Sandy masih diam, ia tidak menyangka jika Ayuna mengetahui rahasia yang ia simpan. Sandy memang sengaja membuat buku tabungan atas nama Renita. Rencananya buku tabungan itu akan Sandy gunakan untuk biaya lahiran Renita nantinya. Sandy membuatnya setelah tahu Renita hamil.
"Sekarang kamu lancang ya, sudah berani mengambil sesuatu yang bukan hak kamu." Sandy merebut buku tabungan tersebut. Mendengar ucapan suaminya, Ayuna hanya menggelengkan kepalanya.Ayuna juga masih tidak menyangka jika selama ini suaminya sudah membohonginya. Jika saja Ayuna tidak menemukan buku tabungan itu, mungkin ia tidak akan pernah tahu betapa busuk kelakuan suaminya. Dan mungkin buku tabungan itu akan semakin gendut karena setiap bulannya pasti akan diisi oleh Sandy."Aku tidak mengambilnya, mas. Kamu saja yang terlalu ceroboh, menyimpan barang rahasia tidak ditempat yang aman. Dan satu lagi, seekor bangkai baunya akan tercium, meskipun sudah ditutup serapat mungkin," ungkap Ayuna. Matanya menatap sosok laki-laki yang ada di hadapannya itu."Sama juga dengan kesalahan yang kamu perbuat, mas. Meskipun sudah kamu tutup-tutupi, tapi akhirnya terbongkar juga," ungkapnya lagi. Jujur, rasanya Ayuna tidak tahan lagi dengan pernikahannya. Ingin rasanya ia lepas dari laki-laki yang tidak bisa melupakan masa lalunya.Sandy tidak menjawab, karena apa yang dikatakan istrinya memang benar. Entahlah, Sandy sendiri tidak tahu, kenapa dirinya bisa sampai tergila-gila kembali dengan wanita yang dulu pernah meninggalkannya, ketika sedang terpuruk. Dan setelah Sandy bangkit kembali, wanita yang tak lain Renita. Dengan mudah mendekatinya.Setelah itu Sandy keluar dari kamar tersebut, laki-laki itu merasa bersalah karena sudah menghianati wanita sebaik Ayuna. Sandy sadar, tanpa Ayuna ia tidak akan bisa seperti saat ini. Jika boleh memilih, Sandy tidak ingin menikahi Renita, tapi Ayuna terus memaksa. Sandy tidak punya alasan untuk mengelak, karena perbuatannya memang harus dipertanggung jawabkan."Arrght, kenapa harus seperti ini." Sandy mengusap wajahnya dengan kasar. Perasaan bersalah dan menyesal selalu hadir dalam dirinya. Terlebih ketika melihat Ayuna, karena berkat istrinya, Sandy bisa bangkit kembali dari keterpurukan.Pukul sebelas malam, Ayuna keluar dari kamarnya, wanita itu merasa haus. Karena persediaan air minum di kamarnya habis, Ayuna terpaksa harus mengambilnya ke dapur. Kini Ayuna sudah berada di lantai bawah, ketika hendak melangkah ke dapur. Ia tidak sengaja melihat suaminya yang sedang duduk di sofa ruang tengah seraya merokok.Ayuna memperhatikan suaminya yang nampak frustasi. Sandy akan merokok jika merasa frustasi dengan masalah yang menimpanya. Sejujurnya Ayuna kasihan melihat suaminya, tapi apa yang terjadi. Semua itu karena ulahnya sendiri, andai saja Sandy bisa lebih berhati-hati. Mungkin semua itu tidak akan terjadi."Sebenarnya kamu laki-laki yang baik, mas. Tapi sayang, iman kamu belum kuat. Kamu sangat mudah tergoda," gumam Ayuna. Ia masih ingat saat Sabrina lahir dulu, Sandy memperlakukan dirinya bak seorang ratu. Bahkan sampai sekarang juga, tapi tidak untuk lima bulan terakhir ini. Sandy sering keluar malam dan pulang kerja juga sampai larut. Setelah itu Ayuna memutuskan untuk ke dapur dan membiarkan suaminya.