"Halo, semuanya! Apa kabar?" sapa Archie pada seluruh anak di bangsal nomer 18 saat dirinya berhasil memijakkan kedua kakinya di ambang pintu otomatis ruangan tersebut.
Tak ada yang menyambut sapaannya, bahkan seluruh anak di ruangan itu menatap Archie dengan bingung bercampur heran, sebab itu adalah kali pertama bagi mereka lihat sosok Archie."Ha— hai, semuanya! Aku Archie, sementara aku akan menggantikan orang yang biasanya bermain bersama kalian di sini. Mohon kerja samanya, ya?" ucap Archie panjang lebar.Ia memasang senyum hangatnya sembari membawa tungkainya menyisir seluruh bed sambil mengangkat tangan kanannya ke hadapan satu persatu penghuni ruangan.Satu persatu dari mereka menyambut usaha Archie dengan memberikan high five dan membalas senyum hangatnya. Sang Hybrid sontak bersorak ketika merasa bahwa dirinya sudah diterima dengan baik oleh para penghuni bangsal 18."Jadi... Apa kabar kalian hari ini?"Archie menatap satu persatu penghSaat semua orang memilih pergi: Damien membawa Leona bersama Luca ke suatu tempat, Loui yang telah menuntaskan urusannya dengan Lyla pun pergi meninggalkan rumah sakit, Irina memilih tinggal saat Lucien mengajaknya pulang.Berbekal sebuah buku cerita bergambar di tangan kirinya, Irina melenggang masuk —membawa sepasang tungkainya menelusuri satu persatu lorong gedung bercat putih itu.Langkahnya terhenti ketika seorang anak laki-laki bersurai orange menepuk lengan kirinya, lantas tersenyum hangat ketika dirinya menoleh —menangkap keberadaan anak tersebut."Hai?" sapa anak laki-laki itu hangat.Irina tersenyum asimestris membalas senyum hangat bocah laki-laki yang tengah menatapnya dengan kepala terdongak dan mata berbinar. "Oh, hai? Dave?" Irina membalas sapaan sang anak.Manik abu-abu bocah lelaki itu membola takjub mendengar Irina menyebut namanya bahkan ketika ia belum sempat memperkenalkan dirinya secara langsung."Woah! Keren! Kau tahu
Si sulung Argent membuka katup mulutnya, lalu berkata, "Berhenti sekarang juga, Irina. Atau —""Kau akan memberikanku nerakamu, Loui?" tantang Irina.Loui berkacak pinggang dengan kesal. Ia menyempatkan diri menatap Malia sesaat sembari mendesah pasrah, lantas menjawab, "Aku tak akan memberikan lagi cintaku padamu, Irina."Netra bulat Archie membola, benar-benar terkejut mendengar pernyataan mengejutkan dari si suung Argent. Yang ada dalam pikiran sang Hybrid saat itu adalah, nagaimana bisa Loui mengatakan hal semacam itu? Bukankah Loui hanya menyukai Malia, dan hanya akan memberikan hatinya pada sang gadis meski dirinya tak bisa terang-terangan mengatakan —menunjukannya langsung, tapi dari sudut pandang Archie, sebagai sesama pria yang juga menyukai Malia, apa yang selama ini Loui tunjukan sudah sangat jelas.Segala perlakuan bahkan tutur kata lembut Loui tampak lain dengan segala sikap baiknya sebagai lelaki di hadapan Malia juga Leona dan Ibunya.
Sesaat Malia termenung, mengingat kembali beberapa hal yang dimimpikannya ketika ia berada dalam tidur panjangnya. Beberapa detik kemudian gadis itu termenung saat mengingat salah satu kejadian yang terasa begitu nyata dalam alam bawah sadarnya. Ia membawa kembali dirinya ke sana bersama Loui yang menjadi sang pemeran utama tentunya.***Saat itu ia tengah begitu sibuk menyalakan api unggun di depan caravan putih yang berdiri kokoh di balik punggungnya. Namun, meski begitu, rungunya bisa mendengar suara langkah saling bersahutan —mendekat.Sang gadis mengulas senyum manisnya ketika tak lagi mendengar suara derap langkah. Melalui ekor matanya ia berhasil menangkap sosok pria tinggi dengan bahu lebar dan kulit pucatnya tengah berdiri mematung, memandanginya tanpa ekspresi apapun dari kejauhan."Loui!" pekiknya riang.Gadis itu akhirnya memberanika diri mengangkat kepala, lantas melemparkan tatapan tajamnya pada Loui yang masih asyik memandangi
