Share

4. Pindah

last update Last Updated: 2024-03-05 12:50:19

Hari ini Mama Laely akan pulang ke rumahnya. Hari ini juga Bang Doni akan memberitahukan ke Mama Laely keputusannya. Sampai saat ini, aku masih berharap Bang Doni akan menolak keinginan Mama Laely untuk kepindahan kami ke sana.

Saat ini kami sedang berkumpul di ruang tengah untuk sarapan. Tadi aku sudah membuat mie lidi goreng dengan toping kerupuk merah untuk sarapan kami. Taklupa kusuguhkan juga secangkir teh melati kesukaan Mama Laely dan kopi hitam untuk Bang Doni. Hidangan untuk sarapan pun telah tersaji di hadapan kami.

Rencananya setelah sarapan, Bang Doni akan mengantar Mama Laely ke loket agen travel, sekalian berangkat kerja. Sedangkan Rizki, aku yang akan mengantarnya ke sekolah taman kanak-kanak, dengan berjalan kaki karena jaraknya takjauh dari rumah kami.

Setelah membaca doa sebelum makan, kami pun menikmati makanan yang tersaji. Takada yang bersuara saat makan karena aku dan Bang Doni memang sepakat dan mengajarkan anak-anak kami untuk tidak bersuara saat makan.

"Ma," panggil Bang Doni memulai percakapan saat sudah selesai makan. Dia meletakkan sendoknya ke dalam piring yang telah kosong. 

"Ya, ada apa, Don?" tanya Mama Laely yang juga sudah selesai makan.

"Doni sudah memutuskan, kami akan pindah ke rumah Mama."

"Oh, ya? Bagus, deh, kalau gitu. Kapan rencananya kalian pindah? Saran Mama, lebih cepat lebih baik karena Risa saat ini tengah mengandung. Kalau kelamaan, nanti malah keduluan brojol dia di sini," ujar Mama Laely seraya melihat ke arah perutku. "Mama terus terang saja, kalau Risa lahiran di sini, Mama gak bisa bantu. Mama gak nyaman rasanya lama-lama di rumah kalian yang kecil dan pengap ini. Yah, paling lama Mama bisa di sini hanya seminggu saja seperti sekarang. Ini juga sebenarnya Mama gak betah," tambahnya.

Aku mengalihkan pandangan ke arah lain mendengar ucapan Mama Laely. Rasanya lucu mendengar perkataannya karena nyatanya saat melahirkan Rizki dan Nia, Mama tidak pernah membantuku. Alasannya karena aku melahirkan di rumah orang tuaku, sehingga Mama Laely merasa takenak untuk berlama-lama di sana. Saat melahirkan Rizki dan Nia, Mama Laely hanya datang dan menginap sehari untuk menjengukku, lalu langsung pulang ke rumahnya.

Akan tetapi, saat ini aku takingin menjawab omongannya, terlebih lagi saat ini Mama Laely akan pulang. Aku takingin menambah daftar keburukanku di matanya.

"Iya, Ma. Secepatnya kami pindah. Hanya saja, Rizki mungkin takakan melanjutkan sekolah TK-nya karena di sana sekolah taman kanak-kanak lumayan jauh. Nanti Rizki langsung masuk sekolah dasar saja di tahun ajaran baru," jelas Bang Doni.

"Hhmmm, iya iya, terserah kalian saja. Mama gak mau tahu masalah itu. Pandai-pandai kalian saja mengaturnya." Mama Laely lalu beranjak dari duduknya dan mengambil tas berisi pakaian dan satu tas kecil untuk meletakkan handphone juga dompetnya.

"Sudah siap, Ma? Kita berangkat sekarang, ya! Sini, tas Mama biar aku bawakan," ucap Bang Doni seraya ikut berdiri dan mengambil tas berukuran cukup besar itu dari tangan Mama Laely.

Aku dan anak-anak lantas ikut berdiri untuk melepas kepergian Nenek dan Ayah mereka. Setelah berpamitan, Bang Doni dan Mama Laely lalu pergi dengan mengendarai sepeda motor.

