HAH.. HAH.. HAH..
Suara napas Jazlan terdengar sudah sangat tidak beraturan dan dalam. Keringat dingin di dahinya pun mulai mengalir membasahi wajahnya. Entah sudah sejauh mana ia berlari, tapi serigala-serigala itu tetap terus mengejarnya tanpa henti.
“Aduh!” saking buru-burunya Jazlan pun tidak melihat ada batu, ia pun terjungkal, jatuh terperosok ke tanah.
Sementara, saat itu para serigala yang mengejarnya hanya berjarak lima langkah saja darinya. Jazlan hendak bangkit, berdiri dan kemudian melanjutkan lari. Namun sayang, kakinya sepertinya terkilir, Jazlan pun tidak bisa beranjak dan hanya terduduk di tanah.
“PERGI!” teriak Jazlan mengusir serigala-serigala yang sudah didepannya persis.
Bukan serigala liar namanya kalau mereka patuh dengan perkataan Jazlan. Saat itu, tanpa aba-aba, para serigala dengan kompaknya mulai melompat, menerjang ke arah Jazlan
Tidak ada jawaban. Hanya langkah kaki yang tetap terdengar dengan bayangan sosok yang tampak mulai mendekat. Headlamp Jazlan pun mulai meredup. Saking panjang dan gelapnya lorong, tidak terlihat jelas bayangan sosok yang mendekat dari ujung lorong itu. “Hei, siapa di sana?” teriak Jazlan sekali lagi. Tetap tidak ada jawaban. “Kalau manusia seharusnya akan menjawab bukan?” gumam Jazlan dalam hati. GLUP Jazlan menelan ludah. Ia pun memaksakan diri, takut-takut mulai mengambil langkah mundur, hendak lari ke ujung lorong di belakangnya. Namun sayang, dari arah belakangnya tiba-tiba saja ada suara langkah kaki yang juga terdengar seperti sedang mendekat menuju ke arahnya. “Apa lagi ini? Hu..hu..” Jazlan yang notabennya penakut dengan hantu pun sudah mulai mau menangis. Saat itu, Jazlan benar-benar tidak tahu harus melihat ke arah mana. Ia pun hanya berdiri kaku di tempat, tidak maju dan tidak mundur. Matanya fokus melihat kedepan, sedang telinganya fokus mende
Riki dan Roman terdiam, tidak ada satu pun kata yang mereka keluarkan untuk menanggapi pertanyaan Jazlan. Pandangan mata mereka masih tidak bisa lepas, tetap melihat ke atas atap.“Ka..katakan aku sedang bermimpi!” ujar Jazlan masih tidak percaya.Namun, Riki dan Roman masih tidak bergeming. Seperti tersihir oleh apa yang dilihatnya di atas atap. Hal yang baru pertama kali mereka lihat, secara langsung, seumur hidupnya.“Hei! Kalian mendengarku?” tanya Jazlan sekali lagi, sambil mengguncangkan pelan lengan Riki dan Roman.Riki dan Roman masih tetap berdiri mematung. Tidak bergerak, pun tidak memberikan tanggapan terhadap pertanyaan Jazlan.Tes..Suara satu tetes cairan mengalir dari atas atap, mengenai dahi Riki yang sedang mendongak ke arah atas. Ia pun reflek segera membersihkan tetesan cairan yang ternyata adalah darah. 
Di dekat danau Hutan Terlarang, Awan dan Rosie tampak masih berjalan, memecah keheningan malam. Sambil tetap menyapukan pandangan ke seluruh penjuru danau, mencari keberadaan sahabatnya, Cantigi dan Jhagad yang terjatuh ke jurang dengan sungai mengalir di bawahnya. KRU…KRUUU Malam di Hutan Terlarang benar-benar sunyi, nyaris tidak terdengar suara apa pun kecuali suara burung hantu yang sedari tadi terus berbunyi. Atau suara kepak sayap kelelawar yang samar-samar terdengar ketika melintas. Semakin jauh kaki melangkah menyusuri kawasan Hutan Terlarang, satu hal yang masih sama, perasaan dilihat entah oleh apa atau siapa. “Wan! Kau lihat itu?” kata Rosie sambil menunjuk ke tanah di depannya. Awan tidak menjawab, namun langsung mengambil posisi jongkok, mendekati tanah yang ditunjuk oleh Rosie. Perlahan Awan mengarahkan cahaya headlamp miliknya ke arah tanah di depannya.
