Pak Narso bergerak semakin gelisah. Rasa panas di bahu benar-benar membuatnya tidak nyaman. Laki-laki itu pun segera bangkit dan melirik sekilas ke arah Bintang."Sialan bener, matanya ditaruh mana, to? Gelas kopi sebesar itu nggak kelihatan!" maki Pak Narso dalam hati. Bintang benar-benar membuatnya dongkol.Sementara itu, Bintang sibuk membersihkan celananya yang terkena sedikit tumpahan kopi. Laki-laki itu tersenyum miring sekilas."Lho, Pak, kok buru-buru, kopinya belum habis?" tanya Pak Sugeng si pemilik warung.Pak Narso membayar jajanannya sambil tersenyum masam. "Iya, Kang, kurang enak badan," jawabnya. Sesekali dia mendesis menahan panas.Tidak ada yang menyadari sikap aneh laki-laki setengah tua itu. Selain, Bintang, Farrel, Vio, dan Dino. Langkahnya pun sedikit tertatih karena kedua kakinya masih terasa ngilu.Sumpah serapah dan umpatan beruntun dia dengungkan dalam hati. Gagal sudah malam ini dia mendapatkan uang seperti kebiasaannya. Malah sial yang dia dapatkan."Awas, Pa
Itu suara Mbah Kukus. Makhluk tak kasat mata itu mengerang. Pak Narso mundur selangkah. Laki-laki itu pun memindai sekeliling. Dia memegang bahu istrinya yang gemetaran. Perempuan paruh baya itu juga sangat syok. Dia tidak menyangka jika Mbah Kukus benar-benar akan meminta sang anak sebagai tumbalnya. Nuraini, anak semata wayang itu yang akan mereka jadikan tumbal? Anak yang dikandung dan dilahirkan. Lalu, dirawat dengan kasih sayang walaupun dalam keadaan serba kekurangan. Kini, anak itu tumbuh menjadi remaja yang cantik, cerdas, dan mandiri. Juga shalihah. Bu Sayuti menatap nanar pada suaminya, lalu beralih pada makhluk kecil yang masih ada di tempatnya. Sementara itu, suara Mbah Kukus kini berganti tawa yang membahana. Kemudian terdengar samar dan menghilang.Bu Sayuti menatap suaminya lagi. Kali ini tatapan protes. "Nur itu anak kita satu-satunya, Pak. Ibuk pikir Bapak becanda, dulu. Tapi, ternyata Bapak memiliki perjanjian dengan Mbah Kukus?" tanyanya parau.Pak Narso mengusap k
"Maafkan, Nur, Bu..."Nuraini semakin terisak ketika Bu Asih mengusap-usap punggungnya. Dalam hati, gadis itu merasa dilema. Dia mengutuk perbuatan kedua orang tuanya, tetapi dia juga tidak mungkin bicara jujur pada Bu Asih. Ketika Bu Sayuti sering belanja di toko milik Bu Asih, setidaknya seminggu dua kali, tanpa mereka sadari toko Bu Asih selalu kehilangan uang. Tetapi, sang pemilik toko tidak menyadari hal itu karena diam-diam, Nur mengganti uang tersebut dengan uang miliknya. Kini, Nur tidak memiliki uang untuk mengganti. Nur menatap Bu Asih dan Aris bergantian dengan tatapan nanar."Bu, boleh saya berhenti bekerja dulu?" tanyanya takut.Hal tersebut justru mengundang tanya di benak Bu Asih mau pun Aris. Keduanya menatap Nur dengan tatapan menyelidik. Bu Asih mengajak Nur untuk duduk. Hanya bertiga dengan Aris di ruang belakang. Hal itu dilakukan supaya tidak diketahui oleh karyawan yang lain."Sekarang ceritakan apa yang terjadi, Nur. Ibu merasa heran, kenapa kamu tiba-tiba ingi
