Di bawah pohon dengan daun yang cukup lebat, sesosok wanita yang sepertinya tidak asing terlihat duduk sambil manikmati indahnya danau dengan air terjun kecil tepat di sebelahnya. Di antara rinai pepohonan dalam hutan, sangat tentram dengan hanya gemarcik air yang mengisi heningnya suasana.
Cantigi pelan tetapi pasti melangkah mendekati sosok wanita itu. Hawa dingin khas dataran tinggi mulai memeluk erat tubuhnya. Semakin dekat jarak dengan sosok wanita itu, tubuh Cantigi semakin bergetar karena dinginnya.
Keraguan mulai muncul ketika Cantigi dan sosok wanita itu hanya berjarak tujuh langkah saja. Cantigi baru sadar ada serigala yang mencoba mendekati sosok wanita itu juga.
“HEI! AWAS!!!”
Cantigi berusaha memperingatkan sosok wanita itu. Namun, Cantigi tidak dapat bersuara. Sekeras apapun Cantigi berteriak, tetap saja tidak ada suara yang berhasil dikeluarkannya. Terlambat, serigala itu sudah menerjang sosok wanita itu.
Seperti biasa, kali ini pun mimpi buruk Cantigi kembali. Baru tidur satu jam, namun harus terbangun karena mimpi buruk yang sama. Cantigi pun hanya bisa mengerjap-ngerjapkan matanya.
Kemudian, dari luar tenda terdengar suara langkah kaki. Anehnya, langkah kaki itu seperti hanya berputar-putar saja di sekitar tenda mereka. Cantigi pun berinisiatif untuk keluar melihatnya.
Jarinya baru memegang resleting pintu tenda, tiba-tiba pundak Cantigi ditepuk dari belakang.
“Mau ke mana?” Jhagad bertanya sambil mengusap matanya.
“Duh, bikin kaget saja kau, Gad!” Cantigi menghela napas panjang dengan ekspresi yang lega namun kesal.
“Ssst… Itu ada suara langkah kaki daritadi, aku mau lihat,” ucap Cantigi sambil meletakkan jari telunjuk di depan mulutnya dan hendak melanjutkan membuka resleting tenda.
Namun, belum sampai resleting tenda terbuka lebih lebar, Jhagad menghentikannya.
“Tunggu, kupikir itu bukan ide yang bagus, Gi.”
“Kau takut?” kata Cantigi sambil memasang ekspresi sebal.
Jhagad yang tidak ingin terlihat sebagai penakut pun mulai memberanikan diri, “Tunggu, biar aku yang keluar dulu.”
Mereka pun akhirnya keluar tenda berdua, melempar jauh pandangan ke sekitar. Tidak terlihat ada orang sejauh mata memandang.
“Tidak ada apa-apa, Gi. Kau salah dengar mungkin” kata Jhagad.
“Jelas-jelas tadi terdengar kok! Langkah ka…”
Sebelum Cantigi menyelesaikan kalimat yang ingin dikatakannya, tiba-tiba Jhagad memberi isyarat dengan meletakkan jari telunjuk di depan mulutnya sendiri. Tanda mereka harus diam sebentar.
“Sttt.. Kau dengar?”
Suara langkah kaki terdengar dari arah belakang mereka. Semakin mendekat, Cantigi dan Jhagad pun reflek memutar tubuhnya mengikuti arah langkah kaki itu terdengar.
Keringat dingin pun bercucuran pada keduanya. Detak jantung kondisinya sudah seperti detak jantung setelah berolah raga karena saking cepatnya.
Dengan suara sedikit bergetar, Jhagad berkata, “Gi!”
“Iya aku juga melihatnya!”
Ketika tubuh mereka telah berbalik sempurna, terlihat ada sosok yang mendekat. Jhagad dan Cantigi hanya berdiri kaku, menatap tegang, sosok yang terlihat semakin mendekat, mereka berdua terdiam, sesekali menelan ludah. Angin malam yang membawa serta hawa dingin khas pegunungan memeluk erat tubuh keduanya.
