Ana masuk ke dalam area penumpang dengan pelan. Setelah pemeriksaan tiketnya selesai, Ana menatap Davin yang masih setia berdiri di balik pembatas dengan sedih. Pria itu tersenyum tipis dan melambaikan tangannya. Ana membalas lambaian itu dan mulai berjalan ke arah keretanya. Mereka seperti tengah memainkan drama sekarang.
Saat ini, Ana tahu bagaimana rasanya jatuh cinta. Jika dulu dia memaki mati-matian acara televisi yang menurutnya berlebihan, tapi sekarang dia merasakannya sendiri. Ketika sudah menemukan nomor kursinya, Ana segera duduk dan meletakkan tasnya. Dia meraih ponsel dan head seat-nya untuk mendengarkan musik selama perjalanan. Saat sedang memilih lagu, Ana dikejutkan dengan panggilan telepon dari Davin. Dengan cepat dia mengangkatnya tanpa ragu.
"Halo."
"Ana," panggil Davin dari seberang sana.
"Kenapa, Mas?" tanya Ana bingung.
"Ingat ucapanku ya," Ana mendengar pria itu menghela nafas.
"Yang mana?"
Mobil Rendy berhenti tepat di depan rumah Ana. Reuni hari ini berlangsung dengan lancar. Ana cukup menikmatinya karena memang saat SMA dia tidak memiliki masalah mengenai pertemanan. Berbeda dengan Rendy yang kurang percaya diri untuk menunjukkan perubahan dirinya yang baru ini."Makasih ya, Ren.""Iya, tapi serius, Na. Aku mau nembak Putri."Ana menatap Rendy tidak percaya, "Kamu serius? Aku pikir bercanda tadi.""Beneran, dia manis banget tadi." Rendy tersenyum tipis sambil membayangkan wajah Putri yang dia temui saat reuni."Yakin dia bakal mau?""Yakinlah, orang aku udah ganteng gini. Nggak mungkin dia nolak aku lagi."Ana mengerutkan keningnya tidak suka, "Kalau gitu berarti dia cuma suka sama fisikmu dong?""Enggak, Na. Ak—aku sebenernya udah pendekatan sama dia, cuma belum berani nembak aja," ucap Rendy tersenyum malu.Ana menutup mulutnya terkejut. Dia tidak menyangka jika Rendy sudah mengambil langkah seja
Ana berlari dengan kencang mengelilingi taman komplek perumahannya. Keringat sudah membuat tubuhnya basah. Rasa lelah juga sudah menghampiri kedua kakinya, namun seolah tidak peduli, Ana tetap berlari sampai dia sudah tidak kuat lagi. Dia berhenti dan membungkukkan tubuhnya untuk mengatur napasnya yang tak beraturan. Air mata lagi-lagi keluar tanpa permisi. Ana berusaha untuk tidak memikirkan kejadian itu, namun sia-sia karena rasa menyesal itu perlahan menghampirinya.Tangan kecil itu perlahan menghapus air matanya sebelum orang-orang menyadari dirinya yang menangis. Ana menegakkan tubuhnya dan memandang ke sekitar taman yang sudah mulai ramai karena matahari sudah benar-benar muncul. Ana mengambil ancang-ancang untuk kembali berlari namun sebuah teriakan menghentikannya."Sampai kapan kamu mau lari terus? Sini! Putri udah beli bubur tadi."Ana memang tidak sendiri di tempat ini. Dia datang bersama Rendy dan Putri, mereka teman yang cukup baik. Mereka mengetahu
Cahaya matahari yang memasuki jendela tidak membuat semua penghuni apartemen Davin beranjak untuk memulai aktivitasnya. Kejadian semalam seolah memberikan kesempatan pada mereka untuk berleha-leha sejenak. Tidak terkecuali Diva dan Laila yang tengah berbaring santai di sofa ruang tengah dengan televisi yang masih menyala.Kevin dan Bram yang tidur di karpet sejak semalam juga tidak berniat untuk bangkit, meskipun mereka sadar jika harus kembali bekerja hari ini. Mata Bram terlihat sayu dan begitu juga Kevin. Mereka berdua melihat tayangan gosip di televisi dengan tatapan jenuh."Kok mereka belum bangun ya?" gumam Laila memakan keripik kentangnya."Habis begadang semalam," jawab Kevin merebut bungkus makanan dari tangan kekasihnya."Mereka nggak aneh-aneh kan semalam?"Bram melirik Diva geli, "Maksudmu apa?""Kamu tau maksudku apa." Diva menatap suaminya kesal."Gimana mau macam-macam kalau Ana tidur di kamar tamu," sahut Kevin yang mu