Setelah kepergian Bang Doni, aku lalu mengantar Rizki sekolah dengan membawa serta Nia.

"Ayo, Rizki, Nia, kita berangkat ke sekolah," ajakku pada kedua anakku.

"Oke, Bun," jawab mereka serempak.

Saat di jalan, aku bertemu Bu Indah dan Bu Desi.

"Eh, Mama Nia, mau ngantar Rizki sekolah, ya?" tanya mereka kompak.

"Iya, Bu," jawabku.

"Mama Nia, apa benar yang dibilang bu Siska, kalau kamu mau pindah ke rumah mertuamu?" tanya Bu Indah.

Bu Desi yang takmau kalah untuk menggali informasi ikut bertanya, "Iya, Mama Nia. Eh, apa benar yang dibilang bu Siska, katanya mertuamu cerita sama dia, mertuamu bilang kalau selama di rumahmu, dia yang mengerjakan semua pekerjaan di rumahmu?!"

"Hehe. Maaf, buibu, Risa sudah hampir telat, nih, ngantar Rizki ke sekolah. Risa pamit dulu, ya," ucapku beralasan pada mereka.

Aku lalu melanjutkan jalan bersama anak-anak. Masih kudengar ocehan mereka yang kesal karena pertanyaannya tidak mendapatkan jawaban.

Ada-ada saja kelakuan tetangga. Padahal Bang Doni baru memutuskan untuk pindah pagi ini, tetapi kabar kami yang akan pindah telah lebih dulu sampai ke mana-mana karena Mama Laely dan Bu Siska.

Aku taktahu entah apa saja hal yang Mama Laely bicarakan pada Bu Siska kemarin, tetapi kemungkinan ada lebih banyak cerita tentangku dari yang aku dengar barusan. 

Lagi-lagi Mama Laely mengarang cerita, mertuaku itu sudah seperti aktor saja. Harusnya dulu dia ikut main film di chanel ikan terbang, pasti sudah terkenal sekarang. Haha, aku malah berpikir yang tidak-tidak.

Bagaimana tidak, selama di rumahku, yang pernah Mama Laely lakukan hanya memasak gulai cubadak. Selebihnya dia hanya memperhatikan kegiatan yang aku lakukan.

Jika aku bangun di subuh hari untuk membuat sarapan, maka Mama Laely juga ikut bangun dan ke dapur. Namun, dia hanya duduk saja dan memperhatikan gerak-gerikku tanpa berniat membantu.

Mungkin kalau aku masih berjualan, Mama Laely juga akan bangun di jam tiga dini hari, lalu memperhatikan kegiatanku hingga tertidur kembali. Memang lucu sekali kelakuan mertuaku itu.

***

Hari ini akhirnya tiba, kami akan pindah ke rumah mertua. Aku sudah selesai mengepak barang-barang kami ke dalam tas besar dan juga kardus. Untuk hari ini, kami akan mengangkut barang-barang yang kecil seperti kardus dan tas, juga sebagian perkakas rumah tangga. Selebihnya, barang-barang besar seperti lemari pakaian dan kulkas, akan diangkut besok oleh Bang Doni dengan mobil bak L-300 yang kami sewa ini juga seperti sekarang.

Sebelum berangkat, kami berpamitan pada para tetangga, termasuk Bu Indah, Bu Desi, dan Bu Siska. Sedangkan pemilik rumah yang kami tempati tidak tinggal di sini, dia tinggal di Kota Pekanbaru. 

Aku menghampiri satu-persatu tetanggaku, taklupa menitipkan kunci pada Bu Indah. Lalu, kami pun berangkat.

Setelah satu jam perjalanan, akhirnya kami sampai ke rumah mertuaku. Badan terasa lelah karena perjalanan, taksabar rasanya untuk segera merebahkan tubuh ini. Sepanjang jalan tadi, aku memangku Nia, membuat punggung, pinggang, dan perutku terasa lelah dan taknyaman.

"Assalamualaikum, Ma," ucap kami serentak di depan pintu rumah Mama Laely yang tertutup.