“Gi!” panggil Jhagad sambil menarik lengan Cantigi, berusaha mengajaknya kembali ke dalam tenda.
“Apa sih Gad, tunggu sebentar aku tidak bisa ketakutan tanpa tahu penyebabnya secara jelas begini!”
Sayangnya Cantigi masih tetap berkeras untuk tidak beranjak. Jhagad pun mau tidak mau tetap menemani Cantigi, karena tidak bisa membiarkannya seorang diri.
Krik… Krik…Krik…Krik…
Bahkan suara jangkrik yang biasanya cukup bisa menenangkan jiwa siapapun yang mendengarnya, kali ini sungguh tidak berlaku sama sekali. Ditambah, pemandangan sesosok yang terus bergerak dihadapan mereka berdua, suasana tegang mutlak sudah mengambil alih.
Sekali lagi Jhagad meminta Cantigi untuk kembali ke tenda, sambil berkata, “Gi! Serius!”
Cantigi pun menatap lamat-lamat Jhagad sambil berkata, “Aku juga serius Gad! Kau masuk saja dulu kalau begitu!”
“Kau pikir aku setega itu meninggalkanmu sendiri?”
“Ya sudah di sini saja dulu, temani aku. Oke?”
Jhagad pun sudah tidak bisa berkata-kata lagi. Sementara, semakin dekat sosok itu, semakin mulai terlihat jelas bentuknya. Jhagad dan Cantigi pun takut-takut memperhatikan lamat-lamat gambaran yang terlihat samar.
“Gi, menurutmu itu manusia?”
“Bentuk bagian bawahnya sekilas sih iya kaki manusia, tidak tahu lagi bagian atasnya!”
“Hush.. ngomong apa sih kau!”
Ketika jarak hanya tinggal beberapa jengkal, tiba-tiba saja sorot cahaya menghujam ke arah keduanya. Jhagad dan Cantigi pun reflek menutupi matanya dari silau cahaya dengan mengarahkan telapak tangan ke depan wajahnya. Sesekali masih berusaha mengintip di sela-sela jarinya, sambil mengerjapkan matanya.
“Gad!” ucap Cantigi sambil memukul pelan lengan Jhagad yang berdiri di sebelahnya.
Dengan suara yang bergetar, Jhagad bertanya, “i..itu.. tidak ada ke..pa..lanya?
Kali ini Cantigi tidak menjawab, bibirnya kelu, tidak percaya dengan apa yang ada dihadapannya saat itu. Terlihat samar sosok bertubuh manusia namun tidak terlihat kepalanya. Tiba-tiba saja sosok itu berlari mendekat. Jhagad dan Cantigi reflek terjatuh ke belakang, terduduk di tanah.
Sosok itu sekarang sudah berdiri tepat di depan keduanya. Setelah terlihat jelas, mereka mengusap matanya, memastikan. Jhagad dan Cantigi pun menghembuskan napas, yang tadinya sepersekian detik sempat tertahan.
“Kau tenyata Lan!” ucap Jhagad sedikit kesal.
Sosok yang tidak lain adalah Jazlan itu kemudian mengarahkan senter ke arah wajahnya sendiri dan berkata, “Kau jangan bertanya aneh-aneh, kalau bukan aku siapa lagi? Nih periksa sendiri, muka ganteng begini masa iya disama-samain dengan, begituan!”
Jazlan saat itu sebenarnya ketakukan ketika akan kembali ke tenda. Ia pun membenamkan kepalanya sendiri ke dalam jaketnya. Jelas, dari jauh akan terlihat seperti sosok tanpa kepala. Lantas berlari mendekat, ketika sorot lampu senter yang diarahkannya menangkap siluet Jhagad dan Cantigi yang berdiri di luar tenda.
“Kau tadi yang berkeliling di sekitar tenda lama sekali?” tanya Cantigi memastikan.
“Lama apanya? tadi itu aku hanya jalan-jalan kecil sebentar supaya bisa nahan buang air kecil, tapi ternyata tetap tidak tahan. Ya sudah, akhirnya kuberanikan diri pergi cari tempat buang air kecil sendiri. Kalian kupanggil-panggil tidak ada yang merespon. Dasar tidak setia kawan memang!” Jazlan sedikit merajuk.
