Hari ini badanku terasa taknyaman. Tadi malam Nia sakit, badannya panas, tidurnya mengingau, dan dia sama sekali takingin kulepas hingga aku takbisa tidur meski sebentar saja. Untungnya, setelah kuberi obat penurun panas, suhu tubuhnya berangsur normal kembali.
Seperti biasa, karena tadi aku terlambat bangun dan keluar dari kamar, mertuaku memberi pekerjaan rumah yang banyak sekali, disertai omelan yang panjang.Bukan hanya membersihkan seisi rumah, Mama Laely juga menyuruhku mengganti semua gorden di rumah ini, dan mencucinya juga. Alasannya karena sejak kami tinggal di sini, kurang lebih sudah sekitar lima bulan, aku belum pernah mencuci gorden di rumah ini sekali pun.Sebenarnya takjadi masalah untukku mencucinya, hanya saja di kehamilan yang sudah memasuki bulan ke sembilan ini, menyulitkanku untuk melakukan itu.Beruntung berat tubuhku tidak terlalu berisi, bahkan bisa dibilang kurus untuk ukuran ibu hamil, sehingga aku masih bisa memanjat kursi untuk membongkar dan memasangnya. Entah apa yang ada dalam pikiran mertuaku itu, sehingga membiarkan aku mengerjakan semuanya sendiri."Bunda, Nia mau minum," ucap Nia yang datang dari dalam kamar, saat aku sedang membuka gorden di depan pintu kamar kami."Nia haus, ya? Sebentar, ya, bunda ambilin dulu minumnya," jawabku sembari turun dari kursi.Setelah selesai meladeni Nia, aku melanjutkan pekerjaanku. Selesai membongkar semuanya, aku memasukkan gorden-gorden itu ke dalam mesin cuci untuk merendamnya terlebih dahulu. Sembari menunggu rendaman cucian, aku memutuskan memasang yang baru.Baru saja selesai dengan urusan gorden, mertuaku sudah memanggil untuk mengerjakan pekerjaan lain. Padahal, tubuhku sudah begitu lelah. Terlebih cucian tadi harus dicuci dengan tangan karena ada besi-sesi bolongannya untuk pengait penyangga."Risa, kalau sudah selesai, ikut mama ke halaman, ya,” ucap Mama Laely." Ngapain, Ma?" tanyaku."Sudah, ikut saja. Jangan banyak tanya!" jawabnya kesal.Aku pun beranjak dan mengikuti langkah kaki Mama Laely karena pekerjaanku memang sudah selesai. Ternyata Mama Laely membawaku ke halaman depan rumahnya yang cukup luas."Nih, lihat rumput-rumput ini sudah panjang. Sekarang tugasmu membersihkan semua rumput ini. Terus susun semua pot-pot yang sudah kosong itu!" titahnya padaku."Tapi, Ma. Aku capek banget habis mencuci gorden. Tadi malam juga kurang tidur karena Nia sakit. Ini besok aja, ya, aku ngerjainnya, Ma," pintaku memelas."Ah, gak ada besok-besok. Kulihat, kamu tuh kurang gerak, jadi harus banyak gerak. Ingat ya, ngerjainnya sambil jongkok. Kamu 'kan, sebentar lagi mau lahiran. Harus banyak gerak dan jongkok biar mudah lahirannya!" serunya padaku.Aku pun akhirnya mengerjakan pekerjaan itu, mencabut rumput-rumput liat, memindahkan tanah yang masih ada dalam pot, lalu menyusun pot-pot kosong agar semuanya terlihat rapi. Saat sedang sibuk, terdengar suara Nia menangis. Mungkin dia terbangun dari tidurnya dan mencariku karena tadi dia kutinggalkan saat sedang tidur. Lalu menangis karena mendapatiku takada di dalam rumah.Aku berdiri dengan tergesa-gesa. Lalu, ketika akan berjalan, terasa sensasi letusan, seperti ada yang mengetuk