Awan dan Rosie dalam keadaan yang terdesak. Sudah tidak ada pilihan lagi, harus mengambil tindakan sekarang juga atau terlanjur tidak bisa sama sekali nanti. Sekelebat Awan melihat ke arah depan, sorot mata tampak tidak sebanyak yang ada di sisi kanan maupun kiri mereka.Tanpa berkata-kata, Awan pun langsung menyambar tangan Rosie, menariknya, melarikan diri. Mendengar pergerakan mereka berdua, serigala yang ada di depan mereka pun akhirnya juga sudah mulai bergerak.“Sial!” maki Awan kepada headlamp yang saat itu tidak membantu penerangan sama sekali di dalam kabut.Jarak pandang yang menipis membuat pandangan Awan terganggu, tidak setajam sebelumnya. Awan hanya bisa mengandalkan pendengarannya saja. Berbeda dengan Awan, sepertinya pandangan serigala itu tidak terganggu sama sekali. Artinya, serigala serigala itu bisa dengan mudah menerkam Awan dan Rosie, kapan saja.GERRR&helli
“Sepertinya begitu,” jawab Awan dengan nada suara yang masih ragu-ragu.Awan tidak menyangka sama sekali, bahwa ia akan mengalami kejadian yang seperti ini. Awan mungkin pernah mendengar bahwa ada beberapa tempat yang memang memiliki fenomena kabut menyesatkan. Entah siapa pun yang berada di dalam lingkup kabutnya, mereka hanya akan dibuat berputar-putar di area itu-itu saja.“Apa yang harus kita lakukan sekarang?” Rosie sudah mulai mengkhawatirkan banyak hal lagi.“Ayo, coba kita melangkah lagi untuk memastikan!” ajak Awan.Rosie pun mengangguk, menyetujui apa yang disarankan Awan. Mereka berdua berjalan dengan langkah agak cepat, membelah sunyinya malam di Hutan Terlarang. Bahkan saking sunyinya, yang terdengar hanya suara langkah kaki mereka berdua saja. Setelah beberapa menit berjalan.BUK..“Aduh, eh, ada apa ber
Dalam lingkup kabut yang tebal, cahaya itu mulai terlihat semakin jelas bentuknya. Sesekali angin pun bertiup menggoda tubuh mereka berdua dengan hawa dingin yang menusuk tulang, menambah debar jantung keduanya menyaksikan cahaya itu mendekat.KRETEK..Samar-samar terdengar suara ranting yang terinjak oleh sesuatu, dari arah yang sama dengan cahaya itu terlihat. Seiring berlalunya waktu, cahaya itu terlihat memancarkan warna kuning, dengan pergerakan yang tampaknya tidak stabil. Bergoyang-goyang tidak beraturan.“Wan, i.. itu.. bukan sepasang mata besar bukan?” tanya Rosie sambil mengeratkan pegangan tangannya pada jaket Awan.Awan hanya diam, karena ia sendiri pun tidak yakin apa itu. Ketika jarak mereka berdua dengan kedua cahaya hanya terbilang tujuh langkah saja, terlihat jelas sumbernya.“Hmmph…” Awan menghembuskan napas pelan.