Mendengarnya, Cantigi dan Jhagad tertawa.Kali ini bukan karena lelucon Jazlan, melainkan malu saja dengan diri sendiri karena sempat benar-benar ketakutan tadi.
“Tunggu, kenapa kalian berduaan malam-malam di luar tenda begini?" Jazlan iseng menyelidik menggoda Jhagad dan Cantigi.
“Pikiranmu sepertinya perlu dibersihkan juga, sana masuk tenda!” jawab Jhagad sambil bersendekap tangan.
“Oke, oke, aku pergi, silakan dilanjutkan. Anggap saja aku tidak melihat apa-apa,” usil Jazlan sambil masuk ke tenda dengan riangnya.
Melihat ekspresi Jazlan, Jhagad dan Cantigi semakin sebal saja. Astaga, sebelumnya mereka dibuat benar-benar tegang untuk kemudian mendengar ocehan Jazlan yang tidak masuk akal. Sungguh malam yang penuh drama. Akhirnya, mereka pun kembali ke tenda juga.
***
Sementara itu, satu titik api tercipta dari puntung rokok yang tergeletak di tanah di area Hutan Terra dekat Pos Tiga. Tidak ada sama sekali yang menyadari keberadaan titik api itu. Pelan tapi pasti, titik api itu mulai menyambar ranting maupun dedaunan kering di sekitarnya dan menyebar tidak terkendali sama sekali.
Pagi menjelang, pukul delapan rombongan Jhagad sudah bersiap untuk turun. Tegar terlihat juga telah siap untuk turun. Entah disengaja atau tidak mereka pun turun bersama-sama menuju Pos Tiga. Selama perjalanan turun, tidak ada halangan yang berarti kali ini.Sampai di dekat persimpangan Hutan Terlarang, tiba-tiba saja suasana menjadi sangat ramai. Banyak pendaki berhamburan dari arah Pos Tiga menuju ke Pos Empat.“LARI… KEBAKARAN!!!,” teriak para pendaki sambil berlarian.“Bang, ada apa?” tanya Jhagad pada salah satu pendaki yang berhasil dicegatnya.“Kebakaran Bang, Pos Tiga sudah mulai terbakar,” jawab pendaki itu singkat lalu melanjutkan langkahnya berlari.Api yang melahap pohon-pohon di arah Pos Tiga pun mulai terlihat dari perbatasan Hutan Terlarang. Para pendaki banyak yang berlari menuju ke arah satu-satunya jembatan gantun
Setelah mendapat kabar dari orang rumah, Kakak Rosie langsung menuju ke basecamp Gunung Argon saat itu juga. Hal serupa juga dilakukan oleh para keluarga pendaki yang masih terjebak di Gunung Argon saat itu.Akibatnya, basecamp Gunung Argon pun dipenuhi oleh keluarga para pendaki yang masih terjebak kebakaran. Tidak sedikit ibu yang menangis histeris mengkhawatirkan keadaan putra putrinya. Pihak basecamp pun masih berusaha menenangkan keluarga para pendaki. Mereka pun menyiapkan tempat yang layak untuk menjadi tempat istirahat sementara keluarga pendaki.Seorang laki-laki muda dengan perawakan tinggi tegap turun dari mobil dan langsung mendekati petugas informasi basecamp.“Pak, saya kakak dari Rosie Hanan. Boleh saya tahu informasi terakhir terkait kondisi adik saya?” tanya laki-laki itu.“Rosie Hanan ya, sebentar. Iya benar, Rosie Hanan naik ber
Awan yang tadinya lebih fokus ke arah semak-semak pun menoleh.Tidak disangka, di balik batuan besar itu ada danau yang terhampar luas. Uniknya, mereka tidak merasa jalanan yang menurun sebelumnya, namun tanpa sadar, jika sebelumnya sebelah kiri ada tebing cukup tinggi yang membatasi sungai, sekarang berubah menjadi danau luas.‘Sungguh topografi yang unik’ gumam Awan dalam hati.Awan dan Rosie pun berjalan sedikit menurun, mendekati pinggiran danau. Hal pertama yang mereka lakukan setelah sampai di pinggiran danau adalah, mulai menyapukan mata ke seluruh sisi danau. Mencari keberadaan Cantigi, Jhagad dan Tegar.PLUK..Sesekali, riak kecil air danau pun membuat fokus mereka berdua teralihkan. Berharap itulah pertanda kehidupan dari yang mereka cari. Namun sayang, riak-riak air itu hanyalah percikan ikan yang melompat bermain-main kegirangan.