dinding rahimku, lalu kurasakan air ketuban mengalir deras dari jalan lahir."Ya, Allah, pecah ketuban. Padahal kata bidan HPL** masih seminggu lagi. Aku juga belum ada tanda-tanda kontraksi," ucapku pada diri sendiri.Aku pun berjalan dan masuk ke rumah, segera menuju ke kamarku untuk membersihkan diri di kamar mandi, juga menghampiri Nia. Benar saja, saat sampai di kamar, Nia sudah menangis tersedu-sedu. Padahal neneknya ada di rumah, tetapi seolah takmau tahu dengan cucunya.Sebelum ke kamar mandi, aku mendiamkan Nia terlebih dahulu. "Sayang, ini bunda. Nia kenapa nangis?" tanyaku lembut untuk membujuknya."Nia cari Bunda. Bunda gak ada, hiks," ucapnya masih tersedu."Oh. Nih, Bunda udah di sini. Jangan nangis lagi, ya. Bunda mau ke kamar mandi sebentar, badan Bunda basah. Bunda izin ke kamar mandi dulu. Janji gak nangis, ya," pamitku padanya."Iya, Bun. Tapi jangan lama-lama. Nia takut," ucapnya."Oke, Sayang," janjiku pada Nia. Aku bergegas membersihkan diri ke kamar mandi. Air ketuban masih terasa menetes, meski taklagi sebanyak tadi.Setelah selesai membersihkan diri dan mengenakan pakaian, aku menelepon Bang Doni. Namun sayangnya, suamiku itu tidak mengangkat telepon. Mungkin dia sedang sibuk dengan pekerjaannya. Aku akan mencoba meneleponnya sebentar lagi.Setelah itu, aku meletakkan telpon genggamku di nakas. Perhatianku beralih ke lemari pakaian kami. Kubuka salah satu pintu lemari tiga pintu itu dan kuambil tas yang sudah kuiisi dengan perlengkapan untuk persalinan ku. Tas ini sudah kupersiapkan sebulan lalu. Di kehamilan ketiga ini, aku sudah takterlalu banyak keinginan untuk membeli perlengkapan bayi, karena milik Nia masih bagus, hingga aku hanya membeli seperlunya saja yang masih kurang. Aku kembali menelepon Bang Doni, tetapi lagi-lagi takada jawaban. Aku pun menghela napas, mau takmau aku harus mengatakan hal ini pada Mama Laely. Aku akan meminta tolong mertuaku itu untuk mengantarku ke klinik bidan sembari membawa anak-anak. Air ketubanku terasa masih merembes, tetapi takada tanda-tanda kontraksi sedikit pun."Ma, Mama," panggilku sembari mengetok pintu kamar Mama Laely. Namun, takada jawaban."Ma, Mama? Tidur, ya?" tanyaku."Ma-," Terdengar suara pintu terbuka saat aku sedang memanggil yang ketiga kalinya. Mama Laely keluar dengan wajah yang takenak dipandang."Kenapa manggil-manggil? Ganggu orang istirahat aja!" sentaknya marah."Maaf, Ma. Tolong antar aku ke klinik sama anak-anak, Ma. Ketubanku sudah pecah," pintaku."Belum sakit, kan?" tanyanya."Belum, Ma. Tapi aku harus periksa untuk memastikan keadaan janinnya. Aku gak kuat untuk pergi sendiri, badanku terlampau lelah setelah seharian mengurus rumah dan halaman," jelasku pada mertuaku."Heh! Apa maksudmu mengatakan itu? Kamu mau bilang kalau aku menjadikanmu babu, gitu?! hardiknya marah. "Sudah, kamu tunggu saja Doni pulang. Paling sebentar lagi juga Doni pulang dari tempat kerjanya. Lagi pula, mana mungkin kita ke klinik bawa anak-anak," tambahnya.Aku akhirnya berbalik ke kamar. Saat berjalan menuju kamar, ku lihat Rizki sudah tampan dengan setelan baju tidurnya. Ternyata anak lelakiku itu sudah mandi. Pantas saja aku tidak