Ana menghentikan kegiatannya bermain ponsel saat sebuah panggilan muncul di layar ponselnya. Dengan cepat dia bangkit dari tidurnya dan tersenyum senang."Halo calon suami," sapa Ana dengan cengiran khasnya."Di mana?" tanya Davin mengacuhkan sapaan Ana."Di rumah dong, kenapa?"“Udah dikirim belum katalog-nya sama Bunda?" tanya Davin kembali mengingatkan Ana tentang model kebaya yang akan dia kenalan nanti saat menikah."Udah, lagi diseleksi sama Mama.""Jangan pilih yang terbuka."Bibir Ana berkedut mendengar itu, "Tapi kayanya Mama tadi pilih yang keliatan punggungnya deh.""Jangan aneh-aneh, pakai jas hujan aja kalau macem-macem." Ana tertawa mendengar itu. Davin tidak pernah berubah. Selalu harus sesuai dengan apa yang diinginkannya. Lagipula orang tua Ana juga tidak akan membiarkannya memakai pakaian terbuka. Jangan lupakan prinsip kuno yang dipegang teguh oleh keluarganya.
Davin menatap lekat gadis yang menuruni tangga dengan wajah bantalnya. Rambut yang masih acak-acakkan dengan kaos yang kebesaran itu membuat Davin menggelengkan kepalanya pelan. Ini sudah pukul sembilan pagi dan gadis itu baru saja bangun tidur. Benar-benar pemalas. Davin saja rela bangun pagi buta demi mengejar penerbangan pagi ke Surabaya. Di sini lah dia sekarang, duduk di meja makan bersama Ayah Ana sejak satu jam kedatangannya tadi."Lihat anak Bapak, Vin. Jam segini baru bangun, kamu yakin mau nikahin dia?"Davin menatap Ayah Ana dan tersenyum tipis. Melihat tingkah Ana yang seperti anak kecil tentu membuatnya sedikit terganggu. Namun untuk menyesal? Tidak, Davin tidak menyesal sama sekali. Malah dia semakin berambisi untuk memiliki Ana seutuhnya sehingga bisa mendisiplinkan gaya hidup aneh gadis itu."Itu yang jadi beda, Pak."Ayah Ana menghela nafas kasar, "Aneh kamu, Vin. Pantes cocok sama anak Bapak." Lagi-lagi Davin tersenyum mendengar itu. Mat
Tepat hari ini, Ana dan Davin telah resmi menikah dan menjadi pasangan suami istri. Pernikahan terjadi begitu cepat tanpa mereka sadari. Davin yang awalnya ingin menunggu Ana lulus kuliah terlebih dahulu tidak bisa lagi menahan diri untuk tidak memiliki gadis itu seutuhnya. Kehilangan Ana berkali-kali cukup membuat hati Davin terketuk untuk segera memiliki gadis itu. Ia juga berterima kasih pada kehidupannya yang seolah memang menginginkan seorang wanita dalam hidupnya."Kenapa senyum-senyum?"Ana tersenyum tipis, "Udah nikah loh kita," goda Ana pada Davin.Pria itu menggeleng pelan dan kembali tersenyum menyapa para undangan yang telah datang hari ini. Untuk pertama kalinya hati Davin terasa damai dan sejuk. Mulai detik ini, Ana adalah miliknya. Gadis yang dia cari sejak dulu sudah berada di sisinya sekarang. Tidak ada kebahagiaan lain yang Davin inginkan selain ini."Cantik.""Iya, ini kebaya pilihan mama," ucap Ana melihat pakaian yang dia kenak
Ana terkejut saat melihat begitu banyak notifikasi yang masuk. Bahkan semua sosial media-nya banjir akan ucapan selamat atas pernikahannya. Tak jarang Ana juga tidak mengenal siapa yang memberikan selamat, mungkin itu teman Davin.Ana terkikik melihat teman-temannya yang ramai di grup sejak semalam karena membicarakannya. Dia yang menikah saja tidak seheboh ini kenapa teman-temannya menjadi gila? Bahkan Ally secara terang-terangan menunjukkan otak mesumnya.Ana menghentikan tawanya saat merasakan tangan hangat bergerak melingkar di pinggangnya. Dia menoleh dan menemukan Davin dengan mata yang setengah terbuka. Ana meletakkan ponselnya dan berbalik menatap pria yang sudah sah menjadi suaminya sejak kemarin itu."Pagi," sapa Ana tersenyum lebar.Davin menarik tubuh Ana semakin mendekat. Setelah itu matanya kembali terpejam saat berhasil menenggelamkan wajahnya di leher Ana."Mas bangun." Ana berdecak."Masih pagi, Ana.""Udah jam delapa
