Bintang menoleh sebentar pada Alisha meminta persetujuan. Akhirnya, laki-laki itu memutuskan mengangguk."Masuk saja Dik, kita bicara di dalam," ucapnya setelah mendapat persetujuan dari sang istri.Nur mengangguk, kemudian memasuki mobil Bintang dan duduk di belakang Alisha. Gadis itu menoleh ke kanan kiri dengan gelisah, bahkan sampai memutar tubuhnya menatap ke belakang. Bintang yang melihat hal tersebut dari center mirror merasa heran. "Sebenarnya ada apa, kenapa kamu ketakutan seperti ini, Dik?" tanyanya.Nur terdiam. Dia tidak mungkin mengatakan hal yang sebenarnya tentang rahasia besar kedua orang tuanya. Mereka sudah terlibat dalam kematian Hasan dan Pak Duki.Nur takut kedua orang tuanya itu masuk penjara. Terlebih jika dia mengatakan hal yang sebenarnya maka nenek yang begitu dia sayangi, akan dijadikan tumbal pesugihan kedua orang tuanya. Dan jika hal itu terjadi, bukan tidak mungkin, Nur sendiri suatu saat akan bernasib sama.Merasa tak ada jawaban, Bintang kembali melirik
Pak Narso memandang kepergian Bintang dengan senyum satu sudut. Rupanya, kepergian Bintang dari Desa Karanglor belum juga membuatnya puas. Entah mengapa, semenjak interaksi keduanya di pemakaman Pak Duki waktu itu, Pak Narso merasa, Bintang telah mempermalukan dirinya di depan Pak Haji Imran dan orang-orang yang melihat perdebatan mereka.Laki-laki itu pun menatap kertas undangan sederhana di tangannya sambil bergumam lirih," Terima kasih Mas Bintang sudah mengundang." Setelah itu, dia meremas kertas undangan tersebut dan melemparkannya ke sembarang arah.Pak Narso sudahmemutuskan, tidak mungkin datang ke rumah orang yang membuatnya menjadi pecundang. Padahal selama ini Bintang tidak pernah mengusik kehidupannya. Hanya rasa sirik dan dengkilah yang telah membutakan hati laki-laki tersebut. Tanpa berlama-lama di teras, Pak Narso segera memasuki rumahnya dan kembali mengunci rapat pintu kayu rumah sederhana itu.*Di tempat lain...Nur telah membulatkan tekad untuk bekerja paruh waktu d
Farrel memilih tidak banyak bertanya apa pun lagi pada Bintang. Karena pembicaraan singkat mereka sudah dilirik-lirik orang yang memang tidak suka pada keduanya. Akhirnya, pemuda itu pun lebih memilih menyingkir dan bergabung dengan Vio dan Dino. Merasa diperhatikan, Bintang mengarahkan pandangannya pada orang tersebut. Tetapi begitu dirinya bertemu pandang dengan orang yang sejak tadi memperhatikan pembicaraannya dengan Farrel maka orang tersebut justru buru-buru mengalihkan pandangannya. Tanpa sadar, Bintang menggeleng pelan sambil menarik napas panjang."Ada apa Pak Bin?" tanya seorang pemuda yang kebetulan duduk tepat di sampingnya.Bintang melirik pemuda itu kemudian bertanya lirih," Mas, siapa yang duduk di dekat Mas Sigit itu? Saya tidak pernah melihatnya. Dia anggota karang taruna jugakah?"Pemuda itu pun menatap ke arah orang yang dimaksud oleh Bintang, kemudian menggeleng pelan. "Oh, dia Mas Trisna. Dia sepertinya teman almarhum Hasan, Pak," jawabnya tidak yakin. Karena dia
Farrel terperanjat. "San, bagaimana bisa kamu ada di sini? Bukannya kamu sudah meninggal?" tanya Farrel sambil mengusap-usap matanya.Farrel berharap dirinya hanya berhalusinasi. Tetapi memang sosok sahabatnya itu, masih duduk di atas motor yang terparkir di depan rumah. Kedua mata dengan tatapan kosong itu mengarah pada Farrel."Kamu hati-hati, Rel. Mereka mengincar kamu, malam satu suro kamu jangan ke mana-mana, Rel," ucapnya dengan nada serak. "Orang yang kamu anggap baik, dialah yang bekerjasama membunuhku, bantu Pak Bintang dan Pak Haji," lanjutnya lagi.Kemudian Hasan menatap ke arah pekarangan rumah yang masih ramai dengan para tamu undangan. Tampak bibir pucat milik Hasan tersenyum sekilas.Farrel mengikuti arah pandangan Hasan sebentar. "Apa maksud kamu orang ba--" tanya Farrel terjeda sejenak. "Nyet, Hasan!" panggilnya, ketika tidak lagi melihat keberadaan Hasan di situ.Farrel memutar tubuhnya. Pemuda itu mencari keberadaan sahabat sejak kecilnya itu, tetapi nihil. Pemuda it