melihatnya dari tadi.Setelah menunggu kurang lebih sejam, akhirnya Bang Doni sampai ke rumah. Aku pun langsung menyambutnya dan menjelaskan kondisiku padanya. Saat ini perutku mulai terasa sakit, tetapi masih tergolong ringan untukku.Ketika akan membawaku ke klinik, mertuaku meminta untuk ikut. Sehingga Bang Doni terpaksa meminjam mobil tetangga untuk membawa kami. Anak-anak pun terpaksa ikut serta."Bu, Pak, kalau menurut penjelasan ibu, berarti air ketubannya sudah pecah sekitar dua setengah jam. Kita hanya punya waktu tiga setengah jam lagi untuk menunggu ibu kontraksi dan lahiran normal. Menurut kami, sebaiknya lakukan tindakan operasi saja. Kami juga melihat ibunya sangat kelelahan. Takutnya nanti gak kuat mengejan," jelas Bidan yang bertugas di klinik yang kami datangi setelah memeriksa kondisiku dan mendengar keluhanku."Baiknya gimana, Ris?" tanya suamiku padaku.Tiba-tiba mertuaku yang berdiri di dekat pintu kamar tempat periksa itu menyeletuk, "Eh, kok main operasi aja. Induksi saja dulu! Gak ada operasi-operasi!""Bu, induksi bisa dilakukan jika ada kontraksi," jelas Bidan tersebut."Ya, sudah, Bu Bidan. Sepertinya aku masih kuat. Kita tunggu saja sebentar lagi. Aku juga mulai merasakan kontraksi," jawabku memutuskan.Setelah berjalan tiga jam, aku pun akhirnya diinduksi karena adanya penambahan pembukaan pada jalan lahir. Namun, taklama kemudian aku merasakan ada yang aneh dengan tubuhku. Tiba-tiba terasa ada yang mengalir deras dari jalan lahirku dan berbau amis. Aku memanggil Bang Doni, yang kemudian memanggil bidan.Beberapa hal yang masih bisa kudengar, terjadi perdebatan antara petugas klinik dengan mertuaku. Hingga akhirnya aku dimasukkan ke dalam sebuah mobil. Terdengar samar-samar olehku suara sirine yang bersahutan dengan suara bidan yang memintaku untuk tetap sadar. Di sampingnya sayup-sayup terdengar suara Bang Doni, hingga entah sampai di mana dan kesadaranku sepenuhnya telah hilang.Aku bercengkrama bersama Papa dan Mama di sebuah taman. Taman ini, seperti taman di dekat rumah kami, tempat aku bermain semasa kecil. Namun, taman ini terlihat lebih indah. Bahkan, lebih tepatnya sangat indah. Bunga-bunga bermekaran penuh warna, mengeluarkan aroma harum mewangi. Di atasnya, kupu-kupu hilir-mudik mengepakkan sayapnya yang berwarna-warni, lalu singgah dan menghisap nektar bunga. Aneka mainan anak-anak berjejer rapi di salah satu sudut taman. Ada ayunan, jungkat-jungkit, juga perosotan. Orang tuaku tampak sangat bahagia berada di sini, wajah mereka terlihat cerah berseri. Saat ini kami duduk di salah satu bangku taman yang berjejer rapi di sepanjang sudut taman. Taman ini juga terlihat sangat bersih, takada sampah bekas bungkus makanan ataupun daun yang berserakan. “Risa, hiduplah bahagia dengan keluargamu, ya,” kata Mama.“Kamu pasti bisa karena kamu kuat!” ucap Papa.“Ingatlah, kami selalu ada untukmu!” sambung Mama lagi.Tiba-tiba, aku dikejutkan oleh suara aneh. H