"Waalaikumsalam," jawab sebuah suara dari dalam rumah, disertai suara handle pintu yang terbuka.

"Eh, ponakan Tante sudah sampai. Masuk-masuk semuanya," ucap Rani menyambut kedatangan kami.

Setelah sedikit berbasa-basi, Rani berpamitan pada kami karena ada urusan di luar. Rani memang sangat jarang di rumah. Dia lebih banyak menghabiskan waktunya di luar rumah.

Taklama Mama Laely pun muncul. Aku yang sudah sangat lelah, berharap dapat segera beristirahat setelah sedikit berbasa-basi dengan Mama Laely. Bang Doni juga sudah selesai memindahkan barang-barang dari mobil ke dalam rumah.

Akan tetapi, harapanku dipatahkan oleh Mama Laely. Saat akan beranjak ke kamar, dia berkata, "Risa, kamarnya kamu bersihkan dulu, ya. Seprainya juga diganti. Seprainya ada di lemari lama Doni di kamarnya itu. Rizki suruh tidur sama kalian saja dulu karena kamar untuknya juga belum Mama bersihkan. Mama tidak sempat membersihkan kamar untuk kalian," ucapnya enteng, membuat bahuku merosot mendengarnya. 

Lelah, pupus sudah harapanku untuk segera beristirahat. Entah bagaimana selanjutnya kehidupan yang akan kujalani.

Related chapters

  • MERTUAKU RACUN RUMAH TANGGAKU   5. Menjadi Budak

    Hari-hari yang kulewati di rumah mertua sangat melelahkan. Bukan hanya fisik, tetapi juga hati. Rasanya apa pun yang kulakukan takada yang benar di mata Mama Laely.Setiap hari, saat jam menunjukkan pukul empat pagi, jika aku tidak segera keluar kamar, Mama Laely akan membuat kegaduhan di depan kamarku. Entah sengaja menghentak-hentakkan kakinya yang memakai sandal ke lantai, kadang membangunkan Rizki yang tidur di sebelah kamar kami dengan berteriak, bahkan takjarang terdengar suara wajan dan sutil besi yang sengaja diadu.Sedangkan aku, di kehamilan yang semakin membesar, pergerakanku semakin terbatas. Aku juga semakin cepat merasakan kelelahan. Namun, Mama Laely takmau tahu akan kondisiku. Jika aku melawan atau menjawab perkataannya, maka mertuaku itu akan mengadu yang tidak-tidak pada Bang Doni."Rizki! Nia! Cepat bereskan semua mainan kalian ini! Nenek nggak suka rumah nenek jadi berantakan seperti ini karena kalian, paham!" Terdengar suara bentakan Mama Laely pada anak-anakku di

    Last Updated : 2024-03-05
  • MERTUAKU RACUN RUMAH TANGGAKU   6. Masalah Keuangan

    Pagi ini Rani menghampiriku saat aku sedang memasukkan pakaian ke dalam pengering mesin cuci. Gadis berkulit kuning langsat dengan rambut lurus sebahu itu tampak telah rapi dan cantik mengenakan kemeja putih dengan blazer berwarna hitam dan rok berwarna senada sebatas lutut. Wajahnya dipoles dengan make up tipis dan lipstik berwarna nude, menambah anggun penampilannya."Kak Risa, lagi nyuci, ya?" tanyanya berbasa-basi."Iya, Ran. Tumben datangin kakak pagi gini. Bukannya kamu udah mau berangkat kerja?" tanyaku balik padanya."Iya, Kak. Rani cuma mau bilang, kamar Rani gak usah Kakak bersihin, biar Rani yang bersihin sendiri. Baju kotor Rani juga, biar Rani aja yang nyuci sendiri. Kakak, kan, lagi hamil, pasti capek ngerjain semuanya sendiri. Maaf, ya, kalau mama menyuruh Kakak mengerjakan semuanya sendiri," ucapnya."Tapi kalau nanti mama nanya, gimana?" "Bilang aja kamar Rani terkunci, jadi Kakak gak bisa masuk. Pakaianku juga kusimpan di kamar aja, biar mama gak bisa nyuruh Kakak m