Awan pun terdiam, tidak jadi atau tidak bisa berkata apa-apa. Jari telunjuknya diletakkan di depan mulutnya, menyuruh Rosie agar tidak bersuara.SSST…Rosie mengangguk pelan, paham dengan bahasa tubuh Awan.Mata Awan masih sibuk melihat ke arah sumber suara. Awan tahu benar, ada jarak aman ketika sedang berhadapan dengan binatang liar. Selagi jarak itu terjaga, kemungkinan aman dari terkaman masih besar.Namun, tentu hal ini bukan jaminan, karena alam liar selalu banyak memberikan kejutan. Kewaspadaan adalah satu-satunya kunci, agar bisa menyelamatkan diri.“Ros!” ucap Awan sedikit berbisik.“Apa?” tanya Rosie sangat pelan.“Kalau kubilang lari, kau harus cepat lari!”“Lalu, kau sendiri?Awan tidak menjawab apa-apa.“Wan?&
Di sisi lain Hutan Terlarang, terlihat para pendaki juga mulai kelelahan. Di area yang cukup luas, mereka satu persatu terduduk di tanah, melemaskan kaki yang sedari tadi dipaksa berlari. Ada yang mengeluarkan air untuk sekadar melepas dahaganya. Ada juga yang memilih menggeletakkan tubuhnya, telentang melepas lelah.Beberapa pendaki lain masih terus berdatangan ke area tersebut. Seorang laki-laki tinggi tegap, yang tidak lain adalah Jazlan, terlihat berjalan sempoyongan, sambil menggandeng bahu seorang pendaki muda yang jalannya terseok-seok.<<Flashback>>Ketika hendak menuju jembatan gantung, kerumunan para pendaki yang berlarian kian tidak terbendung. Jazlan yang notabennya memiliki badan tinggi besar pun sampai terseret karena saking banyaknya pendaki yang menyerbu, berebut untuk menuju jembatan gantung itu. Apalagi R
“SSST…” Jazlan hanya mengkode agar Riki diam.Jazlan yang bisa dibilang cenderung penakut pun tiba-tiba merasa seluruh bulu kudunya berdiri. Pikirannya melayang, membayangkan apa saja yang bisa menjadi sumber suara.“Astaga! Kenapa juga aku teringat kejadian di Hutan Mati sekarang?” Jazlan keceplosan mengucapkan apa yang ada di pikirannya sendiri.“Hah, kau bicara apa?” Riki tidak mengerti.“Eh, lupakan, aku sedang bicara sendiri!” kata Jazlan sedikit berbisik.Walaupun masih terhitung terang, tapi suasanya kali ini lebih ke arah mencekam. Bahkan para pendaki yang ada di area itu pun hanya berdiri kaku, melihat ke arah sumber suara. Tidak ada satupun yang berani berinisitif memastikan apa yang menyibak rimbunnya rumput di sana.“HEI! SIAPA DI SANA? TOLONG JANGAN BERCANDA!” teriak Jazlan yang m
Melihat serigala yang semakin mendekat, Riki yang duduk di samping kanan, tepat di depan pintu gerbang benteng pun tidak bisa lagi tinggal diam. Ia kemudian mencoba bangkit dari duduknya dengan menjadikan dinding benteng sebagai alat bantu berdiri.KRETEK.. KRETEKTidak disangka, saat tangan Riki bersandar di salah satu bagian dinding benteng tua, ada bagian dinding yang tiba-tiba bergerak masuk ke dalam, membentuk lubang. Ajaib, di dalam lubang tembok itu terlihat benda semacam tuas.‘Astaga, jangan-jangan itu tuas untuk membuka pintu gerbang, sudah seperti cerita film saja,'gumam Riki.Tanpa menunggu lagi, sambil berjinjit, Riki pun langsung mengarahkan tangannya ke dalam lubang dan menarik tuasnya ke arah bawah.CIIIT…. BRUK…BRUK…Dan benar saja, setelah itu pintu gerbang tiba-tiba saja terbuka. Jazlan