Hari keempat setelah melahirkan. Badanku masih terasa taknyaman, terutama di bagian perut. Ditambah dengan begadang semalaman, membuat tubuhku tidak fit. Namun, aku tetap harus mengurus diri dan anak-anakku seorang diri karena di rumah ini, takada yang bisa kuharapkan untuk membantuku.Hari ini Bang Doni sudah mulai bekerja kembali karena cutinya sudah habis. Sedari pagi, Mama Laely beberapa kali kudapati berlalu lalang, sembari melirik-lirik ke arah kamarku yang pintunya sengaja dibiarkan terbuka, sambil memiringkan sebelah bibirnya ketika melihat ke arahku. Sedangkan Rizki kuminta membawa Nia ke kamarnya untuk bermain di sana saja. Untunglah mereka menurut.Sekitar pukul sepuluh pagi, Mama Laely ke kamarku. "Risa, Mama mau pergi arisan dulu. Nasi sudah Mama masak di magic com, lauknya nanti saja Mama masak. Mama perginya gak lama," ucapnya padaku. "Iya, Ma. Makasih," jawabku. Ternyata mertuaku takseburuk yang kupikirkan. Mama Laely masih mau memasak untukku."Hhmmm," katanya.Aku m
Tujuh hari sudah usia Nina. Namun, belum ada peningkatan pada ASIku. Sejak mendengar fitnah yang dilontarkan oleh Mama Laely, aku merasa takada gunanya bertahan di sini. Namun, meminta Bang Doni untuk pindah pun, rasanya akan sia-sia. Bang Doni pasti takmau pindah dari rumah ibunya.Harusnya hari ini jadwalku kontrol jahitan bekas operasi ke dokter, tetapi Bang Doni sibuk. Sejak dua hari yang lalu dia lembur dan pulang jam sembilan malam. Sejujurnya, aku butuh kehadiran Bang Doni, tetapi kami juga membutuhkan biaya yang besar, terlebih setelah operasi dan untuk membeli susu formula untuk Nina. Sehingga aku takbisa melarang Bang Doni untuk lembur.***Siang ini mataku terasa sangat berat. Saat menidurkan Nia dan Nina di kamar, tanpa sadar aku ikut tertidur."Ya, ampun, Risa! Kalau anak tidur itu, kamu jangan ikut tidur! Apa kamu gak lihat pekerjaan rumah masih banyak? Piring dan pakaian belum dicuci! Kamu ini gimana, sih? Jadi ibu, kok, gak becus!" hardik Mama Laely setelah dia membuka
"Risa!"Bang Doni masuk ke kamar kami tepat saat aku meletakkan bantal di atas wajah Nina. Dia dengan cepat menyingkirkan bantal tersebut dan menggendong Nina. Botol susu yang dibawanya dilemparkan begitu saja ke bagian tempat tidur yang kosong.Aku kembali duduk di pojok kamar, menekuk lutut, memeluk tubuhku sendiri, juga menundukkan kepalaku sampai masuk ke dalam pelukan tanganku dan memejamkan kedua mataku, ketika kulihat kilat kemarahan di wajah suamiku.Pikiranku kosong, tiba-tiba aku merindukan Papa dan Mama. Aku rindu pelukan hangat mereka, juga canda tawa keduanya. Di sini, aku takpernah mendapatkan itu. "Risa!" panggil Bang Doni, yang telah berdiri di depanku. Kubuka mata, lalu kuedarkan pandangan ke sekeliling kamar. Takada Nina di kamar kami, hanya ada Nia yang tertidur dengan pulas. Mungkin Nina sudah dibawa Bang Doni menjauh dariku ke ruangan lain."Kamu itu kenapa, sih? Tadi ribut sama mama. Sekarang malah berbuat yang tidak-tidak ke Nina. Kamu tahu tidak, kalau apa yan