    Last Updated : 2024-03-08
  • MERTUAKU RACUN RUMAH TANGGAKU   7. Melahirkan

    Hari ini badanku terasa taknyaman. Tadi malam Nia sakit, badannya panas, tidurnya mengingau, dan dia sama sekali takingin kulepas hingga aku takbisa tidur meski sebentar saja. Untungnya, setelah kuberi obat penurun panas, suhu tubuhnya berangsur normal kembali.Seperti biasa, karena tadi aku terlambat bangun dan keluar dari kamar, mertuaku memberi pekerjaan rumah yang banyak sekali, disertai omelan yang panjang.Bukan hanya membersihkan seisi rumah, Mama Laely juga menyuruhku mengganti semua gorden di rumah ini, dan mencucinya juga. Alasannya karena sejak kami tinggal di sini, kurang lebih sudah sekitar lima bulan, aku belum pernah mencuci gorden di rumah ini sekali pun.Sebenarnya takjadi masalah untukku mencucinya, hanya saja di kehamilan yang sudah memasuki bulan ke sembilan ini, menyulitkanku untuk melakukan itu.Beruntung berat tubuhku tidak terlalu berisi, bahkan bisa dibilang kurus untuk ukuran ibu hamil, sehingga aku masih bisa memanjat kursi untuk membongkar dan memasangnya.

    Last Updated : 2024-03-09
  • MERTUAKU RACUN RUMAH TANGGAKU   8. ASI VS SUFOR

    Aku bercengkrama bersama Papa dan Mama di sebuah taman. Taman ini, seperti taman di dekat rumah kami, tempat aku bermain semasa kecil. Namun, taman ini terlihat lebih indah. Bahkan, lebih tepatnya sangat indah. Bunga-bunga bermekaran penuh warna, mengeluarkan aroma harum mewangi. Di atasnya, kupu-kupu hilir-mudik mengepakkan sayapnya yang berwarna-warni, lalu singgah dan menghisap nektar bunga. Aneka mainan anak-anak berjejer rapi di salah satu sudut taman. Ada ayunan, jungkat-jungkit, juga perosotan. Orang tuaku tampak sangat bahagia berada di sini, wajah mereka terlihat cerah berseri. Saat ini kami duduk di salah satu bangku taman yang berjejer rapi di sepanjang sudut taman. Taman ini juga terlihat sangat bersih, takada sampah bekas bungkus makanan ataupun daun yang berserakan. “Risa, hiduplah bahagia dengan keluargamu, ya,” kata Mama.“Kamu pasti bisa karena kamu kuat!” ucap Papa.“Ingatlah, kami selalu ada untukmu!” sambung Mama lagi.Tiba-tiba, aku dikejutkan oleh suara aneh. H

    Last Updated : 2024-03-10
  • MERTUAKU RACUN RUMAH TANGGAKU   9. FITNAH

    Hari keempat setelah melahirkan. Badanku masih terasa taknyaman, terutama di bagian perut. Ditambah dengan begadang semalaman, membuat tubuhku tidak fit. Namun, aku tetap harus mengurus diri dan anak-anakku seorang diri karena di rumah ini, takada yang bisa kuharapkan untuk membantuku.Hari ini Bang Doni sudah mulai bekerja kembali karena cutinya sudah habis. Sedari pagi, Mama Laely beberapa kali kudapati berlalu lalang, sembari melirik-lirik ke arah kamarku yang pintunya sengaja dibiarkan terbuka, sambil memiringkan sebelah bibirnya ketika melihat ke arahku. Sedangkan Rizki kuminta membawa Nia ke kamarnya untuk bermain di sana saja. Untunglah mereka menurut.Sekitar pukul sepuluh pagi, Mama Laely ke kamarku. "Risa, Mama mau pergi arisan dulu. Nasi sudah Mama masak di magic com, lauknya nanti saja Mama masak. Mama perginya gak lama," ucapnya padaku. "Iya, Ma. Makasih," jawabku. Ternyata mertuaku takseburuk yang kupikirkan. Mama Laely masih mau memasak untukku."Hhmmm," katanya.Aku m