Sosok yang tinggi besar dengan kalung tulang belulang itu terlihat berdiri menatap mereka berempat. Ekspresinya datar, namun sorot matanya memang tajam. Rambutnya panjang dan agak acak acakan. Pertama kali melihatnya tentu saja orang bisa terkejut dibuatnya.“Pak Jogoboyo!” sapa Cantigi sambil tersenyum kepada sosok itu.“Eh?” Rosie kaget sambil menelan ludah melihat ke arah Cantigi.“Ros, Wan, beliau Jogoboyo di pondokan ini. Pak, ini teman kami, Rosie dan Awan,” kata Jhagad memperkenalkan.Jogoboyo itu hanya mengangguk pelan dengan ekspresi yang tetap datar. Menatap satu per satu per satu ke arah Rosie dan Awan. Kemudian tersenyum tipis, tatkala melihat Awan.“Ehm. Mohon maaf Pak, apakah teman kami ini juga boleh menginap di sini malam ini?” tanya Jhagad dengan sopan.Sambil terus melangkah, Jogoboyo itu
Kali ini Awan tidak menimpali perkataan Jhagad. Karena Awan juga merasakan hal yang sama. Perasaan yang tidak bisa dijelaskan, ketakutan yang tidak diketahui pasti penyebabnya. Tapi itu ada, menghantui mereka sejak menginjakkan kaki di kawasan Hutan Terlarang.“Ayo! Ada banyak hal yang harus kita bagi bersama, tentang Jazlan dan Tegar. Cantigi dan Rosie mungkin juga akan khawatir kalau kita tidak kunjung kembali ke pondok!” ajak Jhagad kepada Awan.Awan tidak menjawab. Namun langsung melangkah mengikuti Jhagad yang sudah melangkah lebih dulu menuju pondok mereka. Tidak jauh, mungkin hanya beberapa ratus meter saja berjalan, mereka berdua pun sampai di depan pondoknya.“Wan, jangan beri tahu mereka tentang tempat ini dan Jogoboyo. Kau tidak ingin kondisi menjadi lebih merepotkan bukan?” bisik Jhagad kepada Awan sebelum memasuki pondok.Awan mengangguk. Tentu saja, Awan sebisa m
Bukan hanya Cantigi yang panik, Rosie, Tegar dan Jazlan juga. Kedua orang laki-laki itu tampak melongok ke jembatan yang sudah tergantung ke sisi jurang.Melihat Jhagad bergelantungan, Jazlan mau bergerak menolong. “Gad!?”“Biar aku saja, kau tunggu di sini,” cegah Tegar sambil sudah bergerak, menuruni jembatan itu.“Bertahan, Gad!” teriak Jazlan.Jhagad sendiri tampak sedang bergelantungan, tangannya berpegang ke tali jembatan terbawah sambil kakinya menendang-nendang Mahluk Haus Darah yang memegangi kakinya.“Bantu aku,” Awan tiba-tiba berteriak, membuat Jazlan menoleh.Ternyata, laki-laki itu sedang memegangi tali jembatan yang masih terikat di pohon.Beruntungnya, kebakarannya tidak sampai melahap tanaman di sekitar jembatan gantung itu.“Talinya sudah menipis sekali,” kata Jazlan seketika melihat kondisi talinya.Sementara itu, Tegar tampak sudah akan sampai di posisi Jhagad.“Hati-hati!” teriak Cantigi, Rosie menatap harap-harap cemas.“Naik, buat apa kau turun?!” ucap Jhagad ke
Para perempuan tampak istirahat. Jazlan dan Tegar juga. Lumayan, masih tersisa beberapa jam sebelum mereka harus berlari nanti.Tinggallah Awan dan Jhagad saja yang masih terjaga. “Kau tidak tidur?” tanya Jhagad kepada Awan.“Bisa kita bicara di luar?” Awan justru bertanya balik.“Bicara apa?”“Tempat buang air,” ucap Awan dengan nada serius sambil melirik ke arah sahabatnya.Paham dengan maksud Awan, Jhagad mengiyakan. “Oh, ok.”Kepada yang lain mungkin Jhagad bisa pura-pura dan menyembunyikan semuanya. Tapi, kepada Awan lain cerita.Di saat orang-orang tidak curiga, hanya Aw
“Tenang, sepertinya, mereka tidak bisa melihat kita dalam kabut ini,” kata Awan, berdiri di samping Rosie.“Benar. Sebaiknya kita bergegas,” Jhagad yang di depan pun segera memberikan komando.Mereka terus berjalan, sambil melihat ke bayangan di kabut untuk jaga-jaga.Tapi, Mahluk Haus Darah itu tidak menyerang. Sepertinya benar, mereka aman di dalam lingkup kabut itu.Beberapa menit kemudian, sebuah cahaya lampu kuning terlihat.“Jogoboyo?!” sapa Jhagad.“Cepat ikuti aku,” ucap Jogoboyo sambil berjalan.Jhagad dan rekan-rekannya pun mengikuti ke mana Jogoboyo pergi.