HAH.. HAH.. HAH..Suara napas Jazlan terdengar sudah sangat tidak beraturan dan dalam. Keringat dingin di dahinya pun mulai mengalir membasahi wajahnya. Entah sudah sejauh mana ia berlari, tapi serigala-serigala itu tetap terus mengejarnya tanpa henti.“Aduh!” saking buru-burunya Jazlan pun tidak melihat ada batu, ia pun terjungkal, jatuh terperosok ke tanah.Sementara, saat itu para serigala yang mengejarnya hanya berjarak lima langkah saja darinya. Jazlan hendak bangkit, berdiri dan kemudian melanjutkan lari. Namun sayang, kakinya sepertinya terkilir, Jazlan pun tidak bisa beranjak dan hanya terduduk di tanah.“PERGI!” teriak Jazlan mengusir serigala-serigala yang sudah didepannya persis.Bukan serigala liar namanya kalau mereka patuh dengan perkataan Jazlan. Saat itu, tanpa aba-aba, para serigala dengan kompaknya mulai melompat, menerjang ke arah Jazlan
Bukan hanya Cantigi yang panik, Rosie, Tegar dan Jazlan juga. Kedua orang laki-laki itu tampak melongok ke jembatan yang sudah tergantung ke sisi jurang.Melihat Jhagad bergelantungan, Jazlan mau bergerak menolong. “Gad!?”“Biar aku saja, kau tunggu di sini,” cegah Tegar sambil sudah bergerak, menuruni jembatan itu.“Bertahan, Gad!” teriak Jazlan.Jhagad sendiri tampak sedang bergelantungan, tangannya berpegang ke tali jembatan terbawah sambil kakinya menendang-nendang Mahluk Haus Darah yang memegangi kakinya.“Bantu aku,” Awan tiba-tiba berteriak, membuat Jazlan menoleh.Ternyata, laki-laki itu sedang memegangi tali jembatan yang masih terikat di pohon.Beruntungnya, kebakarannya tidak sampai melahap tanaman di sekitar jembatan gantung itu.“Talinya sudah menipis sekali,” kata Jazlan seketika melihat kondisi talinya.Sementara itu, Tegar tampak sudah akan sampai di posisi Jhagad.“Hati-hati!” teriak Cantigi, Rosie menatap harap-harap cemas.“Naik, buat apa kau turun?!” ucap Jhagad ke
Para perempuan tampak istirahat. Jazlan dan Tegar juga. Lumayan, masih tersisa beberapa jam sebelum mereka harus berlari nanti.Tinggallah Awan dan Jhagad saja yang masih terjaga. “Kau tidak tidur?” tanya Jhagad kepada Awan.“Bisa kita bicara di luar?” Awan justru bertanya balik.“Bicara apa?”“Tempat buang air,” ucap Awan dengan nada serius sambil melirik ke arah sahabatnya.Paham dengan maksud Awan, Jhagad mengiyakan. “Oh, ok.”Kepada yang lain mungkin Jhagad bisa pura-pura dan menyembunyikan semuanya. Tapi, kepada Awan lain cerita.Di saat orang-orang tidak curiga, hanya Aw
“Tenang, sepertinya, mereka tidak bisa melihat kita dalam kabut ini,” kata Awan, berdiri di samping Rosie.“Benar. Sebaiknya kita bergegas,” Jhagad yang di depan pun segera memberikan komando.Mereka terus berjalan, sambil melihat ke bayangan di kabut untuk jaga-jaga.Tapi, Mahluk Haus Darah itu tidak menyerang. Sepertinya benar, mereka aman di dalam lingkup kabut itu.Beberapa menit kemudian, sebuah cahaya lampu kuning terlihat.“Jogoboyo?!” sapa Jhagad.“Cepat ikuti aku,” ucap Jogoboyo sambil berjalan.Jhagad dan rekan-rekannya pun mengikuti ke mana Jogoboyo pergi.