***Di lain tempat saat ini Renita sedang duduk santai di kamarnya. Ingin rasanya ia menghubungi Sandy dan memintanya untuk datang. Tapi rasanya itu tidak mungkin, karena suaminya sudah bilang kalau malam ini dia akan tidur di rumah Ayuna. Sejujurnya Renita tidak rela jika Sandy harus tidur di rumah Ayuna, tapi ia tidak bisa berbuat apa-apa."Huft, menyebalkan. Seharusnya mas Sandy malam ini tidur di sini, tapi kenapa harus tidur di rumah Ayuna sih." Renita menggerutu kesal. Tiba-tiba saja gawai miliknya berdering, khawatir ada yang penting Renita mengambil benda pipih miliknya itu.[Halo, ada apa][ …. ][Kamu tidak perlu khawatir, aku sudah berhasil menikah dengan mas Sandy lagi. Dan semuanya akan berjalan sesuai dengan rencana][ …. ][Ya sudah. Besok kita ketemu saja di tempat biasa]Sambungan telepon terputus, Renita tersenyum, rasanya ia tidak sabar ingin melihat orang yang dibencinya hancur. Renita menghembuskan napasnya, setelah itu ia memilih untuk tidur. Toh percuma juga jika menelpon Sandy, pasti suaminya itu akan banyak alasan kalau disuruh datang ke rumah.***Hari telah berganti, sebelumnya Ayuna sudah menyampaikan keinginan Sabrina, agar ayahnya datang ke acara pembagian raport. Dengan mudah, Sandy berjanji untuk datang, bahkan semalam laki-laki itu tidur di rumah Ayuna. Meskipun pisah ranjang, tapi Sandy merasa senang, karena Ayuna masih mengijinkan dirinya untuk tinggal di rumah mereka."Sudah siap?" tanya Sandy saat melihat putrinya datang dengan pakaian yang sudah rapi. Seragam sekolah merah putih sudah melekat di tubuhnya."Sudah, pa. Bunda juga sudah siap," kata Sabrina dengan penuh semangat. Senyum terus menghiasi wajahnya yang cantik."Ya sudah kita berangkat sekarang," ujar Sandy, lalu melangkah lebih dulu. Ayuna tersenyum melihat kedekatan dan keakraban suami dan putrinya. Jika boleh egois, Ayuna tidak ingin suaminya pergi menemui Renita dan juga Killa. TapiTapi Ayuna sadar, kalau Sandy mempunyai anak dari perempuan lain. Bahkan perempuan itu sudah menjadi istri Sandy kembali. Mau tidak mau, Ayuna harus rela berbagi, dan itu tidak akan lama, karena dia sudah mempunyai rencana.Belum sempat mereka masuk ke mobil, tiba-tiba gawai milik Sandy berdering. Awalnya ia abaikan, tapi benda pipih itu terus berbunyi. Khawatir ada yang penting, Sandy mengambil gawai miliknya, lalu menggeser tombol berwarna hijau untuk menerima panggilan tersebut.[Halo ada apa][ …. ][Iya, iya. Aku ke sana sekarang]Sambungan telepon terputus, Sandy menghembuskan napasnya. Lalu ia melirik istri dan putrinya yang sudah siap untuk berangkat. Jujur, Sandy tidak ingin membuat putrinya kecewa, susah payah mendapatkan maaf dari Sabrina. Dan Sandy tidak ingin putrinya kembali membencinya."Ada apa, pa?" tanya Sabrina."Ada telepon dari kantor, kalau papa harus ke kantor sekarang," dustanya. Karena tidak mungkin Sandy mengatakan yang sejujurnya."Yah, jadi papa tidak bisa datang dong." Sabrina nampak kecewa. Melihat itu Sandy tidak tega, tapi ia tidak punya pilihan lain."Papa nggak lama kok, setelah urusan kantor selesai. Papa langsung ke sekolah kamu," ujar Sandy. Berharap putrinya tidak marah."Ya sudah, tapi kalau papa bohong. Sabrina nggak mau ketemu sama papa lagi," kata Sabrina."Iya, sayang. Papa pergi dulu ya, nanti kalian diantar sama mang Ujang." Sandy mencium kening