“Benar, ‘kan? Ini bukan langkah manusia,” ucap Tegar kepada Jhagad. “Aku tahu, tapi tidak perlu membuat orang semakin takut bukan?” sindir Jhagad, membuat Tegar menoleh ke belakang. Melihat Rosie dan rombongan perempuan lainnya, ia pun merasa bersalah karena membuat mereka tegang begitu. “Sorry-sorry, kemungkinan itu suara langkah hewan. Jangan panik” “Heh. Langkahnya semakin mendekat, mengarah ke sini,” kata Jazlan sambil bersiap dengan tongkat pendaki yang ia bawa sejak tadi. “Jangan menyerang lebih dulu. Matikan saja headlampnya,” usul Tegar. “Ha? Serius?” sahut Sivi seolah tidak setuju dengan ide Tegar itu. “Serius. Ini ruangan tertutup, kalau itu hewan buas, kita sebaiknya tidak menyerang, tapi bersembunyi. Satu-satunya cara sembunyi ya cuma membuat gelap ruangan, agar hewan itu tidak melihat.” “Kalau itu hewan yang peka dengan bau manusia bagaimana?” “Iya juga.” Tegar jadi berpikir ulang.
“Sepertinya benar ini lorong bawah tanah. Ujungnya tidak terlihat, masuklah,” jawab Tegar.Mendengarnya, Jhagad dan Jazlan pun saling tatap. Seolah sudah bersepakat, Jhagad masuk ke dalam peti itu lebih dulu.Jhagad sudah ada bersama Tegar, giliran Jazlan menyusul.Dengan bantuan cahaya headlamp yang redup, mereka bertiga pun mulai melihat lorong bawah tanahnya.“Coba lihat ini!” kata Tegar yang sedang memeriksa sebuah lukisan di dinding sebelah kanan.Jhagad dan Jazlan berjalan mendekat. Melihat lukisan itu, Jazlan berceletuk. “Peta?”“Sepertinya iya. Ini benteng, ini padang rumputnya.” Jhagad berkata sambil menunjuk ke arah peta, menunjuk tempat yang ia sebut.“Dan yang ini, sepertinya jalur lorong ini.” Tegar menunjuk jalur di peta itu. “Kalau dari sini, lorongnya terhubung dengan salah satu gua di dekat jembatan. Benar ‘kan?”“Kupikir juga begitu.” Jhagad setuju.“Hah…!” Jazlan menghela napas lega. “Ok, aku akan menyusuri lorong ini kalau begitu.”“Kalau menurutku, sebaiknya kita
Bukannya menjawab pertanyaan Cantigi, Jazlan justru memanggil Awan, “Wan!”Awan pun menoleh. Jazlan menatapnya, mereka pun saling tatap untuk beberapa detik. Sementara, yang lainnya masih menunggu. Jhagad mulai menyadari bahwa ada hal yang serius hanya dari melihat ekspresi Jazlan saat itu. Jazlan orang yang penuh humor tiba-tiba saja menunjukkan ekspresi tegang, jelas bukan pertanda baik. Bahkan Rosie pun juga ikut tegang dibuatnya.“Kau ingat jembatan gantungnya?” tanya Jazlan sambil masih menatap Awan.Untuk sejenak, Awan terlihat berpikir. Mencoba mengingat-ingat kembali tentang jembatan gantung yang menjadi pembatas dan satu-satunya penghubung antara Hutan Terra dan Hutan Terlarang. Ekspresi Awan lantas berubah ketika akhirnya mengingat sesuatu. Hal kecil yang ternyata bisa berdampak kepada risiko dan ancaman yang skalanya lebih besar.“Gerbang jembatan gantungnya terbuka,” ucap Awan dengan nada suara yang tampak menyesal.“Benar,” Jazlan membenarkan.“Gerbang jembatan gantung? M