"Sigit menggeleng pelan, lalu membuang pandangan ke depan. "Terserah kamu saja. Mungkin memang sebaiknya aku menyerahkan diri saja ke polisi, kalau aku terlibat dalam kematian Hasan. Biar kamu puas, Gus!" ancamnya yang membuat Agus terperanjat."Hentikan kekonyolanmu ini, Git! Seharusnya, kamu berpikir dulu sebelum bertindak, kalau sampai kamu masuk penjara, bagaimana dengan kita?""Kembalilah ke mantan istrimu!" sahut Sigit tak acuh. Tentu saja itu, hanyalah gertakan semata. Sigit tidak akan rela jika Agus kembali ke mantan istrinya dan hidup bahagia dengan orang lain. Dan Sigit tahu, membicarakan mantan istri Agus, adalah hal terlarang di antara mereka. Karena Agus sangat membenci wanita yang telah mengkhianati kepercayaannya dan kebaikannya. Bahkan karena wanita tersebutlah, usaha milik Agus di ambang kebangkrutan.Perlahan tapi pasti, hal tersebut menimbulkan trauma mendalam bagi Agus dan mengubah persepsinya tentang wanita dan pasangan hidup."Jaga bicaramu, jangan main-main!" Ag
Farrel langsung menggenggam tangan mungil itu dan menciumnya. Bu Siti dan Bu Halimah yang ikut mendengar ucapan polos Sofi, mereka saling pandang. Bu Siti menggaruk tengkuknya yang meremang."Yu, kami pulang dulu, ya. Baca do'a dulu sebelum buka warungnya, Yu," bisik Bu Halimah sambil mengulurkan uang pada perempuan paruh baya itu."Eyang, anak kecil itu lihatin Mas Fallel telus," celoteh Sofi lagi dengan polosnya.Farrel segera mendekap wajah mungil Sofi ke dalam dadanya supaya anak itu tidak bisa melihat sekeliling.Sedangkan Bu Halimah bergegas menuju motor anaknya. Farrel, pemuda itu semenjak menjalani puasa beberapa hari belakangan bisa merasakan kehadiran makhluk aneh tersebut."Nyet, sudah dibayar semua sama Ibuk, ayo pulang!" seru Farrel pada Vio dan Dino.Mereka masih di tempat yang sama. Yakni, duduk di atas motor mereka masing-masing. Kedua sahabatnya itu melirik ke arah dalam warung lalu mengangguk. "Tua Bangka itu memang biangnya bangsat," desis Vio, begitu pandangannya t
Dendam, itulah yang dirasakan Sigit waktu itu. "Aku nggak pernah memperkosamu. Kamu yang menjebakku. Bagaimana kalau tubuhmu yang murahan itu dinikmati banyak orang? Pasti menyenangkan, kan, Karina?" tanya Sigit dengan seringaian penuh kemenangan. "Bangsat kamu, Sigit! Kamu akan masuk penjara!" teriak Karin yang hanya dibalas kekehan tak berdosa dari Sigit. Caci maki dan sumpah serapah dari mulut Karin tidak membuat Sigit menghentikan aksinya. Dengan sekali kode, dua orang berandalan yang dibayarya itu mendekat. Mereka lantas menikmati tubuh polos Karin di depan matanya. Sigit tertawa puas melihat Karin yang menangis kesakitan.Sigit mendekati tubuh tak berdaya Karina. "Silakan lapor polisi, kalau mau video ini menyebar. Orang tuamu yang sombong itu, akan kena serangan jantung dan mati," desisnya sambil mengacungkan kamera ke arah Karin yang terus menangis. "Jangan anggap kamu paling pintar, Karin. Nggak semua orang percaya sama kelicikanmu!" sentaknya geram sambil mencengkram rahang
Mereka berdua tampak begitu riang. Keduanya duduk mengelilingi wadah berisi air, dengan binatang bergerak-gerak memutar di dalam baskom plastik tersebut. Tangan-tangan kecil itu terulur masuk ke air dan memainkan beberapa binatang berupa kepiting sawah atau yuyu itu dengan senang.Seperti anak kecil yang menemukan mainan kesayangan, keduanya asyik di situ. Sehingga tak menyadari beberapa pasang mata mengawasi mereka berdua. Pasang-pasang mata milik manusia itu menunggu mereka berdua benar-benar lengah."Gila, jijikin Rel, aku emoh. Wajahnya menjijikkan," bisik Dino bergidik ngeri yang langsung dibekap mulutnya oleh Farrel.Pemuda berambut biru itu melotot ke arah Dino yang masih ketakutan. "Jangan gagalin rencana, Cuk. Badan gede, rambut kayak preman, tapi takut tuyul. Sana pulang! Minta roknya Lek Santi, pakai!" bisiknya geram.Dino melengos dan melirik Vio yang tersenyum seolah mengejeknya. Dino mengumpat dalam hati, sungguh sialan kedua temannya itu."Cuk, awas kalau ngompol," bisik