Kemarin, setelah menonton berita tentang pembunuhan dengan menggunakan obat tetes mata, aku langsung mencari obat tersebut di kamar. Aku menemukan dua botol dengan merek yang berbeda. Ini adalah obat yang dipakai Bang Doni beberapa waktu lalu. Suamiku itu memang suka membeli obat tetes mata di apotek setiap kali merasa matanya bermasalah, entah kering atau iritasi. Setiap kali matanya sakit, dia akan terus membeli obat yang baru.Menurut berita yang kudengar kemarin, ada kandungan tetra-tetra yang setelah kubaca di botol obat itu bertuliskan tetrahydrozoline, yang apabila diminum dapat menyebabkan terjadinya peningkatan kadar racun dalam darah karena kandungannya melewati saluran pencernaan dengan cepat.Pagi ini aku melakukan aktifitas seperti biasa. Bahkan sekarang aku juga sudah memasak sendiri. Setelah selesai membuat sarapan, aku membuat kopi untuk Bang Doni dan teh untuk Mama Laely. Taklupa kukeluarkan obat tetes mata dari dalam saku bajuku. Namun, keraguan menyelimutimu. Sepert
Setelah bergelut dengan pikiranku sendiri, aku akhirnya memutuskan untuk mengikuti Bang Doni ke kamar Mama Laely. Aku sampai ke sana tepat saat Bang Doni masuk ke kamar mamanya yang ternyata takterkunci. Kulihat Bang Doni sepertinya taktahu keberadaanku. Jadi, aku memutuskan untuk menunggu di depan pintu kamar mertuaku itu saja.Terlihat dari depan pintu kamar yang terbuka, mertuaku itu sedang berbaring lemas. Selimut tebal menyelimuti lebih dari separuh bagian tubuhnya, hingga hanya menyisakan bagian kepala dan dada yang tidak tertutup selimut. Wanita yang berusia 60 tahun itu tampak tersenyum samar saat melihat anaknya menghampirinya.Saat melihatnya seperti ini, rasa iba dan penyesalan muncul di hatiku. Namun, jika ingat perlakuannya terhadapku juga anak-anakku, membuat rasa sakit itu hadir kembali."Ma," sapa Bang Doni. Aku hanya mendengarkan pembicaraan antara ibu dan anak tersebut."Hhmmm," jawab Mama Laely."Mama kenapa? Mama sakit?" tanya suamiku itu cemas. Dia lantas duduk di
Adakah yang lebih menyakitkan dari rasa sakit saat melahirkan? Yaitu saat semua pengorbanan dan pengabdianku tidak dihargai. Maka, luluh lantaklah hati ini. Terlebih, saat suami yang seharusnya bisa menjadi pelindung, takbisa menjadi tempat untukku bersandar.“Risa!" Lagi-lagi teriakan itu terdengar. Apa mertuaku itu takbisa menggunakan bahasa yang halus dan sopan saat memanggilku? Kenapa dia harus selalu berteriak? Padahal aku tidak tuli, telingaku masih bisa mendengar dengan baik tanpa harus diteriaki."Bunda—," panggil Rizki padaku, sesaat setelah dia menyembulkan kepalanya di balik pintu kamarku. "Iya, Sayang," jawabku."Nenek teriak-teriak manggil Bunda," ucap bocah yang sebentar lagi akan masuk ke sekolah dasar itu."Iya, Nak. Bentar lagi bunda ke kamar nenek. Bunda nidurin Dede Nina dulu. Ini susunya tinggal sedikit lagi," jawabku padanya."Tapi nanti nenek marah-marah," ucapnya sendu. Dia pasti masih ingat dengan kemarahan neneknya dan takut dimarahi lagi."Ya, udah. Sini,
Waktu sudah menunjukkan pukul sembilan lewat tiga puluh malam. Namun, belum ada tanda-tanda kepulangan Bang Doni. Sedangkan Rani, sudah pulang pukul tujuh malam tadi. Setelah makan malam dan memberi mamanya makan, gadis yang ramah dan mudah bergaul itu langsung masuk ke kamarnya.Sempat kutanya kenapa pulang lebih cepat karena biasanya dia pulang jam sembilan malam. Rani berkata, bahwa dia sengaja pulang cepat karena mengingat mamanya yang sedang sakit. Dia taktega padaku yang harus mengurus semuanya sendiri di