“Benar, ‘kan? Ini bukan langkah manusia,” ucap Tegar kepada Jhagad. “Aku tahu, tapi tidak perlu membuat orang semakin takut bukan?” sindir Jhagad, membuat Tegar menoleh ke belakang. Melihat Rosie dan rombongan perempuan lainnya, ia pun merasa bersalah karena membuat mereka tegang begitu. “Sorry-sorry, kemungkinan itu suara langkah hewan. Jangan panik” “Heh. Langkahnya semakin mendekat, mengarah ke sini,” kata Jazlan sambil bersiap dengan tongkat pendaki yang ia bawa sejak tadi. “Jangan menyerang lebih dulu. Matikan saja headlampnya,” usul Tegar. “Ha? Serius?” sahut Sivi seolah tidak setuju dengan ide Tegar itu. “Serius. Ini ruangan tertutup, kalau itu hewan buas, kita sebaiknya tidak menyerang, tapi bersembunyi. Satu-satunya cara sembunyi ya cuma membuat gelap ruangan, agar hewan itu tidak melihat.” “Kalau itu hewan yang peka dengan bau manusia bagaimana?” “Iya juga.” Tegar jadi berpikir ulang.
“Sepertinya benar ini lorong bawah tanah. Ujungnya tidak terlihat, masuklah,” jawab Tegar.Mendengarnya, Jhagad dan Jazlan pun saling tatap. Seolah sudah bersepakat, Jhagad masuk ke dalam peti itu lebih dulu.Jhagad sudah ada bersama Tegar, giliran Jazlan menyusul.Dengan bantuan cahaya headlamp yang redup, mereka bertiga pun mulai melihat lorong bawah tanahnya.“Coba lihat ini!” kata Tegar yang sedang memeriksa sebuah lukisan di dinding sebelah kanan.Jhagad dan Jazlan berjalan mendekat. Melihat lukisan itu, Jazlan berceletuk. “Peta?”“Sepertinya iya. Ini benteng, ini padang rumputnya.” Jhagad berkata sambil menunjuk ke arah peta, menunjuk tempat yang ia sebut.“Dan yang ini, sepertinya jalur lorong ini.” Tegar menunjuk jalur di peta itu. “Kalau dari sini, lorongnya terhubung dengan salah satu gua di dekat jembatan. Benar ‘kan?”“Kupikir juga begitu.” Jhagad setuju.“Hah…!” Jazlan menghela napas lega. “Ok, aku akan menyusuri lorong ini kalau begitu.”“Kalau menurutku, sebaiknya kita
Bukannya menjawab pertanyaan Cantigi, Jazlan justru memanggil Awan, “Wan!”Awan pun menoleh. Jazlan menatapnya, mereka pun saling tatap untuk beberapa detik. Sementara, yang lainnya masih menunggu. Jhagad mulai menyadari bahwa ada hal yang serius hanya dari melihat ekspresi Jazlan saat itu. Jazlan orang yang penuh humor tiba-tiba saja menunjukkan ekspresi tegang, jelas bukan pertanda baik. Bahkan Rosie pun juga ikut tegang dibuatnya.“Kau ingat jembatan gantungnya?” tanya Jazlan sambil masih menatap Awan.Untuk sejenak, Awan terlihat berpikir. Mencoba mengingat-ingat kembali tentang jembatan gantung yang menjadi pembatas dan satu-satunya penghubung antara Hutan Terra dan Hutan Terlarang. Ekspresi Awan lantas berubah ketika akhirnya mengingat sesuatu. Hal kecil yang ternyata bisa berdampak kepada risiko dan ancaman yang skalanya lebih besar.“Gerbang jembatan gantungnya terbuka,” ucap Awan dengan nada suara yang tampak menyesal.“Benar,” Jazlan membenarkan.“Gerbang jembatan gantung? M
