Ana menahan napasnya ketika tali ukur itu melingkar dengan sempurna di pinggangnya. Ana menggigit bibirnya bingung ketika keadaan di sekitarnya begitu hening. Bahkan butik yang ramai tidak membuat rasa gugupnya menghilang. Saat di kampus tadi, Ana mendapatkan pesan dari Lucy jika dia harus fitting baju bersama Diva dan Laila. Ternyata wanita itu menunjuknya sebagai bridesmaid-nya nanti di pernikahan. Yang benar saja?! Bukannya tidak mau, Ana hanya merasa canggung jika harus bertemu dengan Diva setelah masalah yang ditimbulkan oleh kakaknya itu. Jujur saja, Ana sudah jarang berinteraksi dengan keluarga Rahardian, meskipun Ibu Davin dan Diva sendiri masih sering mengirimkan pesan singkat yang hanya dia balas dengan jawaban seadanya.
"Sudah selesai, Kak." Ana tersenyum dan mulai menghampiri Lucy yang duduk di sofa bersama Diva dan Laila.
Dia berjalan dengan pelan, berusaha mengulur waktu agar tidak segera sampai ke tempat Lucy. Jujur saja, dia belum ingi
Ana menggeram saat Lucy masih saja memaksanya. Dia mengaduk makanannya degan tidak nafsu. "Terus kuliahku gimana?" Ana bertanya dengan jengkel. Dia masih berusaha bernegosiasi tentang acara pernikahan Lucy di Paris."Bolos aja!""Nanti kalau absenku ada masalah gimana? Aku nggak mau ngulang ya. Males kuliah lama-lama, mau kawin aja.""Emang udah ada calonnya? Mau aku bantu cari?""Nggak mau!" jawab Ana kesal. Kenapa Lucy mengikuti alur sarkasnya? Ana tidak punya selera untuk bercanda kali ini.Sambungan telepon terputus begitu saja. Ana yang melakukannya. Dia sangat kesal pada Lucy. Kenapa wanita itu selalu memaksakan kehendak? Ana bukan perempuan bebas yang bisa ke sana-ke mari sesuka hati. Dia adalah seorang pelajar yang punya tanggung jawab. Tidak mungkin dia meninggalkan kelas begitu saja dalam waktu seminggu.Apa kabar absenku?Ana mengaduk jus alpukat dengan kesal. Mulutnya juga tid
Suara riuh tepuk tangan terdengar saat Lucy dan Adam sudah mengucapkan janji suci pernikahan. Ana tidak menyangka jika Lucy benar-benar sudah menikah sekarang. Hidup wanita itu akan bahagia setelah ini, berbeda dengan nasibnya yang masih saja terjebak dengan rasa sakit. Ana menghampiri Lucy dan Adam untuk memberikan selamat pada pasangan baru itu. Dia juga turut bahagia dengan pernikahan ini. Setelah semua hal mengerikkan yang telah terjadi, akhirnya Lucy mendapatkan kebahagiannya sekarang."Apa kamu liat Mas Davin?" bisik Ana pelan pada Lucy."Vinno lagi di jalan, Ana. Nah tuh! Dia datang." Tunjuk Adam pada pintu ballroom.Ana reflek melihat ke arah pintu untuk melihat pria yang dia rindukan. Bibirnya melengkung sempurna saat melihat Davin masuk, namun senyuman itu hilang saat ada wanita yang datang dan langsung menggandeng lengan Davin. Ana menahan napasnya melihat itu. Hatinya terasa sakit saat Davin tidak mencoba mengelak atau merasa keberatan denga
Ana membuka matanya begitu merasakan tarikan pada rambutnya. Dia mengerang dan mengubah posisi tidurnya menjadi terlentang. Belum sempat kembali terlelap, Ana kembali merasakan tepukan keras pada pipinya.Dengan kesal dia membuka matanya, "Apa sih?! Aku ngantuk.""Bangun Ana!" Suara keras Laila membuat Ana langsung membuka matanya."Ada apa?" Ana mulai sadar dan melirik jam dinding yang masih menunjukkan pukul empat pagi, "Ini masih pagi, Laila! Yang bener aja?! Aku masih ngantuk," ucap Ana kesal dan kembali bergerak menutup matanya. Kepalanya masih terasa pening karena alkohol yang dia minum semalam."Bangun, Ana! Semua orang sibuk cari Lucy. Kamu malah enak-enakan tidur!"Ana langsung bangkit ketika mendengar ucapan Laila, "Apa maksudmu?""Lucy hilang.""Kok bisa?!" Ana terkejut bukan main."Aku nggak tahu, Lucy hilang sejak semalam. Sekarang kita keluar dan bantu cari Lucy." Ana mengangguk dan langsung meraih jaket untuk men