"Ya, Allah ... Astaghfirullah."Nur tercekat. Ini kenyataan paling pahit yang dia ketahui, setelah mengetahui kedua orang tuanya menjadi pengikut iblis. Setega itukah orang tuanya? Hanya karena ingin bebas dari hidup miskin mengorbankan anaknya sendiri? Ternyata Pak Duki dan Hasan tidaklah cukup bagi mereka. Kini, justru dia dan Farrel yang ditargetkan menjadi tumbal. Setelah itu siapa lagi? Keputusan pergi dari rumah dan tidak ingin memakan uang haram, ternyata tidak cukup juga membuat kedua orang tuanya berbelas kasih padanya. Nur terpaku di tempat duduk.Dia menoleh ketika merasakan, Alisha mengusap-usap punggungnya. Gadis itu melirik ke arah Farrel yang justru bersikap begitu santai. Seolah hal ini bukan menjadi masalah besar bagi pemuda nyentrik tersebut."Maaf Nur, kami harus jujur dengan semua ini. Pakdhe tahu, kamu sulit menerimanya. Tapi itulah yang terjadi, Nur."Ucapan Pak Haji Imran menginterupsinya.Nur mendongak, menatap satu persatu orang yang berada di ruang keluarga l
Semenjak pertemuan di rumah Bintang waktu itu, Nur lebih membatasi diri dalam berinteraksi dengan orang lain. Gadis itu lebih sering menyibukkan diri di sekolah dan di toko. Kemudian, malamnya memilih berdiam di rumah bersama neneknya. Jika bepergian, paling hanya ke masjid yang tidak terlalu jauh dari rumahnya.Berbeda dengan Farrel yang notabene memiliki banyak teman. Latihan, nongkrong, dan mengendarai motor dari satu tempat ke tempat lain adalah hobi mereka."Rel, kamu sering ketemu Nur, nggak?" tanya pemuda seumurannya yang memang menaruh hati pada Nur.Farrel hanya mengangkat bahunya tak acuh. "Kalau pengin ketemu Nur, ya sana, ke tokonya Bu Asih. Siang sampai sebelum Maghrib. Dia kerja di sana." Farrel memberitahu.Sontak mata sipit Banu berbinar ceria. "Boleh nggak ya, kalau seandainya aku ngajak Nur ke danau hari Minggu? Tapi...," Banu menghentikan kalimatnya ragu."Tapi apa?" tanya Farrel mulai ingin tahu.Banu menarik napas sebentar kemudian berucap pesimis. "Pak Narso kan k
Farrel tersenyum satu sudut melihat kepanikan di wajah Pak Narso. Laki-laki tua dengan rambut memutih itu pun segera bangkit dan berusaha menghindari kontak mata dengan Farrel.Farrel tidak menyerah. Dia mengikuti gerak gerik makhluk kecil yang menempel pada pemiliknya. Aksi aneh Farrel itu pun menjadi pusat perhatian para pengunjung warung."Bagaimana Pakdhe Narso? Masih terus-menerus memfitnah bapakku dan Pak Bintang?" tanyanya sekali lagi. Namun, pandangan pemuda berambut biru itu tak beralih dari peliharaan Pak Narso.Pak Narso mengusap keringat dingin di dahinya. "Rel, kamu itu bicara apa? Aku nggak fitnah bapakmu. Aku hanya mengatakan apa yang aku dengar, Rel. Kalau nggak, ya sudah. Orang-orang kan seringkali bicara begitu, to?" dalihnya. Farrel tersenyum sinis. "Dasar munafik!" desisnya sembari melangkah menuju ke motornya. "Ada apa to, Kang? Kok sepertinya Farrel marah banget?" tanya salah satu di antara mereka. Pak Narso menggeleng seolah tidak mengetahui apa pun. "Ya nggak
Alisha dan Bintang tersenyum ramah pada Nur sebelum mereka keluar dari toko orang tuanya. Kesalahpahaman tempo hari sudah dijelaskan oleh Alisha pada ibunya. Namun, tentu saja mereka tidak mengatakan jika orang tua Nur memiliki pesugihan.Alisha dan Bintang tidak ingin keberadaan Nur di situ mendapatkan intimidasi dari teman-temannya. Karena menurut mereka, saat ini toko itu adalah tempat yang aman bagi Nur. "Terima kasih ya, Nur. Kamu hati-hati bekerja." Alisha berpesan pada gadis sederhana itu, ketika membantunya memasukkan beberapa barang ke bagasi mobil."Terima kasih kembali, Mbak, Pak." Nur menjawab dengan sopan. Bintang mengangguk dan menatap prihatin gadis itu. "Nur, ingat ya, pesan kami waktu itu, jangan sampai lupa." Kali ini giliran Bintang yang berpesan pada gadis tersebut. Nur kembali mengangguk dan membalikkan badannya, berjalan menuju toko."Nuraini!"Nur mengurungkan niatnya memasuki toko. Dia menoleh pada seorang pemuda yang hendak turun dari motor. Pemuda itu tersen