    Last Updated : 2024-03-10
  • MERTUAKU RACUN RUMAH TANGGAKU   10. Baby Blues

    Tujuh hari sudah usia Nina. Namun, belum ada peningkatan pada ASIku. Sejak mendengar fitnah yang dilontarkan oleh Mama Laely, aku merasa takada gunanya bertahan di sini. Namun, meminta Bang Doni untuk pindah pun, rasanya akan sia-sia. Bang Doni pasti takmau pindah dari rumah ibunya.Harusnya hari ini jadwalku kontrol jahitan bekas operasi ke dokter, tetapi Bang Doni sibuk. Sejak dua hari yang lalu dia lembur dan pulang jam sembilan malam. Sejujurnya, aku butuh kehadiran Bang Doni, tetapi kami juga membutuhkan biaya yang besar, terlebih setelah operasi dan untuk membeli susu formula untuk Nina. Sehingga aku takbisa melarang Bang Doni untuk lembur.***Siang ini mataku terasa sangat berat. Saat menidurkan Nia dan Nina di kamar, tanpa sadar aku ikut tertidur."Ya, ampun, Risa! Kalau anak tidur itu, kamu jangan ikut tidur! Apa kamu gak lihat pekerjaan rumah masih banyak? Piring dan pakaian belum dicuci! Kamu ini gimana, sih? Jadi ibu, kok, gak becus!" hardik Mama Laely setelah dia membuka

    Last Updated : 2024-03-11
  • MERTUAKU RACUN RUMAH TANGGAKU   11. Ide Gila

    "Risa!"Bang Doni masuk ke kamar kami tepat saat aku meletakkan bantal di atas wajah Nina. Dia dengan cepat menyingkirkan bantal tersebut dan menggendong Nina. Botol susu yang dibawanya dilemparkan begitu saja ke bagian tempat tidur yang kosong.Aku kembali duduk di pojok kamar, menekuk lutut, memeluk tubuhku sendiri, juga menundukkan kepalaku sampai masuk ke dalam pelukan tanganku dan memejamkan kedua mataku, ketika kulihat kilat kemarahan di wajah suamiku.Pikiranku kosong, tiba-tiba aku merindukan Papa dan Mama. Aku rindu pelukan hangat mereka, juga canda tawa keduanya. Di sini, aku takpernah mendapatkan itu. "Risa!" panggil Bang Doni, yang telah berdiri di depanku. Kubuka mata, lalu kuedarkan pandangan ke sekeliling kamar. Takada Nina di kamar kami, hanya ada Nia yang tertidur dengan pulas. Mungkin Nina sudah dibawa Bang Doni menjauh dariku ke ruangan lain."Kamu itu kenapa, sih? Tadi ribut sama mama. Sekarang malah berbuat yang tidak-tidak ke Nina. Kamu tahu tidak, kalau apa yan

    Last Updated : 2024-03-11
  • MERTUAKU RACUN RUMAH TANGGAKU   12. Eksekusi

    Kemarin, setelah menonton berita tentang pembunuhan dengan menggunakan obat tetes mata, aku langsung mencari obat tersebut di kamar. Aku menemukan dua botol dengan merek yang berbeda. Ini adalah obat yang dipakai Bang Doni beberapa waktu lalu. Suamiku itu memang suka membeli obat tetes mata di apotek setiap kali merasa matanya bermasalah, entah kering atau iritasi. Setiap kali matanya sakit, dia akan terus membeli obat yang baru.Menurut berita yang kudengar kemarin, ada kandungan tetra-tetra yang setelah kubaca di botol obat itu bertuliskan tetrahydrozoline, yang apabila diminum dapat menyebabkan terjadinya peningkatan kadar racun dalam darah karena kandungannya melewati saluran pencernaan dengan cepat.Pagi ini aku melakukan aktifitas seperti biasa. Bahkan sekarang aku juga sudah memasak sendiri. Setelah selesai membuat sarapan, aku membuat kopi untuk Bang Doni dan teh untuk Mama Laely. Taklupa kukeluarkan obat tetes mata dari dalam saku bajuku. Namun, keraguan menyelimutimu. Sepert