rumah, ditambah dengan mengurus mamanya. Setelah itu, Rani masuk ke kamarnya. Mungkin dia sudah tidur sekarang. Rizki sudah tidur di kamarnya, begitu pun Nia, gadis kecil itu sudah terlelap di sampingku. Sedangkan Nina, saat ini sedang kuberi sufor dengan botol susu. Sampai sekarang ASIku takada peningkatan. Bukannya bertambah deras, malah semakin seret.Terdengar suara seseorang memberi salam dari depan rumah, tepat saat aku selesai memberi Nina susu dan meletakkan bayi mungi
Kami telah sampai di rumah orang tuaku, tepatnya sekarang rumah Kak Rafka. Anak-anak terlihat begitu antusias. Begitu mobil berhenti, mereka dengan taksabar berebutan untuk segera keluar dan berlari ke rumah.Aku yang baru saja keluar dari mobil dan melihat mereka berlarian, dengan spontan berteriak, "Rizki, Nia, pelan-pelan jalannya. Anak-anak, hati-hat–""Udah, biarkan saja, Dek," kata Bang Doni memotong ucapanku.Aku menoleh dan melotot ke arah Bang Doni yang telah berdiri di belakangku. Merasa kesal karena dia memotong perkataanku untuk memberi peringatan pada anak-anak."Abang! Ih, bikin kesel!" tandasku cemburut, memonyongkan bibir, dan bersedekap tanda aku marah padanya.Bang Doni hanya tersenyum melihat tingkahku, dia berjalan mendekat dan mengelus kepalaku. Suamiku itu lalu mendekatkan bibirnya ke telingaku, dan berbisik, "Cantik banget kalau lagi manyun gitu, Dek. Jadi pengen di sosor.""Abang! Emangnya Risa bebek?!" Kupukul pelan lengannya karena kesal sekaligus malu menden
Seminggu sudah kepergian Mama Laely. Sudah satu minggu pula aku tinggal di rumah peninggalan mertuaku. Selain untuk menyambut tamu yang datang melayat, kami tetap di sini sementara waktu untuk menemani Rani. Sedangkan Bang Doni, sejak jatah cutinya habis tiga hari yang lalu, dia berangkat kerja dari sini."Dek, kamu mau tetap di sini apa pulang ke rumah kita?" tanya Bang Doni pagi ini, ketika membantuku memasak dan membereskan dapur.Akhir-akhir ini, Bang Doni lebih sering memanggilku dengan panggilan adek saat kami berdua. Dia juga lebih rajin membantu pekerjaanku, juga mengurus anak-anak."Risa terserah Abang saja, tapi Risa ada jadwal ke psikolog besok. Menurut Abang, bagusnya gimana?" "Hhmmm, bagusnya besok kita ke rumah sakit dari sini saja.""Tapi, kan, kita belum minta surat rujukan dari klinik faskes pertama di tempat tinggal kita sekarang. Gimana, dong?"Oh, ya, udah. Nanti Abang ke klinik jam istirahat kerja. Sekalian mengambil berkas yang belum kebawa. Adek belum bawa semu
Sejatinya, kehidupan dan kematian adalah kodrat manusia. Takada manusia yang hidup abadi, begitu pun takkan ada kematian jika takada kehidupan.Pagi ini kami bersiap-siap untuk berangkat ke rumah sakit tempat Mama Laely dirawat. Jam empat subuh tadi, Rani menelepon. Dia mengabarkan keadaan mamanya yang semakin memburuk.Gadis yang kesehariannya bekerja sebagai admin sebuah bank itu terdengar sangat sedih. Bagaimana tidak, seperti apapun perbuatan orang tua kita, bahkan seburuk apapun seorang ibu, bagi anaknya, dia adalah sosok yang takakan pernah tergantikan oleh siapa pun.Aku juga melihat kesedihan di mata Bang Doni. Laki-laki itu tampak berusaha menutupinya, meski masih terlihat olehku. Ya, begitulah laki-laki, lebih suka menutupi luka seorang diri. Aku paham, mungkin Bang Doni masih berusaha untuk menjaga perasaanku. Hingga ia takada sedikit pun menyinggung akan pergi menjenguk mamanya yang sudah sekarat. Namun, aku bukanlah siapa-siapa yang dengan keras hati takmau memaafkan ora