"Kalian diam kenapa, Nyet?" sentak Farrel gemas.Vio dan Dino saling pandang kemudian nyengir kecil. Farrel memandang ketiga sahabatnya bergantian. Memang ada rasa bimbang dalam hati.Di sisi lain, Vio dan Dino terus menatapnya. Mereka mengisyaratkan lewat sorot mata supaya Farrel tidak mengatakan hal yang sebenarnya tentang Pak Narso, pada Banu. Mereka tidak tega merusak kebahagiaan Banu yang baru saja dimulai bersama Nur. Farrel mengumpat lirih. Dia benar-benar dilema dan tidak tega melihat Banu. Dia bingung, juga takut jika Banu mengalami hal yang sama seperti almarhum Hasan."Kenapa diam, Rel?" Banu kembali memaksa.Vio bergerak mendekati Banu dan menepuk-nepuk punggung pemuda tersebut. "Sudahlah, Nu. Cuma masalah kecil. Em, nganu, masalah internal saja antara Farrel dan Pak Narso. Salah paham," terang pemuda itu hati-hati.Keterangan Vio cukup masuk akal. Banu melirik ke arah Vio dan mengangguk samar. Vio menatap Farrel yang berwajah masam. Terlihat jelas dari raut wajah Farrel,
Sesampai di area pemakaman umum di belakang rumah sakit, Bintang dan ketiga temannya mendapati banyak kerumunan di situ. Mereka sibuk berbincang-bincang membicarakan orang yang tergantung di atas pohon randu. "Tadi sore dia ketemu aku lho, beli bunga buat nyekar, katanya. Terus dia cerita banyak banget. Katanya, dia itu kaya raya di Desa Karanglor. Tapi, kekayaannya dibawa mati istri dan anaknya." Ibu-ibu berdaster batik berceloteh, sedangkan yang lain mendengarkan dengan antusias. "Terus dia jadi miskin, nggak punya apa-apa. Aku tanya makam istri sama anaknya di sebelah mana? Eh, dia malah tertawa. Katanya, bunga itu akan dia bawa pulang nanti, mbuh apa maksudnya, Mbak?" Sang ibu mengakhiri ceritanya ketika mendengar suara sirine mobil ambulance mendekat."Astaghfirullah, Pak Narso. Innalillahi wa innailaihi roji'uun!""Kenal, Bin?" tanya salah seorang temannya pada Bintang.Bintang mengangguk. Dia menatap miris pada tubuh kurus yang sudah tidak bernyawa di atas sana. "Iya, dia tetan
"Mereka yang akan menutup kekacauan itu, Le. Karena sudah membuat perjanjian dengan Iblis Kukus. Para manusia serakah yang durhaka pada Gusti Allah itu sudah membuat banyak kekacauan. Jadi, yang bertanggung jawab ya mereka sendiri."Pak Abdul menatap Bagus sebentar sebelum melanjutkan ucapannya. Bagus lebih memilih diam dan tak bertanya karena dia sebenarnya tidak mengetahui orang-orang tersebut."Maka dari itu, lebih baik mereka menganggap kamu sudah hilang daripada hidupmu sengsara di luar sana. Sebelum waktunya, kamu tidak boleh keluar dari sini karena Bapak punya kepentingan lain denganmu, Le.""Jadi, ini maksudnya Pak Abdul itu? Budhe Sayuti termasuk orang-orang yang menutup kekacauan ini? Ya Allah, musibah apalagi setelah ini?" Tanpa sadar, Farrel bergumam. "Rel, ayo ikut shalat jenazah. Baunya amis banget, Rel." Farrel menoleh pada Danang dan mengangguk pelan. Kedua pemuda itu segera menuju ke ruang tengah di mana Bu Sayuti hendak dishalatkan.Semua orang menutup hidungnya men