    Last Updated : 2024-03-12

Latest chapter

  • MERTUAKU RACUN RUMAH TANGGAKU   30. Merajut Kembali

    Kami telah sampai di rumah orang tuaku, tepatnya sekarang rumah Kak Rafka. Anak-anak terlihat begitu antusias. Begitu mobil berhenti, mereka dengan taksabar berebutan untuk segera keluar dan berlari ke rumah.Aku yang baru saja keluar dari mobil dan melihat mereka berlarian, dengan spontan berteriak, "Rizki, Nia, pelan-pelan jalannya. Anak-anak, hati-hat–""Udah, biarkan saja, Dek," kata Bang Doni memotong ucapanku.Aku menoleh dan melotot ke arah Bang Doni yang telah berdiri di belakangku. Merasa kesal karena dia memotong perkataanku untuk memberi peringatan pada anak-anak."Abang! Ih, bikin kesel!" tandasku cemburut, memonyongkan bibir, dan bersedekap tanda aku marah padanya.Bang Doni hanya tersenyum melihat tingkahku, dia berjalan mendekat dan mengelus kepalaku. Suamiku itu lalu mendekatkan bibirnya ke telingaku, dan berbisik, "Cantik banget kalau lagi manyun gitu, Dek. Jadi pengen di sosor.""Abang! Emangnya Risa bebek?!" Kupukul pelan lengannya karena kesal sekaligus malu menden

  • MERTUAKU RACUN RUMAH TANGGAKU   29. Sembuh

    Seminggu sudah kepergian Mama Laely. Sudah satu minggu pula aku tinggal di rumah peninggalan mertuaku. Selain untuk menyambut tamu yang datang melayat, kami tetap di sini sementara waktu untuk menemani Rani. Sedangkan Bang Doni, sejak jatah cutinya habis tiga hari yang lalu, dia berangkat kerja dari sini."Dek, kamu mau tetap di sini apa pulang ke rumah kita?" tanya Bang Doni pagi ini, ketika membantuku memasak dan membereskan dapur.Akhir-akhir ini, Bang Doni lebih sering memanggilku dengan panggilan adek saat kami berdua. Dia juga lebih rajin membantu pekerjaanku, juga mengurus anak-anak."Risa terserah Abang saja, tapi Risa ada jadwal ke psikolog besok. Menurut Abang, bagusnya gimana?" "Hhmmm, bagusnya besok kita ke rumah sakit dari sini saja.""Tapi, kan, kita belum minta surat rujukan dari klinik faskes pertama di tempat tinggal kita sekarang. Gimana, dong?"Oh, ya, udah. Nanti Abang ke klinik jam istirahat kerja. Sekalian mengambil berkas yang belum kebawa. Adek belum bawa semu

  • MERTUAKU RACUN RUMAH TANGGAKU   28. Sekarat

    Sejatinya, kehidupan dan kematian adalah kodrat manusia. Takada manusia yang hidup abadi, begitu pun takkan ada kematian jika takada kehidupan.Pagi ini kami bersiap-siap untuk berangkat ke rumah sakit tempat Mama Laely dirawat. Jam empat subuh tadi, Rani menelepon. Dia mengabarkan keadaan mamanya yang semakin memburuk.Gadis yang kesehariannya bekerja sebagai admin sebuah bank itu terdengar sangat sedih. Bagaimana tidak, seperti apapun perbuatan orang tua kita, bahkan seburuk apapun seorang ibu, bagi anaknya, dia adalah sosok yang takakan pernah tergantikan oleh siapa pun.Aku juga melihat kesedihan di mata Bang Doni. Laki-laki itu tampak berusaha menutupinya, meski masih terlihat olehku. Ya, begitulah laki-laki, lebih suka menutupi luka seorang diri. Aku paham, mungkin Bang Doni masih berusaha untuk menjaga perasaanku. Hingga ia takada sedikit pun menyinggung akan pergi menjenguk mamanya yang sudah sekarat. Namun, aku bukanlah siapa-siapa yang dengan keras hati takmau memaafkan ora