Sudah satu minggu Mama Laely dirawat di rumah sakit. Namun, Bang Doni masih enggan untuk datang menjenguknya. Hal ini membuat hatiku taktenang. Aku takut Bang Doni akan menyesal di kemudian hari.Bukan bermaksud mendoakan hal buruk, tetapi usia manusia takada yang tahu. Kondisi Mama Laely saat ini, membuatku berpikir yang tidak-tidak. Aku terus kepikiran soal kondisi mertuaku itu, juga hubungannya dengan Bang Doni. Bagaimana kalau Mama Laely pergi saat mereka belum saling memaafkan, bahkan belum saling jumpa sejak kejadian malam itu.Agh, apa ini salahku? Karena aku, ibu dan anak itu bertengkar. Apa yang harus kulakukan? Aku harus bagaimana?Oh, iya, Rani. Aku harus menelepon Rani. Baiklah, aku akan meneleponnya sekarang. Mumpung anak-anak juga sedang tidur siang semua. Semoga Rani tidak sibuk. Kulihat jarum jam menunjukkan pukul 12.45 Wib. Semoga saat ini Rani sedang istirahat, jadi aku bisa berbicara dengannya.Tuutt tuuttt tuutttt(Nomor yang anda tuju-)Ternyata Rani tidak menga
Hari ini Bang Doni bekerja seperti biasa. Sebelum berangkat, dia menyempatkan diri membantuku mencuci pakaian dan menjemurnya.Nina si bungsu mulai bisa diajak berinteraksi. Hal itu membuat Rizki dan Nia senang bermain dengan adik bungsu mereka. Meskipun hanya dibalas dengan senyuman.Saat ini mereka bertiga sedang bermain di kamar Rizki. Aku sengaja membawa Nina ke sini untuk memudahkanku mengawasi ketiganya saat aku sedang melakukan pekerjaan rumah."Adek, cilukba!" seru Rizki sembari meletakkan kedua telapak tangannya di muka dan membuka telapak tangannya kembali."Cicak dindindin, diam layap-layap. Datang ekol nyamuk, hap! Lalu tangkapkan!" nyanyi Nia takmau kalah."Hahaha, salah, Dek. Bukan gitu nyanyinya," kata Rizki."Bialin. Memang Kakak bica?" tantang Nia pada kakaknya dengan omongan yang cadel. Sedangkan Nina yang menjadi objek perhatian mereka, tertawa melihat tingkah kedua saudaranya yang mungkin dianggap sedang bermain dengannya.Aku bahagia melihat interaksi ketiga anakk
Hari ini kami akan pergi ke rumah sakit untuk terapi ke psikiater. Sebelumnya, setelah kami pindah, Bang Doni sudah mengurus semua administrasi kepindahan kami di sini, termasuk pelayanan faskes tingkat satu. Kemarin Bang Doni juga sudah mengambil surat rujukan di faskes tingkat satu untuk dibawa ke rumah sakit."Sudah siap semuanya?" tanya Bang Doni padaku."Sudah, Bang," jawabku. Kami pun berangkat dengan mengendarai mobil yang kami sewa lewat jasa rental dengan Bang Doni sebagai supirnya.Tiba di rumah sakit, kami pun langsung menuju ke bagian administrasi untuk melakukan pendaftaran, lalu diarahkan ke bagian psikiater dengan surat rujukan yang telah kami bawa.Setelah menunggu beberapa saat, tibalah giliran namaku yang dipanggil. Aku masuk dan duduk di depan Pak Rafly, psikiater yang menanganiku tempo lalu."Selamat datang Bu Risa, selamat datang, Pak. Bapak suaminya Bu Risa, ya?" tanya Pak Rafly."Iya, Pak," jawabku."Oh, baguslah kalau terapi kali ini didampingi oleh suaminya. B