Ana mengerang saat tubuhnya terguncang dengan keras. Matanya yang masih mengantuk terasa berat untuk dibuka. Dia baru saja tidur siang tadi dan siapa yang berani membangunkannya, mengingat jika hanya dirinya sendiri di rumah ini. Mengingat itu, Ana membuka matanya cepat. Dia berdiri dan menghela nafas lega saat menemukan Davin yang menatapnya aneh."Mas!" Ana berdecak kesal dan kembali menghempaskan tubuhnya di kasur."Kamu kenapa?" tanya Davin sambil melepaskan kemejanya."Aku pikir tadi ada maling." Ana kembali bangkit dan duduk di kasur. Rasa kantuknya sudah hilang sekarang. Dia menatap Davin yang tengah berdiri di depan cermin sambal mengelus dagunya yang mulai lebat akan rambut."Kok Mas Davin udah pulang?" Ana bertanya masih memperhatikan Davin yang mulai melepaskan celananya. Pemandangan yang cukup membuatnya panas dingin."Males di kantor."Mata Ana membulat. Dia bertepuk tangan heboh karena rasa tidak percayanya. Dia tidak salah den
Suasana ramai di dalam sebuah gedung membuat Davin mengeratkan pelukannya pada pinggang Ana. Dengan warna pakaian yang senada, Ana dan Davin mulai masuk lebih dalam ke gedung pernikahan Alex.Ya, setelah bertahun-tahun bertarung dan berjuang dengan penyakitnya, akhirnya pria itu bisa hidup normal. Terima kasih pada Ana yang ikut memberikan semangat pada Alex selama ini.Sudah tiga tahun Alex dinyatakan sembuh dan selama itu pula dia mulai menata kembali hidupnya yang sempat berantakan karena masa lalu yang kelam. Namun semuanya berubah sekarang, keadaannya sudah kembali normal. Alex tidak terlalu memikirkan kondisi kakaknya di penjara, toh kesalahan Allen memang sudah sangat keterlaluan."Mas, jangan gini, ah. Susah gerak tau." Ana berucap kesal sambil berusaha menahan tubuh Daniel di
Ana menghela nafas lega begitu telah menyelesaikan naskah FTV untuk salah satu stasiun televisi. Matanya melirik ke arah jam yang sudah menunjukkan pukul 11 malam, tapi suami dan anaknya belum juga kembali ke rumah."Ke mana mereka?" Ana meraih ponselnya untuk menghubungi Davin. Namun belum sempat melakukannya, pintu kamar terbuka dan muncul Davin dengan kantung plastik di tangannya."Kok baru pulang?""Urusan pria," jawab Davin santai dan meletakkan bingkisan makanan di meja Ana.Mata Ana menyipit melihat itu, "Apa ini?""Kata David itu sogokan buat kamu, biar nggak marah lagi."Ana berdecak, tapi tak urung juga membuka makanan itu
Suara dering alarm yang berbunyi membuat pria yang tengah tertidur itu perlahan membuka matanya kesal. Dengan mata yang memerah karena kurang tidur, Davin melihat ke arah jam yang sudah menunjukkan pukul lima pagi. Dia menggerang pelan sebelum berbalik untuk melihat istrinya yang masih tertidur pulas.Perlahan raut wajah kesal itu berubah ketika melihat wajah polos Ana yang tertidur. Seketika rasa lelah di tubuhnya yang hanya tidur tiga jam langsung sirna. Tangan Davin terangkat dan menekan pipi Ana dengan jari telunjuknya. Wanita itu mengerang dan berbalik membelakangi Davin. Melihat itu, Davin segera mendekatkan tubuhnya dan memeluk istrinya dari belakang. Tangannya terulur mengelus perut Ana yang terlihat membuncit."Bangun, Sayang. Udah pagi," bisik Davin mengelus perut Ana."Ngantuk, Mas!" Ana mendorong tangan Davin yang berada di perutnya."Aku bangunin anak aku, bukan kamu."Ana menatap Davin sengit, "Sama aja, anakmu masih di dalem perutku.