  • MERTUAKU RACUN RUMAH TANGGAKU   27. Menyesal

    Sudah satu minggu Mama Laely dirawat di rumah sakit. Namun, Bang Doni masih enggan untuk datang menjenguknya. Hal ini membuat hatiku taktenang. Aku takut Bang Doni akan menyesal di kemudian hari.Bukan bermaksud mendoakan hal buruk, tetapi usia manusia takada yang tahu. Kondisi Mama Laely saat ini, membuatku berpikir yang tidak-tidak. Aku terus kepikiran soal kondisi mertuaku itu, juga hubungannya dengan Bang Doni. Bagaimana kalau Mama Laely pergi saat mereka belum saling memaafkan, bahkan belum saling jumpa sejak kejadian malam itu.Agh, apa ini salahku? Karena aku, ibu dan anak itu bertengkar. Apa yang harus kulakukan? Aku harus bagaimana?Oh, iya, Rani. Aku harus menelepon Rani. Baiklah, aku akan meneleponnya sekarang. Mumpung anak-anak juga sedang tidur siang semua. Semoga Rani tidak sibuk. Kulihat jarum jam menunjukkan pukul 12.45 Wib. Semoga saat ini Rani sedang istirahat, jadi aku bisa berbicara dengannya.Tuutt tuuttt tuutttt(Nomor yang anda tuju-)Ternyata Rani tidak menga

  • MERTUAKU RACUN RUMAH TANGGAKU   26. Sakit

    Hari ini Bang Doni bekerja seperti biasa. Sebelum berangkat, dia menyempatkan diri membantuku mencuci pakaian dan menjemurnya.Nina si bungsu mulai bisa diajak berinteraksi. Hal itu membuat Rizki dan Nia senang bermain dengan adik bungsu mereka. Meskipun hanya dibalas dengan senyuman.Saat ini mereka bertiga sedang bermain di kamar Rizki. Aku sengaja membawa Nina ke sini untuk memudahkanku mengawasi ketiganya saat aku sedang melakukan pekerjaan rumah."Adek, cilukba!" seru Rizki sembari meletakkan kedua telapak tangannya di muka dan membuka telapak tangannya kembali."Cicak dindindin, diam layap-layap. Datang ekol nyamuk, hap! Lalu tangkapkan!" nyanyi Nia takmau kalah."Hahaha, salah, Dek. Bukan gitu nyanyinya," kata Rizki."Bialin. Memang Kakak bica?" tantang Nia pada kakaknya dengan omongan yang cadel. Sedangkan Nina yang menjadi objek perhatian mereka, tertawa melihat tingkah kedua saudaranya yang mungkin dianggap sedang bermain dengannya.Aku bahagia melihat interaksi ketiga anakk

  • MERTUAKU RACUN RUMAH TANGGAKU   25. Kesepian

    Hari ini kami akan pergi ke rumah sakit untuk terapi ke psikiater. Sebelumnya, setelah kami pindah, Bang Doni sudah mengurus semua administrasi kepindahan kami di sini, termasuk pelayanan faskes tingkat satu. Kemarin Bang Doni juga sudah mengambil surat rujukan di faskes tingkat satu untuk dibawa ke rumah sakit."Sudah siap semuanya?" tanya Bang Doni padaku."Sudah, Bang," jawabku. Kami pun berangkat dengan mengendarai mobil yang kami sewa lewat jasa rental dengan Bang Doni sebagai supirnya.Tiba di rumah sakit, kami pun langsung menuju ke bagian administrasi untuk melakukan pendaftaran, lalu diarahkan ke bagian psikiater dengan surat rujukan yang telah kami bawa.Setelah menunggu beberapa saat, tibalah giliran namaku yang dipanggil. Aku masuk dan duduk di depan Pak Rafly, psikiater yang menanganiku tempo lalu."Selamat datang Bu Risa, selamat datang, Pak. Bapak suaminya Bu Risa, ya?" tanya Pak Rafly."Iya, Pak," jawabku."Oh, baguslah kalau terapi kali ini didampingi oleh suaminya. B