putrinya, lalu berpindah ke kening istrinya. Setelah itu Sandy bergegas masuk ke dalam mobil lalu pergi."Sayang kita pergi sekarang yuk." Ayuna menggandeng tangan putrinya untuk masuk ke dalam mobil lainnya.Kini mereka sudah dalam perjalanan menuju ke sekolah. Ayuna merasa jika ada yang disembunyikan oleh suaminya. Bukankah urusan kantor untuk hari ini akan di handle oleh Wisnu, asisten pribadi Sandy. Lalu untuk apa laki-laki itu datang ke kantor. Ayuna sangat yakin jika suaminya berpamitan bukan untuk ke kantor, tapi tempat lain."Bun, itu kan mobil papa. Kok lewat sini, katanya papa mau ke kantor." Sabrina menunjuk sebuah mobil yang melintas di sebelahnya. Mendengar itu, Ayuna lantas melihat mobil yang kini melaju di depan mobilnya."Mungkin papa …. ""Kalau belok kanan kan ke sekolah kak Killa, bun. Terus kalau belok kiri ke sekolah Sabrina." Sabrina memotong ucapan ibunya. Bocah perempuan itu sangat hafal jalan menuju ke kantor ayahnya. Dan juga jalan ke sekolah Killa."Bun, ikutin mobil papa," kata Sabrina. Mendengar itu Ayuna hanya mengangguk, setelah itu ia meminta mang Ujang untuk mengikuti mobil Sandy.Ternyata dugaan Sabrina tidak meleset, karena mobil ayahnya memang berhenti di sekolah Killa. Dan yang membuat Sabrina kecewa, kenapa ayahnya harus berbohong, kenapa tidak terus terang saja. Mata Sabrina terus memandang ayahnya yang menggandeng tangan Killa dengan raut wajah bahagia."Sayang kamu baik-baik saja kan." Ayuna mengusap bahu putrinya. Ia tahu bagaimana perasaan Sabrina, karena Ayuna sendiri kecewa dengan kebohongan suaminya itu."Setelah ini Sabrina tidak mau ketemu sama papa lagi, bun." Sabrina langsung menenggelamkan wajahnya di dada Ayuna, ibunya. "Bunda mengerti bagaimana perasaan kamu." Ayuna mengusap punggung putrinya dengan lembut, setelah itu ia meminta mang Ujang melanjutkan perjalanan menuju ke sekolah.Sabrina dan Ayuna sudah sampai di sekolah, meskipun kecewa dengan ayahnya. Tapi bocah perempuan itu memaksakan diri untuk tetap tersenyum. Sabrina tidak ingin ibunya bersedih karena dirinya. Selama ini hanya ibunya yang mau mengerti, ayahnya memang menyayanginya. Tapi tetap ada perbedaan, terlebih sekarang sang ayah telah menikah lagi."Sayang, kamu baik-baik saja kan." Ayuna mengusap kepala putrinya."Sabrina baik-baik saja kok, bun." Sabrina mengangguk dengan tersenyum. Setelah itu mereka kembali fokus dengan acara yang ada.Selama acara berlangsung, Ayuna sama sekali tidak peduli dengan pesan yang dikirim oleh suaminya. Wanita hamil itu memilih fokus dengan acara yang ada, terlebih ketika pengumuman siapa yang menjadi peringkat pertama. Sungguh, Ayuna benar-benar bangga dengan putrinya. Sabrina kembali menjadi juara kelas, bahkan bocah itu menjadi juara lomba Matematika tingkat nasional."Selamat ya, sayang. Bunda benar-benar bangga sama kamu." Ayuna menciumi wajah putrinya dengan