Mata semua orang tertuju pada layar monitor yang menampilkan keadaan lantai 18, lantai yang disewa untuk tamu pernikahan Lucy dan Adam. Layar itu menampilkan semua kejadian bahkan saat Ana masuk ke kamar Laura dan melihat Davin keluar dari sana dengan tergesa. Disusul Ana yang juga keluar dari kamar Laura dengan jas Davin yang membalut tubuhnya. Setelah Ana masuk ke dalam kamarnya, tidak ada lagi yang terjadi. Hanya orang-orang berlalu lalang yang tidak berarti apa-apa. Hingga 3 jam kemudian terjadi sesuatu yang mencurigakan. Seorang wanita keluar dari lift dengan mengenakan baju pesta. Wanita itu terlihat misterius karena memakai topi dan masker yang menutupi wajahnya. Kepalanya terlihat sedang mengamati keadaan sekitar berulang kali. Tidak lama kemudian muncul dua orang pria yang terlihat membawa tubuh seseorang."Itu aku," gumam Lucy melihat dirinya sendiri yang tak sadarkan diri.Wanita itu terlihat menghampiri kamar Davin dan mencoba untuk membuka pintuny
Ana menatap menara Eiffel di hadapannya dengan tatapan kagum. Dia seperti bermimpi saat ini. Dia sudah mempunyai keinginan ini sedari kecil dan sekarang keinginannya telah terwujud. Bahkan dia tidak sendiri saat ini. Ada Davin—pria yang dia cintai— berada di sampingnya sekarang.Ana kembali menyendokkan es krim ke mulutnya. Kedua kakinya bergoyang menikmati musik yang seniman jalanan mainkan. Lagi-lagi Ana memandang menara dengan takjub. Sungguh, dia masih belum percaya jika berada di Paris saat ini."Indah ya, Mas?" gumam Ana pada Davin yang duduk di sampingnya.Ana mengerutkan keningnya saat tidak mendapat balasan dari Davin. Dia menoleh dan mendapati kekasihnya tengah sibuk dengan ponselnya. Dengan kesal Ana meletakkan es krimnya dan mencubit lengan Davin keras."Apa?" tanya Davin sambil mengelus lengannya pelan."Sibuk aja terus sama HP! Tau gini aku ikut Bunda pulang kemarin," ucap Ana dengan bibir yang sudah maju
Davin menghampiri Ana dan meletakkan mie yang dia buat di atas meja. Gadis itu tersenyum dan menarik piringnya mendekat. Baru satu suapan, Ana kembali sibuk dengan laptop di hadapannya. Dia sedang mengerjakan tugas pengganti kuliah saat ini, agar saat kembali nanti tidak banyak tugas yang harus dia kerjakan."Hari ini mau ke mana?" tanya Davin memakai kaca mata hitamnya untuk menghalau sinar matahari. Mereka sedang berada di balkon kamar hotel sekarang.Ana menggeleng, "Nggak mau ke mana-mana. Aku mau nyelesain ini dulu.""Kita udah harus ke Jerman besok."Ana menghentikan gerakan tangannya dan menatap Davin bingung, "Ngapain ke Jerman?""Nyelesain pekerjaan sebelum kembali ke Indonesia."Ana menyeringai, "Balik pulang nih?" tanyanya menggoda."Emang kamu mau pacaran jarak jauh?"Ana menelan makanannya sebelum berbicara, "Nggak papa, nanti aku bisa cari cadangan.""Cari aja kalau bisa.""Bercanda, Mas. Datar bange
Ana memasuki rumah Davin dengan perasaan senang. Berhubung hari ini tidak ada kelas, ia memutuskan untuk ke rumah kekasihnya. Setelah mereka kembali dari Jerman, Ana dan Davin jarang sekali bertemu. Mereka harus kembali dengan kegiatan dan kesibukan masing-masing. Bahkan dalam dua minggu bisa dihitung hanya sekali mereka bertatapan muka secara langsung.Ana mengetuk pintu rumah sedikit keras. Halaman masih terlihat sepi padahal biasanya ada tukang kebun yang merapikan tanaman koleksi Ibu Davin. Apa dia terlalu pagi untuk bertamu?"Ke mana semua orang, Bi?" Ana bertanya pada Bi Mirnah yang membukakan pintu untuknya."Ibuk lagi ke pasar, Mbak.""Kalau Mas Davin ke mana, Bi?""Mas Vinno masih di kamar kayanya, Mbak," jawab Bi Mirnah kembali sibuk dengan sayurannya."Belum bangun?""Kayanya sih belum, semalem Mas Vinno titip pesen kalau jangan ada yang ganggu tidurnya. Akhir-akhir ini Mas Vinno lembur terus, kasihan Mbak.""Ngobrol
