai kerumunan di bar sekali lagi, mencoba menemukan wanita bernama Alicia. Ia memutuskan untuk bertanya pada bartender, yang mungkin lebih mengenal para pelanggan tetap di sana.Lucius mendekati bar dan memanggil perhatian bartender, seorang pria dengan kumis tebal dan tatapan tajam. "Permisi, apakah Anda tahu di mana aku bisa menemukan seorang wanita bernama Alicia? Aku diberitahu bahwa dia sering berada di sini." Bartender itu menatap Lucius sejenak sebelum menjawab, "Alicia, ya? Dia ada di sini tadi. Sepertinya dia sedang duduk di pojok sana, di dekat jendela." Lucius mengikuti arah pandangan bartender dan melihat seorang wanita muda dengan rambut hitam panjang dan mata tajam yang duduk sendirian. Dia sedang menatap keluar jendela, tampaknya tenggelam dalam pikirannya sendiri.Dengan langkah mantap, Lucius mendekati meja Alicia dan memberanikan diri untuk berbicara.
Lucius menatap layar ponselnya sejenak setelah mengirim pesan balasan kepada Alena. Keheningan jalanan malam yang terhampar di sekitar Knockturn Alley menambah suasana misterius di sekitarnya. Cahaya lampu jalan yang redup menyala samar-samar di antara bangunan-bangunan kuno yang menjulang tinggi, memberi sentuhan dramatis pada suasana malam itu.Ia menarik napas dalam-dalam saat melangkah keluar dari gedung penyelidikan. Udara dingin malam London menusuk tulang, membuatnya lebih berhati-hati saat berjalan di sepanjang trotoar yang gelap. Langkahnya mantap meskipun hatinya dipenuhi dengan rasa was-was dan antisipasi akan apa yang akan dihadapinya dalam perjalanan ini.Dengan kunci mobilnya yang digenggam erat, Lucius melangkah menuju kendaraannya. Cahaya lampu mobil menyinari jalanan yang sepi saat ia membuka pintu mobil dan masuk ke dalam. Sejenak, ia duduk di dalam mobilnya, membiarkan dirinya meresapi ketenangan sejenak sebelum melanjutkan perjalanan. Setelah memastikan bahw
[Marcus:]"Hai Lucius, ada waktu untuk ngobrol sebentar?"[Lucius:]"Halo Marcus, tentu. Ada apa?"[Marcus:]"Aku turut berduka cita atas kematian atasan kita,Tuan Grissham Bell. Bisa ketemu sebentar di tempat biasa?"[Lucius:]"Bisa. Ada masalah apa?"[Marcus:]"Aku ingin mendiskusikan proyek baru. Ada beberapa hal yang perlu dipecahkan."[Lucius:]"Baiklah, aku akan ke sana dalam 15 menit."[Marcus:]"Terima kasih, Lucius. Sampai nanti."[Lucius:]"Sampai nanti, Marcus."Lucius kemudian bangkit dari peraduannya lalu pergi membersihkan dirinya. Dia sadar bobot tubuhnya sudah menurun sedikit namun perut abs-nya tetap terbentuk sempurna. Setelah berpakaian rapi, Lucius keluar dari rumahnya dan menuju tempat pertemuan yang biasa mereka gunakan, sebuah kafe kecil di sudut kota yang tenang.[Kafe Kecil di Sudut Kota]Marcus sudah duduk di meja sudut, menatap ke luar jendela dengan secangkir kopi di tangannya. Ketika melihat Lucius masuk, dia melambaikan tangan dan tersenyum tipis."Lucius,
Bandara Diagon Alley kini dalam kondisi siaga satu. Petugas keamanan dikerahkan ke setiap sudut, memastikan tidak ada celah bagi pelarian. Kabar tentang hilangnya liontin vampir dari museum membuat situasi semakin tegang. Setiap penumpang yang hendak berangkat maupun baru tiba diperiksa dengan ketat, tidak ada yang luput dari pengawasan.Di tengah keramaian yang penuh dengan ketegangan, terdengar bunyi langkah berat dari sepatu-sepatu bot militer yang menggetarkan lantai bandara. Kepolisian Diagon Alley, yang kini menjalankan operasi militer, menyusuri setiap sudut dengan senjata terhunus. Kapten Marcus, pemimpin operasi, memberikan instruksi tegas kepada timnya melalui radio:"Semua unit, pastikan setiap titik keluar dijaga ketat. Tidak ada yang masuk atau keluar tanpa izin saya. Siapkan pemeriksaan intensif di semua pintu gerbang dan terminal."Frank Flanders, yang baru saja mendengar instruksi melalui radio seluler yang diselundupkan, merasa jantungnya berdetak lebih cepat. Dia meny
"Oliver yang malang, mengapa kau tidak memunculkan batang hidungmu di depanku?" dengus pria parlente itu.Frank Flanders duduk sendiri di ruang gelap, merenungi kegagalannya. Walaupun penuh dengan keyakinan awalnya, dia akhirnya tersadar bahwa dia sendirian dalam pencarian Oliver. Dalam kesendirian dan keputusasaan, dia terus mencari dengan tekad yang semakin melemah. Namun, hasilnya tetap nihil. Kegagalan itu menghancurkan semangatnya, meninggalkan dia dalam kesedihan dan penyesalan yang mendalam.Mendengar Oliver Brown tertangkap oleh Kepolisian Diagon Alley, pria gempal itu kemudian bersiap-siap untuk mengambil jalur Britania Raya untuk melarikan diri dari masalah yang diperbuat oleh Oliver Brown. Namun tak disangka, seluruh satuan Kepolisian Diagon Alley telah mencium keberadaannya."CH, sial!" geramnya, menggertakkan giginya dengan frustrasi. Ia tahu bahwa pelarian kali ini akan lebih sulit dari yang pernah dibayangkannya. Dengan setiap langkah yang diambil, bayang-bayang kegelapa
Lucius melangkah keluar dari kamar tidurnya, meninggalkan kehangatan selimut untuk menghadapi hawa dingin malam. Ia menuju ruang kerjanya yang penuh dengan buku-buku tua dan artefak berdebu, peninggalan dari berbagai penelitian yang pernah ia lakukan. Di sudut ruangan, sebuah sakel rusak yang disebutkan dalam mimpinya tergeletak di atas meja, setengah terkubur di bawah tumpukan dokumen.Dengan hati-hati, Lucius membersihkan permukaan sakel, memperhatikan ukiran-ukiran halus yang menghiasi permukaannya. Ia mencoba mengingat setiap detail dari mimpi tadi, berharap menemukan petunjuk yang bisa membantunya membuka sakel ini dalam dunia nyata.(Tidak mungkin ini hanya kebetulan,) pikirnya. (Mimpi itu pasti ada artinya.)Lucius kemudian mengingatkan dirinya pada satu nama: Profesor Aldric, seorang ahli sejarah yang pernah ia temui dalam salah satu konferensi. Profesor Aldric dikenal sebagai seorang yang memiliki pengetahuan mendalam tentang artefak kuno. Dengan cepat, Lucius memutuskan untu