Di lain tempat saat ini Sandy tengah menemani Renita ke dokter kandungan. Entah kenapa jadwalnya harus bersamaan dengan hari ulang tahun Sabrina. Berkali-kali Sandy menghembuskan napasnya, ia kembali mengecewakan putrinya. Sandy khawatir jika nantinya tidak mendapatkan maaf dari Sabrina.Awalnya Sandy sudah meminta Renita untuk menunda besok, tapi wanita itu tetap kekeh untuk pergi ke dokter kandungan hari ini. Jika sudah seperti ini, Sandy tidak bisa berbuat apa-apa kecuali pasrah dan mengalah. Dan akhirnya, Sabrina yang kecewa karena dirinya tidak datang. Padahal kado untuk putrinya sudah Sandy siapkan jauh hari."Sabrina, maafkan papa. Setelah ini papa langsung ke rumah," ujar Sandy. "Mas, kamu lagi mikirin apa sih. Perasaan dari tadi kamu diem terus, kamu nggak seneng ya dengan kondisi calon anak kita." Renita menepuk pundak suaminya, sontak Sandy terkejut. Laki-laki itu menghembuskan napasnya, lalu berusaha untuk tetap bersikap tenang."Aku seneng kok," kata Sandy."Jenis kelami
Sandy menghembuskan napasnya, lalu mengusap wajahnya dengan kasar. Setelah itu ia memutuskan untuk menjatuhkan bobotnya di sofa. Sandy akan menunggu sampai Sabrina pulang. Ia harus bisa mengambil hati putrinya kembali. Dan semoga saja Renita dan Killa tidak berulah. Selang beberapa menit Ayuna datang dengan membawa secangkir kopi. Sandy tersenyum, karena ternyata istrinya masih peduli padanya. Sandy pikir Ayuna akan lupa dengan kewajibannya, tapi ternyata tidak. Justru Renita yang tidak pernah ingat akan kewajibannya sebagai seorang istri. Alasannya, karena hamil."Terima kasih," ucap Sandy, sementara Ayuna hanya mengangguk."Oya, kapan jadwal kamu kontrol ke dokter kandungan lagi?" tanya Sandy. Mendengar itu Ayuna mengangguk, lantas duduk dengan perlahan."Hari senin besok, mas. Memangnya kenapa." Ayuna balik bertanya, mendengar itu Sandy sedikit terkejut. Istrinya yang sekarang sedikit berubah setelah ia menikah lagi."Mas temenin ya, mas juga ingin tahu bagaimana perkembangannya.
Satu jam telah berlalu, Sandy baru pulang dari klinik. Akibat luka di pelipis Killa, laki-laki itu membawa putrinya ke klinik untuk diobati. Awalnya Sandy ingin mengobatinya sendiri, karena jika dilihat lukanya tidak terlalu parah. Tapi Renita memaksanya untuk dibawa ke klinik.Sandy tidak bisa berbuat apa-apa, terlebih Killa yang terus menangis. Saking paniknya, Sandy sampai lupa dengan Sabrina. Setibanya di rumah, Sandy langsung mencari keberadaan putrinya itu. Tapi belum sempat laki-laki itu menggerakkan kakinya. Ayuna datang dengan tergesa-gesa."Ayuna kamu …. ""Di mana Sabrina, kamu apakan Sabrina." Ayuna langsung menghampiri Renita, bahkan wanita hamil hendak menarik rambut panjang Renita, tapi dengan cepat Sandy menahannya."Ayuna jangan begini, sebenarnya ada apa." Sandy berusaha untuk tetap bersikap tenang."Kamu tanyakan sendiri sama dia, mas. Apa yang sudah dia lakukan pada Sabrina," ujar Ayuna dengan napas yang ngos-ngosan."Sekarang Sabrina ada di mana." Ayuna menatap Re
Untuk sesaat keduanya sama-sama diam, Sandy masih tidak menyangka jika semuanya akan seperti sekarang ini. Yang Sandy inginkan, Ayuna tetap menjadi istrinya, tapi sepertinya itu mustahil. Mengingat jika istri pertamanya itu tetap kekeh untuk bercerai. Sandy tidak bisa membayangkan jika nantinya Ayuna bersanding dengan laki-laki lain.Sandy mengusap wajahnya dengan gusar, laki-laki itu kembali teringat akan ucapan ibunya yang mungkin lebih tepatnya sebagai pesan. Ya, Regina pernah berpesan agar putranya mau melepaskan Ayuna dengan cara baik-baik. Regina sangat menyayangi Ayuna, meski hanya seorang menantu, tetapi sudah seperti putri sendiri. Itu sebabnya ia tidak ingin menantunya itu menderita."Baiklah, jika memang itu sudah menjadi keputusan kamu. Walaupun sesungguhnya mas tidak ingin kita bercerai," kata Sandy. Berharap Ayuna mau mempertimbangkan lagi keputusannya itu."Kalau saja kamu tidak bermain api, mungkin kita masih bisa bersama," ujar Ayuna. Mendengar itu Sandy hanya mengang