Ana masuk ke dalam area penumpang dengan pelan. Setelah pemeriksaan tiketnya selesai, Ana menatap Davin yang masih setia berdiri di balik pembatas dengan sedih. Pria itu tersenyum tipis dan melambaikan tangannya. Ana membalas lambaian itu dan mulai berjalan ke arah keretanya. Mereka seperti tengah memainkan drama sekarang.Saat ini, Ana tahu bagaimana rasanya jatuh cinta. Jika dulu dia memaki mati-matian acara televisi yang menurutnya berlebihan, tapi sekarang dia merasakannya sendiri. Ketika sudah menemukan nomor kursinya, Ana segera duduk dan meletakkan tasnya. Dia meraih ponsel dan head seat-nya untuk mendengarkan musik selama perjalanan. Saat sedang memilih lagu, Ana dikejutkan dengan panggilan telepon dari Davin. Dengan cepat dia mengangkatnya tanpa ragu."Halo.""Ana," panggil Davin dari seberang sana."Kenapa, Mas?" tanya Ana bingung."Ingat ucapanku ya," Ana mendengar pria itu menghela nafas."Yang mana?"
Suasana ramai di dalam sebuah gedung membuat Davin mengeratkan pelukannya pada pinggang Ana. Dengan warna pakaian yang senada, Ana dan Davin mulai masuk lebih dalam ke gedung pernikahan Alex.Ya, setelah bertahun-tahun bertarung dan berjuang dengan penyakitnya, akhirnya pria itu bisa hidup normal. Terima kasih pada Ana yang ikut memberikan semangat pada Alex selama ini.Sudah tiga tahun Alex dinyatakan sembuh dan selama itu pula dia mulai menata kembali hidupnya yang sempat berantakan karena masa lalu yang kelam. Namun semuanya berubah sekarang, keadaannya sudah kembali normal. Alex tidak terlalu memikirkan kondisi kakaknya di penjara, toh kesalahan Allen memang sudah sangat keterlaluan."Mas, jangan gini, ah. Susah gerak tau." Ana berucap kesal sambil berusaha menahan tubuh Daniel di
Ana menghela nafas lega begitu telah menyelesaikan naskah FTV untuk salah satu stasiun televisi. Matanya melirik ke arah jam yang sudah menunjukkan pukul 11 malam, tapi suami dan anaknya belum juga kembali ke rumah."Ke mana mereka?" Ana meraih ponselnya untuk menghubungi Davin. Namun belum sempat melakukannya, pintu kamar terbuka dan muncul Davin dengan kantung plastik di tangannya."Kok baru pulang?""Urusan pria," jawab Davin santai dan meletakkan bingkisan makanan di meja Ana.Mata Ana menyipit melihat itu, "Apa ini?""Kata David itu sogokan buat kamu, biar nggak marah lagi."Ana berdecak, tapi tak urung juga membuka makanan itu
Suara dering alarm yang berbunyi membuat pria yang tengah tertidur itu perlahan membuka matanya kesal. Dengan mata yang memerah karena kurang tidur, Davin melihat ke arah jam yang sudah menunjukkan pukul lima pagi. Dia menggerang pelan sebelum berbalik untuk melihat istrinya yang masih tertidur pulas.Perlahan raut wajah kesal itu berubah ketika melihat wajah polos Ana yang tertidur. Seketika rasa lelah di tubuhnya yang hanya tidur tiga jam langsung sirna. Tangan Davin terangkat dan menekan pipi Ana dengan jari telunjuknya. Wanita itu mengerang dan berbalik membelakangi Davin. Melihat itu, Davin segera mendekatkan tubuhnya dan memeluk istrinya dari belakang. Tangannya terulur mengelus perut Ana yang terlihat membuncit."Bangun, Sayang. Udah pagi," bisik Davin mengelus perut Ana."Ngantuk, Mas!" Ana mendorong tangan Davin yang berada di perutnya."Aku bangunin anak aku, bukan kamu."Ana menatap Davin sengit, "Sama aja, anakmu masih di dalem perutku.