Teriakan di pagi buta itu, mengagetkan penduduk Desa Mojojati yang berbatasan langsung dengan Desa Karanglor. Mereka berhamburan keluar rumah menuju rumah kontrakan yang beberapa waktu lalu, dihuni pasangan suami istri dari Desa Karanglor.Begitu juga dengan beberapa laki-laki yang tadinya masih enggan beranjak dari teras mushala. Mereka kompak langsung mendekati sumber suara."Ada apa, Lek?""Ada apa, Yu?""To-looong, ada ketiwasan, Pak. Tolong!" teriaknya ketakutan.Kompak pandangan mereka tertuju pada tubuh Bu Sayuti yang masih bernapas lemah, tetapi kondisinya sangat mengenaskan. Mereka juga serempak menutup hidungnya karena bau anyir itu sangat menyengat."Astaghfirullah, ya Allah!" Mereka memekik ngeri.Pemandangan di depan mereka sangat memilukan. Yakni, tubuh Bu Sayuti yang setengah telungkup itu terus bergerak pelan. Mulutnya seperti mengucapkan sesuatu, tetapi tidak jelas. Kedua matanya melotot ke satu arah dengan tatapan ketakutan. Dari kedua payudaranya mengucurkan darah ta
Ketiga temannya yang ingin tahu, ikut melongokkan wajah mereka menatap ke arah rumah Pak Narso. Mereka sama-sama saling pandang dan saling mengangkat bahu tak acuh karena tidak melihat hal yang mencurigakan."Apaan sih, Ndul?" tanya Vio sambil melirik Farrel yang masih serius memperhatikan ke dalam sana. "Huaseuu!" Umpat pemuda berambut agak gondrong setengah biru itu. "Ternyata makhluk sialan itu masih ikut si Tua Bangka itu, rupanya." Farrel berucap lirih."Hah?!" Kompak ketiga sahabatnya terkejut.Rupanya, Farrel masih bisa melihat makhluk kecil yang berupa tuyul itu, sedangkan Vio dan Dino tak bisa melihat lagi. Farrel juga melihat, beberapa makhluk aneh berada di sekitar Pak Narso."Kamu masih bisa melihatnya, Ndul?" Kali ini Dino bersuara.Farrel mengangguk samar tanpa mengalihkan perhatian dari dalam sana, bahkan kedua tangannya terkepal di atas stang motor. Tatapan tajam Farrel mengikuti ke mana pergerakan tuyul itu. Tak lama kemudian, Pak Narso keluar dari rumahnya dan bersia
Alisha memperhatikan foto di dalam liontin kalung kuno itu dengan seksama. Matanya berkaca-kaca. Dia ingat cerita sang ayah dulu, sebelum kakeknya meninggal. Saat itu, Alisha masih duduk di bangku SMA.Alisha menatap ke arah Farrel yang juga masih belum mengerti sepenuhnya dengan apa yang dia alami. "Mas Farrel, bagaimana bisa kalung ini sama Mas Farrel?" tanyanya, mewakili pertanyaan di benak mereka semua.Farrel terdiam dan mengingat tentang semua kebaikan Pak Abdul yang menolongnya dari peristiwa malam itu.Farrel menceritakan semua dengan detail. Semua orang yang berada di ruangan itu, mendengarkan dengan merinding. "Tepat tiga hari tiga malam aku bersama Pak Abdul, lukaku sembuh," ucapnya, ketika Bu Halimah menyibak kaos Farrel yang robek di bagian perut. "Beliau mengobati lukaku setiap pagi dan malam menjelang tidur. Menurut penuturan beliau, Pak Abdul ditangkap oleh segerombolan PKI dan disiksa ketika hendak melarikan diri. Pak Abdul ingin mengobati orang sakit...""Le, Bapak t
"Orang gila ... orang gila!" Mereka terus berteriak sambil bernyanyi dan berhamburan menuju ke tepi jalan. "Leee! Gio, Arfan! Pulang!" Ibu-ibu berteriak dari atas jembatan, ketika melihat kelima anak itu berlarian menjauh dari sungai."Buuk! Ada orang gila tidur di sungai, Buk!" balas salah satu di antara mereka sembari menunjuk ke arah sungai."Lha, makanya pulang, nanti kamu digondol orang gila, lho. Pulang, sudah mau Maghrib. Pada mandi sana!" teriak sang ibu memberi perintah. Dengan napas sama-sama terengah, kelimanya berdiri di atas jembatan di samping ibu itu."Itu Buk! Dia mati kayaknya, Buk!" teriak salah seorang sembari mengelap keringat di dahinya yang coklat.Si Ibu ikut menatap ke arah tengah sungai. Memang benar, di sana ada sesosok tubuh tidak bergerak dalam keadaan tidur miring. Lengannya menutupi wajah. "Astaghfirullah, benar. Kalian pulang, Ibuk panggil Pak RT!" titahnya pada mereka. Tetapi, kelimanya masih bergeming di tempat. "Itu ada mobil! Kita minta tolong sam
