Ayuna tersenyum. "Terima kasih atas talaknya, mas. Mudah-mudahan kamu tidak menyesal sudah menyebutkan kalimat keramat itu. Setelah ini aku yang akan mengurus semuanya, kamu tinggal terima beres."Sandy diam, ia pikir Ayuna akan menangis ketika kata talak terucap. Tapi kenyataannya tidak, justru Ayuna terlihat bahagia setelah Sandy menjatuhkan talak. Ada rasa menyesal karena sudah terburu-buru menjatuhkan talak. Rasa cemburu yang membuat Sandy tidak bisa berpikir jernih. Padahal selama ini ia yang sudah berhianat."Kita jadi pulang sekarang?" tanya Hans dengan sangat hati-hati. Khawatir akan memicu pertengkaran, meskipun sejujurnya ia merasa kasihan dengan Ayuna. Tapi Hans tidak ingin ikut campur urusan rumah tangga mereka."Iya, soalnya sebentar lagi Sabrina pulang dari sekolah. Aku harus menjemputnya," sahut Ayuna. Mendengar itu Sandy semakin meradang, ia benar-benar tidak rela jika Ayuna bersanding dengan laki-laki lain."Ayuna, biar mas yang antar kamu pulang." Sandy mencekal perg
Ayuna tersenyum, cukup lumayan memberikan Renita syok terapi. Kebanyakan pelakor memang tidak tahu diri, dan hanya memandang dari luar. Tidak tahu bagaimana dalamnya, bagaimana susahnya hidup dari nol sampai sukses. Tapi setelah sukses orang yang menemaninya seakan tidak berarti apa-apa.Kehadiran orang ketiga selalu memicu pertengkaran antara suami dengan istri. Sama seperti yang Ayuna dan Sandy alami saat ini. Awalnya Ayuna berusaha untuk sabar, tapi kenyataannya rasa sabar itu tak semudah yang dibayangkan. Terlebih setelah mengetahui fakta yang sesungguhnya. Ayuna lebih memilih untuk mundur demi kewarasannya."Nggak bisa gitu dong. Aku nggak terima, itu utang mas Sandy sama kamu. Ya harus kalian yang selesaikan, tidak ada urusannya sama aku." Renita menolak untuk membantu Sandy melunasi hutang. Menurutnya, itu bukan urusannya, apa lagi Renita tidak ikut berhutang."Kamu sudah mengambil mas Sandy dariku, dari Sabrina dan calon adiknya. Dan sekarang kamu menolak untuk membantu meluna
Setelah dua laki-laki itu pergi, Sandy dan Renita segera masuk ke dalam. Keduanya melangkah menuju ruang tengah, lalu duduk di sofa. Untuk sesaat keduanya sama-sama diam, entah apa yang ada di dalam otak mereka. Yang jelas, Sandy bingung dan juga marah, sedangkan Renita kebingungan karena harus mengembalikan uang yang jumlahnya tidak sedikit itu."Sertifikat rumah ini mana?" tanya Sandy. Setelah cukup lama sama-sama diam, kini laki-laki itu mulai mengeluarkan suara."Sertifikat untuk apa, mas?" tanya Renita. Ia khawatir jika sertifikat rumah yang mereka tempati akan digadaikan demi untuk membayar hutang."Mau aku gadaikan terus uangnya untuk bayar hutang kamu, sekalian hutang aku di perusahaan," jawab Sandy. Seketika mata Renita melotot, ternyata dugaannya benar. Sertifikat rumah akan digadaikan demi bisa melunasi hutang."Memangnya berapa hutang kamu?" tanya Sandy."Dua ratus juta, mas." Mata Sandy hampir lepas setelah mendengar jawaban dari istrinya. Tidak main-main ternyata, jika s
Sandy terus memandangi mobil yang membawa putrinya, rasanya ia tidak rela jika Sabrina lebih dekat dengan pria lain ketimbang dirinya. Ingin marah, tapi nanti Sabrina justru akan semakin menjauh. Jujur, rasanya sangat sakit ketika diabaikan oleh anak sendiri. Apa itu yang Sabrina dan mantan istrinya rasakan, ketika dulu ia abaikan."Apa ini yang mereka rasakan saat aku lebih mementingkan Killa dengan Renita," gumamnya. Sandy tidak bisa membayangkan jika pada akhirnya anak-anaknya memanggil orang lain dengan sebutan 'papa'. Sungguh ia tidak ingin itu sampai terjadi."Aku tidak boleh menyerah begitu saja, aku akan buat Sabrina dan Ayuna kembali lagi padaku." Sandy berjanji akan membuat anak-anaknya kembali percaya lagi padanya. Karena sampai kapanpun Sandy tidak rela buah hatinya lebih menyayangi orang lain ketimbang ayahnya sendiri."Aku harus menemui Ayuna sekarang," gumamnya. Setelah itu Sandy masuk ke dalam mobilnya, lalu segera meninggalkan tempat tersebut. Kini tujuannya adalah ke