Ayuna tersenyum. "Terima kasih atas talaknya, mas. Mudah-mudahan kamu tidak menyesal sudah menyebutkan kalimat keramat itu. Setelah ini aku yang akan mengurus semuanya, kamu tinggal terima beres."Sandy diam, ia pikir Ayuna akan menangis ketika kata talak terucap. Tapi kenyataannya tidak, justru Ayuna terlihat bahagia setelah Sandy menjatuhkan talak. Ada rasa menyesal karena sudah terburu-buru menjatuhkan talak. Rasa cemburu yang membuat Sandy tidak bisa berpikir jernih. Padahal selama ini ia yang sudah berhianat."Kita jadi pulang sekarang?" tanya Hans dengan sangat hati-hati. Khawatir akan memicu pertengkaran, meskipun sejujurnya ia merasa kasihan dengan Ayuna. Tapi Hans tidak ingin ikut campur urusan rumah tangga mereka."Iya, soalnya sebentar lagi Sabrina pulang dari sekolah. Aku harus menjemputnya," sahut Ayuna. Mendengar itu Sandy semakin meradang, ia benar-benar tidak rela jika Ayuna bersanding dengan laki-laki lain."Ayuna, biar mas yang antar kamu pulang." Sandy mencekal perg
Ayuna tersenyum, cukup lumayan memberikan Renita syok terapi. Kebanyakan pelakor memang tidak tahu diri, dan hanya memandang dari luar. Tidak tahu bagaimana dalamnya, bagaimana susahnya hidup dari nol sampai sukses. Tapi setelah sukses orang yang menemaninya seakan tidak berarti apa-apa.Kehadiran orang ketiga selalu memicu pertengkaran antara suami dengan istri. Sama seperti yang Ayuna dan Sandy alami saat ini. Awalnya Ayuna berusaha untuk sabar, tapi kenyataannya rasa sabar itu tak semudah yang dibayangkan. Terlebih setelah mengetahui fakta yang sesungguhnya. Ayuna lebih memilih untuk mundur demi kewarasannya."Nggak bisa gitu dong. Aku nggak terima, itu utang mas Sandy sama kamu. Ya harus kalian yang selesaikan, tidak ada urusannya sama aku." Renita menolak untuk membantu Sandy melunasi hutang. Menurutnya, itu bukan urusannya, apa lagi Renita tidak ikut berhutang."Kamu sudah mengambil mas Sandy dariku, dari Sabrina dan calon adiknya. Dan sekarang kamu menolak untuk membantu meluna
Setelah dua laki-laki itu pergi, Sandy dan Renita segera masuk ke dalam. Keduanya melangkah menuju ruang tengah, lalu duduk di sofa. Untuk sesaat keduanya sama-sama diam, entah apa yang ada di dalam otak mereka. Yang jelas, Sandy bingung dan juga marah, sedangkan Renita kebingungan karena harus mengembalikan uang yang jumlahnya tidak sedikit itu."Sertifikat rumah ini mana?" tanya Sandy. Setelah cukup lama sama-sama diam, kini laki-laki itu mulai mengeluarkan suara."Sertifikat untuk apa, mas?" tanya Renita. Ia khawatir jika sertifikat rumah yang mereka tempati akan digadaikan demi untuk membayar hutang."Mau aku gadaikan terus uangnya untuk bayar hutang kamu, sekalian hutang aku di perusahaan," jawab Sandy. Seketika mata Renita melotot, ternyata dugaannya benar. Sertifikat rumah akan digadaikan demi bisa melunasi hutang."Memangnya berapa hutang kamu?" tanya Sandy."Dua ratus juta, mas." Mata Sandy hampir lepas setelah mendengar jawaban dari istrinya. Tidak main-main ternyata, jika s