Ana mengerang saat tubuhnya terguncang dengan keras. Matanya yang masih mengantuk terasa berat untuk dibuka. Dia baru saja tidur siang tadi dan siapa yang berani membangunkannya, mengingat jika hanya dirinya sendiri di rumah ini. Mengingat itu, Ana membuka matanya cepat. Dia berdiri dan menghela nafas lega saat menemukan Davin yang menatapnya aneh."Mas!" Ana berdecak kesal dan kembali menghempaskan tubuhnya di kasur."Kamu kenapa?" tanya Davin sambil melepaskan kemejanya."Aku pikir tadi ada maling." Ana kembali bangkit dan duduk di kasur. Rasa kantuknya sudah hilang sekarang. Dia menatap Davin yang tengah berdiri di depan cermin sambal mengelus dagunya yang mulai lebat akan rambut."Kok Mas Davin udah pulang?" Ana bertanya masih memperhatikan Davin yang mulai melepaskan celananya. Pemandangan yang cukup membuatnya panas dingin."Males di kantor."Mata Ana membulat. Dia bertepuk tangan heboh karena rasa tidak percayanya. Dia tidak salah den
Ana terkejut saat melihat begitu banyak notifikasi yang masuk. Bahkan semua sosial media-nya banjir akan ucapan selamat atas pernikahannya. Tak jarang Ana juga tidak mengenal siapa yang memberikan selamat, mungkin itu teman Davin.Ana terkikik melihat teman-temannya yang ramai di grup sejak semalam karena membicarakannya. Dia yang menikah saja tidak seheboh ini kenapa teman-temannya menjadi gila? Bahkan Ally secara terang-terangan menunjukkan otak mesumnya.Ana menghentikan tawanya saat merasakan tangan hangat bergerak melingkar di pinggangnya. Dia menoleh dan menemukan Davin dengan mata yang setengah terbuka. Ana meletakkan ponselnya dan berbalik menatap pria yang sudah sah menjadi suaminya sejak kemarin itu."Pagi," sapa Ana tersenyum lebar.Davin menarik tubuh Ana semakin mendekat. Setelah itu matanya kembali terpejam saat berhasil menenggelamkan wajahnya di leher Ana."Mas bangun." Ana berdecak."Masih pagi, Ana.""Udah jam delapa
Tepat hari ini, Ana dan Davin telah resmi menikah dan menjadi pasangan suami istri. Pernikahan terjadi begitu cepat tanpa mereka sadari. Davin yang awalnya ingin menunggu Ana lulus kuliah terlebih dahulu tidak bisa lagi menahan diri untuk tidak memiliki gadis itu seutuhnya. Kehilangan Ana berkali-kali cukup membuat hati Davin terketuk untuk segera memiliki gadis itu. Ia juga berterima kasih pada kehidupannya yang seolah memang menginginkan seorang wanita dalam hidupnya."Kenapa senyum-senyum?"Ana tersenyum tipis, "Udah nikah loh kita," goda Ana pada Davin.Pria itu menggeleng pelan dan kembali tersenyum menyapa para undangan yang telah datang hari ini. Untuk pertama kalinya hati Davin terasa damai dan sejuk. Mulai detik ini, Ana adalah miliknya. Gadis yang dia cari sejak dulu sudah berada di sisinya sekarang. Tidak ada kebahagiaan lain yang Davin inginkan selain ini."Cantik.""Iya, ini kebaya pilihan mama," ucap Ana melihat pakaian yang dia kenak