Ana mengerang saat tubuhnya terguncang dengan keras. Matanya yang masih mengantuk terasa berat untuk dibuka. Dia baru saja tidur siang tadi dan siapa yang berani membangunkannya, mengingat jika hanya dirinya sendiri di rumah ini. Mengingat itu, Ana membuka matanya cepat. Dia berdiri dan menghela nafas lega saat menemukan Davin yang menatapnya aneh."Mas!" Ana berdecak kesal dan kembali menghempaskan tubuhnya di kasur."Kamu kenapa?" tanya Davin sambil melepaskan kemejanya."Aku pikir tadi ada maling." Ana kembali bangkit dan duduk di kasur. Rasa kantuknya sudah hilang sekarang. Dia menatap Davin yang tengah berdiri di depan cermin sambal mengelus dagunya yang mulai lebat akan rambut."Kok Mas Davin udah pulang?" Ana bertanya masih memperhatikan Davin yang mulai melepaskan celananya. Pemandangan yang cukup membuatnya panas dingin."Males di kantor."Mata Ana membulat. Dia bertepuk tangan heboh karena rasa tidak percayanya. Dia tidak salah den
Ana terkejut saat melihat begitu banyak notifikasi yang masuk. Bahkan semua sosial media-nya banjir akan ucapan selamat atas pernikahannya. Tak jarang Ana juga tidak mengenal siapa yang memberikan selamat, mungkin itu teman Davin.Ana terkikik melihat teman-temannya yang ramai di grup sejak semalam karena membicarakannya. Dia yang menikah saja tidak seheboh ini kenapa teman-temannya menjadi gila? Bahkan Ally secara terang-terangan menunjukkan otak mesumnya.Ana menghentikan tawanya saat merasakan tangan hangat bergerak melingkar di pinggangnya. Dia menoleh dan menemukan Davin dengan mata yang setengah terbuka. Ana meletakkan ponselnya dan berbalik menatap pria yang sudah sah menjadi suaminya sejak kemarin itu."Pagi," sapa Ana tersenyum lebar.Davin menarik tubuh Ana semakin mendekat. Setelah itu matanya kembali terpejam saat berhasil menenggelamkan wajahnya di leher Ana."Mas bangun." Ana berdecak."Masih pagi, Ana.""Udah jam delapa
Tepat hari ini, Ana dan Davin telah resmi menikah dan menjadi pasangan suami istri. Pernikahan terjadi begitu cepat tanpa mereka sadari. Davin yang awalnya ingin menunggu Ana lulus kuliah terlebih dahulu tidak bisa lagi menahan diri untuk tidak memiliki gadis itu seutuhnya. Kehilangan Ana berkali-kali cukup membuat hati Davin terketuk untuk segera memiliki gadis itu. Ia juga berterima kasih pada kehidupannya yang seolah memang menginginkan seorang wanita dalam hidupnya."Kenapa senyum-senyum?"Ana tersenyum tipis, "Udah nikah loh kita," goda Ana pada Davin.Pria itu menggeleng pelan dan kembali tersenyum menyapa para undangan yang telah datang hari ini. Untuk pertama kalinya hati Davin terasa damai dan sejuk. Mulai detik ini, Ana adalah miliknya. Gadis yang dia cari sejak dulu sudah berada di sisinya sekarang. Tidak ada kebahagiaan lain yang Davin inginkan selain ini."Cantik.""Iya, ini kebaya pilihan mama," ucap Ana melihat pakaian yang dia kenak