Jhagad lantas memberikan isyarat agar tidak ada siapapun yang bersuara, sementara dirinya maju mendekat ke arah tumpukan tong bekas untuk memeriksa sumber suara. Pelan tapi pasti, Jhagad mulai mendekati tumpukan tong bekas. Teman-temannya harap-harap cemas mengamatinya dari belakang.Rosie sudah takut jika yang menjadi sumber suara di tumpukan tong bekas adalah Mahluk Haus Darah. Baru saja pintu gerbang dengan susah payah mereka tutup, jika ada Mahluk Haus Darah maka akan jadi sia-sia saja jadinya. Jhagad yang sudah berdiri tepat di depan tumpukan tong pun mulai menyibakkan padangannya, mencari celah, mengintip tumpukan bagian dalam.“Hati-hati, Gad!” gumam Rosie dalam hati.Perlahan Jhagad memberanikan diri mengangkat satu tong bekas yang ada di tumpukan paling atas. Seketika itu juga Jhagad terperanjat melihat apa yang ada di balik tumpukan tong bekas. Melihat Jhagad terperanjat, Awan dan Tegar langsung membuat pagar pelindung di depan Rosie dan Cantigi. Sementara Jazlan, mulai bers
Kemudian suara pintu gerbang benteng terbuka terdengar. Awan yang sangat sensitif dengan suara pun langsung menyadarinya. Jhagad yang melihat ekspresi Awan berubah seketika bertanya, “Ada apa, Wan?”“Pintu gerbang sepertinya baru saja terbuka,” kata Awan singkat.“Aku juga mendengarnya sekilas,” imbuh Tegar membenarkan pernyataan Awan.“Kenapa ini? Apa yang sebenarnya terjadi, mereka tidak mungkin secara sadar membuka pintu gerbang, bukan?” tanya Cantigi heran.“Benar, itu tidak mungkin. Bahkan mereka saja takut kepada kita sehingga tadi tidak mau membukakan pintu gerbangnya,” ucap Rosie membenarkan Cantigi.“Entah apa yang sebenarnya terjadi!” Jhagad yang masih mencoba melongok ke arah luar penjara tetap tidak tahu bisa melihat apa apa.Samar samar hanya terdengar jeritan dan teriakan para pendaki yang sepertinya sedang dikejar-kejar Mahluk Haus Darah. Rosie hanya bisa menutup telinga, sementara Cantigi memeluknya mencoba menenangkan. Awan dan Tegar masih tampak berpikir. Sementara J
Beberapa menit sebelum teriakan terdengar.Di serambi benteng, semua pendaki yang tersisa sudah mulai mengambil posisi tidur berpencar. Riki tampak menjauh dari pendaki yang lain. Saat itu, tanpa ada seorang pun yang menyadari, tubuh Riki sesekali menggeliat, seperti orang sedang kedinginan atau terkena hawa dingin yang menusuk tulang. Kepalanya bergeleng-geleng seperti sedang seseorang yang terkena stroke.SSSSTT..Sesekali, ia pun mendesis pelan tanpa ada yang mendengar. Perangainya sungguh tidak biasa, andai ada yang mengetahui hal ini lebih awal. Sayangnya, seperti yang sudah sudah, petaka kali ini pun terjadi dengan begitu cepat tanpa ada yang menyadari. Dalam hitungan detik, Riki menunjukkan gejala yang sama sebagaimana manusia berubah menjadi Mahluk Haus Darah untuk pertama kali.Salah seorang pendaki melihat gelagat aneh Riki pun mendekatinya, sambil berkata, “Hei, kau tidak apa apa?”Riki tidak menjawab karena saat itu ia mulai kehilangan kesadarannya. Pendaki yang mendekati