  • MERTUAKU RACUN RUMAH TANGGAKU   24. Pindah

    Hari ini adalah hari terakhir kami di rumah Mama Laely. Aku, Bang Doni, dan anak-anak sudah siap untuk pergi dari rumah ini. Tadi, pagi-pagi sekali setelah salat Subuh, Bang Doni pergi mencari mobil pick-up untuk membawa kami beserta anak-anak ke rumah kontrakan yang baru.Sebenarnya kami belum tahu akan tinggal di mana. Aku mengusulkan untuk ke rumah Kak Rafka saja, tetapi Bang Doni menolak. Dia bilang akan membawa kami ke daerah dekat tempat kerjanya. Katanya di sana lebih mudah mencari rumah kontrakan.Sebagai seorang laki-laki, tentu saja Bang Doni memiliki ego yang tinggi. Menyetujui untuk pindah ke rumah Kak Rafka, itu sama saja menginjak harga dirinya.Sembari mencari mobil, Bang Doni juga menelepon teman-temannya untuk membantunya mencari rumah. Semoga ada rumah yang bisa kami tempati hari ini juga."Ayo, Ris. Kita berangkat sekarang. Abang dan Pak Heru sudah selesai mengangkut barang-barang ke mobil," ajak Bang Doni padaku. Pak Heru-sang supir-mengangguk setuju.Bang Doni men

  • MERTUAKU RACUN RUMAH TANGGAKU   23. Tidak Terima

    "Apa maksud semua ini, Risa?" tanya Bang Doni."Abang bisa menilai sendiri dari video yang Abang lihat. Abang bahkan bisa mendengar sendiri setiap perkataan yang dilontarkan mama kepada Risa," jawabku."Ta—tapi yang diceritakan mama pada abang berbeda," ucapnya bingung."Iya, Risa tahu, Bang. Itulah sebabnya Risa takpernah menceritakan apa pun pada Abang. Risa tahu semua itu akan sia-sia, jika Abang tidak mendengar sendiri dan melihat sendiri. Yah, meskipun karena itu mental Risa yang dihajar habis-habisan," ucapku seraya berdiri membelakanginya."Maafkan abang, Ris," pinta Bang Doni yang terdengar tepat di belakangku. Bang Doni lalu memegang kedua pundakku, lalu membalikkan tubuh kurus ini hingga menghadap ke arahnya."Dek, tolong maafkan abang. Abang akan menegur mama atas perbuatannya ini. Kalau perlu kita pindah dari sini dan memulai hidup baru, meski hanya tinggal di kontrakan seperti dulu. Kamu mau, kan?" Ucapannya terdengar begitu lembut di telingaku. Dia memanggilku dengan s

  • MERTUAKU RACUN RUMAH TANGGAKU   22. Terbongkar

    Pagi ini Bang Doni cuti setengah hari karena kami akan pergi ke posyandu. Ya, Nina akan kami bawa ke posyandu pertamanya karena usianya sudah sebulan lewat beberapa hari.Kami ke posyandu berempat bersama Nia, sedangkan Rizki, tinggal di rumah bersama neneknya. Sulungku itu takmau ikut serta saat kuajak tadi. Ketika tiba di posyandu, kami menyerahkan buku KIA terlebih dahulu, lalu mengisi daftar hadir. Setelah itu, anak-anak bergiliran untuk ditimbang berat badan, diukur tinggi badan, dan lingkar kepalanya. Petugas juga memberikan makanan atau camilan untuk anak-anak, berupa was bubur kacang hijau, sup telur puyuh, atau buah-buahan.Untuk bayi seperti Nina, sekarang sudah tersedia timbangan digital dan pengukur tinggi badan khusus bayi di pusat pelayanan masyarakat itu. Sedangkan untuk Nia, sudah tersedia dua jenis timbangan yang menggunakan kain sarung dan timbangan digital dewasa, juga alat pengukur tinggi badan.Aku syok ketika tiba giliran Nina yang ditimbang. Berat badannya saat

DMCA.com Protection Status