"Malia?"Suara baritone ganda yang begitu dikenalnya menguar, menyapu segala keheningan yang hampir menjalar menguasai malam.Buru-buru Malia membuka matanya dan memandangi dua pria di hadapannya yang tengah mengulurkan tangan kanan masing-masing ke hadapannya: Archie yang sudah kembali ke tubuh manusianya, dan Loui tentu saja."Maaf," ujar Malia lirih.Gadis itu mengabaikan kedua tangan yang terulur ke hadapannya. Dengan sigap ia bangkit lantas berjalan melewati Loui dan Archie."Aku rasa aku bisa sendiri," tutup Malia sebelum akhirnya gadis itu berlari mengejar seseorang di depan sana.Loui dan Archie memutar tubuh masing-masing, berhadapan —saling menatap dengan ekspresi yang sulit ditebak artinya."We good, right?" tanya Loui pada Archie yang kedua tangannya tampak begitu sibuk merapihkan kerah kemeja yang dipakainya."Yah. Of course, but —" Archie sengaja menjeda kalimatnya.Salah satu sudut bibir Archie terangkat naik, m
Esoknya, di sela-sela jam kosong Malia bergabung bersama Gabe dan Archie saat Leona memilih untuk menemani Ash belajar di Study Center. Gadis itu masih tampak murung seperti beberapa minggu ke belakang, namun siang itu ia memilih untuk tak memikirkan segala hal tentang Loui.Yang Malia pikirkan saat itu adalah ucapannya yang terdengar tak pantas yang ia katakan pada Luca secara spontan tadi malam. Luca pasti sangat terluka karenanya. Tidak, bukan hanya Luca. Tapi, semua orang akan merasa tersakiti ketika apa yang ia ungkapkan dianggap sebagai omong kosong —tak lebih dari itu.Gadis itu terus termenung —melamun dan mengingat kembali apa yang terjadi semalam antara dirinya dan Luca.***"Aku mencintaimu, Malia." Luca mengusap wajahnya dengan sapuan kasar sembari membuang napas beratnya. "Bukan hanya aku yang egois di sini. Kau juga, Malia. Kau —""Cukup, Luca." Malia kembali mengacungkan sebelah tangan dengan telapaknya yang terbuka
Ash terus menerus mengulas senyum —memandangi pantulan dirinya di cermin, sudah 15 menit lamanya ia melakukan hal tersebut. Ia terus memandangi seluruh aspek yang ada pada dirinya, dari ujung kepala hingga ujung kaki —termasuk pakaian yang melekat di tubuhnya saat itu.Jika bergeser sedikit ke belakang, persis di balik punggungnya Ash menyembunyikan setumpuk pakaian yang telah dicobanya sejak 30 menit yang lalu.Ia benar-benar sibuk memilah pakaian dan tampilan apa yang cocok ia gunakan untuk menemui Leona, melakukan segala macam hal dengan sang gadis selama satu hari penuh, seperti yang ia janjikan padanya beberapa hari lalu.***"Bisakah kita piknik ke perbukitan —tempat favorit kedua orang tuamu, Leona?"Sepasang mata bulat Leona memicing, mencurigai sesuatu. "Apa kau sedang berusaha mengajakku berkencan?" selidik Leona percaya diri.Tanpa ragu Ash mengangguk, lalu memberi respon, "Jika ya, apa kau akan menolak?"Alis
Hening. Gadis di hadapannya itu tak memberikan jawaban apapun. Bahkan tatapannya tampak kosong tanpa ekspresi apapun. Terlihat dingin dan menyeramkan dalam satu waktu.Sadar dengan atmosfir tersebut, Ash memilih memakaikan sebuah helm ke atas kepala Leona dengan sangat hati-hati hingga terpasang dengan benar —melindungi salah satu bagian berharga di tubuh sang gadis.Setelah berhasil memakai pelindung kepala, Ash naik ke atas motornya —menyalakan mesin, lantas mengulurkan tangan kanannya ke hadapan sang gadis dengan maksud memberi bantuan untuk menaiki kuda besinya yang berperawakan tinggi besar, agak sulit untuk dinaiki para gadis.Ash menancap gas setelah Leona duduk dengan aman di balik punggungnya sembari memeluknya dari belakang. Gadis itu bungkam, tak mengatakan apapun, bahkan wajahnya tak hidup seperti sebelumnya. Meski tak merasa melakukan sesuatu hal yang menyinggung bahkan menyakiti hati Leona, Ash memilih menepi di bahu jalan dan mengajaknya ber
"I said, can't you stop talking?"Untuk kesekian kali Leona kembali mengulangi ucapannya. Ia menginginkan hal lain daripada mengobrol dengan pemuda yang tengah berada dalam rengkuhannya."Will do. But, can you promise me something?"Sorot mata Ash tampak begitu serius. Lain dari yang ia tunjukkan sebelumnya. Ia tengah bersungguh-sungguh dengan ucapannya, menginginkan sang gadis untuk menjanjikannya sesuatu.Leona menarik napas panjang sebelum kembali bersuara dan menjawab permintaan sang Alpha. "Go on. Say it." tantangnya."Let me set you free. Will you?" balas sang Alpha dengan segala kesungguhan yang dituangkannya melalui tatapan.Leona mengernyit bingung. Kedua pangkal alisnya hampir menyatu —bertemu di titik yang sama. Ia tergugu-gugu. Bukan enggan menjawab, hanya saja, ia tahu maksud sesungguhnya dari ucapan sang Alpha.Leona sadar bahwa Ash tahu apa yang tengah di hadapinya saat ini. Melalui sorot tajamnya, ia memberikan sebuah tanda ya