Davin menatap lekat gadis yang menuruni tangga dengan wajah bantalnya. Rambut yang masih acak-acakkan dengan kaos yang kebesaran itu membuat Davin menggelengkan kepalanya pelan. Ini sudah pukul sembilan pagi dan gadis itu baru saja bangun tidur. Benar-benar pemalas. Davin saja rela bangun pagi buta demi mengejar penerbangan pagi ke Surabaya. Di sini lah dia sekarang, duduk di meja makan bersama Ayah Ana sejak satu jam kedatangannya tadi."Lihat anak Bapak, Vin. Jam segini baru bangun, kamu yakin mau nikahin dia?"Davin menatap Ayah Ana dan tersenyum tipis. Melihat tingkah Ana yang seperti anak kecil tentu membuatnya sedikit terganggu. Namun untuk menyesal? Tidak, Davin tidak menyesal sama sekali. Malah dia semakin berambisi untuk memiliki Ana seutuhnya sehingga bisa mendisiplinkan gaya hidup aneh gadis itu."Itu yang jadi beda, Pak."Ayah Ana menghela nafas kasar, "Aneh kamu, Vin. Pantes cocok sama anak Bapak." Lagi-lagi Davin tersenyum mendengar itu. Mat
Ana menghentikan kegiatannya bermain ponsel saat sebuah panggilan muncul di layar ponselnya. Dengan cepat dia bangkit dari tidurnya dan tersenyum senang."Halo calon suami," sapa Ana dengan cengiran khasnya."Di mana?" tanya Davin mengacuhkan sapaan Ana."Di rumah dong, kenapa?"“Udah dikirim belum katalog-nya sama Bunda?" tanya Davin kembali mengingatkan Ana tentang model kebaya yang akan dia kenalan nanti saat menikah."Udah, lagi diseleksi sama Mama.""Jangan pilih yang terbuka."Bibir Ana berkedut mendengar itu, "Tapi kayanya Mama tadi pilih yang keliatan punggungnya deh.""Jangan aneh-aneh, pakai jas hujan aja kalau macem-macem." Ana tertawa mendengar itu. Davin tidak pernah berubah. Selalu harus sesuai dengan apa yang diinginkannya. Lagipula orang tua Ana juga tidak akan membiarkannya memakai pakaian terbuka. Jangan lupakan prinsip kuno yang dipegang teguh oleh keluarganya.
Cahaya matahari yang memasuki jendela tidak membuat semua penghuni apartemen Davin beranjak untuk memulai aktivitasnya. Kejadian semalam seolah memberikan kesempatan pada mereka untuk berleha-leha sejenak. Tidak terkecuali Diva dan Laila yang tengah berbaring santai di sofa ruang tengah dengan televisi yang masih menyala.Kevin dan Bram yang tidur di karpet sejak semalam juga tidak berniat untuk bangkit, meskipun mereka sadar jika harus kembali bekerja hari ini. Mata Bram terlihat sayu dan begitu juga Kevin. Mereka berdua melihat tayangan gosip di televisi dengan tatapan jenuh."Kok mereka belum bangun ya?" gumam Laila memakan keripik kentangnya."Habis begadang semalam," jawab Kevin merebut bungkus makanan dari tangan kekasihnya."Mereka nggak aneh-aneh kan semalam?"Bram melirik Diva geli, "Maksudmu apa?""Kamu tau maksudku apa." Diva menatap suaminya kesal."Gimana mau macam-macam kalau Ana tidur di kamar tamu," sahut Kevin yang mu