Davin menatap lekat gadis yang menuruni tangga dengan wajah bantalnya. Rambut yang masih acak-acakkan dengan kaos yang kebesaran itu membuat Davin menggelengkan kepalanya pelan. Ini sudah pukul sembilan pagi dan gadis itu baru saja bangun tidur. Benar-benar pemalas. Davin saja rela bangun pagi buta demi mengejar penerbangan pagi ke Surabaya. Di sini lah dia sekarang, duduk di meja makan bersama Ayah Ana sejak satu jam kedatangannya tadi."Lihat anak Bapak, Vin. Jam segini baru bangun, kamu yakin mau nikahin dia?"Davin menatap Ayah Ana dan tersenyum tipis. Melihat tingkah Ana yang seperti anak kecil tentu membuatnya sedikit terganggu. Namun untuk menyesal? Tidak, Davin tidak menyesal sama sekali. Malah dia semakin berambisi untuk memiliki Ana seutuhnya sehingga bisa mendisiplinkan gaya hidup aneh gadis itu."Itu yang jadi beda, Pak."Ayah Ana menghela nafas kasar, "Aneh kamu, Vin. Pantes cocok sama anak Bapak." Lagi-lagi Davin tersenyum mendengar itu. Mat
Ana menghentikan kegiatannya bermain ponsel saat sebuah panggilan muncul di layar ponselnya. Dengan cepat dia bangkit dari tidurnya dan tersenyum senang."Halo calon suami," sapa Ana dengan cengiran khasnya."Di mana?" tanya Davin mengacuhkan sapaan Ana."Di rumah dong, kenapa?"“Udah dikirim belum katalog-nya sama Bunda?" tanya Davin kembali mengingatkan Ana tentang model kebaya yang akan dia kenalan nanti saat menikah."Udah, lagi diseleksi sama Mama.""Jangan pilih yang terbuka."Bibir Ana berkedut mendengar itu, "Tapi kayanya Mama tadi pilih yang keliatan punggungnya deh.""Jangan aneh-aneh, pakai jas hujan aja kalau macem-macem." Ana tertawa mendengar itu. Davin tidak pernah berubah. Selalu harus sesuai dengan apa yang diinginkannya. Lagipula orang tua Ana juga tidak akan membiarkannya memakai pakaian terbuka. Jangan lupakan prinsip kuno yang dipegang teguh oleh keluarganya.
Cahaya matahari yang memasuki jendela tidak membuat semua penghuni apartemen Davin beranjak untuk memulai aktivitasnya. Kejadian semalam seolah memberikan kesempatan pada mereka untuk berleha-leha sejenak. Tidak terkecuali Diva dan Laila yang tengah berbaring santai di sofa ruang tengah dengan televisi yang masih menyala.Kevin dan Bram yang tidur di karpet sejak semalam juga tidak berniat untuk bangkit, meskipun mereka sadar jika harus kembali bekerja hari ini. Mata Bram terlihat sayu dan begitu juga Kevin. Mereka berdua melihat tayangan gosip di televisi dengan tatapan jenuh."Kok mereka belum bangun ya?" gumam Laila memakan keripik kentangnya."Habis begadang semalam," jawab Kevin merebut bungkus makanan dari tangan kekasihnya."Mereka nggak aneh-aneh kan semalam?"Bram melirik Diva geli, "Maksudmu apa?""Kamu tau maksudku apa." Diva menatap suaminya kesal."Gimana mau macam-macam kalau Ana tidur di kamar tamu," sahut Kevin yang mu