Malam sudah larut, tapi Sandy belum bisa memejamkan matanya. Laki-laki itu masih kepikiran dengan masalah bertubi yang menimpanya. Sandy tidak bisa membayangkan jika perusahaan miliknya kembali bangkrut seperti dulu. Apakah Renita akan kembali meninggalkan dirinya.Memikirkan itu semua membuat kepala Sandy rasanya ingin pecah. Ada rasa menyesal karena sudah menghianati wanita sebaik Ayuna. Dulu Ayuna mau menerima dirinya apa adanya, bahkan berkat wanita itu Sandy bisa kembali bangkit dan sukses. Tapi sekarang, kehancuran sudah ada di depan mata."Ayuna, mas benar-benar menyesal sudah menghianati kamu. Kamu pantas kecewa, mendiang kedua orang tua kamu juga pasti kecewa. Mereka sudah mempercayakan mas untuk menjaga dan melindungi kamu, tapi kenyataannya. Mas justru menyakiti kamu dan putri kita," ujar Sandy. Laki-laki itu masih ingat akan pesan mendiang orang tua Ayuna. Sebelum meninggal, kedua orang tua Ayuna mempercayakan putrinya kepada Sandy. Tapi kenyataannya, Sandy justru menyaki
Sandy memegang tengkuknya yang terasa sakit, perlahan ia menegakkan tubuhnya lalu menatap lelaki yang berdiri tak jauh darinya. Lelaki itu nampak tengah menggendong bayi yang hendak Sandy bawa kabur. Lelaki itu tak lain adalah Hans, entah ada urusan apa adik tirinya itu datang. Jujur, Sandy tidak suka Ayuna dekat dengan Hans.Sandy menyipitkan matanya. "Untuk apa kamu datang ke sini, kembalikan anakku." "Aku akan mengembalikan kepada ibunya." Tanpa memperpedulikan Sandy, Hans beranjak masuk ke dalam ruang rawat Ayuna.Terlihat jika Ayuna sudah berada di ranjang kecil di mana putranya berada. Melihat putra satunya kembali, seketika Ayuna bangkit dan langsung mengambil alih lalu menggendongnya. Ayuna juga menciumi wajah mungil putranya itu."Sayang kamu baik-baik saja kan." Ayuna terus menciumi wajah putranya, rasa khawatir masih menghantuinya."Ada apa ini, Ayuna kamu baik-baik saja kan." Yunita yang baru saja kembali sedikit heran ketika melihat Ayuna yang tengah memeluk erat putrany
Untuk sesaat mereka diam dengan pikiran masing-masing, Sandy tidak tahu harus bagaimana lagi. Karena perusahaan itu satu-satunya sumber uang untuk dirinya dan keluarganya. Sedangkan Renita sendiri, ia khawatir jika nantinya tidak ada uang untuk biaya lahirannya. Karena tidak cukup sedikit, belum lagi biaya setelah melahirkan."Mas, bagaimana ini. Kalau perusahaan bangkrut. Dari mana kita bisa dapat uang, karena hanya dari perusahaan itu yang menjadi sumber uang untuk kita." Suara Renita mampu membuat Sandy tersadar dari lamunannya. Laki-laki itu lantas menoleh dan menatap wanita hamil di sebelahnya."Aku juga tidak tahu, entah berapa kerugian yang harus aku tanggung." Sandy mengusap wajahnya dengan gusar. Pikirannya mendadak buntu, tidak tahu harus berbuat apa."Ya sudah, aku ke kantor sekarang." Sandy bangkit dan bergegas untuk pergi. Renita tidak bisa mencegah, ia membiarkan suaminya pergi, berharap kebakaran yang terjadi tidak parah.Kini Sandy sudah sampai di kantor, lututnya tera
Killa langsung dilarikan ke rumah sakit, bahkan saat ini bocah malang itu tengah menjalani operasi. Sandy dan Renita menunggu di ruang tunggu dengan gelisah. Renita bahkan tidak bisa duduk dengan tenang, pikirannya terus tertuju pada putrinya yang sekarang sedang berjuang di meja operasi."Renita, duduk dulu. Ingat kamu sedang hamil," ujar Sandy mengingatkan. Namun istrinya itu tidak melakukan apa yang ia perintahkan. "Aku tidak bisa duduk dengan tenang sebelum Killa keluar dari ruang operasi mas," sahut Renita. Mendengar itu Sandy hanya menghela napas, lalu mengusap wajahnya dengan gusar.Sandy tidak pernah membayangkan jika kejadian buruk itu akan menimpa Killa. Sandy sangat berharap agar operasi berjalan dengan lancar dan putrinya dalam keadaan baik-baik saja. Berapapun biayanya akan Sandy tanggung asalkan Killa bisa sehat seperti semula.Selang beberapa menit pintu ruangan terbuka, seorang dokter yang menangani Tiara keluar. Melihat itu, Renita dan Sandy langsung menghampirinya.