Sekali lagi, Bagus memperhatikan, dan membandingkan penampilannya sendiri dengan penampilan Pak Abdul. Selama tiga hari tinggal bersama Pak Abdul, Bagus baru menyadari jika Pak Abdul memakai pakaian yang sama. Melihat kebingungan di wajah pemuda tersebut, Pak Abdul mengulurkan tangan mengusap bahu Bagus. "Ini yang ingin Bapak ceritakan, Le. Bapak tidak tahu, takdir apa yang Gusti Allah gariskan sehingga secara kebetulan kamu bertemu dengan Bapak. Malam itu, Bapak tiba-tiba membelokkan langkah Bapak mampir ke pasar. Padahal Bapak selanjutnya tidak membeli apa-apa..," ucapnya terjeda. Bagus menanti cerita laki-laki paruh baya itu dengan sabar. Pak Abdul menarik napas panjang kemudian memejamkan matanya. "Bapak tidak pernah lewat jalan itu karena jalan itu masuk wilayah kekuasaan Iblis Kukus. Bangsa kami tidak ada yang berani sengaja masuk ke sana, begitu juga anak keturunannya Kukus. Mereka tidak berani masuk wilayah kami, kalau mereka melanggar akibatnya fatal. Gunung Kemukus itu ak
Senyum gadis cantik itu sangat menawan. Bagus tertegun melihatnya. Belum pernah dia melihat gadis secantik itu. "Kang, ayamnya Paklek kamu, tarung sama ayamku!" serunya membuyarkan lamunan Bagus.Bagus terkesiap, bukan hanya wajahnya yang sangat cantik. Akan tetapi, suaranya juga sangat merdu. Bagus menoleh kanan kiri, melihat jikalau Pak Abdul sudah kembali. Sepi. Pak Abdul belum menampakkan batang hidungnya. Bagus tersenyum canggung dan melangkah mendekati ayam yang masih bertarung di dekat kaki gadis itu.Sejenak, Bagus melupakan larangan dari Pak Abdul supaya tidak berkenalan dengan gadis tersebut. Dengan gugup, Bagus mengangkat ayam milik Pak Abdul dan membopongnya. Dia mengusap-usap kepala ayam jago yang terluka di beberapa bagian. Sesekali dia melirik ke arah gadis yang masih berdiri di tempatnya. Tentunya, masih menyunggingkan senyum memikat."Kakang, siapa namanya?" tanya gadis tersebut memutus kecanggungan."A-aku? Namaku Bagus," jawab Bagus gugup.Gadis itu mengangguk da
Pemuda itu mengambil tempat duduk di samping laki-laki tersebut. Dia menyunggingkan senyum, ketika laki-laki itu mengambilkan dua potong singkong rebus dan meletakkan di piring seng dengan motif-motif kehijauan."Makan dulu, setelah ini Bapak mau nyari kayu bakar," ucapnya sembari menyodorkan piring ke pangkuan sang pemuda.Pemuda tampan itu mengangguk santun. "Terima kasih ya, Pak. Bapak juga sarapan. Nanti saya ikut cari kayu bakar ya, Pak," ucapnya meminta izin. "Boleh, kalau kamu mau. Tapi, anak kota sepertimu apa nggak takut kena duri? Kulitmu halus dan bersih begitu." Laki-laki itu terkekeh. Diamatinya penampilan pemuda tersebut. "Bagaimana lukamu, masih sakit?" tanyanya kemudian.Sang pemuda menunduk. Menyingkap kaosnya dan meraba bagian perutnya, kemudian tersenyum. "Sudah kering, Pak. Sudah nggak sakit." Dia menjawab dengan senang.Laki-laki di depannya mengangguk kemudian menghela napas panjang. Ada kesedihan tergambar di wajahnya yang mulai keriput.Dia sempat menggeleng sa