Hari ini adalah hari terakhir kami di rumah Mama Laely. Aku, Bang Doni, dan anak-anak sudah siap untuk pergi dari rumah ini. Tadi, pagi-pagi sekali setelah salat Subuh, Bang Doni pergi mencari mobil pick-up untuk membawa kami beserta anak-anak ke rumah kontrakan yang baru.Sebenarnya kami belum tahu akan tinggal di mana. Aku mengusulkan untuk ke rumah Kak Rafka saja, tetapi Bang Doni menolak. Dia bilang akan membawa kami ke daerah dekat tempat kerjanya. Katanya di sana lebih mudah mencari rumah kontrakan.Sebagai seorang laki-laki, tentu saja Bang Doni memiliki ego yang tinggi. Menyetujui untuk pindah ke rumah Kak Rafka, itu sama saja menginjak harga dirinya.Sembari mencari mobil, Bang Doni juga menelepon teman-temannya untuk membantunya mencari rumah. Semoga ada rumah yang bisa kami tempati hari ini juga."Ayo, Ris. Kita berangkat sekarang. Abang dan Pak Heru sudah selesai mengangkut barang-barang ke mobil," ajak Bang Doni padaku. Pak Heru-sang supir-mengangguk setuju.Bang Doni men
"Apa maksud semua ini, Risa?" tanya Bang Doni."Abang bisa menilai sendiri dari video yang Abang lihat. Abang bahkan bisa mendengar sendiri setiap perkataan yang dilontarkan mama kepada Risa," jawabku."Ta—tapi yang diceritakan mama pada abang berbeda," ucapnya bingung."Iya, Risa tahu, Bang. Itulah sebabnya Risa takpernah menceritakan apa pun pada Abang. Risa tahu semua itu akan sia-sia, jika Abang tidak mendengar sendiri dan melihat sendiri. Yah, meskipun karena itu mental Risa yang dihajar habis-habisan," ucapku seraya berdiri membelakanginya."Maafkan abang, Ris," pinta Bang Doni yang terdengar tepat di belakangku. Bang Doni lalu memegang kedua pundakku, lalu membalikkan tubuh kurus ini hingga menghadap ke arahnya."Dek, tolong maafkan abang. Abang akan menegur mama atas perbuatannya ini. Kalau perlu kita pindah dari sini dan memulai hidup baru, meski hanya tinggal di kontrakan seperti dulu. Kamu mau, kan?" Ucapannya terdengar begitu lembut di telingaku. Dia memanggilku dengan s
Pagi ini Bang Doni cuti setengah hari karena kami akan pergi ke posyandu. Ya, Nina akan kami bawa ke posyandu pertamanya karena usianya sudah sebulan lewat beberapa hari.Kami ke posyandu berempat bersama Nia, sedangkan Rizki, tinggal di rumah bersama neneknya. Sulungku itu takmau ikut serta saat kuajak tadi. Ketika tiba di posyandu, kami menyerahkan buku KIA terlebih dahulu, lalu mengisi daftar hadir. Setelah itu, anak-anak bergiliran untuk ditimbang berat badan, diukur tinggi badan, dan lingkar kepalanya. Petugas juga memberikan makanan atau camilan untuk anak-anak, berupa was bubur kacang hijau, sup telur puyuh, atau buah-buahan.Untuk bayi seperti Nina, sekarang sudah tersedia timbangan digital dan pengukur tinggi badan khusus bayi di pusat pelayanan masyarakat itu. Sedangkan untuk Nia, sudah tersedia dua jenis timbangan yang menggunakan kain sarung dan timbangan digital dewasa, juga alat pengukur tinggi badan.Aku syok ketika tiba giliran Nina yang ditimbang. Berat badannya saat