Jhagad lantas memberikan isyarat agar tidak ada siapapun yang bersuara, sementara dirinya maju mendekat ke arah tumpukan tong bekas untuk memeriksa sumber suara. Pelan tapi pasti, Jhagad mulai mendekati tumpukan tong bekas. Teman-temannya harap-harap cemas mengamatinya dari belakang.Rosie sudah takut jika yang menjadi sumber suara di tumpukan tong bekas adalah Mahluk Haus Darah. Baru saja pintu gerbang dengan susah payah mereka tutup, jika ada Mahluk Haus Darah maka akan jadi sia-sia saja jadinya. Jhagad yang sudah berdiri tepat di depan tumpukan tong pun mulai menyibakkan padangannya, mencari celah, mengintip tumpukan bagian dalam.“Hati-hati, Gad!” gumam Rosie dalam hati.Perlahan Jhagad memberanikan diri mengangkat satu tong bekas yang ada di tumpukan paling atas. Seketika itu juga Jhagad terperanjat melihat apa yang ada di balik tumpukan tong bekas. Melihat Jhagad terperanjat, Awan dan Tegar langsung membuat pagar pelindung di depan Rosie dan Cantigi. Sementara Jazlan, mulai bers
Kemudian suara pintu gerbang benteng terbuka terdengar. Awan yang sangat sensitif dengan suara pun langsung menyadarinya. Jhagad yang melihat ekspresi Awan berubah seketika bertanya, “Ada apa, Wan?”“Pintu gerbang sepertinya baru saja terbuka,” kata Awan singkat.“Aku juga mendengarnya sekilas,” imbuh Tegar membenarkan pernyataan Awan.“Kenapa ini? Apa yang sebenarnya terjadi, mereka tidak mungkin secara sadar membuka pintu gerbang, bukan?” tanya Cantigi heran.“Benar, itu tidak mungkin. Bahkan mereka saja takut kepada kita sehingga tadi tidak mau membukakan pintu gerbangnya,” ucap Rosie membenarkan Cantigi.“Entah apa yang sebenarnya terjadi!” Jhagad yang masih mencoba melongok ke arah luar penjara tetap tidak tahu bisa melihat apa apa.Samar samar hanya terdengar jeritan dan teriakan para pendaki yang sepertinya sedang dikejar-kejar Mahluk Haus Darah. Rosie hanya bisa menutup telinga, sementara Cantigi memeluknya mencoba menenangkan. Awan dan Tegar masih tampak berpikir. Sementara J
Beberapa menit sebelum teriakan terdengar.Di serambi benteng, semua pendaki yang tersisa sudah mulai mengambil posisi tidur berpencar. Riki tampak menjauh dari pendaki yang lain. Saat itu, tanpa ada seorang pun yang menyadari, tubuh Riki sesekali menggeliat, seperti orang sedang kedinginan atau terkena hawa dingin yang menusuk tulang. Kepalanya bergeleng-geleng seperti sedang seseorang yang terkena stroke.SSSSTT..Sesekali, ia pun mendesis pelan tanpa ada yang mendengar. Perangainya sungguh tidak biasa, andai ada yang mengetahui hal ini lebih awal. Sayangnya, seperti yang sudah sudah, petaka kali ini pun terjadi dengan begitu cepat tanpa ada yang menyadari. Dalam hitungan detik, Riki menunjukkan gejala yang sama sebagaimana manusia berubah menjadi Mahluk Haus Darah untuk pertama kali.Salah seorang pendaki melihat gelagat aneh Riki pun mendekatinya, sambil berkata, “Hei, kau tidak apa apa?”Riki tidak menjawab karena saat itu ia mulai kehilangan kesadarannya. Pendaki yang mendekati